• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAREKAT SYA RIYYAH DI SUMATRA BARAT: TEKS DAN KONTEKS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TAREKAT SYA RIYYAH DI SUMATRA BARAT: TEKS DAN KONTEKS"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 7

TAREKAT SYA

$ $



RIYYAH DI SUMATRA BARAT:

TEKS DAN KONTEKS

7.1. Penjelasan Umum

Seperti telah dikemukakan pada Bab 2, tarekat Sya‹‹Œriyyah telah mengalami, setidaknya, empat fase sejak awal pertumbuhannya di Iran dan Turki Usmani dengan nama tarekat ‘Isyqiyyah dan Bis‹Œmiyyah, kemudian memulai konsolidasinya di India dengan nama Sya‹‹Œriyyah, sebelum kemudian merumuskan ajarannya secara lebih sistematis di Haramayn, dan mengangkat sejumlah khalifah yang berasal dari berbagai pelosok negeri, termasuk para khalifah dari Dunia Islam Melayu-Indonesia.

Dengan tersebarnya tarekat Sya‹‹Œriyyah tersebut ke wilayah lain di luar Haramayn, maka corak dan kecenderungan ajaran tarekat ini pun mulai memperlihatkan dinamikanya yang khas dan bersifat lokal, karena dipengaruhi oleh adat, tradisi dan budaya masing-masing tempat di mana tarekat tersebut berkembang.

Bab 7 ini utamanya diarahkan untuk melihat dinamika dan perkembangan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat dengan tetap mendasarkan pada data-data pokok dalam naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah yang telah dikemukakan sebelumnya. Pembahasan atas data-data yang bersifat tekstual tersebut akan ditempatkan dalam konteks wacana keagamaan yang berkembang di Sumatra Barat. Selain itu, dalam bab ini juga akan dikemukakan berbagai ciri dan karakteristik tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat, dengan berbagai ekspresinya yang bersifat lokal.

7.2. Tarekat Sya‹‹Œriyyah dalam Konteks

Wacana Keagamaan Islam di Sumatra Barat

(2)

mengisyaratkan bahwa tarekat Naqsybandiyyah baru masuk ke Sumatra Barat pada sekitar tahun 1850-an. Hal ini diamini oleh sarjana lain semisal Martin van Bruinessen (1996: 124), dan Karel A. Steenbrink (1984: 178).

Jika pendapat kedua di atas benar, maka tentu saja tarekat Sya‹‹Œriyyah jauh lebih dahulu hadir di Sumatra Barat, karena beberapa sumber lokal menyebutkan bahwa tarekat ini telah masuk ke Sumatra Barat pada akhir abad ke-17, ketika Syaikh Burhanuddin kembali dari Aceh setelah belajar dengan Abdurrauf al-Sinkili (lihat, antara lain, Amin 1993: 37).

Naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah lokal bahkan cenderung menegaskan bahwa tarekat Sya‹‹Œriyyah merupakan jenis tarekat pertama yang masuk ke Sumatra Barat. Naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau misalnya, menyebutkan bahwa Syaikh Burhanuddin membawa tarekat Sya‹‹Œriyyah ke wilayah ini pada tahun 1070 H/1659 M. Mulai saat itu, demikian naskah ini menjelaskan, corak Islam yang ada di Minangkabau hanya satu, yaitu:

“…agama Islam yang bermazhab Imam SyŒfi’¥ dan beri’tikad memakai iktikad ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah, dan dalam bertasawuf memakai tarekat Sya‹‹Œr¥…” (h. 73).

Tarekat Naqsybandiyyah sendiri disebutkan baru masuk sekitar 127 tahun kemudian. Jika perhitungannya dimulai dari tahun kedatangan Syaikh Burhanuddin di atas, maka berarti tarekat Naqsybandiyyah masuk ke Sumatra Barat pada sekitar tahun 1786 M. Dalam Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau tertulis:

