• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat dan Kecenderungan Tarekat Sya ‹‹Œ riyyah di Sumatra Barat

Sya‹‹Œriyyah, Naqsyabandiyyah, maupun Sammaniyyah. Dalam tabel yang dibuat Martin van Bruinessen (1996: 133), tampak bahwa basis tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat yang paling kuat terdapat di daerah Padang Pariaman dan Tanah Datar, menyusul kemudian daerah Agam, Solok, Sawah Lunto Sijunjung, Pasaman, dan Pesisir Selatan.23 Dengan demikian, tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat telah melalui jalur persebarannya mulai dari daerah pantai pesisir sampai ke darek atau luhak nan tigo, yaitu: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota.

7.4. Sifat dan Kecenderungan Tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat

Dari pembahasan–pembahasan yang telah lalu, tampak bahwa sejak awal munculnya di wilayah India, mengalami reformulasi di Haramayn, dan kemudian menyebar ke berbagai bagian dunia Islam lain, termasuk dunia Islam Melayu-Indonesia, tarekat Sya‹‹Œriyyah telah mengalami dan menunjukkan perkembangan yang sangat dinamis dengan munculnya sifat dan kecenderungan yang beragam di masing-masing periodenya, baik menyangkut ritual maupun doktrin ajarannya.

Demikianlah, di wilayah yang menjadi fokus pembahasan penelitian ini, yakni Minangkabau atau kini Sumatra Barat, tarekat Sya‹‹Œriyyah telah menjadi salah satu pilar terpenting dalam pembentukan struktur masyarakat Muslimnya. Ulama-ulama setempat yang mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di wilayah ini, mulai dari Syaikh Burhanuddin Ulakan hingga para khalifah dan murid-muridnya, telah mengalami pergumulan yang demikian intens dengan berbagai unsur dan karakter budaya lokal, sehingga pada gilirannya melahirkan sifat dan kecenderungan ajaran yang khas dan relatif berbeda dengan sifat dan kecenderungan ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah di wilayah lain.

Bagian ini akan mengemukakan beberapa sifat dan kecenderungan ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat tersebut., dengan tetap mendasarkan pada sejumlah data yang terdapat dalam naskah-naskahnya.

7.4.1. Pelucutan Faham Waúdat al-wuj´d

Di antara hal menarik yang muncul di kalangan penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat adalah penolakan mereka terhadap doktrin waúdat al-wuj´d. Disebut menarik karena sebelumnya, tokoh-tokoh penting tarekat ini, baik yang berada di Haramayn, terutama Aúmad al-QusyŒsy¥ dan IbrŒh¥m al-K´rŒn¥, maupun ulama Melayu-Indonesia sendiri pada periode awal, seperti Abdurrauf al-Sinkili, dalam karya-karyanya tidak menunjukkan penolakan terhadap doktrin tersebut, melainkan melakukan reinterpretasi dengan mengemukakan penjelasan yang relatif dapat diterima oleh ulama fikih sekalipun.24

Penting dijelaskan kembali secara ringkas bahwa doktrin waúdat al-wuj´d adalah sebuah konsepsi tentang Tuhan, hubungannya dengan alam, yang sering dinisbatkan kepada Ibnu ‘Arab¥ (560-638 H/1165-1240 M), seorang sufi asal Andalusia, sebagai arsitek utamanya. Pada dasarnya, para sarjana sepakat bahwa dalam berbagai karangannya, termasuk dalam dua karya utamanya, Fu§´ § al-î ikam dan Fut´ úŒt al-Makkiyyah, Ibnu ‘Arab¥ tidak pernah menggunakan istilah waúdat al-wuj´d, atau wuj´diyyah. Akan tetapi, berbagai penjelasan Ibnu ‘Arab¥ dalam berbagai karangannya tersebut memang menggambarkan dengan sesungguhnya apa yang dimaksud dengan waúdat al-wuj´d.

