• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A KACANG KOMAK

E. SIFAT FUNGSIONAL KONSENTRAT PROTEIN a Daya serap air

Daya serap air suatu protein didefinisikan sebagai kemampuan untuk menahan air melawan perlakuan gravitasi dan fisikokimia. Air berinteraksi dengan protein dalam beberapa cara dan sejumlah signifikan air terikat oleh protein melalui ikatan hidrogen. Interaksi antara molekul air dan gugus hidrofilik pada rantai protein terjadi melalui ikatan hidrogen. Pengikatan air dengan protein dipengaruhi oleh gugus hidrofilik polar seperti imino, amino, karboksil, hidroksil, karbonil, dan sulfihidril. Kapasitas protein untuk menahan air dipengaruhi oleh jenis dan jumlah dari gugus polar pada rantai polipeptida protein (Zayas, 1997). N dalam feses N yang dikonsumsi N yang diserap N yang terdapat dalam urin

N yang tertahan oleh tubuh

Asam amino diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya untuk mengikat air yaitu : 1) asam amino polar dengan daya pengikatan air paling tinggi, 2) asam amino yang tidak mengion, mengikat sejumlah air dalam jumlah yang medium, 3) gugus hidrofobik yang hanya dapat mengikat sedikit air atau tidak sama sekali. Gugus asam amino polar pada molekul protein adalah sisi utama dalam interaksi protein-air (Zayas, 1997).

Pengikatan air dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme di bawah ini : kemampuan matriks protein untuk mengembang dan menyerap air tanpa terlarut. Viskositas tinggi dihasilkan dari protein yang larut atau mengembang dan/atau pembentukan gel selama persiapan sampel (Waggle, et al., 1989).

Penyerapan air oleh beberapa jenis protein dapat mengakibatkan pembengkakan. Pembengkakan mencerminkan pengambilan air oleh jaringan protein sambil melonggarkan polipeptida. Tingkat pembengkakan dipengaruhi oleh gaya-gaya antar molekul, ikatan hidrogen, interaksi elektrostatik antara polipeptida yang berdekatan dan fasilitas tertentu yang dengannya air akan memberikan gangguan dan menggantikan ikatan protein-protein dengan protein-air (Muchtadi, 1991).

b. Daya serap minyak

Daya serap minyak suatu protein dipengaruhi oleh sumber protein, ukuran partikel protein, kondisi proses pengolahan, zat tambahan lain, suhu, dan derajat denaturasi protein. Partikel yang berukuran kecil mampu menyerap minyak 65-130% dari berat keringnya, lebih banyak jika dibandingkan dengan partikel yang berukuran besar. Denaturasi protein dapat meningkatkan kemampuan protein untuk mengikat lemak dikarenakan terbukanya struktur protein sehingga memaparkan asam amino yang bersifat nonpolar.

Kemampuan protein untuk menahan lemak dipengaruhi oleh interaksi lipid-lipid. Ikatan yang ikut berperan dalam interaksi protein-

lipid adalah ikatan hidrofobik, elektrostatik, ikatan hidrogen, dan ikatan nonkovalen. Ikatan hidrofobik penting dalam stabilitas komplek protein- lipid. Interaksi antara protein dan anion asam lemak dapat mengubah struktur protein dengan cara menurunkan ikatan hidrofobik intramolekul (Zayas, 1997).

Protein hidrofobik efektif pada tegangan permukaan yang lebih rendah dan mengikat banyak materi lipofilik seperti lipid, emulsifier, dan materi flavor. Kapasitas protein untuk mengikat lemak sangat penting dalam produksi meat extenders dan replacer, dimana penyerapan lemak oleh protein meningkatkan retensi flavor dan meningkatkan mouth feel. Lemak diserap terutama melalui pemerangkapan secara fisik. Penyerapan lemak dapat ditingkatkan jika protein dimodifikasi secara kimia untuk meningkatkan densitas kambanya (Pomeranz, 1991).

c. Daya emulsi

Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarutkan, dimana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula di dalam cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula tersebut dinamakan fase kontinyu atau medium dispersi (Muchtadi, 1991).