“…maka seratus dua puluh tujuh tahun kemudian barulah datang tarekat naqsyabandi dalam bertasawuf yang zikir tarekatnya zikir qalbi dengan kalimat Allah Allah, yang dalam hati amalnya, ada murid bertawajjuh sesudah sembahyang magrib, dan bersuluk selama empat hari, yang dibawa oleh seorang ulama yang duduk mengajar di kampung Cangking Koto Candung Ampat Angkat, yang dimasyhurkan orang Tuan Syaikh Cangking (Syaikh Koto Tuo), bilangan bulannya bernama bilangan lima yang dua hari dahulunya dari bilangan taqwim yang dibawa Syaikh Burhanuddin”. (h. 73)

(3)

tarekat Naqsybandiyyah yang sedikit banyak dianggap berbeda dengan faham dan ritualnya, dan oleh karenanya dianggap mengancam pengaruh atau kharisma para ulama Sya‹‹Œriyyah tersebut di kalangan masyarakat.

Seperti dikemukakan Schrieke (1973: 25), pada awal abad ke-19, ketegangan antara tarekat Sya‹‹Œriyyah dan tarekat Naqsybandiyyah memang tak terhindarkan. Bahkan, pertentangan antara dua kelompok tarekat tersebut pada gilirannya menjadi bagian dari faktor penyebab munculnya konflik sosial di Sumatra Barat, di samping juga faktor lainnya seperti konflik antara ulama tua dan ulama muda. Berkaitan dengan konflik antara tarekat Sya‹‹Œriyyah dengan tarekat Naqsybandiyyah ini, Dobbin (1992: 148) misalnya mencatat terjadinya pertentangan sengit yang menyebabkan permusuhan terbuka antara pusat Sya‹‹Œriyyah di Ulakan dengan Taram dan Talawi yang berorientasi pada tarekat Naqsybandiyyah.

Tetapi, sejauh menyangkut ketegangan tersebut, tampaknya yang menjadi pangkal utamanya bukan semata-mata persoalan perbedaan faham dan ajaran, melainkan juga dipengaruhi oleh masalah rebutan pengaruh dan kehormatan (Dobbin 1992: 148). Beberapa sumber misalnya menginformasikan bahwa Syaikh Jalaluddin, seorang Syaikh tarekat Naqsybandiyyah paling berpengaruh dari Cangking telah berhasil menarik perhatian sejumlah pengikut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Ulakan untuk berpindah menjadi pengikut tarekat Naqsybandiyyah. Hal ini tentu saja mengakibatkan terjadinya konflik terbuka antara guru-guru tarekat Naqsybandiyyah dengan guru-guru dari tarekat Sya‹‹Œriyyah (Bruinessen 1996: 125).

Tentu saja, persoalan yang menyangkut perbedaan faham dan ajaran juga menjadi salah satu pemicu terjadinya ketegangan tersebut. Ini pun dengan catatan bahwa, sejauh data yang dijumpai, hal yang dipertentangkan itu bukan menyangkut doktrin-doktrin tasawuf itu sendiri, melainkan lebih berorientasi pada aspek syariat.

Para pengikut tarekat Naqsybandiyyah memang dikabarkan tidak menyukai ajaran martabat tujuh, sebuah ajaran tentang teori penciptaan alam yang bersumber dari kitab al-Tuúfah al-Mursalah ilŒ R´ ú al-Nab¥ karangan al-BurhŒnp´r¥. Ajaran ini dikembangkan oleh Abdurrauf al-Sinkili, sebagai khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah, dalam berbagai karangannya, serta dielaborasi untuk menjelaskan dan menginterpretasi doktrin waúdat al-wuj´d yang pernah menghebohkan di Dunia Melayu-Indonesia itu.

(4)

dan dikembangkan oleh para pengikutnya, mereka bahkan melucuti ajaran tersebut dari keseluruhan ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah dengan alasan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat (lihat Kitab Menerangkan, h. 70), sehingga, sejauh berkaitan dengan ajaran waúdat al-wuj´d ini, corak tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat menjadi relatif berbeda dengan corak tarekat Sya‹‹Œriyyah yang dikembangkan, misalnya, oleh al-Sinkili di Aceh (Dobbin 1992: 144), kendati dalam beberapa hal lain, seperti menyangkut ritual zikir atau penekanan pada aspek syariat, tidak ada perbedaan yang terlalu tajam di antara keduanya.