Dalam Fu§´ § al-î ikam misalnya, Ibnu ‘Arab¥ menegaskan:

ﷲا ﻮهﻞﺑ،ﷲﺎﺑوﷲﻞﻜﻟانﺎآ

[KŒna al-kullu li AllŒh wa bi AllŒh, bal Huwa AllŒh]

Artinya: “Semua (wuj´d) adalah milik Allah, dan (tercipta) dengan-Nya, bahkan semua (wuj´d) itu adalah Allah sendiri” (Ibn ‘Arab¥, Fu§´ §, h. 73).

Atau ungkapannya yang lain:

ﺎﻬﻨﻴﻋﻮهوءﺎﻴﺷﻷاﻖﻠﺧﻦﻣ نﺎﺤﺒﺳ

[subúŒna man khalaqa al-asyyŒ’a wa huwa ‘ainuhŒ]

“Maha Suci Zat Yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah Zat segala sesuatu itu ” (Ibn ‘Arab¥, Fu§´ §, h. 25).

Demikian halnya dalam Fut´ úŒt al-Makkiyyah, Ibnu ‘Arab¥ mengatakan:

ﷲا ﻻإﷲافﺮﻌی ﻻو،ﷲا ﻻإدﻮﺟﻮﻟاﻲﻓﺎﻤﻓ

[fa mŒ f¥ al-wuj´di illŒ AllŒh, wa lŒ ya’rifu AllŒha illŒ AllŒhu] “Maka tidak ada dalam wuj´d kecuali Allah, dan tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah” (Ibn ‘Arab¥, Fut´ úŒt, IV, 1975: 224).

Berbagai nada ungkapan seperti inilah yang menimbulkan pemahaman pada sebagian sufi lain bahwa Ibnu ‘Arab¥ lah orang yang paling bertanggungjawab dalam pengajaran doktrin yang belakangan dikenal sebagai waúdat al-wuj´d atau wuj´diyyah tersebut, kendati sebagian sufi lainnya mencoba memberikan penjelasan bahwa dengan pernyataan-pernyataannya itu, Ibnu ‘Arab¥ sama sekali tidak bermaksud menyerupakan Tuhan dengan alam (tasyb¥h) secara mutlak, karena pada bagian lain dari karya-karyanya, Ibnu ‘Arab¥ juga tetap menekankan sifat transendensi Tuhan (tanz¥h).

Dalam Fu§´ § al-î ikam misalnya, Ibnu ‘Arab¥ mengatakan:

ﻪﻓﺮﻋﺎﻣو ﻩدﺪﺡوﻩﺪﻴﻗﺪﻘﻓ ﻪهﺰﻥﺎﻣوﻪﺒﺷﻦﻣ

[man syabbaha wa mΠnazzahahu fa qad qayyadahu wa

úaddadahu wa mŒ ‘arafahu]

“Barangsiapa men-tasyb¥h-kan Tuhan dan tidak men-tanz¥h -kan-Nya, maka ia sungguh telah mengekang dan membatasi--kan-Nya, dan ia sendiri berarti tidak benar-benar mengenal-Nya” (Ibn ‘Arab¥, Fu§´ §,h. 69).

Terlepas dari adanya perbedaan pandangan dan beragam penafsiran atas ajaran-ajaran Ibnu ‘Arab¥ tersebut, tidak dapat disangkal bahwa hingga beratus-ratus tahun kemudian, doktrin waúdat al-wuj´d selalu memicu perdebatan di kalangan para ulama sufi sendiri, dan bahkan menimbulkan penentangan dari para ulama fikih (syar¥’at), yang lebih menekankan ajaran-ajaran Islam yang bersifat eksoteris (½Œhir) dibanding yang bersifat esoteris (bŒ‹in).

Dalam konteks dunia Melayu-Indonesia sendiri, perdebatan atas doktrin waúdat al-wuj´d tersebut —seperti telah disinggung pada bab sebelumnya— pernah terjadi di Aceh, khususnya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Sani (1047-1051 H/1637-1641 M). Perdebatan tersebut terjadi antara seorang ulama sufi besar penganut tarekat Rifa’iyah, Nuruddin al-Raniri (w. 1666), dengan para pengikut ajaran wuj´diyyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrai. Sebagai seorang ulama ortodoks yang lebih mementingkan pengamalan syariat, al-Raniri mengeluarkan fatwa bahwa doktrin wuj´diyyah bersifat heterodoks, menyimpang dari akidah Islam, sehingga mereka yang tidak mau bertobat dan menolak menanggalkan paham tersebut, dapat dianggap kafir, dan dijatuhi hukuman mati (Azra 1994:182).