Daya emulsi merupakan kemampuan protein untuk menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial) sehingga mempermudah terbentuknya emulsi. Kemampuan ini disebut kemampuan protein sebagai emulsifier. Menurut Subarna, et al. (1990), daya emulsi ini dipengaruhi oleh konsentrasi protein, kecepatan pencampuran, jenis protein, jenis lemak, dan sistem emulsi. Daya kerja emulsifier disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat baik pada minyak (nonpolar) maupun air (polar).

Emulsifier mengandung dua gugus yaitu gugus hidrofilik dan gugus lipofilik. Di dalam molekul emulsifier, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya. Bila gugus polar lebih dominan, maka

molekul emulsifier tersebut akan diadsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinyu. Demikian juga sebaliknya jika gugus nonpolar lebih dominan, maka molekul emulsifier akan lebih kuat diadsorpsi oleh minyak dibandingkan dengan air (Muchtadi, 1991).

Apabila emulsifier tersebut lebih terikat baik pada air atau lebih larut dalam air (polar) maka dapat lebih membantu terjadinya dispersi minyak dalam air sehingga terjadilah emulsi minyak dalam air (o/w). Sebagai contoh adalah susu. Sebaliknya bila emulsifier lebih larut dalam minyak (nonpolar) terjadilah emulsi air dalam minyak (w/o). Contohnya adalah mentega dan margarin (Winarno, 1992).

d. Kekuatan gel

Pembentukan gel (gelasi) sangat penting untuk banyak pangan. Gel protein dapat digambarkan dalam tiga dimensi matriks atau jaringan, sebagian berhubungan dengan polipeptida dimana air terperangkap. Gelasi protein berarti transformasi protein dari bentuk sol menjadi ”gel like”. Transformasi ini difasilitasi oleh panas, enzim, atau kation divalen di bawah kondisi tertentu (Damodaran, 1996). Menurut Muchtadi (1991), gelasi merupakan hasil pemisahan protein oleh panas yang dengan pendinginan membentuk matriks yang terstrukstur sambil menjerat air.

Pomeranz (1991) menjelaskan secara umum gelasi membutuhkan sejumlah pemanasan protein yang menghasilkan modifikasi molekul protein atau denaturasi. Pembentukan gel protein terdenaturasi membutuhkan keseimbangan awal antara gaya tarik dan gaya tolak. Gelasi adalah dua tahapan proses yang meliputi denaturasi awal dari protein asal menjadi peptida yang tidak melipat kemudian secara bertahap membentuk matriks gel jika gaya tarik dan kondisi termodinamika sesuai.

Peningkatan suhu akan meningkatkan pembentukan gel yang baik dan kokoh. Selama pendinginan, penguraian peptida membentuk jaringan. Hubungan ini meliputi berbagai interaksi kovalen dan nonkovalen, ikatan disulfida, ikatan hidrogen, daya tarik ionik, hubungan hidrofobik, dan kombinasinya.

Ada dua macam jenis struktur gel yaitu thermoset (reversible) dan thermoplastik (irreversible). Di dalam gelasi thermoset, kondisi sol atau progel dapat ditunjukkan pada pemanasan yang umumnya diikuti dengan kenaikan kekentalan. Progel ini akan membentuk gel pada saat pendinginan. Jenis gel ini biasanya dapat mencair kembali dan dapat membentuk progel kembali pada pemanasan berikutnya. Sedangkan pada thermoplastik, gel akan menjadi lunak atau mengerut pada pemanasan berikutnya, tetapi di bawah kondisi praktis pencairan kembali atau perubahan kembali menjadi progel tidak terjadi (Fardiaz, et al., 1992). Secara jelas, skema pembentukan gelasi oleh panas digambarkan pada Gambar 4.

dingin Sol Progel gel panas

kelebihan panas metasol

Gambar 4. Skema induksi panas dalam pembentukan gelasi (Waggle, et al., 1989)