Di antara persoalan yang sering menjadi arena perdebatan antara tarekat Naqsybandiyyah dengan Sya‹‹Œriyyah adalah menyangkut penetapan awal dan akhir bulan puasa Ramadan. Schrieke misalnya melaporkan bahwa selama bertahun-tahun, di sekitar Padang Panjang selalu terjadi pertentangan sengit antara Sya‹‹Œriyyah dan Naqsybandiyyah menyangkut persoalan tersebut. Demikian halnya di Pariaman, hingga sekarang masih terjadi perbedaan pendapat antara penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Ulakan dengan penganut Naqsybandiyyah di Cangking mengenai awal dan akhir bulan puasa. Biasanya, para penganut Sya‹‹Œriyyah merayakan puasa Ramadan atau atau dua hari kemudian setelah para penganut tarekat Naqsybandiyyah merayakannya, sehingga karenanya mereka mendapatkan julukan “orang puasa kemudian”, sementara tarekat Naqsybandiyyah disebut orang sebagai “orang puasa dahulu”.1 Hal ini, persis seperti apa yang digambarkan dalam kutipan di atas tentang tarekat Naqsybandiyyah, yakni: “…bilangan bulannya bernama bilangan lima yang dua hari dahulunya dari bilangan taqwim yang dibawa Syaikh Burhanuddin…”.

Akan tetapi, penting juga dicatat bahwa konflik lebih tajam yang melibatkan para pengikut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat ini sesungguhnya terjadi ketika pada tahun 1804, tiga Haji putra Minangkabau kembali dari Tanah Suci Makkah setelah menuntut ilmu selama beberapa tahun. Ketiga Haji tersebut adalah Haji Miskin dari Pandai Sikat Padang Panjang, Haji Abdurrahman dari Piyobang Payakumbuh, dan Haji Sumanik dari Batusangkar. Tampaknya, pemikiran keagamaan ketiga Haji tersebut banyak dipengaruhi oleh gagasan pembaharuan kaum Wahabi di Makkah, yang diajarkan oleh Muúammad ibn ‘Abd al-WahhŒb (1115-1206 H/1703-1792 M), seorang ulama asal Nejd di Arab Timur. Pandangan-pandangan Muúammad ibn ‘Abd al-WahhŒb ini banyak yang sejalan dengan pandangan-pandangan keagamaan seorang ulama pembaharu

(5)

sebelumnya, yakni Taq¥ al-D¥n Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), yang mengkampanyekan agar, dalam beragama, umat Islam kembali kepada al-Quran dan mencontoh Nabi.2

Pada awalnya, kaum Wahabi di Makkah semata-mata menyerukan umat Islam untuk kembali ke ajaran Islam yang murni, tidak bercampur bid’ah, khurafat, dan takhayul. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, seruan itu berubah menjadi gerakan yang cenderung menggunakan tindakan-tindakan radikal, yang dengan tegas membedakan antara orang yang beriman dengan yang tidak beriman, serta menganjurkan perang suci (jihad) terhadap orang-orang yang tidak mau mengikuti seruannya (Rahman 1997: 286-294).

Dalam gerakan dakwahnya, kaum Wahabi berangkat dari satu asumsi bahwa sebagian kalangan umat Islam telah melakukan dan mengembangkan praktek-praktek keagamaan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, dan oleh karenanya harus ditumpas, dengan cara apapun. Di antara kelompok yang menjadi “sasaran dakwah” gerakan Wahabi adalah para penganut tasawuf dan tarekat, yang oleh kaum Wahabi dianggap telah berlebihan dalam menjalin hubungan dengan Tuhan. Oleh karenanya, mereka menolak tindakan pengeramatan terhadap kuburan para sufi yang dianggap sebagai orang suci. Selain itu, mereka juga melarang umat Islam untuk mengisap tembakau, melarang pemakaian kain sutera, melarang penggunaan tasbih dalam berzikir, dan lain-lain.

Gagasan-gagasan Wahabi seperti inilah yang kemudian dibawa oleh tiga Haji di atas, ke tanah airnya, Minangkabau. Mereka berpandangan bahwa di kalangan masyarakat Minangkabau, khususnya di kalangan para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah, banyak dilakukan praktek-praktek keagamaan yang bersifat bid’ah, khurafat, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, sehingga karenanya harus “diluruskan”, atau bahkan diperangi dengan jalan kekerasan jika diperlukan.