Berdasarkan sumber-sumber yang ada, perdebatan atas doktrin waúdat al-wuj´d di Aceh ini awalnya dipicu, terutama oleh adanya pemahaman yang tidak tepat terhadap sebuah kitab tasawuf karangan Faèl AllŒh al-Hind¥ al-BurhŒnp´r¥, yang berjudul Tuúfah al-Mursalah IlŒ [R´ ú] al-Nab¥. Hal ini misalnya digambarkan oleh IbrŒh¥m al-K´rŒn¥ dalam kitab karangannya, ItúŒf al-ªak¥ yang telah dideskripsikan pada bab sebelumnya, yakni (aslinya berbahasa Arab):

“Kami mendapat kabar terpercaya dari sebagian murid-murid dari tanah Jawi bahwa di negerinya telah tersebar sebagian kitab tentang ilmu hakikat (‘ul´m al-úaqŒ’iq) dan ilmu makrifat (‘ul´m al-asrŒr), yang banyak dibaca oleh masyarakat peminat ilmu pengetahuan yang, sayangnya, tidak benar-benar menguasai terlebih dahulu ilmu syariat yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw., dan juga tidak mempelajari terlebih dahulu ilmu hakikat (tasawuf) yang diajarkan oleh para sufi yang “lurus”, dan yang mendasarkan ajarannya hanya pada al-Quran dan hadis Nabi semata, serta yang meneladani orang-orang suci yang bertakwa secara sempurna, lahir dan batin. Kekeliruan inilah yang menyebabkan timbulnya penyimpangan sebagian besar masyarakat Jawi tersebut dari jalan yang benar,

memiliki keyakinan yang keliru, bahkan terjerumus ke dalam ajaran atheis (zandaqah) dan sesat (al-ilْúŒd). Kami berlindung kepada Allah dari berbagai kekeliruan, dan dari kejelekan yang tampak dan tidak tampak. Sebagian murid Jawi ini kemudian menceritakan bahwa di antara kitab hakikat paling populer yang banyak menimbulkan salah paham tersebut adalah Tuúfah al-Mursalah IlŒ [R´ ú] al-Nab¥ Saw. karangan al-‘ rif bi AllŒh Syaikh Muúammad ibn Syaikh Faèl AllŒh al-Hind¥ al-BurhŒnp´r¥…” (Al-K´rŒn¥, ItúŒf al-ªak¥, h. 2r).

Berdasarkan kabar yang diterimanya inilah kemudian al-K´rŒn¥ memberikan penjelasan panjang lebar tentang bagaimana seharusnya doktrin waúdat al-wuj´d —atau al-K´rŒn¥ menyebutnya tauú¥d al-wuj´d— tersebut dipahami. Prinsipnya, menurut al-K´rŒn¥, mengesakan wuj´d Tuhan (tauú¥d al-wuj´d) bisa saja dilakukan oleh para sufi yang telah mencapai martabat spiritual tertentu, kendati tetap tidak boleh bertentangan dengan rambu-rambu yang terdapat dalam al-Quran dan hadis Nabi (lihat kembali penjelasan tentang hal ini dalam pembahasan naskah ItúŒf al-ªak¥ pada bab 6).

Dengan demikian, penting ditegaskan bahwa al-K´rŒn¥, sebagai salah seorang yang sangat mempengaruhi pemikiran Abdurrauf al-Sinkili, sama sekali tidak menolak secara mutlak ajaran waúdat al-wuj´d, melainkan memberikan reinterpretasi atasnya.

Demikian halnya yang dilakukan oleh al-Sinkili. Sebagai khalifah yang paling bertanggungjawab atas penyebaran ajaran dan doktrin tarekat Sya‹‹Œriyyah di dunia Melayu-Indonesia, ia juga melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh gurunya, al-K´rŒn¥, dengan menulis berbagai karangan, baik dalam bahasa Arab maupun Melayu, untuk menjelaskan doktrin waúdat al-wuj´d tersebut.

