• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penampilan Reproduksi Induk dan Pertumbuhan Anak Domba Lokal yang Mendapat Ransum dengan Sumber Karbohidrat Jagung dan Onggok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penampilan Reproduksi Induk dan Pertumbuhan Anak Domba Lokal yang Mendapat Ransum dengan Sumber Karbohidrat Jagung dan Onggok"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK DAN PERTUMBUHAN

ANAK DOMBA LOKAL YANG MENDAPAT RANSUM

DENGAN SUMBER KARBOHIDRAT

JAGUNG DAN ONGGOK

SKRIPSI

NADIA EBTHA KUMALA SANTI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

NADIA EBTHA KUMALA SANTI. D24070058. 2011. Penampilan Reproduksi Induk dan Pertumbuhan Anak Domba Lokal yang Mendapat Ransum dengan Sumber Karbohidrat Jagung dan Onggok. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Lilis Khotijah, M.Si. Pembimbing Anggota : Ir. Kukuh Budi Satoto, MS.

Domba lokal merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil penghasil daging yang cukup potensial untuk dikembangkan. Domba lokal pada umumnya mempunyai beberapa keunggulan, antara lain mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan tropis, tidak mengenal musim kawin, bersifat prolifik dan kebal terhadap beberapa macam penyakit dan parasit (Rianto et al., 2004). Domba lokal dengan sifat prolifik mempunyai kemampuan melahirkan anak dua sampai dengan empat ekor dalam satu kali kelahiran (Inounu, 1991). Tingkat produktifitas yang tinggi pada induk domba belum diimbangi dengan pakan yang dibutuhkan. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok terhadap penampilan reproduksi induk dan pertumbuhan anak domba yang dihasilkan.

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), terdiri dari 3 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan pada penelitian ini terdiri dari : Pj (ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung), Po (ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok), Pj+o (ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok). Peubah yang diamati adalah konsumsi pakan, persentase kebuntingan, jumlah fetus, jumlah anak sekelahiran, mortalitas fetus, lambing rate, rasio anak lahir, pertambahan bobot badan induk, bobot lahir anak, bobot sapih anak, pertambahan bobot badan anak dan produksi susu induk. Pengujian secara statistik dilakukan untuk menguji konsumsi pakan, pertambahan bobot badan induk, bobot lahir anak, bobot sapih anak, pertambahan bobot badan anak dan produksi susu induk. Penelitian ini juga menggunakan analisis secara deskritif untuk membandingkan pengaruh pemberian ransum yang berbeda sumber karbohidrat terhadap penampilan reproduksi induk.

(3)

masing-masing yaitu 976,85 dan 763,69 g/ekor/hari. Berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin, bobot lahir dan bobot sapih anak tunggal lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak kembar. Bobot lahir anak tunggal dan kembar masing-masing yaitu 2,60 kg/ekor dan 1,55 kg/ekor, sedangkan bobot sapih anak tunggal yaitu 10,28 kg/ekor dan anak kembar yaitu 6,12 kg/ekor. Berdasarkan jenis kelamian bobot lahir anak jantan dan betina masing-masing yaitu 2,43 kg/ekor dan 2,02 kg/ekor, sedangkan bobot sapih anak jantan yaitu 9,18 kg/ekor dan betina yaitu 8,25 kg/ekor. Hasil analisis korelasi, nilai korelasi bobot lahir dan bobot sapih yaitu 0,873, sedangkan nilai korelasi antara produksi susu selama 28 hari dengan bobot badan hari ke 28 adalah 0,777. Kesimpulan yang dapat diambil adalah penampilan reproduksi yang meliputi persentase kebuntingan, jumlah fetus, jumlah anak sekelahiran, lambing rate, rasio anak jantan:betina dan tipe kelahiran tunggal:kembar dari induk yang mengkonsumsi ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok cenderung lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Pemberian ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok pada induk memberikan pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan anak. Onggok dapat digunakan sebagai bahan pakan alternatif pengganti jagung dalam ransum domba.

(4)

ABSTRACT

Reproductive Performance of Ewes and Growth of Local Lambs Fed Ration with Different Carbohydrate Sources

Santi, N.E.K., L. Khotijah and K. B. Satoto

This research was carried out to investigate the reproductive performance of ewes and the growth of local lambs fed ration with different carbohydrate sources. The treatments consisted of ration with carbohydrate source form maize (Pj), ration with carbohydrate source from cassava meal (Po), and ration with carbohydrate source from maize and cassava meal (Pj+o). Data were analyzed using ANOVA to analyze feed consumption, body weight gain of ewes, birth weight of lambs, weaned weight of lambs, body weight gain of lambs and milk production of ewes. This research also used descriptive analysis to analyze the percentage of pregnancy, total of fetus, total of lamb birth, lambing rate, and the ratio of lamb birth. The results showed that the treatments did not significanty effect (P>0,05) feed consumption, body weight gain of ewes, birth weight of lambs, weaned weight of lambs, body weight gain of lambs and milk production of ewes and then reproductive performance of ewes fed ration with carbohydrate sources from cassava meal was better than other treatments.The conclusion of this research was reproductive performance like percentage of pregnancy, total of fetus, lambing rate, sex ratio of lamb, type of lamb birth (twins or single) from ewes fed ration with carbohydrate sources from cassava meal was better than other treatments. Ration with carbohydrate source from maize and cassava meal gave the same effect of lambs growth. So, cassava meal can be used as alternative feed for substitution of maize in ewes diet.

(5)

PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK DAN PERTUMBUHAN

ANAK DOMBA LOKAL YANG MENDAPAT RANSUM

DENGAN SUMBER KARBOHIDRAT

JAGUNG DAN ONGGOK

NADIA EBTHA KUMALA SANTI

D24070058

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(6)

Judul : Penampilan Reproduksi Induk dan Pertumbuhan Anak Domba Lokal yang Mendapat Ransum dengan Sumber Karbohidrat Jagung dan Onggok

Nama : Nadia Ebtha Kumala Santi NIM : D24070058

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Ir. Lilis Khotijah, M.Si) (Ir. Kukuh Budi Satoto, MS) NIP. 19660703 199203 2 003 NIP. 19490118 197603 1 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc. Agr) NIP: 19670506 199103 1 001

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 18 April 1989 di Semarang, Jawa Tengah. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Teguh Heru Iman Santosa dan Tutik Mulyani. Tahun 1995 penulis mengawali pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Negeri Rengasdengklok Selatan V dan diselesaikan tahun 2001. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2004 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Rengasdengklok. Penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Karawang pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas Peternakan dan pada tingkat dua masuk di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Penampilan Reproduksi Induk dan Pertumbuhan Anak Domba Lokal yang Mendapat

Ransum dengan Sumber Karbohidrat Jagung dan Onggok. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Peternakan.

Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bulan Mei sampai dengan bulan November 2010 bertempat di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja dan analisis sampel dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Karya Ilmiah ini berisi informasi tentang penampilan reproduksi induk dan pertumbuhan anak domba yang dihasilkan, dengan induk mendapatkan ransum sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan informasi baru dalam dunia peternakan, bermanfaat bagi Penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya.

Bogor, September 2011

(9)

DAFTAR ISI

Kebutuhan Zat Makanan Domba ... 7

Fase Bunting ... 7

Fase Laktasi ... 8

Pertambahan Bobot Badan Induk ... 8

Bobot Lahir ... 9

Bobot Sapih ... 10

Pertambahan Bobot Badan Anak Pra Sapih ... 10

Mortalitas ... 11

Kandang dan Peralatan ... 13

Pakan ... 14

Metode ... 15

Rancangan Percobaan ... 15

(10)

Peubah yang Diamati ... 15

Prosedur Penelitian ... 18

Analisis Data... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Konsumsi Bahan Kering Ransum ... 20

Pola Konsumsi Bahan Kering Ransum ... 22

Penampilan Reproduksi Domba Induk ... 23

Persentase Kebuntingan ... 24

Penampilan Produksi Domba Induk ... 27

Pertambahan Bobot Badan Induk ... 27

Pola Pertambahan Bobot Badan Induk ... 28

Penampilan Produksi Anak ... 30

Bobot Lahir ... 30

Pertambahan Bobot Badan Anak Umur 0-28 dan 28-56 Hari ... 31

Bobot Sapih (Hari Ke 56) ... 31

Produksi Susu Hari Ke 0-28 dan 28-56 ... 32

Kematian Anak Sampai Sapih ... 33

Pola Pertumbuahan Anak ... 33

Hubungan Bobot Lahir dengan Bobot Sapih ... 34

Hubungan Produksi Susu 0-28 Hari dengan Bobot Badan Anak Hari Ke-28 ... 35

Hubungan Bobot Lahir dan Bobot Sapih dengan Tipe Kelahiran ... 36

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kebutuhan Zat Makanan Domba ... 7

2. Komposisi Bahan Baku Ransum ... 14

3. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Berdasarkan Bahan Kering ... 14