Akan tetapi, dalam perjalanannya, gagasan-gagasan yang diusung oleh tiga Haji itu ternyata mendapat tantangan keras dari guru-guru tarekat Sya‹‹Œriyyah, sehingga tidak dapat berjalan mulus seperti yang diharapkan. Haji Miskin misalnya, sampai harus berpindah-pindah tempat tinggal dari satu kampung ke kampung lainnya, karena selalu dimusuhi oleh para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah yang belum bisa menerima faham pembaharuannya. Terakhir, Haji Miskin menyelamatkan diri ke

(6)

Bukit Kamang, dan pada 1811 ia meneruskan gerakannya di Aie Tabik, di Luhak Lima Puluh Kota (Chatib & Erman 2002: 191).

Selain dalam konteks pertentangan dengan tarekat Naqsybandiyyah, khususnya dalam persoalan penetapan awal puasa Ramadhan, dalam konteks gerakan pembaharuan ini pula kiranya kita dapat menempatkan naskah RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau, dan naskah KitŒb al-Taqw¥m wa al-êiyŒm yang ketiganya ditulis oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin. Dalam RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, pengarang menjelaskan:

“Adapun sebabnya maka disusun buku ini adalah berkehendak setengah saudara kita untuk memberi penjelasan tentang adanya dua faham untuk beramal ibadat kepada Allah, yaitu disebut orang Kaum Tuo (kaum kuno) dan Kaum Mudo (kaum baru) sehingga kami orang awam merasa ragu-ragu manakah yang akan diikuti…Oleh karena kita banyak membaca buku-buku sejarah dan buku hadis, maka dapatlah saya mengabulkan kehendak saudara-saudara kita itu barang alakadarnya” (h. 3).

Naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau juga menjelaskan bahwa sebab ditulisnya naskah ini adalah karena setelah datangnya tarekat Naqsybandiyyah, dan disusul kemudian munculnya faham Wahabi yang diusung oleh tiga Haji di atas, corak ritual keagamaan masyarakat Minangkabau menjadi bermacam-macam, dan menimbulkan kebingunan di sebagian kalangan orang awam:

“…ada memakai u§all¥ ada yang tidak, ada pula yang memasuki puasa menilik hilal lebih dahulu dan adapula cukup dengan melihat almanak saja, ada yang sembahyang tarawih dua puluh ditambah witir tiga, dan adapula yang delapan rakaat ditambah dengan witir tiga rakaat…” (h. 3).

Tak heran kemudian, jika dalam uraian berikutnya —seperti tampak dalam pemerian naskah— naskah RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau, dan naskah KitŒb al-Taqw¥m wa al-êiyŒm mencoba menjelaskan secara terperinci, dan menunjukkan kebenaran —dalam perspektif penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah tentunya— isu-isu apa saja yang menjadi ajang perdebatan dan pertentangan, baik dengan tarekat Naqsybandiyyah maupun dengan tiga Haji, yang disebut sebagai perpanjangan tangan gerakan Wahabi di atas.

(7)

untuk bulan Ramadhan, Nabi memberikan tuntunan tersendiri, yakni dengan metode ru’yat al-hilŒl (melihat bulan). Dalam konteks Sumatra Barat, hal ini tentu saja ditujukan untuk menyanggah pendapat para penganut tarekat Naqsybandiyyah, yang tetap berpegang pada metode hisŒb taqw¥m untuk menentukan awal hari semua bulan Qomariyah, termasuk awal hari bulan puasa Ramadhan, sehingga hingga kini, selalu terjadi perbedaan di antara keduanya.