Dalam kitab Tanb¥h al-MŒsy¥ —dan juga kitab Sya‹‹Œriyyah— misalnya, untuk memahami doktrin waúdat al-wuj´d dengan “baik”, al-Sinkili menjelaskan bahwa alam bukan merupakan wuj´d kedua yang benar-benar terpisah dari al-î aq, karena ia adalah pancaran dari Zat-Nya. Dalam hal ini, berarti al-Sinkili mengemukakan konsep imanensi (penyatuan) Tuhan dalam alam (tasyb¥h). Akan tetapi, alam juga bukan Zat al-î aq secara mutlak, melainkan sekedar bayangan-Nya, atau bahkan bayangan dari bayangan-Nya, karena Tuhan adalah Zat Yang Mahaesa, tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya (lŒ syar¥ka

lahu), meskipun Ia selalu menyertai segala sesuatu (al-Muú¥‹). Dalam hal ini, berarti al-Sinkili tetap mempertahankan konsep transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya (tanz¥h) (Tanb¥h al-MŒsy¥, h. 7; Sya‹‹Œriyyah, h. 5).

Oleh karenanya, menurut al-Sinkili, kalau ada orang yang mengatakan bahwa alam dan segala sesuatu itu adalah Zat al-î aq sendiri, hal itu sama sekali tidak benar, karena kesatuan wuj´d secara mutlak hanya berlaku pada zaman azali. Pada zaman azali, segala sesuatu memang dihubungkan dengan wuj´d Allah, sehingga ia dapat dikatakan sebagai wuj´d, namun itu pun bukan wuj´d hakiki, karena yang hakiki di zaman azali pun hanya wuj´d Allah, yang lain hanya berada pada tingkat imkŒn al-wuj´d (kemungkinan wuj´d) (Tanb¥h al-MŒsy¥, h. 8).

Kendati tidak menyebutkan nama secara ekplisit, melainkan hanya menyebut “kalau ada orang” yang bersifat umum, dalam konteks Aceh, ungkapan ini tampaknya ditujukan kepada Hamzah Fansuri atau Syamsuddin al-Sumatrai, dengan tujuan untuk mengkritisi pandangan keduanya tentang konsep waúdat al-wuj´d. Akan tetapi, menurut al-Sinkili, mereka yang setuju dengan pandangan ekstrim Hamzah Fansuri atau Syamsuddin al-Sumatrai tersebut juga tidak dapat dihakimi sebagai kafir. Dalam hal ini al-Sinkili berpesan:

“...peliharalah lidahmu dari g¥bah (membicarakan orang lain) dan dari mengkafirkan orang lain, karena pada keduanya terdapat dosa yang besar di sisi Tuhanmu yang Mahaagung; jangan engkau mengutuk saudaramu sesama muslim, karena hal itu akan menjerumuskan engkau menjadi golongan orang yang berdosa pada hari kiamat…” (Tanb¥h al-MŒsy¥, h. 44). Penjelasan dan reinterpretasi seperti yang diberikan, baik oleh al-K´rŒn¥ dalam ItúŒf al-ªak¥ sebelumnya, maupun oleh al-Sinkili dalam Tanb¥h al-MŒsy¥ dan Sya‹‹Œriyyah di atas tampaknya tidak berkembang di kalangan penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat, setidaknya seperti yang tercermin dalam naskah-naskah yang menjadi sumber utama penelitian ini. Mereka umumnya menolak secara tegas faham waúdat al-wuj´d tersebut, tanpa kompromi (lihat juga Bahri 1988: 36, 57). Ketika menjelaskan sifat ajaran Islam yang dikembangkan oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan sebagai khalifah utama tarekat Sya‹‹Œriyyah di wilayah ini, misalnya, dalam naskah KitŒb al-Taqw¥m wa al-êiyŒm ditegaskan bahwa:

“…ulama yang menuduh tarekat Syaikh Burhanuddin berfaham waúdat al-wuj´d adalah kurang tahu pada sejarah Syaikh Burhanuddin…di sini kita jelaskan supaya jangan sama pula kita dengan ulama yang buta sejarah itu…(h. 74).