Kemampuan pembentukan gel sangat dipengaruhi oleh komponen yang terdapat di dalam bahan pangan, terutama protein atau fraksi- fraksinya. Sathe dan Salunkhe (1981) menyebutkan bahwa pembentukan gel tidak hanya bergantung pada konsentrasi protein, tetapi juga dari tipe protein yang terdapat di dalam suatu bahan. Subarna, et al. (1990) juga menjelaskan bahwa daya pembentukan gel tidak hanya dipengaruhi oleh interaksi antara protein dengan protein, melainkan juga interaksi antara protein dengan air.

e. Kapasitas dan stabilitas busa

    Busa suatu protein yaitu suatu struktur terdispersi yang mengandung cairan koloid yaitu larutan protein sebagai medium pendispersi dan udara atau gas sebagai fase terdispersi (Subarna, et al., 1990). Kapasitas busa protein berarti kemampuan protein untuk membentuk lapisan film tebal pada permukaan gas-cair sehingga sejumlah besar gelembung udara dapat bergabung dan terstabilkan. Sedangkan stabilitas busa berarti kemampuan protein untuk menstabilkan busa melawan gravitasi dan stres mekanis (Damodaran, 1996).

Pembentukan busa meliputi difusi larutan protein ke dalam fase antara udara-air. Suatu larutan protein dikatakan mempunyai stabilitas busa yang baik apabila larutan tersebut mampu mempertahankan daya busanya dalam waktu relatif lama (Subarna, et al., 1990). Kekuatan dan stabilitas busa secara umum meningkat dengan meningkatnya konsentrasi protein karena terjadi peningkatan viskositas dan mendorong pembentukan multilayer yaitu lapisan kohesif pada permukaan (Damodaran, 1996).

f. Protein dispersability index (PDI), dan nitrogen solubility index (PSI) NSI dan PDI merupakan ukuran kelarutan nitrogen dan

dispersabilitas protein dalam air. Keduanya merupakan ukuran fungsionalitas produk protein dan kegunaan atau kemampuannya dalam formulasi pangan (Wiedermann, 1986). Nilai NSI dan PDI digunakan sebagai alat uji yang cepat bagi sifat fungsional protein kedelai (Kinsella, 1979). Nilai NSI digunakan sebagai indikator pemandu sifat fungsional protein (Fukurawa dan Ohta, 1983). Tipe penggunaan tepung kedelai berdasarkan kisaran PDI nya dapat dilihat pada Tabel 5.

Protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya. Lapisan molekul protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik keluar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofilik terlipat ke dalam. Pelipatan atau pembalikan terjadi khususnya bila larutan protein telah

mendekati pH isoelektrik, dan akhirnya protein akan menggumpal dan mengendap (Winarno, 1992). Selain itu juga, semakin besar ukuran molekul protein, maka semakin sulit molekul protein tersebut untuk larut (Subarna, et al., 1990)

Tabel 5. Tipe penggunaan tepung kedelai berdasarkan kisaran PDI nya

Tipe produk Penggunaan

PDI 90-95 Zat pemutih pada roti

PDI 70-80 Adonan bakery, donat, minuman,

hidrolisat protein sayuran, sereal untuk bayi

PDI 35-45 Farmasi, sereal untuk bayi, olahan daging, minuman, hidrolisat protein sayuran, bakery, pakan hewan peliharaan, pengganti susu hewan

PDI 8-20 Farmasi, sereal untuk bayi, olahan

daging, pakan hewan peliharaan, pengganti susu hewan

Sumber : Horan (1967) di dalam Pomeranz (1991)

F. ANTIOKSIDAN

Oksidatif stres terjadi ketika produksi molekul berbahaya yang disebut radikal bebas terjadi. Radikal bebas merupakan atom atau molekul aktif yang memiliki kelebihan atau kekurangan jumlah muatan elektron. Radikal bebas tersebut misalnya anion superoksida, radikal hidroksil, logam transisi seperti besi dan tembaga, asam nitrat, dan ozon (Oboh, 2006). Radikal bebas yang mengandung oksigen dikenal dengan nama reactive oxygen species (ROS).