Penting dikemukakan bahwa dalam keseluruhan perdebatan yang melibatkan tarekat Sya‹‹Œriyyah tersebut, naskah RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau, dan naskah KitŒb al-Taqw¥m wa al-êiyŒm cenderung menegaskan bahwa hingga beberapa puluh tahun lamanya, corak ritual dan ibadah yang dikembangkan oleh para ulama Sya‹‹Œriyyah lah yang pada akhirnya diterima oleh masyarakat Minangkabau. Naskah RisŒlah M¥zŒn al-Qalb misalnya mengatakan:

“…di waktu itu, yaitu di tahun 1840 M sampai tahun 1908 M, seluruh Nusantara ini (Indonesia) satu saja coraknya amal orang, yaitu kalau sembahyang sama-sama beru§all¥, sama berqunut tampung tangan, kalau kematian sama dibacakan talkin, kalau tiba bulan rabiul awwal sama-sama memperingati maulid Nabi Muhammad Saw beserta jamuannya…kalau kematian di rumah seseorang, maka datanglah guru-guru beserta rakyat menghadiahkan bacaan-bacaan amal, seperti membaca al-Quran bertahlil, dan lain-lain amal, waktu memasuki puasa dan akan berhari raya sama-sama memakai rukyat, artinya melihat awal bulan, dan sembahyang tarawihnya dua puluh rakaat, tidak ada yang membuat delapan rakaat…” (h. 80).

Hal yang sama juga dikemukakan kembali oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin dalam naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau, seraya diakhiri dengan ungkapan: “…di waktu itulah keadaan negeri aman dan amal ibadat satu…” (h. 62).

Akan tetapi, rupanya pergolakan keagamaan yang melibatkan kelompok tarekat Sya‹‹Œriyyah ini meruncing kembali pada awal abad ke-20, tepatnya ketika pada sekitar tahun 1906 empat ulama Minangkabau kembali dari Tanah Suci Makkah setelah beberapa tahun belajar agama kepada Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabaw¥. Keempat ulama itu adalah: Haji Muhammad Jamil Jambek Bukittinggi, Haji Muhammad Taib Umar Sungayang Batusangkar, Haji Abdullah Ahmad Padang Panjang, dan Haji Abdul Karim Amrullah Maninjau.

(8)

banyak dianut oleh masyarakat Minangkabau. Mereka menganggap bahwa praktek tarekat tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Dijelaskan oleh pengarang bahwa: “…tarekat itu sudah menjadi perbincangan mereka dengan guru mereka bahwa tarekat itu adalah salah…” (RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, h. 84). Oleh karenanya, keempat ulama ini sangat proaktif mengajak kepada kalangan penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah untuk meninggalkan praktek keberagamaannya.

Pada tahun 1907 misalnya, Haji Muhammad Jamil Jambek mengadakan pertemuan terbatas dengan mengundang tokoh-tokoh ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah untuk datang ke rumahnya dan berdiskusi berkaitan dengan perbedaan pandangan atas praktek tarekat tersebut. Di antara ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah yang hadir, dan rata-rata telah berusia tua, adalah: Syaikh Khatib Muhammad Ali al-Padani, Syaikh Muhammad Dalil (Tuanku Syaikh Bayang), Tuanku Syaikh Khatib Sayyidina Syaikh Muhammad Taib Sibarang Padang, dan Tuanku Imam Masjid Ganting padang. Adapun dari kelompok ulama pembaharu, yang rata-rata masih berusia muda, antara lain: Haji Abbas Daud Balingka, yang dikenal sebagai Inyiek Balingka, Haji Abdullah Ahmad Padang Panjang, dan Haji Abdul Karim Amrullah Maninjau, yang dikenal sebagai Inyiek Rasul.

Diceritakan bahwa dalam pertemuan tersebut terjadi perdebatan hangat antara dua kelompok ulama ini tentang boleh tidaknya praktek tarekat menurut Islam. Akan tetapi, kendati berlangsung hingga larut malam, tidak tercapai kata sepakat di antara dua kelompok ulama tersebut, sehingga perbedaan pandangan, dan karenanya pertentangan, antara para ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah dengan para ulama pembaharu pun terus berlangsung. Dan, momentum inilah yang disebut dalam naskah RisŒlah M¥zŒn al-Qalb sebagai asal mula munculnya istilah Kaum Tua dan Kaum Muda:

“…maka di sinilah asal mulanya sebutan kaum tua (kaum kuno), karena ulama-ulama yang mempertahankan tarekat itu telah tua-tua semuanya, yaitu lima puluh tahun ke atas. Sedangkan yang membatalkan tarekat itu ulama-ulama muda semuanya, yaitu tiga puluh tahun ke bawah. Maka dinamai orang mereka kaum muda (kaum baru) sehingga masyhurlah sesudah itu sebutan kaum kuno dan kaum muda. Maka di sinilah asal mulanya sebutan itu…” (h. 85-86).