Penjelasan lebih lanjut dikemukakan dalam naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau Semenjak Dahulu Dari Syaikh Burhanuddin Sampai Ke Zaman Kita Sekarang sebagai berikut:

“…Islam yang beliau kembangkan ialah… yang berfaham zahirnya kita yang memperbuat batinnya Tuhan yang menjadikan…tidak ada beliau mengajarkan faham yang beriktikad waúdat al-wuj´d…” (h. 117).

Yang menarik bahwa di antara sebab penolakan terhadap doktrin waúdat al-wuj´d tersebut dalam naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah adalah karena doktrin ini dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat dalam Islam. Masih dalam kitab yang sama dijelaskan, mereka yang menganut ajaran waúdat al-wuj´d dianggap memiliki pandangan bahwa:

“…Allah semuanya, tidak ada alam hanya Allah semata-mata, artinya tidak ada diri kita hanya Allah semata-mata, dari itulah mereka tidak merasa wajib sembahyang yang memakai ruku’ sujud, hanya merasakan Allah semata-mata meliputi seluruh alam, itulah salat dŒ’im namanya, selalu sembahyang…” (h. 70). Tampaknya, pelucutan doktrin waúdat al-wuj´d dari keseluruhan ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat ini merupakan bagian dari kecenderungan secara umum rumusan ajaran dan doktrin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang memang jauh lebih “lunak” jika dibandingkan dengan rumusan ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah sebelumnya, baik pada masa al-QusyŒsy¥ maupun al-Sinkili.

Seperti tampak dalam penjelasan atas tabel tentang transmisi ritual tarekat Sya‹‹Œriyyah pada Bab 6, sejauh menyangkut hakikat dan tujuan zikir misalnya, jika al-QusyŒsy¥ dalam al-êim al-Maj¥d-nya, dan juga al-Sinkili dalam Tanb¥h al-MŒsy¥, menegaskan bahwa tujuan akhir dari dilakukannya zikir adalah fanŒ, dalam arti fanŒ dari dirinya sendiri, fanŒ dari segala sesuatu di luar dirinya, dan fanŒ dari fanŒ itu sendiri (al-fanŒ ‘an al-fanŒ), maka naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah Melayu di Sumatra Barat “hanya” menegaskan bahwa hakikat dan tujuan akhir zikir dalam tarekat adalah untuk membersihkan tubuh lahir dan menyucikan hati.

Sejauh yang penulis ketahui, istilah fanŒ sendiri tidak pernah muncul dalam naskah-naskah Sumatra Barat tersebut. Ungkapan yang bisa dianggap paling ekstrim berkaitan dengan hakikat dan tujuan zikir ini adalah apa yang dikemukakan dalam naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau Semenjak Dahulu Dari Syaikh Burhanuddin Sampai Ke Zaman Kita Sekarang, yaitu “menafyikan wuj´d diri dan meisbatkan wuj´d Allah”, yang sesungguhnya merupakan terjemahan dari kalimat zikir lŒ ilŒha illŒ AllŒh (lihat juga Amin 1993: 118-119).

Memang, terlepas dari data dalam naskah-naskah yang dijumpai, dalam perkembangannya, ternyata tidak semua ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat menolak faham waúdat al-wuj´d ini; beberapa di antaranya dapat menerima dengan catatan. Buya Abdurrazak Mata Air Pakandangan misalnya, termasuk khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat yang dapat menerima faham waúdat al-wuj´d tersebut. Menurutnya, untuk memahami masalah waúdat al-wuj´d ini, seseorang harus terlebih dahulu mengetahui bahwa wuj´d itu terbagi dua: wuj´d úaq¥q¥ dan wuj´d i’tibŒr¥; wuj´d úaq¥q¥ adalah Tuhan, sedangkan wuj´d i’tibŒr¥ adalah alam atau manusia.

