• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat fisik bahan pangan berpengaruh terhadap sifat-sifat bahan pangan selama pengolahan, penyimpanan dan pemakaian (Ross dan Karel, 1991). Secara mendasar, bentuk fisik bahan pangan ada tiga, yaitu padat, cair dan gas. Sifat fisik bahan pangan dapat berubah dari satu fase ke fase yang lain dengan adanya perubahan tekanan atau suhu, yang disebut dengan fase transisi. Transisi dari padatan menjadi cair atau dari cair menjadi gas adalah transisi orde pertama (first-order transitions). Contohnya adalah gelatinisasi pati dan denaturasi protein (Aguilera dan Stanley, 1999).

Adapun transisi orde kedua (second-order transitions) adalah transisi gelas. Hal ini terjadi dengan adanya perubahan pada padatan amorf dengan adanya perubahan suhu, sehingga terjadi perubahan dari padatan glassy

berubah menjadi cairan kental (Roos, 1995; Roos et al. 1996).

Perubahan pada padatan amorf dapat dilihat pada Gambar 11. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa terjadi perubahan sifat padatan amorf, dari padatan glassy menjadi seperti cairan rubbery. Diantara kedua fase ini terdapat daerah transisi gelas dan merupakan fase amorf (Roos et al., 1996).

Pembengkakan

Degradasi

Viskositas

Suhu yang terletak pada daerah transisi gelas (Tg) merupakan faktor yang

paling penting untuk mengontrol sifat-sifak fisik, mekanis, (Roos et al., 1996) dan fisiko-kimia (Roos dan Karel, 1991) dari suatu polimer yang amorf. Apabila suatu bahan yang amorf terletak di atas suhu transisi gelas (Tg), maka akan terjadi

kerusakan sifat fisiko-kimia, mobilitas molekular meningkat dan volume yang dibebaskan juga meningkat (Roos dan Karel, 1991).

Keterangan : a, pendinginan; b, pemanasan; c, pendinginan cepat; d, pendinginan lambat; e, tekanan; f, kristalisasi; g, solubilisasi; h, superjenuh; i, dehidrasi; j, plastilisasi

Gambar 11. Perubahan sifat fisik bahan pangan (Roos dan Karel, 1991) Gelas yang amorf merupakan bahan yang dapat membungkus komponen flavor pada proses enkapsulasi, mencegah oksidasi dan menurunkan kecepatan retensi komponen flavor selama penyimpanan. Kecepatan mobilitas retensi komponen flavor meningkat apabila proses enkapsulasi dan penyimpanan flavor terenkapsulasi di atas Tg (Roos dan Karel, 1991). Karena pada suhu di atas Tg,

maka terjadi perubahan struktur bagian amorf.

Modifikasi Pati

Modifikasi pati dilakukan untuk melakukan perubahan sifat kimia dan atau fisik dari pati native. Modifikasi pati dapat dilakukan dengan cara pemotongan struktur molekul, penyusunan kembali struktur molekul, oksidasi atau dengan cara melakukan substitusi gugus kimia pada molekul pati (Wurzburg, 1989). Ada

Leleh a b c b b d Rubbery Glassy Kristal a b e f Cairan g h i j

beberapa cara untuk memodifikasi pati, diantaranya adalah hidrolisis dengan enzim, dan substitusi kimiawi secara asilasi dan suksinilasi.

Modifikasi pati dengan metode hidrolisis dapat dilakukan dengan menggunakan asam (Oviedo dan Camargo, 1998; Atichokudomchai dan Varavinit, 2003) atau enzim (Kukman et al. 1998). Hidrolisis pati dengan enzim ada beberapa langkah, yaitu likuefaksi, sakarifikasi, dan isomerisasi. Langkah yang pertama adalah likuefaksi dengan 30 - 40% suspensi padatan untuk menghasilkan maltodekstrin dengan menggunakan enzim α-amilase. Setelah lekuefaksi dilakukan sakarifikasi menggunakan enzim glukoamilase atau pullulanase untuk menghasilkan sirup glukosa atau sirup maltosa. Hasil sakarifikasi dilakukan isomerisasi dengan enzim glukosa isomerase untuk menghasilkan sirup fruktosa (Olsen, 1995).

Hidrolisis dengan enzim menghasilkan suatu daerah fungsional yang luas, tergantung dengan enzim yang digunakan. Komposisi ini dapat ditentukan dengan pengukuran ekivalen dekstrosa (DE). Nilai DE sama dengan 100 adalah murni dekstrosa (glukosa) (Murphy, 2000), nilai DE sama dengan 50 adalah maltosa (Wuzburg, 1989) dan nilai DE sama dengan 0 adalah pati native

(Murphy, 2000). Apabila dalam satu molekul hirolisat amilosa dan amilopektin mengandung 100 unit anhidroglukosa dan terdapat 1 gugus gula pereduksi, maka nilai DE-nya adalah 1 (Wuzburg, 1989). Hidrolisat dengan DE di bawah 20 adalah maltodekstrin, sedangkan DE diantara 20 dan 100 adalah sirup glukosa (Murphy, 2000).

Produk dengan DE sedang atau lebih rendah lebih efisien digunakan untuk enkapsulasi flavor dengan pengering semprot. Hal ini kemungkinannya disebabkan adanya keseimbangan panjangnya polimer, yang menolong untuk menangkap komponen flavor pada permukaan droplet yang diinginkan (Kenyon, 1995). Nilai DE yang biasa digunakan untuk enkapsulasi flavor adalah 8-9,5 (Matsutani Chemical Industry, 1999).

Enzim yang digunakan untuk menghasilkan dekstrin atau maltodekstrin adalah berasal α-amilase yang berifat endo-amilase yang dapat menghidrolisis ikatan α-(1--->4) secara acak, seperti α-amilase yang berasal dari bakteri. Hidrolisis ini mengakibatkan menurunnya viskositas pati dan meningkatkan nilai DE.

Sementara itu, modifikasi pati dengan asilasi adalah proses asilasi pati dengan asam karboksilat. Gugus hidroksil pada pati tersubstitusi oleh asetat atau

rantai yang lebih panjang lagi, seperti asam propionat (Santayonan dan Wootthikanokkhan, 2003), asam heptanoat dan asam palmitat (Miladinov dan Hanna, 2000), serta asam stearat (Varavinit et al. 2001). Adapun modifikasi suksinilasi adalah proses suksinilasi pati dengan asam suksinat atau alkenil suksinat (Trubiano, 1989), seperti asam oktenil suksinat (Shogren et al. 2000).

Reaksi asilasi pada suhu ruang menghasilkan fraksi air (Jarowenko, 1989; Santayonan dan Wootthikanokkhan, 2003) (Gambar 12A), sedangkan reaksi suksinilasi dengan menggunakan asam suksinat bereaksi dengan media yang digunakan dan menghasilkan fraksi air (Trubiano, 1989) (Gambar 12B). Derajat substitusi pati terasilasi atau pati tersuksinilasi pada media air, seperti NaOH (Lawal, 2004; Miladinov dan Hanna, 2000; Shogren, 2000) atau media semiair, seperti etanol 95% (Varavinit et al. 2001) adalah rendah, yaitu derajat substitusinya kurang dari 0,5 (Jarowenko, 1989).

Gugus OH yang dapat disubstitusi dengan gugus lain dalam satu unit anhidroglukosa ada empat gugus OH, yaitu gugus OH yang terdapat pada C-2, C-3, dan C-4 (ketiganya merupakan gugus OH sekunder) dan C-6 yang merupakan gugus OH primer. Gugus OH sekunder, terutama gugus OH C-2 lebih reaktif dibandingkan gugus OH primer (Tuschhoff, 1989). Kereaktifan gugus OH C-2 adalah 60-65%, gugus OH C-3 adalah 20% dan gugus OH C-6 adalah 15-20% (van de Burgt et al. 2000).

Substitusi gugus OH pada bagian amilosa lebih tinggi 1,6 – 1,9 kali (dalam molar substitusi) dibandingkan amilopektin. Amilosa ini berada pada bagian amorf. Gugus OH pada bagian amorf dua kali lebih mudah disubstitusi dengan gugus lain per unit anhidroglukosa dibandingkan dengan amilopektin (van de Burgt et al. 2000).

Enkapsulasi

Enkapsulasi adalah suatu proses pembungkusan suatu bahan atau campuran beberapa bahan dengan bahan lain. Bahan yang dibungkus atau bahan yang ditangkap biasanya berupa cairan, walaupun ada juga ya ng berbentuk partikel padat atau gas yang disebut sebagai bahan inti atau bahan aktif atau bahan internal. Sedangkan bahan yang berfungsi sebagai pembungkus disebut sebagai dinding atau bahan pembawa atau membran (Risch, 1995).

Gambar 12. Reaksi asilasi dan suksinilasi (diadaptasi dari Jarowenko; Trubiano, 1989). n adalah jumlah monomer glukosa

4 5 O 1 2 3 OH OH H H H H H O H O H 6 OH n pati OH O R asam karboksilat + A O OH O H H H H H O H O H OH O R + H 2O pati terasilasi B 4 5 O 1 2 3 OH OH H H H H H O H O H 6 OH n pati + asam suksinat OH O OH O NaOH + H 2O pati tersuksinilasi O OH O H H H H H O H O H OH O OH O - Na+

Proses enkapsulasi banyak digunakan untuk mempertahankan flavor, asam, lipida, enzim, mikroorganisme, pemanis buatan, vitamin, mineral, air, bahan pengembang, warna dan garam (Risch, 1995). Enkapsulasi flavor bertujuan untuk meningkatkan atau memodifikasi aroma atau untuk menutupi flavor yang tidak diinginkan atau tidak disenangi dalam bentuk cairan maupun bubuk (Volley, 1995). Selain itu enkapsulasi flavor juga bertujuan untuk (1) meningkatkan stabilitas flavor dari proses oksidasi, volatilitas, dan cahaya, (2) mengontrol pelepasan flavor, dan (3) mempertahankan dari proses penggumpalan agar flavornya lebih tahan la ma (Dziezak, 1988).

Ukuran partikel yang dibentuk selama proses enkapsulasi terdiri dari beberapa kisaran ukuran. Apabila ukuran partikelnya > 5000 µm disebut makrokapsul, ukuran partikelnya antara 0,2 – 5000 µm disebut mikrokapsul, dan apabila ukuran partikelnya antara <0,2 µm – 2000 Ao disebut nanokapsul (King, 1995).

Bentuk enkapsulasi dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu berbentuk bubuk dengan teknik pengeringan dan yang berbentuk cair. Teknik pengeringan yang biasa digunakan untuk enkapsulasi dalam bentuk bubuk adalah pengeringan semprot, sedangkan teknik untuk enkapsulasi dalam bentuk cairan biasanya menggunakan teknik koaservasi (pemisahan fase), emulsi dan ekstruksi dalam bentuk basah (King, 1995). Selain yang telah disebutkan di atas teknik enkapsulasi lain dapat berupa proses suspensi udara (fluidized bed atau

spray coating), spray cooling, spray chilling, ekstruksi sentrifugal, pemisahan

suspensi rotasional, dan kompleksasi inklusi (Dziezak, 1988).

Enkapsulasi dengan Pengering Semprot

Pengeringan dengan pengering semprot merupakan metode enkapsulasi yang paling tua pada industri pangan dan metode enkapsulasi yang tertua yang telah ditemukan pada tahun 1930 (Dziezak, 1988). Pengeringan semprot merupakan metode yang paling umum yang digunakan untuk mengenkapsulasi suatu bahan pangan, paling ekonomis dan metode yang lebih luas penggunaannya serta paling banyak digunakan pada industri flavor (Risch, 1995).

Proses pengeringan menggunakan pengering semprot terdiri dari tiga tahapan dasar, yaitu (1) pembentukan fase dispersi atau emulsi, (2)

homogenisasi sistem dispersi, dan (3) atomisasi massa pada tempat pengeringan.

Bahan yang akan dilakukan atomisasi terlebih dahulu dibuat menjadi suatu sistem dispersi dengan bahan aktif (bahan yang akan dienkapsulasi) terdispersi pada bahan pengenkapsulasinya dan bersifat saling tidak melarutkan

(immiscible). Sistem dispersi dihomogenisasi dengan penambahan emulsifier.

Selanjutnya diatomisasi dengan melewatkannya pada tempat pengeringan sampai bahan jatuh ke dasar tempat pengeringan dalam bentuk seperti butiran- butiran bola. Air yang diuapkan selama proses pemadatan dijaga pada suhu di bawah 100oC, walaupun suhu yang digunakan selama proses pengeringan ini tinggi. Selain itu partikel yang diperoleh dengan proses pemanasan dalam rentang waktu yang sangat cepat, yaitu hanya beberapa detik (Dziezak, 1988). Sistem Pengeringan semprot dapat dilihat pada Gambar 13.

Pada proses pengeringan semprot, suhu udara yang dimasukkan ke pengering semprot adalah tinggi. Dengan semakin tingginya suhu udara yang masuk, maka dapat meningkatkan volatilitas. Sebagaimana yang dilakukan oleh Bhandari et al. suhu udara yang masuk ke pengering semprot adalah sekitar 400oC. Hal ini untuk menghindari terjadinya efek balloning”. Selain itu, dengan

suhu udara yang masuk tinggi dapat menurunkan volatilitas pada permukaan partikel yang telah terenkapsulasi.

Berbeda dengan suhu udara yang masuk, maka suhu udara yang keluar dari pengering semprot adalah rendah. Apabila suhu udara yang keluar tinggi, maka mengakibatkan peningkatan volatilitas pada permukaan partikel yang terenkapsulasi. Hal ini dapat dijelaskan karena adanya efek “balloning”, dimana partikel-partikel yang telah terenkapsulasi mengembang dan pecah (Bhandari et al. 1992).

Keuntungan penggunaan pengering semprot adalah dapat menangani bahan-bahan yang tidak stabil terhadap panas. Walaupun komponen flavor yang mempunyai titik didih berkisar antara 35oC sampai 180oC, kemungkinan hilang selama proses pengeringan untuk komponen yang mempunyai titik didih yang rendah. Selain itu pengeringan semprot dapat menghasilkan partikel yang sangat kecil (kurang dari 100 µm).

Permasalahan yang ada pada pengeringan ini adalah terjadinya kohesi dan membentuk partikel yang lebih besar. Permasalahan yang lain adalah bahan

aktif yang dapat menempel pada permukaan kapsul, sehingga berpotensi untuk terjadinya oksidasi dan perubahan keseimbangan flavor pada produk akhir.

Untuk bahan-bahan yang tidak stabil terhadap panas atau bahan-bahan yang bersifat volati l, maka dapat dilakukan metode modifikasi pengering semprot, yaitu dengan proses dehidrasi dingin. Caranya, bahan aktif dan pengenkapsulasi disemprotkan, kemudian didehidrasi dengan cairan, seperti etanol dan poligliserol, pada suhu ruang atau di bawahnya (Dziezak, 1988).

Metode enkapsulasi flavor dengan pengering semprot digunakan diantaranya oleh (1) Bhandari et al. (1992), mengenkapsulasi sitral dan linalil asetat dengan gum arab; (2) Kim dan Morr (1996) mengenkapsulasi minyak orange; (3) McNamee et al. (1998) mengenkapsulasi minyak kedele dengan gum arab; (4) Mongenot et al. (2000) mengenkapsulasi aroma keju dengan pati termodifikasi, yaitu oktenil suksinat, dan maltodekstrin; dan (5) Varavinit et al. (2001) mengenkapsulasi minyak lemon dengan pati tapioka dan sagu yang termodifikasi secara esterifikasi dengan asam stearat.

Gambar 13. Alat pengering semprot (Dziezak, 1988)

Dokumen terkait