4. Rataan Konsumsi Bahan Kering Domba Induk ... 20

5. Penampilan Reproduksi Domba Induk ... 23

6. Rataan Pertambahan Bobot Badan Induk Bunting dan Laktasi ... 28

7. Penampilan Produksi Anak Domba Jonggol Umur 0-28 Hari ... 30

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Domba Pariangan atau Domba Garut ... 4 2. Domba didalam Kandang Individu ... 13 3. Grafik Rataan Konsumsi Bahan Kering Induk Tiga Bulan Akhir

Kebuntingan dan Dua Bulan Laktasi ... 22 4. Fetus yang Mati saat Abortus ... 26 5. Grafik Rataan Pertambahan Bobot Badan Induk Tiga Bulan

Akhir Kebuntingan dan Dua Bulan Laktasi ... 29 6. Grafik Produksi Susu Induk ... 32 7. Grafik Pola Pertumbuhan Anak... 34 8. Grafik Analisis Regresi dan Korelasi Bobot Lahir Anak dengan

Bobot Sapih Anak ... 35 9. Grafik Analisis Regresi dan Korelasi Produksi Susu 28 Hari dengan

Bobot Badan Anak Hari Ke 28 ... 36 10.Grafik Pertumbuhan Anak Berdasarkan Tipe Kelahiran ... 36 11.Grafik Pertumbuhan Anak Berdasarkan Jenis Kelamin ... 37

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Sidik Ragam Konsumsi Hijauan Induk Tidak Bunting ... 47

2. Sidik Ragam Konsumsi Konsentrat Induk Tidak Bunting ... 47

3. Sidik Ragam Total Konsumsi Induk Tidak Bunting ... 47

4. Sidik Ragam Konsumsi Berdasarkan Bobot Metabolis Induk Tidak Bunting ... 47

5. Sidik Ragam Konsumsi Hijuan Induk Bunting ... 47

6. Sidik Ragam Konsumsi Konsentrat Induk Bunting... 47

7. Sidik Ragam Total Konsumsi Induk Bunting ... 48

8. Sidik Ragam Konsumsi Berdasarkan Bobot Metabolis Induk Bunting ... 48

9. Sidik Ragam Konsumsi Hijauan Induk Laktasi ... 48

10.Sidik Ragam Konsumsi Konsentrat Induk Laktasi ... 48

11.Sidik Ragam Total Konsumsi Induk Laktasi ... 48

12.Sidik Ragam Konsumsi Berdasarkan Bobot Metabolis Induk Laktasi . 48 13.Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Induk Bunting ... 48

14.Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Induk Laktasi ... 49

15.Sidik Ragam Bobot Lahir Anak ... 49

16.Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Anak Umur 0-28 Hari ... 49

17.Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Anak Umur 28-56 Hari ... 49

18.Sidik Ragam Produksi Susu 0-28 Hari ... 49

19.Sidik Ragam Produksi Susu 28-56 Hari ... 49

(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba lokal merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil penghasil daging yang cukup potensial untuk dikembangkan. Domba lokal pada umumnya mempunyai beberapa keunggulan, antara lain mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan tropis, tidak mengenal musim kawin, bersifat prolifik dan kebal terhadap beberapa macam penyakit dan parasit (Rianto et al., 2004). Domba lokal dengan sifat prolifik mempunyai kemampuan melahirkan anak dua sampai dengan empat ekor dalam satu kali kelahiran.

UP3 Jonggol adalah tempat asal dari domba lokal yang digunakan pada penelitian ini. Induk domba di UP3 Jonggol mendapatkan pakan berupa rumput dari padang penggembalaan dengan sistem pemeliharaan secara semi intensif. Penampilan reproduksi induk domba di UP3 Jonggol, dengan persentase kebuntingan 45,78% dan bobot lahir anak yang dihasilkan yaitu 1,96 kg (Harahap, 2008), masih terlalu rendah bila dibandingkan dengan Thalib et al. (2001) yang menyatakan bahwa keberhasilan kebuntingan yang baik dalam suatu kelompok pemeliharaan sebesar 85%.

Rendahnya produktivitas domba induk di UP3 Jonggol diduga karena kurangnya perhatian dalam manajemen pemeliharaan, terutama masalah pakan. Perbaikan pemberian pakan saat bunting dan laktasi diharapkan dapat meningkatkan jumlah anak sekelahiran dan kualitas anak yang dilahirkan. Pakan dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok diharapkan mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

(15)

2 Onggok sebagai hasil sampingan pembuatan tepung tapioka selain harganya murah, mudah didapat dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, dengan kandungan karbohidrat sekitar 97,29% (Halid, 1991). Penggunaan onggok dalam ransum mampu menurunkan biaya ransum (Rasyid et al., 1996), sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan alternatif untuk memenuhi kebutuhan domba bunting dan laktasi seperti halnya jagung. Melalui perbaikan pemberian pakan berbasis sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok pada penelitian ini diharapkan mampu memperbaiki penampilan reproduksi induk dan kualitas anak domba Jonggol.

Tujuan

(16)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Domba Lokal

Populasi ternak domba terus meningkat dari tahun 2003 (7.810.702) sampai 2007 (9.859.667), sedangkan produksi daging kambing dan domba pada tahun 2007 adalah 148,2 ribu ton (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007). Populasi domba lokal terus meningkat, karena produktif untuk dipelihara sepanjang tahun dengan biaya yang rendah (FAO, 2002), mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan tropis, tidak mengenal musim kawin, bersifat prolifik dan kebal terhadap beberapa macam penyakit dan parasit (Rianto et al., 2004).

Domba yang dikenal di Indonesia ada tiga bangsa yaitu domba priangan, domba ekor gemuk dan domba ekor tipis atau lebih dikenal dengan nama domba lokal. Domba ekor tipis mempunyai ciri-ciri tubuh yang kecil, ekor relatif kecil dan tipis, bulu badan berwarna putih tetapi kadang-kadang ada warna lain, misal belang-belang hitam sekitar mata, domba jantan bertanduk kecil dan melingkar dan umumnya domba betina tidak bertanduk, berat domba jantan berkisar 30-40 kg dan berat badan betina 15-20 kg. Salah satu keunggulan domba ekor tipis adalah sifatnya yang prolifik karena mampu melahirkan anak kembar dua sampai lima ekor setiap kelahiran (Mulyono dan Sarwono, 2004).

(17)

4 Gambar 1. Domba Priangan atau Domba Garut (Mulyono, 2005)

Domba UP3 Jonggol adalah salah satu jenis domba lokal yang sudah dikenal oleh civitas akademik Fakultas Peternakan, IPB. Domba ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya memiliki daya adaptasi dan toleransi yang cukup baik terhadap suhu yang cukup panas, sehingga berpotensi dijadikan salah satu sumber genetik untuk dikembangkan pada masa yang akan datang (Ilham, 2008). Populasi ternak domba di UP3 Jonggol yang digembalakan setiap hari yaitu sebanyak 611 ekor (308 betina dan 303 jantan) dan domba dikeluarkan pukul 10:00 dan dimasukkan kembali ke kandang pukul 16:00 (Harahap, 2008). Bobot lahir anak untuk domba yang dipelihara secara ekstensif di padang rumput UP3 Jonggol berkisar 1,56-2,54 kg (Ilham, 2008).

Bahan Pakan

Jagung

(18)

5 semuanya pati, 2) mengandung lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan semua butiran dan 3) serat kasar rendah, oleh karena itu sangat mudah dicerna.

McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa jagung kuning mengandung pigmen cryptoxanyhin, yang merupakan prekusor vitamin A. Penggunaan jagung untuk ruminansia khususnya domba tanpa batasan, tetapi kandungan protein jagung rendah sehingga perlu ditambahkan sumber protein lain untuk memenuhi kebutuhan dalam ransum.

Onggok

Onggok adalah salah satu hasil dari pengolahan ubi kayu (Manihot utilissima) menjadi tapioka. Proses pengolahan ubi kayu menjadi tapioca menghasilkan limbah padat yaitu onggok dan menghasilkan limbah buangan berupa cairan yaitu sludge, dari pengolahan tapioka menghasilkan 11,4% onggok (Hidayat, 2011). Onggok merupakan bahan pakan yang kaya akan kandungan pati, yaitu suatu bahan pakan sumber energi yang tergolong karbohidrat mudah terpakai (RAC) (Sumangkut et al., 1976). Ditinjau dari komposisi zat makanannya onggok merupakan sumber energi dengan kandungan karbohidrat sekitar 97,29%, kandungan protein kasar onggok sangat rendah yaitu sekitar 1,45% dengan serat kasar yang tinggi yaitu 10,94 (Halid,1991). Gunawan (1995) menambahkan bahwa onggok mengandung 1,6% protein kasar, 0,4% lemak kasar, 10,4% serat kasar, 0,8% kalsium, 0,6% fosfor, dan 2670 kkal/kg ME.

Menurut (Nuraini et al., 2008) diperlukan tambahan bahan lain sebagai sumber nitrogen yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan pakan, namun kandungan air cukup tinggi 81-85% tetapi kaya akan karbohidrat yang mudah dicerna (BETN) bagi ternak serta penggunaannya dalam ransum mampu menurunkan biaya ransum (Rasyid, 1996) karena harganya murah, tersedia cukup, mudah didapat, dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia.

Konsumsi

(19)

6 yaitu faktor hewan, faktor makanan, faktor lingkungan (suhu dan kelembaban). Faktor makanan antara lain bentuk, bau, rasa, tekstur dan komposisi nutrien. Faktor hewan antara lain bobot badan, palatabilitas, status fisiologis dan kapasitas rumen serta faktor lingkungan antara lain suhu dan kelembaban udara (Parakkasi, 1999). NRC (2006) menyatakan bahwa domba dengan bobot badan 20-30 kg membutuhkan bahan kering berkisar 3% dari bobot badannya yaitu 600 g/ekor/hari. Mathius (1996) yang menyatakan bahwa domba bunting dan laktasi mengkonsumsi pellet masing-masing yaitu 63,85 dan 69,63 g/kgBB0,75. Kearl (1982) menyatakan bahwa domba yang sedang bunting dan laktasi dapat mengkonsumsi bahan kering masing-masing yaitu 3,3 dan 5% BB.

Domba bunting dan laktasi mengalami berbagai macam perubahan, baik perubahan fisik maupun perubahan status fisiologis. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap konsumsi karena pada induk bunting akan mengalami keterbatasan dalam menampung pakan yang dikonsumsi. Robinson (1986) menyatakan bahwa bertambah besarnya perkembangan fetus dalam saluran reproduksi menyebabkan semakin mengecilnya rongga perut yang tersedia untuk dapat menampung pakan. Induk bunting, terutama bunting kembar mempunyai kapasitas rongga perut yang lebih kecil untuk dapat menampung pakan yang dikonsumsi (Orr et al., 1983). Ramsey et al. (1994) menambahkan bahwa semakin banyak fetus yang dikandung maka semakin kecil ruang untuk volume perut, sehingga dapat menurunkan tingkat konsumsi induk domba.

(20)

7

Kebutuhan Zat Makanan Domba

Fase Bunting

Nutrisi pakan secara langsung menyediakan glukosa, asam amino, vitamin, dan elemen kimia essensial dan secara tidak langsung dapat memodifikasi fungsi hormonal, dimana dapat meningkatkan kematangan sel telur, ovulasi, perkembangan embrio, pertumbuhan fetus, dan daya tahan anak yang lahir (Freer dan Dove, 2002). Pakan merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat penting untuk induk bunting. Pengaruh negatif dari kekurangan pakan terhadap organ reproduksi pada domba muda dapat bersifat permanen (Thalib et al., 2001). Kebutuhan zat makanan untuk domba disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutukan Zat Makanan Domba

Kebutukan Induk Bobot Badan

Zat Makanan

TDN (kg) Protein (g) Ca (g) P (g)

Akhir Kebuntingan 50 0,94 175 5,9 4,8

Laktasi 50 1,36 304 8,9 6,1

Sumber: NRC (2006)

(21)

8

Fase Laktasi

Fase laktasi merupakan periode dimana induk domba membutuhkan nutrisi pada tingkat yang tinggi (Robinson, 1986). Produksi susu yang dihasilkan selama laktasi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti konsumsi pakan, bobot hidup, komposisi tubuh, potensi genetik, dan kondisi iklim. Nutrisi selama kebuntingan memiliki hubungan yang erat terhadap produksi susu (Wodzika et al., 1991).

Pembatasan pemberian pakan akan mengakibatkan menurunnya bobot hidup induk secara drastis. Kebutuhan energi induk domba, baik yang bunting maupun yang sedang laktasi sangat tinggi, maka jumlah energi yang dikonsumsi harus ditingkatkan sebanyak 1,5 sampai 2 kali dari kebutuhan hidup pokok (NRC, 1985).

Pertambahan Bobot Badan Induk

Pertambahan bobot badan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam pakan menjadi daging. Kecepatan pertumbuhan dapat diketahui dengan melakukan penimbangan berulang setiap hari, minggu atau bulan (Tillmann et al., 1998). Berdasarkan NRC (1985), pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain total protein yang diperoleh setiap harinya, jenis ternak, umur, keadaan genetis, lingkungan kondisi setiap individu dan manajemen tata laksana.

Pertambahan bobot badan pada induk domba ketika bunting selain dipengaruhi oleh konsumsi juga dipengaruhi oleh jumlah fetus yang terdapat di dalam kandungan (Robinson, 1986). Meningkatnya umur kebuntingan akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan fetus, namun laju peningkatannya menurun seiring umur kebuntingan (Sugana, 1988). NRC (2006) menyatakan bahwa pertambahn bobot badan harian domba sekitar 100 g/ekor/hari, sedangkan hasil penelitian Wardhani (2006) dengan induk yang digembalakan dipadang rumput Brachiaria Humidicola dengan tambahan dedak padi dan Saputra (2008) dengan induk dipelihara secara ekstensif tanpa mendapatkan pakan tambahan memiliki rata-rata pertambahan bobot badan 47 dan 69,9 g/ekor/hari.

(22)

9 pertama laktasi, kemudian akan meningkat kembali setelah satu bulan laktasi (Freer dan Dove, 2002). Hal tersebut disebabkan pada awal laktasi aliran metabolit dari darah terjadi dengan cepat untuk produksi susu, sementara konsumsi induk tidak dapat memenuhi kebutuhan zat makanan induk sehingga penggunaan cadangan lemak tubuh akan dilakukan (Forbes, 2007).

Bobot Lahir

Bobot lahir adalah bobot pada saat anak dilahirkan, yaitu bobot hasil penimbangan dalam kurun waktu 24 jam sesudah lahir (Hardjosubroto, 1994). Faktor-faktor yang menentukan bobot lahir yaitu jenis kelamin, bangsa, tipe kelahiran, kondisi induk, ransum tambahan saat induk bunting (Sumoprastowo, 1993) dan umur induk (Inounu, 1996). Anak yang memiliki bobot lahir tinggi cenderung memiliki daya hidup yang tinggi saat dilahirkan dan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi (Bourdon, 2000). Inounu (1996) dan Tiesnamurti (2002) menyatakan, bahwa bobot lahir domba Priangan masing-masing adalah 3,4 kg dan 2,39 kg. Setyawati (2000) melaporkan bahwa bobot lahir domba Garut yaitu 1,56 kg. Wisnuwardani (2000), Dudi (2002) dan Inounu et al. (1996) menyatakan bahwa tipe kelahiran pada induk mempengaruhi bobot lahir anak. Bobot lahir anak tunggal lebih berat jika dibandingkan dengan rataan bobot lahir anak kembar (Suryadi, 2006). Harahap (2008) dalam penelitiannya menggunakan induk domba Jonggol berumur satu tahun, yang digembalakan di padang rumput Brachiaria humidicola, memiliki rata-rata bobot lahir anak yaitu 1,82 kg/ekor, sedangkan bobot lahir anak tunggal dan kembar masing-masing yaitu 1,82 dan 1,86 kg/ekor. Perbedaan bobot lahir diduga karena terbatasnya volume uterus induk, sehingga bila dalam uterus terdapat lebih dari satu fetus maka calon anak tersebut pertumbuhannya akan terganggu karena harus berdesak-desakan dalam uterus yang sempit, dibandingkan jika anak tersebut dilahirkan tunggal (Triwulaningsih, 1986).

(23)

10 penelitiannya dengan induk domba Jonggol yang berumur satu tahun dan Saputra (2008) dengan induk berumur dua tahun memeiliki rata-rata bobot lahir anak jantan 2,03 dan 1,9 kg/ekor sedangkan betina 1,61 dan 2,42 kg/ekor.

Bobot Sapih

Bobot sapih merupakan indikator dari kemampuan induk untuk menghasilkan air susu dan kemampuan anak untuk mendapatkan air susu (Hardjosubroto, 1994). Bobot sapih anak dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur sapih, umur induk dan produksi susu induk. Harahap (2008) dan Saputra (2008) menyatakan bahwa bobot sapih anak domba Jonggol dari induk yang dipelihara secara ekstensif yaitu berkisar 3,46-6,58 dan 4,53-7,38 kg/ekor. Bobot sapih pada domba Garut di Desa Sukawargi sebesar 11,6 kg (Wisnuwardani, 2000) dan rataan bobot sapih domba prolifik hasil penelitian Inounu (1999) yaitu sebesar 13,12 kg.

Subandriyo (1996) menyatakan bahwa bobot anak saat di sapih dipengaruhi oleh tipe kelahirannya. Harahap (2008) dalam penelitiannya melaporkan bobot sapih anak dengan tipe kelahiran tunggal dan kembar masing-masing yaitu 5,95 dan 5,01 kg/ekor, sementara bobot sapih anak jantan dan betina adalah 5,96 dan 5,47 kg/ekor dengan induk domba jonggol yang penyapihannya dilakukan selama dua bulan. Baliarti (1981) melaporkan bahwa anak domba jantan memiliki berat sapih lebih tinggi dibandingkan anak domba betina.