(9)

ditulis oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin, ditulis untuk menjelaskan pergolakan keagamaan yang pernah terjadi di kalangan masyarakat Minangkabau. Dalam perspektif penulis naskah-naskah tersebut, yang notabene adalah pengikut tarekat Sya‹‹Œriyyah sendiri, pergolakan tersebut diakibatkan oleh dua hal: pertama, karena adanya perbedaan pandangan antara para pengikut tarekat Sya‹‹Œriyyah dengan tarekat Naqsybandiyyah, dan kedua, karena adanya “serangan” dari kaum pembaharu atas berbagai ritual dan praktek keagamaan kaum tarekat.

7.3. Perkembangan dan Silsilah

Tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat

Sejauh menyangkut awal masuknya Islam ke Sumatra Barat, sebagian sarjana berpandangan bahwa Syaikh Burhanuddin lah orang yang pertama kali membawanya (lihat, antara lain, Arnold 1913: 366; al-Attas 1969: 11). Menurut Arnold dan al-Attas, Syaikh Burhanuddin, selain berguru kepada Syaikh Abdurrauf Singkel, adalah juga murid dari Syaikh ‘AbdullŒh ‘ rif, seorang pengembara Arab yang membawa Islam ke wilayah Utara Sumatra pada sekitar tahun 506 H/1112 M. Akan tetapi, —seperti dikemukakan Azra (1988: 12)— pandangan tersebut sulit diterima, selain karena tidak didukung data-data historis, juga karena Syaikh Burhanuddin sendiri diketahui hidup jauh dari masa hidupnya Syaikh ‘AbdullŒh ‘ rif tersebut, yakni pada awal hingga akhir abad ke-17 (Daya 1990: 35).

Sebagian sumber lain mengatakan bahwa Islam sudah masuk ke Sumatra Barat pada abad pertama hijriyah, atau abad ke-7 dan 8 Masehi, jauh sebelum Syaikh Burhanuddin lahir, melalui para saudagar Muslim yang tidak dan belum dikenal, sedangkan Syaikh Burhanuddin sendiri “hanya” seorang muballig terkemuka pada abad ke-17, dan bukan pembawa Islam pertama ke Sumatra Barat (Boestami dkk. 1981: 3).

(10)

sekitar tahun 610 H/1214 M, sehingga ia dikenal dengan sebutan Syaikh Burhanuddin Kuntu (Abdulah 1999: 36-37).

Dalam naskah RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, Imam Maulana Abdul Manaf Amin juga mencatat bahwa Syaikh Burhanuddin yang dianggap sebagai pembawa Islam masa awal ke Sumatra Barat adalah seorang saudagar Arab yang datang —bersama rombongan para pedagang— ke Sumatra Barat pada sekitar tahun 814 H/1411 M. Pada awalnya, Syaikh Burhanuddin, yang orang Arab ini, mengembangkan Islam di daerah Siak, sebelum kemudian berpindah ke, dan menetap di, Kuntu, Kampar Kiri, dan mengajar di sini hingga wafatnya pada tahun 839 H/1435 M, sehingga ia lebih dikenal sebagai Syaikh Burhanuddin Kuntu. Konon, gaung dakwah Syaikh Burhanuddin Kuntu ini sampai juga ke daerah Indragiri, Riau. Ia juga diriwayatkan pernah mendakwahkan Islam ke kalangan istana Pagaruyung (RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, h. 153-154).

Penting dicatat bahwa, berdasarkan informasi yang terdapat dalam beberapa naskah tulisannya, angka tahun yang diberikan Imam Maulana Abdul Manaf Amin seringkali jauh lebih awal dari angka yang dicatat oleh para sejarahwan umumnya. Oleh karenanya, yang lebih penting diperhatikan dalam hal ini adalah bahwa di kalangan masyarakat Minangkabau sendiri, