• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Sifat dan Karaterisasi Fisik Nanopartikel Sambung Silang

2.7.1 Analisis Spektrum FT-IR

FTIR (Fourier Transform Infrared) merupakan metode analisis dengan memanfaatkan spektroskopi sinar inframerah yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kandungan gugus kompleks pada senyawa dengan melihat ikatan-ikatan yang dihasilkan. Pada FTIR radiasi inframerah ditembakkan pada sampel. Sebagian dari radiasi inframerah diserap oleh sampel dan sebagian lainnya diteruskan. Frekuensi dari suatu vibrasi akan menentukan spektrum yang dihasilkan dengan penggambaran transmitan. Dari spektrum inilah dilihat ikatan-ikatan apa saja yang berubah maupun yang dihasilkan dari sampel (Harahap, 2012).

Gambar 2.5 Spektrum IR sambung silang pektin dengan ZnO.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.7.2 Persen Efisiensi Penjerapan

Istilah efisiensi penjerapan berhubungan dengan jumlah obat yang terkandung dalam nanopartikel. Kandungan obat menyatakan persen berat bahan aktif terjerap dengan berat nanopartikel, sedangkan efisiensi penjerapan adalah rasio persentase eksperimen dari jumlah obat yang ditentukan dibanding dengan jumlah obat yang diberikan, atau massa teoritis obat yang digunakan untuk penyusunan nanopartikel (Kharia, Singhai, & Verma, 2012).

Efisiensi penjerapan bergantung pada kombinasi obat polimer dan metode yang digunakan. Polimer hidrofobik menjerap jumlah yang lebih besar dari obat hidrofobik, sedangkan polimer hidrofilik menjerap jumlah yang lebih besar dari obat yang lebih hidrofilik. Beberapa parameter formulasi, seperti jenis emulsifier, rasio berat polimer terhadap obat, dan rasio organik fase berair, akan mempengaruhi tingkat muatan obat (Kharia, Singhai, & Verma, 2012).

2.7.3 Ukuran Partikel dan Indeks Polidispersitas

Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel merupakan faktor penting dalam nanopartikel, di mana nanopartikel dengan distribusi ukuran partikel luas menunjukkan variasi yang signifikan dalam pemuatan dan pelepasan obat, bioavailabilitas, serta efikasi (Kharia, Singhai, & Verma, 2012). Menurut Jonassen (2014), suatu partikel dapat disebut nanopartikel jika memiliki kisaran ukuran 10-1000 nm.

Indeks polidispersitas adalah parameter yang menyatakan distribusi ukuran partikel dari sistem nanopartikel (Nidhin dkk., 2008), di mana rentang nilai 0,1-0,25 menunjukkan distribusi ukuran yang sempit, sementara nilai lebih dari 0,5 menunjukkan distribusi yang luas (Lu dkk., 2011). Nilai ini menunjukan hasil perhitungan dari berat rata-rata berat molekul dibagi dengan jumlah rata-rata berat molekul. Semakin mendekati nol berarti distribusinya semakin baik (Haryono, Restu & Harmami, 2012).

Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel dapat ditentukan dengan menggunakan teknik hamburan cahaya dan transmisi atau pemindaian mikroskop elektron (Kharia, Singhai, & Verma, 2012). Metode yang paling umum digunakan untuk karakterisasi partikel menggunakan hamburan cahaya dinamis (Dynamic

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Light Scattering /DLS) (Cho dkk., 2013). Hamburan cahaya dinamis adalah teknik non-invasif dan baik untuk mengukur ukuran dan distribusi ukuran partikel di wilayah submikron, dan juga dapat digunakan untuk mempelajari perilaku cairan kompleks, seperti konsentrat larutan polimer (Jonnasen, 2014).

Ukuran partikel yang diukur menggunakan DLS merupakan nilai dari diameter lingkaran partikel yang terdifusi dengan kecepatan yang sama pada saat pengukuran (Shabrina, 2011). Diameter tersebut disebut juga diameter hidrodinamik. Diameter yang diperoleh dengan teknik ini merujuk pada asumsi bentuk sferik partikel yang memiliki koefisien difusi translasi sama dengan partikel yang diukur (Malvern Instruments Worldwide, 2012).