Pertambahan Bobot Badan Anak Pra Sapih

(24)

11 tunggal, karena induk yang memiliki anak kembar menghasilkan lebih banyak susu untuk anak kembar (Gatenby, 1991). Saputra (2008) dalam penelitiannya menggunakan domba Jonggol berumur satu tahun dengan induk digembalakan di padang rumput Brachiaria humidicola memiliki rata-rata pertambahan bobot badan anak yaitu sebesar 41,7 g/ekor/hari.

Mortalitas

Kematian dapat terjadi pada fase embrio maupun fetus. Dixon et al. (2007) menyatakan bahwa kematian pada fase embrio dan fetus sebesar 19,9%. Daya tahan hidup anak dengan tipe kelahiran tunggal berbeda dengan tipe kelahiran kembar. Kemampuan hidup anak domba sebesar 90% pada kelahiran tunggal, 68% pada kelahiran kembar dua, dan 60 – 65% pada kelahiran kembar tiga (Inounu, 1991). Gatenby (1991) menyatakan bahwa kematian anak domba dipengaruhi oleh bobot lahir, umur induk, paritas induk, produksi susu, jumlah anak sekelahiran, dan tingkat laju menyusu induk. Induk domba yang diberi pakan protein kasar 15%, Total Digestibility Nutrient 65,8% dan protein kasar 17%, Total Digestibility Nutrient 77% memiliki mortalitas anak sebesar 11,22% dan 12,5% (Nurachma, 1991).

Produksi Susu

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengukur produksi susu induk domba yaitu menggunakan oksitosin, menimbang bobot anak sebelum dan setelah menyusui, dan menggunakan komposisi tubuh anak (Freer dan Dove, 2002). Dove (1988) menyatakan bahwa anak domba yang hanya mengkonsumsi susu menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 160-170 g/hari/kg susu, artinya enam kilogram susu untuk satu kilogram pertambahan bobot badan. Hubungan ini hanya berlaku hingga 4-6 minggu periode laktasi, setelah dari itu kurva hubungan antara produksi susu dan pertambahan bobot badan menurun.

(25)

12 kualitas yang lebih rendah. Puncak laktasi induk domba yang mendapatkan pakan dengan kaulitas baik terjadi antara minggu ketiga dan keempat, sedangkan puncak laktasi pada domba yang mendapatkan pakan dengan kualitas rendah terjadi antara minggu kedua dan ketiga laktasi.

(26)

13

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja (kandang B) pada bulan Mei sampai dengan bulan November 2010. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Ternak

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dengan menggunakan ternak, perlakuan dan rancangan percobaan yang sama berdasarkan Sitepu (2010). Ternak berjumlah 15 ekor, terdiri dari 10 ekor domba bunting dan 5 ekor tidak bunting. Bobot awal kebuntingan 19,8±1,21 kg sedangkan yang tidak bunting 20,4±1,95 kg. Domba tersebut diperoleh dari UP3 Jonggol, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ternak domba lokal yang digunakan dikandangkan secara individu seperti yang disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

Kandang dan Peralatan

(27)

14

Pakan

Ransum yang digunakan terdiri atas rumput lapang dan konsentrat dengan perbandingan 30:70 serta air diberikan secara ad libitum. Konsentrat yang digunakan selama penelitian mengandung Total Digestible Nutrien (TDN) berkisar 65,37-66,16% sedangkan kadar protein kasar (PK) berkisar 15,58-16,50%. Secara lengkap komposisi bahan baku ransum yang digunakan tercantum pada Tabel 2, sedangkan kandungan zat makanan ransum penelitian berdasarkan bahan kering tercantum pada Tabel 3.

Tabel 2. Komposisi Bahan Baku Ransum

Bahan Pakan Ransum Penelitian*

Bungkil Kelapa 46,00 50,55 51,60

CaCO3 2,60 2,00 1,00

Garam 0,14 0,14 0,14

Premix 0,14 0,14 0,14

Keterangan: *) Hasil perhitungan berdasarkan NRC (1985)

Pj = Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung Po = Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok

Pj+o = Ransum dengansumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok

Tabel 3. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Berdasarkan Bahan Kering

Keterangan: *) Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB (2010) **) Hasil perhitungan menurut Hartadi et al. (1997)

Pj = Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung Po = Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok

Pj+o = Ransum dengansumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok TDN = Total Digestibility Nutrient, BK = Bahan kering

(28)

15

Metode

Rancangan Percobaan

Desain percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan lima ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah pemberian pakan dengan bahan baku sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok.

Perlakuan

Pj = Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung Po = Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok

Pj+o = Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah : 1)Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan didapatkan dengan cara menghitung selisih pakan yang diberikan dikurangi dengan sisa pakan.

Konsumsi pakan (g) = pemberian (g) - sisa (g)

Konsumsi selama pemeliharaan (g/ekor) Rataan konsumsi pakan (g/ekor/hari) =

Lama penelitian 2)Persentase Kebuntingan

Persentase kebuntingan dihitung dari banyaknya induk yang bunting dibagi dengan jumlah induk yang dikawinkan dalam satu perlakuan dan dinyatakan dalam persen.

Jumlah induk bunting

Persentase kebuntingan = x 100% Jumlah induk yang dikawinkan

3)Jumlah Fetus

(29)

16 4)Jumlah Anak Sekelahiran

Jumlah anak sekelahiran dapat dihitung dari banyaknya anak yang lahir dibagi dengan banyaknya induk yang beranak dalam satu kali kelahiran.

Jumlah anak lahir Jumlah anak sekelahiran =

Induk 5) Mortalitas Fetus

Mortalitas fetus didapatkan dengan cara jumlah anak sekelahiran dibagi dengan jumlah fetus hasil USG dan dinyatakan dalam persen.

6)Lambing Rate

Lambing rate dapat dihitung dari banyaknya anak yang lahir dibagi dengan banyaknya induk yang berhasil bunting setelah dikawinkan dan dinyatakan dalam persen.

Jumlah anak lahir

Lambing rate = x 100% Jumlah induk bunting

7)Rasio Anak Lahir

Rasio anak jantan dan betina dengan tipe kelahiran pada induk diperoleh dengan cara melihat langsung saat induk melahirkan dan hasil yang didapatkan dinyatakan dalam persen.

8)Pertambahan Bobot Badan Induk

Pengukuran pertambahan bobot badan (PBB) induk dilakukan dengan penimbangan ternak per 30 hari dengan menggunakan timbangan gantung kapasitas 50 kg. Penimbangan dilakukan pada pagi hari sebelum ternak diberi pakan.

Bobot akhir – Bobot awal PBB harian (g/ekor/hari) =

(30)

17 9)Bobot Lahir Anak

Bobot lahir anak domba didapatkan dengan cara menimbang anak domba sesaat setelah lahir dalam kurun waktu 24 jam. Bobot yang didapatkan saat penimbangan merupakan data bobot lahir anak.

Total bobot lahir anak dalam satu perlakuan Rataan bobot lahir (kg/ekor) =

Jumlah anak yang lahir dalam satu perlakuan 10)Bobot Sapih Anak

Bobot sapih anak domba didapatkan dengan cara menimbang anak domba saat dipisahkan pemeliharaannya dengan induk. Bobot yang didapatkan saat penimbangan merupakan data bobot sapih anak. Anak domba pada penelitian ini di sapih saat umur 56 hari.

Total bobot sapih anak dalam satu perlakuan Rataan bobot sapih (kg/ekor) =

Jumlah anak yang disapih dalam satu perlakuan 11)Pertambahan Bobot Badan Anak

Pertambahan bobot badan (PBB) anak domba dapat diketahui dengan cara melakukan penimbangan bobot hidup.

PBB (kg/ekor) = BB sapih – BB lahir

Bobot sapih – Bobot lahir (g/ekor) Pertambahan bobot badan (g/ekor/hari) =

Lama pemeliharaan anak 12)Produksi Susu Induk

Produksi susu induk pada penelitian ini didapatkan dengan cara melakukan perhitungan antara pertambahan bobot badan anak dikalikan enem, hasil yang didapatkan merupakan prediksi produksi susu induk. Dove (1988) menyatakan bahwa untuk menghasilkan 1 kg pertambahan bobot badan anak, anak domba perlu mengkonsumsi susu sebanyak 6 kg.

(31)

18

Prosedur Penelitian

Pemeliharaan

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan sehingga tidak dilakukan preliminary lagi. Pemeliharaan induk pada penelitian ini dilakukan selama tiga bulan

akhir kebuntingan hingga dua bulan laktasi. Domba yang tidak bunting tetap dilakukan pengamatan hingga berakhirnya masa penelitian untuk mengetahui rataan konsumsi selama penelitian. Domba yang akan digunakan ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui bobot awal pemeliharaan. Pemberian pakan dilakukan pada pagi dan sore hari. Pagi hari pemberian pakan sekitar pukul 08:00 WIB, diawali dengan pemberian konsentrat sebanyak setengah bagian dari kebutuhan harian domba lalu satu jam kemudian diberikan hijauan. Sore hari dilakukan pemberian konsentrat pada pukul 14:00 WIB dan hijauan sekitar pukul 15:00 WIB.

Penimbangan Bobot Badan Induk dan Anak

Penimbangan bobot badan dilakukan untuk mengetahui pertambahan bobot badan induk dan anak. Penimbangan bobot badan induk dilakukan per 30 hari sedangkan pertambahan bobot badan anak dilakukan per 14 hari hingga sapih. Penimbangan bobot badan dilakukan pada pagi hari sebelum ternak diberi pakan.

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan lima ulangan. Model matematik yang digunakan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) sebagai berikut:

Yij =  + Pi + ij

Keterangan :

Yij = Nilai respon dari perlakuan i dengan ulangan j  = Rataan umum pengamatan

Pi = Pengaruh pemberian ransum (i = 1, 2, 3)

ij = Pengaruh galat ransum ke-i dan ulangan ke-j (j = 1, 2, 3, 4,5)

(32)

19 Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Analyses of Variance, ANOVA) dan jika terdapat perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Ortogonal Kontras.

(33)

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Bahan Kering Ransum

Konsumsi bahan kering induk tidak bunting, bunting dan laktasi tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Konsumsi Bahan Kering Domba Induk

Peubah Perlakuan

(g/e/h) 279,04±34,73 307,95±16,76 344,59±46,57 310,53±33,79 Konsumsi BK Ransum

184,38±9,12A 153,24±6,67B 172,28±7,80

Konsumsi BK Konsentrat Keterangan : 1) Pj : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung

Po : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok

Pj+o : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok 2)

(34)

21 Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan secara umum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap keseluruhan data konsumsi, namun berpengaruh secara nyata (P<0,05) terhadap konsumsi hijauan induk laktasi.

Konsumsi induk tidak bunting pada penelitian ini tetap diamati untuk mengetahui rata-rata konsumsi induk tidak bunting hingga berakhirnya masa penelitian. Induk tidak bunting terdapat dua data yaitu Pj dan Pj+o, karena Po mencapai persentase kebuntingan 100%. Rataan konsumsi bahan kering induk tidak bunting yaitu 464,59 g/ekor/hari, konsumsi berdasarkan bobot badan metabolis yaitu 44,08 g/kg BB0,75 dan berdasarkan persen bobot badan yaitu 2,01% BB. Konsumsi bahan kering berdasarkan NRC (2006) dengan bobot badan 20 kg yaitu 400 g/ekor. Rata-rata konsumsi bahan kering induk tidak bunting pada penelitian lebih baik dari yang disarankan NRC (2006).

Konsumsi bahan kering induk bunting Pj, Po dan Pj+o yaitu 457,75; 482,00 dan 507,95 g/ekor/hari dengan rata-rata konsumsi bahan kering induk bunting yaitu 482,57 g/ekor/hari atau 44,28 g/kg BB0,75 berdasarkan bobot badan metabolis dan 2,30% BB. NRC (2006) menyatakan bahwa domba dengan bobot badan 20-30 kg membutuhkan bahan kering berkisar 3% dari bobot badannya yaitu 600 g/ekor/hari. Rata-rata konsumsi berdasarkan bobot badan metabolis dan persen bobot badan pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan Mathius (1996) yang menyatakan bahwa domba bunting mengkonsumsi pellet yaitu 63,85 g/kgBB0,75 dan Kearl (1982) menyatakan bahwa domba yang sedang bunting dapat mengkonsumsi bahan kering sebesar 3,3% BB.

Konsumsi bahan kering induk laktasi Pj, Po dan Pj+o yaitu 516,77; 549,03 dan 549,91 g/ekor/hari dengan rata-rata konsumsi bahan kering 538,57 atau 51,59 g/kg BB0,75 berdasarkan bobot badan metabolis atau 2,38% BB. Mathius (1996) dalam penelitiannya dengan induk mengkonsumsi pellet saat laktasi yaitu sebesar 69,63 g/kg BB0,75. Kearl (1982) yang menyatakan bahwa domba laktasi dapat mengkonsumsi bahan kering sebesar 5% BB.

(35)

22 menyatakan konsumsi hijauan pada kambing PE yang memperoleh konsentrat Suplemen Blok (KSB) mampu mengkonsumsi hijauan melebihi yang tidak diberi KSB. Konsentrat dan suplemen merupakan sumber protein (non protein nitrogen), energi, mineral dan dapat meningkatkan konsumsi zat-zat makanan dari pakan yang berserat kasar tinggi (Rukmana, 2005).

Pola Konsumsi Bahan Kering Ransum

Pola konsumsi bahan kering ransum induk tiga bulan akhir kebuntingan dan dua bulan laktasi tercantum pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik Rataan Konsumsi Bahan Kering Induk Tiga Bulan Akhir Kebuntingan dan Dua Bulan Laktasi

(36)

23 Rata-rata konsumsi bahan kering induk laktasi meningkat cukup tinggi. Konsumsi induk meningkat diduga karena induk membutuhkan energi yang tinggi pasca melahirkan yang digunakan untuk pemulihan kondisi pasca melahirkan dan untuk produksi susu. Forbes (2007) menyatakan bahwa konsumi induk meningkat setelah beranak disebabkan produksi susu yang tinggi serta volume perut yang lebih besar karena tidak adanya fetus.

Penampilan Reproduksi Domba Induk

Penampilan reproduksi domba induk yang mendapat ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok tercantum pada Tabel 5.

Tabel 5. Penampilan Reproduksi Domba Induk

Peubah Perlakuan Rataan

Pj Po Pj+o

Jumlah Induk Awal (ekor) 5,00 5,00 5,00 5,00 Berdasarkan USG1)

Jumlah Induk Bunting1) (ekor) 2,00 5,00 3,00 3,33 Jumlah Induk Bunting (%) 40 100 60 60,67 Jumlah Fetus1)

Total (ekor) 6,00 9,00 6,00 7,00 Rata-rata/Induk (ekor) 3,00 1,80 2,00 2,27 Jumlah Anak Lahir:

Total 1,00 6,00 3,00 3,33

Rata-rata/Induk 0,50 1,20 1,00 0,90 Mortalitas Fetus (%) 83,33 33,33 50 55,56

Lambing Rate (%) 50 120 100 90,00

Rasio Anak Lahir (%)

Jantan:Betina 100:0 67:33 67:33 78:22 Tunggal:Kembar 100:0 50:50 100:0 83:17 Keterangan : Pj : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung

Po : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok

Pj+o : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok 1)

(37)

24

Persentase Kebuntingan

Keberhasilan kebuntingan seekor induk adalah saat terjadinya pertumbuhan fetus di dalam perut induk setelah dilakukan proses perkawinan dan berhasil dipertahankan hingga lahir. Jumlah induk yang digunakan pada penelitian ini lima ekor per perlakuan, dengan keberhasilan kebuntingan yang bervariasi antar perlakuan. Jumlah induk yang bunting dalam penelitian ini mengacu pada Sitepu (2010) dengan menggunakan induk dan perlakuan yang sama. Jumlah induk yang bunting diketahui dengan cara melakukan pengecekan dengan menggunakan alat USG (Ultra Sonografi) dengan sistem trans rektal yang dilakukan sekitar satu bulan umur kebuntingan.

Secara deskriptif diketahui bahwa persentase kebuntingan dengan pemberian ransum sumber karbohidrat yang berasal dari onggok lebih baik bila dibandingkan dengan ransum sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan kombinasi keduanya. Persentase kebuntingan Pj, Po dan Pj+o masing-masing yaitu 40, 100 dan 60%. Tingkat keberhasilan kebuntingan pada ransum Po yang lebih baik diduga karena konsumsi induk Po lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain pada saat sebelum kawin. Rata-rata konsumsi Pj, Po dan Pj+o masing-masing yaitu 477,70, 497,66 dan 477,76 g/ekor/hari (Sitepu, 2010). Konsumsi pakan induk sebelum bunting diduga berpengaruh terhadap reproduksi salah satunya adalah tingkat ovulasi. Konsumsi ransum berpengaruh pada tingkat ovulasi dimana pemberian pakan sebelum atau sesudah kawin (flushing) dapat meningkatkan tingkat ovulasi dan kesuburan ternak (Docic dan Bilkei, 2001). Teknologi flushing dapat meningkatkan pertumbuhan folikel (Docic dan Bilkei, 2001), dengan pertumbuhan folikel yang meningkat maka akan semakin meningkatkan laju ovulasi, dengan tingkat ovulasi yang tinggi maka keberhasilan kebuntingan pun akan tinggi (Sumaryadi dan Wasman, 1996).

(38)

25 tergolong karbohidrat mudah terpakai (RAC) (Sumangkut et al., 1976). Kandungan karbohidrat yang mudah terpakai pada onggok diduga mempunyai peranan besar ketika masa ovulasi pada induk.

Jumlah Fetus

Jumlah fetus dalam penelitian ini mengacu pada Sitepu (2010). Jumlah fetus pada Po memperlihatkan nilai rata-rata lebih baik bila dibandingkan dengan Pj dan Po+j. Rata-rata jumlah fetus Pj, Po dan Pj+o masing-masing yaitu 6,00, 9,00 dan 6,00 ekor. Banyaknya jumlah fetus pada Po dibandingkan dengan perlakuan yang lain, diduga saat ovulasi hingga terbentuk fetus induk membutuhkan pakan yang tinggi. Kebutuhan akan pakan yang tinggi oleh induk dapat dipenuhi oleh konsumsi. Rata-rata konsumsi induk Po sebelum bunting hingga saat awal kebuntingan lebih tinggi bila dibandingkan dengan Pj dan Pj+o. Konsumsi induk pada saat sebelum bunting yaitu 497,66 g/ekor/hari, sedangkan saat awal kebuntingan yaitu 542,02 g/ekor/hari (Sitepu, 2010). Rata-rata jumlah fetus pada penelitian ini adalah 2,27 ekor/induk. Hasil yang didapatkan lebih baik bila dibandingkan dengan Mathius (1996) yang memberikan energi dan protein kepada domba selama bunting menghasilkan rata-rata jumlah fetus sebesar 1,6 ekor/induk. Hasil yang didapatkan memberikan gambaran bahwa flushing dapat meningkatkan jumlah fetus.

Jumlah Anak Sekelahiran

Jumlah anak yang lahir pada Pj, Po dan Pj+o masing-masing yaitu 1,00, 6,00 dan 3,00 ekor, dengan rata-rata jumlah anak yang lahir yaitu 3,33 ekor. Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan pada penelitian ini lebih baik bila dibandingkan dengan hasil penelitian Jurmuji (2008) dan Harahap (2008) dengan menggunakan induk domba Jonggol berumur satu tahun yang dipelihara secara ekstensif masing-masing yaitu 1,3 ekor dan 1,15 ekor.

Mortalitas Fetus

(39)

26 sehingga membutuhkan kerangka C untuk dapat menangkap kandungan NH3 yang

tinggi. Jagung sebagai bahan pakan sumber karbohidrat non struktural yang lambat terdegradasi di dalam rumen sedikit mengandung kerangka C yang dapat menangkap NH3 sehingga akan berdampak terhadap kematian fetus didalam kandungan.

Abortus pada induk berdampak juga terhadap persentase mortalitas fetus yang cukup tinggi pada penelitian ini. Abortus pada induk yang terjadi pada penelitian ini bukan disebabkan karena perlakuan, abortus diduga karena induk yang digunakan belum dapat menampung fetus lebih dari satu didalam kandungan. Fetus yang keluar saat induk abortus dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Fetus yang Mati saat Abortus

Induk yang digunakan pada penelitian ini merupakan induk-induk primipara (beranak pertama kali). Induk primipara cenderung tidak mampu mempertahankan kandungan dengan jumlah fetus lebih dari satu. Hasil yang didapatkan sesuai dengan pernyataan Inounu (1993), induk primipara cenderung tidak mampu mempertahankan anak lebih dari satu dan menghasilkan bobot lahir lebih rendah bila dibandingkan dengan induk yang telah beranak dua kali. Abortus pada penelitian ini menyebabkan kematian pada induk. Kematian pada induk bukan disebabkan oleh perlakuan, melainkan induk setelah abortus mengalami infeksi sistemik sehingga menimbulkan kerusakan di organ- organ vital (Hasil Pemeriksaan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, 2010).

Lambing Rate

(40)

27 yaitu 90%. Hasil yang didapatkan lebih rendah bila dibandingkan dengan Frimawaty (1998) dengan menggunakan domba ekor tipis yang mendapat perbaikan pakan memiliki nilai lambing rate mencapai 120%.

Rasio Anak Lahir

Rasio anak jantan dan betina dengan induk yang mendapatkan ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok pada penelitian ini bervariasi antar perlakuan. Rasio anak jantan dan betina pada Pj, Po dan Pj+o adalah 100:0; 67:33 dan 67:33%. Rataan rasio anak jantan dan betina pada penelitian ini adalah 78:22%. Saputra (2008) dalam penelitiannya dengan menggunakan induk domba Jonggol berumur satu tahun melaporkan bahwa rasio kelahiran anak jantan dan betina adalah 39:61%. Hasil yang didapatkan memberikan gambaran bahwa ransum yang diberikan dapat meningkatkan jumlah anak jantan yang dilahirkan.

Tipe kelahiran anak terdiri dari tipe kelahiran tunggal dan kembar. Seekor induk mampu melahirkan satu, dua, bahkan tiga dalam satu kali kelahiran. Rata-rata rasio anak tunggal dan kembar pada penelitian ini yaitu 83:17%. Rasio kelahiran anak kembar pada penelitian ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan kelahiran tunggal. Hal tersebut diduga karena umur induk yang digunakan pada penelitian ini. Konig et al. (2006) menyatakan bahwa kelahiran anak kembar dipengaruhi oleh umur induk domba. Induk domba dengan umur satu tahun memiliki kemungkinan menghasilkan anak kembar yaitu 10%. Induk domba dengan umur 2 sampai dengan 3 tahun memiliki kemungkinan melahirkan anak kembar 40-50%.

Penampilan Produksi Domba Induk

Pertambahan Bobot Badan Induk

(41)

28 Tabel 6. Rataan Pertambahan Bobot Badan Induk Bunting dan Laktasi

Peubah

Perlakuan

Rataan

Pj Po Pj+o

(n=2) (n=5) (n=3)

BB Awal (kg/ekor) 20,25±1,77 19,4±1,19 20,17±1,15 19,94±0,34 BB Sesaat Setelah PBB Bunting (g/e/h) 19,44 40,00±2,35 166,67±1,04 38,33±0,92 BB Saat Sapih (Kg/ekor) 21 22,00±2,35 19,33±7,01 20,78±3,30 PBB Selama Laktasi

(g/e/h) -17,86 -17,86±1,08 -104,29±7,11 -46,61±4,27 Keterangan : Pj : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung

Po : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok

Pj+o : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok

Robinson (1986) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan induk domba saat bunting selain dipengaruhi oleh konsumsi juga dipengaruhi oleh jumlah fetus yang terdapat di dalam kandungan.

Rata-rata pertambahan bobot badan induk bunting pada penelitian ini yaitu 38,33 g/ekor/hari. Wardhani (2006) dalam penelitiannya dengan induk digembalakan dipadang rumput Brachiaria Humidicola yang mendapat pakan tambahan dedak padi dan Saputra (2008) dengan induk dipelihara secara ekstensif tanpa mendapatkan pakan tambahan memiliki rata-rata pertambahan bobot badan 47 dan 69,9 g/ekor/hari.

Penurunan bobot badan induk laktasi Pj, Po dan Pj+o masingmasing yaitu -17,86, -17,86 dan -104,29 g/ekor/hari. Rata-rata penurunan bobot badan induk domba pada penelitian ini yaitu -46,61 g/ekor/hari. Penurunan bobot badan induk laktasi diduga karena pakan yang dikonsumsi oleh induk belum dapat memenuhi kebutuhan pada saat laktasi. Saat bulan pertama laktasi induk membutuhkan nutrisi yang tinggi (NRC, 2006). Kebutuhan nutrisi yang tinggi tidak dapat dicukupi oleh konsumsi pakan yang diberikan sehingga terjadi mobilisasi lemak, dan akan berdampak terhadap kehilangan bobot badan selama awal laktasi (Mathius, 1996).

Pola Pertambahan Bobot Badan Induk

(42)

29 Gambar 5. Grafik Rataan Pertambahan Bobot Badan Induk Tiga Bulan Akhir

Kebuntingan dan Dua Bulan Laktasi

Secara umum Gambar 5, memperlihatkan rata-rata bobot badan induk yang menurun seiring meningkatnya umur kebuntingan, penurunan bobot badan secara drastis pada bulan pertama laktasi dan naik kembali pada bulan kedua laktasi.

Induk yang mendapatkan ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung, mulai bulan ke-3 hingga bulan ke-1 laktasi terjadi penurunan bobot badan dan bobot badan naik kembali pada bulan ke-2 laktasi. Induk yang mendapat ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok mengalami peningkatan pertambahan bobot badan dari tiga bulan umur kebuntingan ke-4 bulan umur kebuntingan (2,5 kg/ekor menjadi 2,56 kg/ekor). Selanjutnya menurun pada bulan ke-5 (beranak). Penurunan bobot badan terjadi setelah domba beranak hingga bulan ke-1 laktasi, kemudian kembali meningkat hingga bulan ke-2 laktasi. Penurunan bobot badan pada bulan ke-1 laktasi mencapai -0,75 kg/ekor dan meningkat kembali hingga 1,13 kg/ekor pada bulan ke-2 laktasi.