Reactive oxygen species (ROS) seperti radikal superoksida (O2.), radikal hidroksil (OH.) dan radikal peroksil (ROO.) dapat terbentuk secara alami dalam proses metabolik. Kerusakan oksidatif disebabkan oleh adanya ROS pada lemak, protein dan asam nukleat yang dapat memicu terjadinya

berbagai penyakit berbahaya seperti penyakit jantung koroner, atherosklerosis, dan kanker (Wong, et al., 2006). Senyawa yang dapat menghambat terjadinya reaksi oksidasi disebut antioksidan. Antioksidan dapat melawan terbentuknya ROS dengan tiga mekanisme yaitu dengan cara menangkap radikal bebas, membentuk kompleks dengan logam-logam prooksidan, dan berperan sebagai senyawa pereduksi.

Winarno (1992) mengklasifikasikan antioksidan menjadi 2 jenis yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer adalah suatu zat yang dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal yang melepaskan hidrogen. Antioksidan alami yang tergolong primer adalah tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol, dan asam askorbat. Antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergik. Beberapa asam organik tertentu, biasanya asam di- atau trikarboksilat, dapat mengikat logam-logam (sequestran). Contoh dari antioksidan sekunder adalah asam sitrat dan EDTA.

Antioksidan penting dalam mencegah penyakit pada manusia. Komponen antioksidan memiliki fungsi sebagai penangkal radikal bebas, membentuk kompleks dengan logam prooksidan, agen pereduksi dan menghentikan pembentukan singlet oxygen (Andlaues dan Furst, 1998 di dalam Rajeshwar, et al., 2005). Polifenol alami memiliki aktivitas antioksidan dengan cara menangkap radikal bebas, mengkelat katalis logam, mengaktivasi enzim antioksidan, mereduksi α-tokoferol radikal, dan menghambat oksidase (Oboh, 2006).

               

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT a. Bahan

Bahan baku yang digunakan adalah kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet) yang diperoleh dari daerah Probolinggo, Jawa Timur. Sedangkan bahan kimia yang digunakan adalah heksana, HCl pekat, NaOH 1 N, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, akuades, NaOH-Na2S2O3 pekat, H3BO3, HCl 0.02 N, indikator merah metil serta metil biru, HCl 25% , HCl 6 N, HCl 0.01 N, NaOH 0.01 N, HNO3 pekat, NaOH 2 N, minyak jagung, HCl 0.1 N, NaOH 0.1 N, larutan multienzim (tripsin, kimotripsin, dan pankreatin), buffer asetat 0.1 M (pH 5.50), radikal bebas DPPH 3mM dalam metanol, asam askorbat, metanol 80%, buffer Tris-HCl 100mM, buffer fosfat 0.2 M pH 6.60, kalium ferri sianida (K3Fe(CN)6) 1%, larutan trikloroasetat (TCA) 10%, larutan FeCl3 0.1%, HNO3 0.5 M, etanol 95 %, pereaksi Folin Ciocalteau 50% (v/v), Na2CO3 5 % (w/v), dan larutan standar asam galat.

b. Alat

Alat-alat yang digunakan antara lain wadah germinasi, ember, daun pisang, refrigerator, blender, pin disc mill, ayakan 60 mesh, kain saring, waterbath, kertas saring, sentrifus, oven pengering, oven vakum, desikator, pH meter, cawan porselen, cawan aluminium, pipet tetes, pipet volumetrik, pipet mohr, neraca analitik, labu Kjeldahl 100 ml, alat destilasi, labu lemak, alat ekstraksi soxhlet, gelas piala, batu didih, gelas arloji, tanur, Chromameter CR-310 Minolta, Aw meter, whiteness meter, gelas ukur 100 ml, tabung reaksi, erlenmeyer 125 ml, batang gelas, magnetic stirer, ultratorax, tabung sentrifus, vortex, alumunium foil, shaker, botol gelap, tabung reaksi bertutup, alat spektrofotometer, dan hot plate.