Gambar 2.6 Ilustrasi diameter hidrodinamik

Sumber: Malvern Instruments Worldwide, 2012

Ukuran partikel dihitung dari koefisien difusi translasi dengan menggunakan persamaan Stokes-Einstein;

d =

πηT (2.1)

di mana dh merupakan diameter hidrodinamik, k adalah konstanta

Boltzman, T adalah temperature dalam satuan Kelvin, D merupakan koefisien difusi translasi dan merupakan viskositas medium pendispersi.

Gambar 2.7 Skema ilustrasi percobaan DLS.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Penentuan ukuran partikel dengan DLS juga memanfaatkan pemendaran cahaya akibat gerak Brown yang terjadi pada partikel submikron dalam medium pendispersi tertentu. Pada saat pengukuran, pancaran berkas cahaya monokromatik dari alat ke larutan berpartikel sferis dalam gerak Brown menyebabkan pergeseran Doppler, sehingga mengubah panjang gelombang cahaya yang masuk (Sartor, 2003).

Perbedaan besaran antara cahaya yang diteruskan dengan cahaya yang dihamburkan disebut vektor gelombang (q). Vektor gelombang didefinisikan sebagai;

q =

πn sin

θ

λL (2.2)

di mana λL adalah panjang gelombang cahaya insiden dalam ruang hampa, di mana adalah sudut hamburan, dan n adalah indeks bias sampel (Jonnasen dkk., 2014).

Oleh karena partikel terus bergerak intensitas cahaya yang diterima detektor berfluktuasi konstan. Tingkat di mana fluktuasi intensitas terjadi bergantung pada ukuran partikel. Partikel-partikel kecil menyebabkan intensitas berfluktuasi lebih cepat daripada yang besar. Sistem dari instrumen akan mengukur tingkat fluktuasi intensitas dan kemudian menggunakan hal tersebut untuk menghitung ukuran partikel.

Berkaitan dengan fluktuasi intensitas yang diterima, maka dibuat sebuah autokorelator sebagai pembanding sinyal. Hal ini dirancang untuk mengukur tingkat kesamaan antara dua sinyal, atau satu sinyal dengan dirinya sendiri pada interval waktu yang berbeda-beda. Autokorelator ini berguna untuk menafsirkan ukuran partikel dari data fluktuasi sinyal yang diterima.

2.7.4 Potensial Zeta

Potensial zeta adalah ukuran umum dari besarnya muatan elektrostatik partikel dalam dispersi, dan sangat sesuai dalam studi stabilitas suspensi nanopartikel. Umumnya, potensial zeta di atas nilai absolut dari 30 mV dianggap perlu untuk menjamin stabilitas koloid yang baik (Frietas & Muller, 1998)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Partikel bermuatan dalam dispersi cair dikelilingi oleh ion dalam lapisan ganda listrik. Lapisan ganda cair ini terdiri dari bagian dalam (stern layer) dengan ion berlawanan (dari permukaan partikel) yang terikat relatif kuat, dan wilayah luar dengan ion yang terikat kurang kuat. Potensial zeta adalah potensial listrik di bidang terluar (slipping plane), yaitu pada permukaan lapisan cair ganda stationer (Jonassen, 2014).

Gambar 2.8 Skema ilustrasi partikel bermuatan negatif pada media air

Sumber: Jonassen, 2014

Selain berperan dalam stabilitas fisik, potensial zeta nanopartikel juga mempengaruhi efektivitasnya sebagai sistem penghantaran obat. Partikel bermuatan negatif dapat dengan cepat dibersihkan oleh makrofag. Selain itu sistem retikuloendotelial, terutama di hati dan limpa, menjadi kendala utama untuk pentargetan aktif karena kemampuannya untuk mengenali sistem ini, menghapusnya dari sirkulasi sistemik, dan akibatnya menghindari pengiriman efektif obat nano ke organ lain (Honary & Zahir, 2013).

Perlekatan antara nanopartikel dengan membran sel juga terpengaruh oleh muatan permukaan partikel. Nanopartikel dengan muatan permukaan tinggi sangat terikat pada membran sel dan menunjukkan serapan seluler tinggi, di mana interaksi elektrostatik antara membran anionik dan nanopartikel kationik memfasilitasi penyerapan tersebut. Setelah adsorpsi nanopartikel pada membran sel, penyerapan terjadi melalui beberapa mekanisme yang mungkin seperti pinositosis, endositosis dan fagositosis. Senyawa kationik juga dapat memiliki efek positif pada permeasi kulit, dimana komponen penyusun jaringan kulit seperti fosfatidil kolin dan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta karbohidrat yang ditemukan di sel mamalia mengandung gugus bermuatan negatif (Honary & Zahir, 2013).

Nanopartikel dengan muatan positif lebih cenderung diserap oleh sel tumor dan waktu retensi yang lebih lama dibandingkan dengan partikel bermuatan negatif atau netral karena fosfatidil serin, residu bermuatan negatif, ditranslokasikan ke permukaan sel kanker dan nanopartikel dengan muatan positif dapat ditranslokasikan oleh sel-sel tumor baik melalui endositosis, atau interaksi muatan dan penambatan ligan-reseptor (Honary & Zahir, 2013).

2.7.5 Differential Scanning Calorimetry (DSC)

DSC adalah teknik analisis termal yang paling sering digunakan. Teknik ini dikembangkan oleh E. S. Watson dan M. J. O'Neill pada tahun 1962 dan diperkenalkan secara komersial pada 1963 dalam Konferensi Kimia Analitik dan Spektroskopi Terapan Pittsburgh (O’Neill & Watson, 1966). Sejak saat itu, DSC banyak digunakan pada berbagai disiplin ilmu.

Analisis DSC digunakan untuk mengukur perubahan entalpi atau perubahan kapasitas panas dalam sampel sebagai fungsi temperatur atau waktu. Selain itu, DSC dapat menentukan kapasitas panas (heat capacity), suhu perubahan dari keadaan kaku ke keadaan elastis (Tg), suhu pembentukan kristal (Tc), suhu perubahan dari padat menjadi cair (Tm), dan derajat pengkristalan (cristallinity) (Jumadi & Sari, 2014).

Teknik Differential Scanning Calorimetry (DSC) mengukur jumlah energi yang diabsorpsi atau dibebaskan oleh sampel saat dipanaskan, didinginkan atau dipertahankan pada suhu konstan. Energi ini dihubungkan dengan perbedaan aliran panas antara sampel dengan pembanding. Bahan sampel dan bahan pembanding ditempatkan dalam wadah terpisah dan temperatur setiap wadah dinaikkan atau diturunkan dengan kecepatan yang sudah ditetapkan. Ketika sampel mengalami peristiwa termal (eksotermik atau endotermik), kenaikan atau penurunan panas dialirkan pada sampel atau pembanding agar keduanya dapat dipertahankan pada suhu yang sama. Panas yang diberikan kepada sampel atau pembanding per satuan waktu diberikan kepada suatu pencatat (Riskafuri, 2011).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hasil percobaan DSC adalah kurva fluks panas terhadap suhu atau terhadap waktu. Selain dapat digunakan untuk mengidentifikasi parameter yang telah disebutkan sebelumnya, kurva ini juga dapat digunakan untuk menghitung entalpi transisi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengintegrasikan puncak sesuai dengan transisi yang diberikan. Entalpi transisi dapat dinyatakan dengan menggunakan persamaan berikut:

∆H = KA

di mana ΔH adalah entalpi transisi, K adalah konstanta kalorimetrik, dan A adalah luas di bawah kurva. Konstanta kalorimetrik akan bervariasi antar instrumen, dan dapat ditentukan dengan menganalisis sampel yang entalpi transisinya telah dikenal baik (Erno, 1995)

.

21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dokumen terkait