(43)

30 (beranak) adalah 0,28 kg/ekor dan terus menurun hingga -1,12 kg/ekor pada laktasi ke-1 dan meningkat kembali sebesar 1,48 pada laktasi ke-2.

Pertambahan bobot badan induk menurun seiring meningkatnya umur kebuntingan, hal tersebut disebabkan kapasitas rongga perut untuk menampung pakan mengecil akibat dari bertambah besarnya fetus (Forbes, 2007). Bulan pertama laktasi terjadi penurunan bobot badan yang drastis, hal tersebut disebabkan terjadi aliran metabolit darah yang cepat yang digunakan untuk produksi susu, namun konsumsi pakan induk tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut sehingga terjadi mobilisasi cadangan lemak tubuh oleh induk untuk produksi susu (Mathius, 1996; Forbes, 2007). Pertambahan bobot badan induk akan meningkat setelah puncak laktasi karena produksi susu semakin menurun, sehingga nutrisi yang ada digunakan untuk pertambahan bobot badan induk (Freer dan Dove, 2002).

Penampilan Produksi Anak

Penampilan produksi anak domba Jonggol umur 0-28 dengan induk mendapatkan ransum sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok tercantum pada Tabel 7.

Tabel 7. Penampilan Produksi Anak Domba Jonggol Umur 0-28 Hari

Peubah Perlakuan Rataan

(g/e/h) 151,79 179,73±8,09 156,90±30,10 162,81±19,10 Produksi Susu

Hari Ke 0-28 (g/e/h) 910,71 1078,39±48,53 941,43±180,63 976,85±114,58 Keterangan : Pj : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung

Po : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok

Pj+o : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok

Bobot Lahir

(44)

31 lebih tinggi bila dibandingkan dengan Harahap (2008) dalam penelitiannya terhadap domba Jonggol berumur satu tahun dengan induk digembalakan di padang rumput Brachiaria humidicola yaitu sebesar 1,82 kg/ekor. Inounu (1996) dan Tiesnamurti

(2002) menyatakan bahwa bobot lahir domba Priangan masing-masing adalah 3,4 kg dan 2,39 kg. Setyawati (2000) melaporkan bahwa bobot lahir domba Garut yaitu 1,56 kg.

Pertambahan Bobot Badan Anak Umur 0-28 dan 28-56 Hari

Perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan anak umur 0-28 dan 28-56 hari. Rata-rata pertambahan bobot badan anak umur 0-28 hari (162,81 g/ekor/hari) lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak umur 28-56 hari (127,28 g/ekor/hari). Hal tersebut disebabkan produksi susu induk 0-28 hari (976,85 g/ekor/hari) lebih tinggi bila dibandingkan dengan 28-56 hari (763,69 g/ekor/hari). Dove (1988) menyatakan bahwa untuk membentuk 1 kg bobot badan, anak domba membutuhkan konsumsi susu sebanyak 6 kg. Pertambahan bobot badan anak domba Jonggol pada penelitian ini lebih baik bila dibandingkan dengan Saputra (2008) dalam penelitiannya dengan menggunakan domba Jonggol berumur satu tahun dengan induk digembalakan di padang rumput Brachiaria humidicola yaitu sebesar 41,7 g/ekor/hari.

Bobot Sapih (Hari Ke 56)

(45)

32 Tabel 8. Penampilan Produksi Anak Domba Jonggol Umur 28-56 Hari

Peubah Perlakuan Rataan

(kg/ekor) 10,50 11,25±1,19 10,90±0,66 10,88±0,92 PBB Hari Ke 28-56

(g/e/h) 121,43 122,32±37,16 138,10±39,50 127,28±38,33 Produksi Susu Hari

Ke 28-56 (g/e/h) 728,57 733,93±222,95 828,57±237,01 763,69±229,98 Keterangan : Pj : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung

Po : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok

Pj+o : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok

Produksi Susu Hari Ke 0-28 dan 28-56

Perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap produksi susu induk 0-28 dan 28-56 hari. Produksi susu induk 0-28 dan 28-56 hari masing-masing yaitu 976,85 dan 763,69 g/ekor/hari. Produksi susu pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan Raharjo (2008) dalam penelitiannya yang melaporkan bahwa produksi susu domba Jonggol yang digembalakan dengan mendapat pakan tambahan dedak halus adalah 355,29 g/ekor/hari. Grafik produksi susu induk tercantum pada Gambar 6.

(46)

33 Hasil yang lebih baik diduga karena perbedaan pakan yang diberikan. Induk dalam penelitian ini mendapatkan pakan tambahan berupa konsentrat dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok, sementara pada penelitian Raharjo (2008) induk digembalakan dan mendapat pakan tambahan dedak halus. Kuantitas, kualitas pakan dan perkembangan ambing mempengaruhi pola produksi susu (Sudjatmogo, 1998).

Gambar 6 memperlihatkan, rata-rata produksi susu antar perlakuan bervariasi hingga sapih. Produksi susu Pj dan Po mencapai puncak laktasi saat minggu ke-2 (14 hari). Setelah mencapai puncak laktasi pada minggu ke-2 produksi susu induk menurun terus hingga laktasi minggu ke-8 (56 hari). Hasil yang berbeda terjadi pada Pj+o, puncak laktasi terjadi pada minggu ke-4 kemudian menurun secara perlahan hingga minggu ke-8. Puncak laktasi terjadi pada awal laktasi yaitu hari ke-35 laktasi (Frimawaty, 1998) atau sekitar minggu ke-3 sampai 4 laktasi (Poli, 1998). Induk domba yang mendapatkan pakan dengan kualitas yang baik akan mencapai puncak laktasi lebih lambat bila dibandingkan dengan induk domba yang mendapatkan pakan dengan kualitas yang lebih rendah (Poli, 1998).

Kematian Anak Sampai Sapih

Kematian anak setelah dilahirkan sampai dengan sapih pada penelitian ini tidak ada. Hasil yang didapatkan memberikan gambaran bahwa pemberian pakan percobaan dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok dapat memenuhi kebutuhan induk bunting dan laktasi. Inounu et al. (1993) menyatakan bahwa untuk mendapatkan daya tahan hidup yang tinggi maka anak domba yang dilahirkan harus memiliki bobot lahir 1,5 kg. Sementara bobot lahir yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dari yang disarankan, yaitu berkisar 2,64-2,85 kg/ekor dengan rata-rata bobot lahir 2,79 kg/ekor.

Pola Pertumbuhan Anak

(47)

34 Gambar 7. Grafik Pola Pertumbuhan Anak

Secara umum Gambar 7 memperlihatkan, rataan pertambahan bobot badan anak Pj menurun pada minggu ke-4 kemudian naik kembali pada minggu ke-6 dan kembali turun saat sapih (minggu ke-8). Hasil yang berbeda pada anak dengan induk mengkonsumsi ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok (Po), selalu terjadi penurunan bobot badan saat minggu ke-2 sampai dengan sapih (minggu ke-8). Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok memperlihatkan hasil yang berbeda dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Rata-rata pertambahan bobot badan anak naik pada minggu ke-4 kemudian menurun hingga sapih (minggu ke-8). Pertumbuhan anak sampai dengan sapih sangat tergantung dari produksi susu induk. Freer dan Dove (2002) menyatakan bahwa kebutuhan nutrisi anak hanya dipenuhi oleh susu yang dihasilkan oleh induknya. Dilihat dari Gambar 7, setelah minggu ke-4 semua perlakuan mengalami penurunan bobot badan hingga sapih (minggu ke-8), karena pada saat minggu ke-5 anak telah menunjukkan kemampuan untuk mengkonsumsi pakan induk dan produksi susu induk berangsur menurun.

Hubungan Bobot Lahir dengan Bobot Sapih

(48)

35 bobot lahir yang tinggi akan menghasilkan bobot sapih yang tinggi. Korelasi antara bobot lahir dengan bobot sapih pada penelitian ini disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Grafik Analisis Regresi dan Korelasi Bobot Lahir Anak dengan Bobot Sapih Anak

Nilai korelasi yang dihasilkan antara bobot lahir dengan bobot sapih pada penelitian ini adalah 0,873. Nilai tersebut menunjukkan korelasi yang positif antara bobot lahir dengan bobot sapih. Laidding (1996) menyatakan bahwa korelasi positif berarti peningkatan suatu sifat menyebabkan sifat lain meningkat sedangkan korelasi negatif berarti peningkatan suatu sifat menyebabkan sifat lain menurun. Saputra (2008) dalam penelitiannya dengan menggunakan induk domba Jonggol yang digembalakan di padang rumput Brachiaria humidicola melaporkan bahwa ada korelasi yang positif antara bobot lahir dengan bobot sapih dengan nilai 0,672.