B. METODE PENELITIAN

Gambar 5. Skema metode penelitian studi sifat fisikokimia, fungsional protein, dan kapasitas antioksidan pada konsentrat protein kecambah kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet)

• Total Colour • Derajat putih • Densitas kamba • Aw • Daya cerna protein in vitro Kacang komak

Kondisi germinasi terbaik yaitu waktu perendaman 12 jam dan

waktu germinasi 30 jam

Produksi kecambah dengan waktu perendaman 12 jam dan waktu germinasi 30 jam

Penepungan dengan pin disc mill ayakan 60 mesh

Pembuatan fraksi protein dan nonprotein tepung kecambah serta kontrol

Pengujian kapasitas antioksidan • Uji DPPH • Kemampuan mereduksi • Total fenol Pengujian fisikokimia

Pembuatan konsentrat protein kecambah dan kontrol

Pengujian proksimat Pengujian fungsional protein • Kadar air • Kadar abu • Kadar protein • Kadar lemak • Kadar karbohidrat

• Daya serap air

• Daya serap minyak • Daya emulsi • Kekuatan gel • Kapasitas busa • Stabilitas busa

• PDI & NSI

a. Penelitian pendahuluan

    Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui waktu perendaman dan waktu germinasi terbaik untuk memproduksi kecambah kacang komak. Waktu perendaman yang diujikan adalah 12 jam dan 24 jam perendaman dengan air hangat (suhu 50oC). Sedangkan waktu germinasi yang diujikan adalah 24, 30, 36, dan 42 jam germinasi dalam wadah berlubang yang dilapisi daun pisang. Perlakuan yang menghasilkan rendemen terbanyak dan panjang kecambah yang terpanjang diambil sebagai waktu perendaman dan waktu germinasi untuk produksi kecambah kacang komak.

b. Penelitian utama

1. Pembuatan kecambah dan tepung kecambah kacang komak

Proses germinasi (perkecambahan) kacang komak dibuat dengan cara kacang komak yang telah disortasi, dicuci dengan air kemudian direndam dalam air hangat bersuhu 50oC (kacang komak:air = 1:3) pada suhu ruang (35oC) selama 12 jam. Setelah direndam, kacang komak ditiriskan dan ditempatkan dalam wadah (keranjang) berlubang yang dilapisi dengan daun pisang untuk menjaga kelembaban dan menghindari terjadinya genangan air dalam wadah. Kacang komak kemudian digerminasi selama 30 jam dalam wadah tersebut dan disemprot dengan air dua kali sehari untuk menjaga kelembaban. Kecambah kacang komak yang dihasilkan kemudian dikeringkan dengan oven pengering bersuhu 50oC selama 24 jam. Kemudian kecambah kering digiling menggunakan pin disc mill menggunakan ayakan ukuran 60 mesh. Prosedur pembuatan tepung kecambah kacang komak dapat dilihat pada Gambar 6.

Kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet)

Disortasi

Direndam dengan air hangat 50oC (1:3) selama 12 jam

Ditiriskan kemudian ditempatkan di keranjang berlubang yang dilapisi daun pisang

Ditutup rapat kembali dengan daun pisang

Dikecambahkan selama 30 jam, disemprot 2x sehari

Kecambah kacang komak

Dikeringkan di oven pengering suhu 50oC selama 24 jam

Digiling dengan pin disc mill ayakan 60 mesh

Tepung Kecambah Kacang Komak

Gambar 6. Prosedur pembuatan tepung kecambah kacang komak 2. Pembuatan konsentrat protein tepung kecambah kacang komak

Konsentrat protein kecambah kacang komak dapat dibuat dengan cara tepung kecambah dilarutkan dalam air dengan perbandingan 1:6-8. Kemudian larutan tersebut diatur pH-nya hingga pH 9.0 menggunakan NaOH 1 N. Larutan dipanaskan sambil diaduk pada suhu 50-51oC selama 1 jam. Biarkan mengendap, kemudian filtrat yang telah terpisah dari endapan diambil. Selanjutnya filtrat diendapkan kembali pada suhu refrigerator selama 1 malam. Filtrat yang telah terpisah kemudian diambil kembali dan diendapkan pada pH isoelektrik yaitu pH 4.5

menggunakan HCl pekat kemudian disentrifus dengan kecepatan 4000 rpm. Endapan yang terbentuk dikeringkan dengan oven vakum 45oC selama 24 jam. Konsentrat kering lalu dihaluskan dengan blender kering dan disimpan di dalam refrigerator untuk analisis selanjutnya.