Hubungan Tuhan dan alam atau manusia itu sendiri tidak lepas dari empat pola, yaitu: tidak itti§Œl (berhubungan), tidak infi§Œl (terpisah), tidak úul´l (menempati), dan tidak ittiúŒd (menyatu). Dengan “empat tidak” tersebut, maka Tuhan dan alam atau manusia pada hakikatnya tidak bisa saling menyatu secara mutlak, tapi juga tidak saling terpisah sama sekali.25 Masalah waúdat al-wuj´d sendiri, menurut Buya Abdurrazak Mata Air Pakandangan, adalah persoalan ©auq (rasa), bukan masalah pikiran, dan bukan pula masalah hukum. Oleh karenanya, tidak semua orang dapat merasakan rasa waúdat al-wuj´d tersebut; mereka

25 Bandingkan dengan konsep al-faiè (emanasi) dan al-½ill (bayangan) yang dikemukakan al-Sinkili ketika mengemukakan pembahasan tentang hubungan ontologis antara Tuhan dan alam. Menurut al-Sinkili, meskipun alam bukan Zat Tuhan secara mutlak, namun alam juga tidak berbeda dengan-Nya secara mutlak pula, karena alam bukan wujud kedua yang benar-benar terpisah dari-Nya, melainkan pancaran (al-faiè) dari Zat Tuhan itu sendiri. Akan tetapi, ketidakterpisahan Tuhan dengan alam tersebut tidak kemudian menjadikan Tuhan dan alam itu sama, karena alam hanyalah bayangan (al-½ill) Tuhan belaka, atau bahkan bayangan dari bayangan-Nya (Fathurahman 1999: 50).

yang menyatakan pernah merasakannya pun tidak dapat dihakimi (Bahri 1988: 50-51).

7.4.2. Penegasan dan Aktualisasi Faham Ahl al-Sunnah wa al-JamŒ’ah

Hal lain yang sangat menonjol dalam ekspresi ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat seperti tercermin dalam naskah-naskahnya adalah penegasan bahwa ajaran teologis yang disampaikan oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan bercorak ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah. Hal ini, antara lain, dikemukakan dalam naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau Semenjak Dahulu Dari Syaikh Burhanuddin Sampai Ke Zaman Kita Sekarang:

“…Islam yang beliau kembangkan ialah agama Islam yang bermazhab SyŒfi’¥ dan beriktikad ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah …” (h. 117).

Dalam literatur Islam, iktikad ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah adalah sebuah faham teologis yang prinsip-prinsip ajarannya sering dihubungkan dengan ajaran-ajaran teologisnya Ab´ î asan al-‘Asy’ar¥ (260-324 H/873-935 M), seorang ulama Basrah yang dianggap sebagai penggagas teologi ‘Asy’ariyyah. Sebelumnya, Ab´ î asan al-‘Asy’ar¥ adalah penganut teologi Mu’tazilah, sebuah faham teologis yang sangat menekankan kekuatan akal, dan belakangan menjadi sasaran kritik al-‘Asy’ar¥ sendiri (Watt 1999). Di antara ajaran teologisnya, Ab´ î asan al-‘Asy’ar¥ berpandangan bahwa Tuhan tidak mungkin mengetahui dengan esensi-Nya, Tuhan harus mengetahui dengan sifat-Nya. Selain itu, Ab´ î asan al-‘Asy’ar¥ juga berpendapat bahwa al-Quran bukanlah sesuatu yang diciptakan dan bersifat baru (muhda£), melainkan bersifat terdahulu (qad¥m), karena Tuhan telah berfirman sejak zaman azali. Dalam hal perbuatan manusia, Ab´ î asan al-‘Asy’ar¥ berpandangan bahwa manusia tidak menciptakan perbuatannya sendiri, karena tiada pencipta selain Tuhan (Nasution 1985, II: 40).

Ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah sendiri, secara umum berarti “kelompok yang berpegang teguh pada sunnah dan jamaah”. Sesuai dengan namanya, mereka yang menganut faham ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah menjadikan “sunnah”, atau hadis Nabi,

dan ijmŒ26 sebagai pedoman dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, bagi kelompok Muslim yang berfaham ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah , setidaknya ada tiga pedoman yang menjadi rujukan dalam beragama mereka: al-Quran, hadis Nabi, dan ijmŒ’. Kendati ijmŒ “hanya” menempati urutan ketiga, dalam kenyataannya, ijmŒ’seringkali menjadi penentu dalam menjustifikasi sebuah persoalan hukum, terutama jika tidak dikemukakan secara spesifik dalam al-Quran dan hadis Nabi.27

Apalagi, setelah Nabi wafat, pemahaman terhadap al-Quran, dan juga hadis Nabi —yang memang ditulis dalam bahasa Arab tinggi— tidak mudah dilakukan oleh semua orang, sehingga para sahabat Nabi, dan kemudian diikuti oleh para tŒbi’¥n (pengikut sahabat), dan tŒbi’ tŒbi’¥n (pengikut tŒbi’¥n), serta para ulama besar berikutnya, dianggap sebagai semacam penerjemah yang dapat lebih tepat memahami maksud al-Quran dan hadis Nabi tersebut, sehingga hasilnya pun diangap lebih dapat dipertanggungjawabkan (Dhofier 1994: 151). Dengan demikian, bagi mereka yang menganut faham ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah , ijmŒ’ —yang menghendaki adanya persetujuan mayoritas ummat atau jamŒ’ah dalam membuat sebuah keputusan hukum— menjadi semacam ‘kata kunci’ yang membedakan kelompoknya dengan kelompok lain.

Dalam konteks Indonesia, teologi ahl sunnah wa al-jamŒ’ah ini seringkali dihubungkan dengan faham keagamaannya kelompok Muslim ortodoks, seperti mereka yang terhimpun dalam payung Nahdhatul Ulama (NU), sebuah organisasi sosial-keagamaan terbesar di samping Muhammadiyyah. Bahkan, sejumlah tokoh NU telah membuat semacam definisi bahwa yang disebut dengan faham ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah adalah faham yang, selain berpedoman kepada al-Quran, hadis Nabi, dan ijmŒ’ seperti telah dikemukakan, juga berpegang teguh pada tiga tradisi, yakni: mengikuti faham al-‘Asy’ar¥ dan al-MŒt´rid¥ dalam persoalan teologi (tauú¥d), mengikuti faham salah satu dari empat mazhab dalam persoalan hukum (fiqh), yaitu mazhab î anaf¥, MŒlik¥,

26 IjmŒdapat diartikan sebagai kesepakatan sejumlah ulama (jamŒ’ah) yang diyakini sebagai memiliki kemampuan dan pengetahuan agama yang luas, dan diberikan kepercayaan untuk mengambil keputusan menyangkut hukum-hukum keagamaan (lihat, antara lain, Bernand, “idjma”, 1999).

SyŒfi’¥, atau Hambal¥, dan mengikuti ajaran Al-Junaid al-BagdŒd¥ dalam mempraktekan tasawuf atau tarekat.28

Corak keagamaan seperti inilah yang ditegaskan oleh para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat sebagai sifat ajaran Islam yang mereka terima dari Syaikh Burhanuddin Ulakan. Lebih dari itu, secara lebih spesifik lagi, sifat dan kecenderungan keberagamaan para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat ini ditambah dengan keharusan menggunakan úisŒb taqw¥m dalam menghitung bulan, dan menggunakan metode ru’yat al-hilŒl (melihat bulan) dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Hal ini, dikemukakan, antara lain, dalam naskah KitŒb al-Taqw¥m wa al-SiyŒm sebagai berikut:

“…yang bermazhab SyŒfi’¥, Beriktikad ahl sunnah wa al-jamŒ’ah , bertasawuf atas tarekat Syattari, membilang bulan memakai úisŒb taqw¥m , dan memasuki puasa dengan ru’yat al-hilŒl, artinya melihat bulan di malam ketiga puluh Sya’ban…” (h. 72).

Kecenderungan untuk menganut mazhab SyŒfi’¥ seperti dikemukakan dalam kutipan di atas juga patut digaribawahi, karena dalam kenyataannya, hanya mazhab SyŒfi’¥ lah yang dipraktekkan oleh para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah. Kutipan

Dokumen terkait