Hubungan Produksi Susu 0-28 Hari dengan Bobot Badan Anak Hari Ke-28

(49)

36 Gambar 9. Grafik Analisis Regresi dan Korelasi Produksi Susu 28 Hari dengan

Bobot Badan Anak Hari Ke-28

Hubungan Bobot Lahir dan Bobot Sapih dengan Tipe Kelahiran

Tipe kelahiran pada induk akan berpengaruh terhadap bobot lahir anak yang dihasilkan. Wisnuwardani (2000), Dudi (2002) dan Inounu et al. (1999) menyatakan bahwa tipe kelahiran pada induk mempengaruhi bobot lahir anak. Grafik pertumbuhan anak berdasarkan tipe kelahiran disajikan pada Gambar 10.

(50)

37 Secara umum Gambar 10, memperlihatkan, rata-rata bobot lahir dan bobot sapih anak tunggal lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak kembar. Bobot lahir anak tunggal dan kembar masing-masing yaitu 2,60 dan 1,55 kg/ekor, sedangkan bobot sapih anak tunggal dan kembar masing-masing yaitu 10,28 dan 6,12 kg/ekor. Perbedaan bobot lahir diduga karena terbatasnya volume uterus induk, sehingga bila dalam uterus terdapat lebih dari satu fetus maka calon anak tersebut pertumbuhannya akan terganggu karena harus berdesak-desakan dalam uterus yang sempit, dibandingkan jika anak tersebut dilahirkan tunggal (Triwulaningsih, 1986).

Harahap (2008) dalam penelitiannya menggunakan induk domba Jonggol berumur satu tahun, yang digembalakan di padang rumput Brachiaria humidicola, memiliki rata-rata bobot lahir anak tunggal dan kembar masing-masing yaitu 1,82 dan 1,86 kg/ekor, sedangkan bobot sapihnya masing-masing yaitu 5,59 dan 5,01 kg/ekor. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa pemberian ransum untuk induk dapat memperbaiki bobot lahir anak tunggal, namun belum dapat memperbaiki rataan bobot lahir anak kembar.

Hubungan Bobot Lahir dan Bobot Sapih dengan Jenis Kelamin

Jenis kelamin pada anak berpengaruh terhadap bobot lahir dan bobot sapih anak yang dihasilkan. Grafik pertumbuhan anak berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Grafik Pertumbuhan Anak Berdasarkan Jenis Kelamin

(51)

38 Secara umum Gambar 11, memperlihatkan rata-rata bobot lahir dan bobot sapih anak jantan lebih tinggi bila dibandingkan dengan betina. Bobot lahir anak jantan dan betina masing-masing yaitu 2,43 dan 2,02 kg/ekor, sedangkan bobot sapihnya masing-masing yaitu 9,18 dan 2,25 kg/ekor. Baliarti (1981) melaporkan bahwa anak domba jantan memiliki berat sapih lebih tinggi dibandingkan anak domba betina. Hal ini terkait dengan kerja hormon testosteron terhadap laju pertumbuhan sel otot dan aktivitas yang lebih tinggi untuk merangsang pertumbuhan tulang, domba jantan diduga juga lebih superior dalam mendapatkan air susu dibanding domba betina.

(52)

39

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Secara umum penampilan reproduksi yang meliputi persentase kebuntingan, jumlah fetus, jumlah anak sekelahiran, lambing rate, rasio anak jantan:betina dan tipe kelahiran tunggal:kembar dari induk yang mengkonsumsi ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok cenderung lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

Pemberian ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok pada induk memberikan pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan anak.

Onggok dapat digunakan sebagai bahan pakan alternatif pengganti jagung dalam ransum domba.

Saran

(53)

40

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillaahirabbil ‘aalamiin. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas

segala limpahan nikmat, kasih sayang, dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang teramat besar kepada Bapak Teguh dan Ibu Tutik tercinta atas segala kasih sayang, dukungan, motivasi, dan doa yang diberikan selama ini. Adik laki-laki Tristan H. S. dan adik perempuan Sinta R. yang selalu menemani untuk menghilangkan kejenuhan selama penulisan dan mendengarkan semua cerita penulis. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada keluarga besar R. Reso Dimedjo dan Sarwono atas dukungan, motivasi dan doa yang diberikan selama ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ir. Lilis Khotijah, M.Si selaku pembimbing akademik dan pembimbing penelitian atas bimbingan, motivasi, pelajaran hidup dan perhatian serta Ir. Kukuh Budi Satoto, MS selaku pembimbing anggota atas bimbingan, perhatian, dan kesabarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria, M.Sc Agr selaku dosen pembahas seminar, dosen penguji sidang Dr. Ir. Moh. Yamin, M.Agr. Sc., Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc. dan Dr. Sri Suharti, S.Pt, M.Si selaku panitian siding yang telah banyak memberi saran dan masukan kepada penulis.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Asep S. atas bantuannya selama penelitian di Laboratorium lapang. Jasiska K., Wahyu I., Achmad M., dan Yulianry R. Y. atas kerjasama dalam satu team penelitian. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman INTP 44, Maulani B. S., Intan J., Julia S., Wahyu R. U., Ardya A. S., Juanda S., Rabiah A. S., Aristya W., Triyana E., Faris S., Anggun M. J., Fatmiati H. dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak atas bantuan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

(54)

41

DAFTAR PUSTAKA

Baliarti, E. 1981. Rata-rata berat lahir, berat sapih dan pertambahan bobot badan anak domba yang dipelihara secara tradisional. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Bourdon, R. M. 2000. Understanding Animal Breeding. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.

Capuco, A. V., S. E Ellis, S. A. Hele, E. Long, R. A. Erdman, X. Zhao, & M. J. Paape. 2003. Lactation persistency: Insight from mammary cell proliferation studies. J. Amin. Sci. 81: 18-31.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Buku Statistik Peternakan. Departemen Pertanian RI. ISBN. 979-628-010-8, Jakarta.

Docic, A., & Bilkei G. 2001. The effect of short term high feed intake on the onset of puberty in transported gilts. J Swine Health Prod.;9(1): 25–27.

Dove, H. 1988. Estimating the intake of milk by lambs, from the turn over of deuterium- or tritium-labelled water. J. British of Nutrition 60: 375-387. Dixon, A. B., M. Knights, J. L. Winkler, D. J. Marsh, J. L. Pate, M. E. Wilson, R. A.

Dailey, G. Seidel, & E. K. Inskeep. 2007. Patterns of late embryonic and fetal mortality and association withseveral factors in sheep. J. Anim. Sci. 85: 1274-1284.

Dudi. 2003. Pendugaan nilai pemuliaan bobot badan pra sapih domba Priangan yang menggunakan model direct additive genetic effect, maternal genetic effect dan lingkungan bersama serta model catatan berulang. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ensminger. 1980. Animal Science. 7th Ed. The Interstate Printers and Publisher, Inc. Denville. Illinois.

FAO. 2002. Conserving and Developing Farm Animal Diversity. Secretariat of The Report on The State of The World’s Animal Genetic Resource, Rome.

Forbes, J. M. 2007. Voluntary Feed Intake and Diet Selection In Farm Animal. Ed: 2nd. CABI Publishing.

Freer, M., & H. Dove. 2002. Sheep nutrition. CABI Publishing, Australia.

Frimawaty, E. 1998. Pengaruh superovulasi dan perbaikan pakan terhadap aktivitas enzim sintetase laktosa kelenjar ambing dan produksi susu pada domba ekor tipis. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Freer, M., & H. Dove. 2002. Sheep nutrition. CABI Publishing, Australia.

Gatenby, R. M. 1991. Sheep the Tropical Agriculturalist. McMillan Education Ltd, London.

Gambar

Gambar 1. Domba Priangan atau Domba Garut (Mulyono, 2005)
Tabel 1. Kebutukan Zat Makanan Domba
Tabel 3. Tabel 2. Komposisi Bahan Baku Ransum
Tabel 4. Rataan Konsumsi Bahan Kering Domba Induk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Key word: patchouli oil, patchouli alcohol, synthesis organonitrogen compound, Ritter 27.. reaction, toxicity

3.2.4 Melalui kegiatan diskusi lompok, siswa dapat menjelaskan perubahan masyarakat Indonesia pada masa Praaksara dalam aspek proses transaksi perdagangan yang

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Kuatnya pengaruh angin muson dapat dilihat dalam bentuk aliran massa air pada lapisan permukaan ke arah tenggara di sepanjang pantai barat daya Sumatera dan ke arah

Oleh karena itu, dalam hal terdapat hubungan hukum dengan pihak asuransi lain (swasta) dalam kasus kecelakaan di jalan raya, korban (asumsi bahwa korban merupakan pemegang

Citra perempuan hingga saat ini memang masih berkisar pada wilayah subordinat dibanding lelaki. Stereotip yang telah terpatri dalam perempuan inilah yang lambat

Dalam penelitian ini akan dilakukan optimasi pengukuran spektrum vibrasi sampel protein menggunakan spektroskopi Fourier Transform Infrared mode transmisi FT-IR

Rule yang dipilih bisa lebih dari satu sesuai dengan karakteristik data yang akan diterapkan topology.. Lihat ilustrasi