Ditambah air (1:6-8)

Ditambah NaOH 1 N hingga pH 9.0

Dipanaskan sambil diaduk pada suhu 50-51oC

selama 1 jam

Dibiarkan mengendap

Diambil filtrat, diendapkan pada suhu refrigerator

selama 1 malam

Diambil filtrat, diendapkan pada pH isoelektrik (4.5) dengan HCl pekat

Disentrifus kecepatan 4000 rpm, 25 menit, ambil endapan

Dikeringkan dengan oven vakum suhu 45oC selama 24 jam hingga kering

Dihaluskan dengan blender kering

Gambar 7. Pembuatan konsentrat protein kecambah kacang komak Konsentrat Protein Kecambah Kacang Komak

3. Pembuatan fraksi protein dan non protein tepung kecambah kacang komak

Ditambah 1 liter akuades (1:10) bersuhu 60 oC

Ekstraksi alkalik pada pH 8.5 – 8.7 dengan NaOH 2N pada suhu 60 oC selama 30 menit

Disentrifugasi 2000 rpm selama 15 menit

Residu Supernatan fraksi protein (fraksi nonprotein)

Ekstraksi asidik pada pH 4.5 dengan penambahan HCl 2N

Disentrifus 2000 rpm selama15 menit Supernatan Residu Dikeringkan pada 50oC selama 12 jam Penepungan lolos 60 mesh

Gambar 8. Pembuatan fraksi protein dan nonprotein tepung kecambah kacang komak (Suwarno, 2003)

Fraksi Protein Tepung Kecambah Kacang Komak

4. Analisis proksimat

4.1. Kadar air (Apriyantono, et al., 1989)

Cawan kosong dikeringkan dalam oven 105oCselama 15 menit, dinginkan dalam desikator 10 menit kemudian timbang (a gram). Timbang sampel sebanyak 5 gram di dalam cawan (x gram). Keringkan dalam oven 105oC selama 6 jam atau hingga diperoleh berat tetap (≤0.0005 g). Setelah dingin, timbang kembali (y gram).

Kadar air (% bb) = x - y × 100 x - a

Kadar air (% bk) = x – y × 100 y - a

4.2. Kadar abu (Apriyantono, et al., 1989)

Cawan porselen kosong dikeringkan dalam oven 105oC selama 15 menit , lalu dinginkan dalam desikator selama 5 menit, kemudian timbang (a gram). Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dalam cawan kering. Keringkan dalam tanur hingga beratnya tetap. Kemudian dinginkan dalam desikator dan timbang (b gram).

Kadar abu (% bb) = b - a × 100 Berat sampel

Kadar abu (% bk) = kadar abu (bb) × 100 (100-kadar air (bb))

4.3. Kadar protein (metode Kjeldahl)

Sebanyak 100-250 mg sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, kemudian ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 2 ± 0.1 ml H2SO4. Setelah itu sampel didihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Sampel didinginkan dan ditambah sejumlah kecil air destilata.

Lalu isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi, labu dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air destilata kemudian ditambahkan 8-10 ml larutan 60 % NaOH-5 % Na2S2O3. Di bawah kondensor diletakkan erlemeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator metilen red-metilen blue. Destilasi dilakukan hingga diperoleh sekitar 15 ml destilat. Setelah itu, destilat diencerkan sampai ± 50 ml. Kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai warna sampel berubah menjadi abu-abu.

Kandungan nitrogen yang diperoleh dikonversi menjadi kandungan protein menggunakan faktor konversi 6.25.

%N = (ml sampel-ml blanko) × N HCl × 14.007 × 100 Berat sampel basis kering (mg)

Kadar protein (% bb) = % N x 6.25

Kadar protein (% bk) = kadar protein (bb) × 100 (100-kadar air (bb))

4.4. Kadar lemak (Apriyantono, et al., 1989)

Labu lemak dikeringkan dalam oven, dinginkan dalam desikator dan timbang (x gram). Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dalam kertas saring kemudian letakkan dalam alat ekstraksi soxhlet. Alat kondenser dipasang di atasnya dan labu lemak di bawahnya. Pelarut heksana dituang ke labu lemak dan lakukan refluks selama minimal 5 jam. Setelah ekstraksi selesai, pelarut dikeluarkan dari labu lemak. Labu lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven 105oC, kemudian dinginkan dan timbang (y gram).

Kadar lemak (% bb) = y - x × 100 Berat sampel

Kadar lemak (% bk) = kadar lemak (bb) × 100

(100-kadar air (bb))

4.5. Kadar karbohidrat (by difference)

Kadar karbohidrat (% bb) = 100 % - (kadar air (%bb) + kadar abu (%bb) + kadar protein (%bb) + kadar lemak %bb))

Kadar karbohidrat (% bk) = 100 % - (kadar air (%bk) + kadar abu (%bk) + kadar protein (%bk) + kadar lemak %bk))

5. Analisis sifat fisikokimia

5.1. Derajat warna dengan Chromameter CR-310 Minolta (modifikasi Hutching, 1999)

Pengukuran dilakukan dengan meletakkan sampel di dalam wadah sampel berukuran seragam dan selanjutnya dilakukan pengukuran pada skala nilai L, a, dan b. Nilai L menyatakan parameter kecerahan (lightness) yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 – 100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 – (-80) untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 – 70 untuk kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 – (-70) untuk warna biru.

5.2. Derajat putih (Whiteness)

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan whiteness meter. Pastikan filter warna biru terpasang dan masukkan plat kalibrasi ke dalam cawan contoh, kemudian masukkan wadah contoh ke tempat pengukuran. Tombol ON dinyalakan, LED akan menampilkan nilai derajat putih dari plat kalibrasi. Untuk pengukuran contoh, tempatkan contoh ke dalam cawan contoh

kemudian tempatkan ke dalam wadah contoh. Masukkan wadah contoh ke tempat pengukuran. LED akan menampilkan nilai derajat putih dan nomor urut pengukuran. Nilai derajat putih BaSO4 sebagai standar yaitu sebesar 110.8.

Nilai derajat putih contoh = Nilai derajat putih × 100% Nilai derajat putih BaSO

4

5.3. Densitas kamba (Muchtadi dan Sugiyono, 1992)

Gelas ukur 10 ml ditimbang, kemudian sampel dimasukan ke dalamnya sampai volumenya mencapai 10 ml. Pengisian diusahakan tepat tanda tera dan tidak dipadatkan. Gelas ukur berisi sampel ditimbang dan selisih berat sampel menyatakan berat sampel per-10 ml. Densitas kamba (Bulk Density) dinyatakan dalam g/ml atau g/cm3.

Densitas kamba (g/cm3) = a – b 10

Keterangan : a = berat gelas ukur berisi sampel 10 ml (g) b = berat gelas ukur kosong (g)

5.4. Aktivitas air (Aw)

Pengukuran aktivitas air (Aw) dilakukan dengan menggunakan alat Aw meter “Shibaura Aw meter WA-360”. Alat dikalibrasi dengan NaCl jenuh yang memilki Aw 0.7547; 0.7529 dan 0.7509 yang berturut-turut pada suhu 20.25 dan 29oC dengan cara memasukan NaCl jenuh tersebut dalam wadah Aw dapat dibaca setelah ada tulisan “completed” di layar. Bila Aw yang terbaca tidak tepat 0.750 maka bagian switch diputar sampai mencapai tepat 0.750. Pengukuran Aw sampel dilakukan dengan cara yang sama dengan kalibrasi alat yaitu sampel dimasukkan dalam wadah Aw meter. Nilai Aw

dan suhu pengukuran akan terbaca setelah ada tulisan “completed” di layar.

5.5. Daya cerna protein in vitro (metode Hsu, et al., 1977 yang dimodifikasi di dalam Muchtadi, 1989)

Sebanyak 1.5 gram konsentrat ditambahkan 30 ml akuades pH 8.0 yang telah ditepatkan dengan NaOH. Larutan divorteks kemudian sebanyak 10 ml suspensi dipipet secara homogen dan sisa campuran diukur pH nya. Larutan enzim

Dokumen terkait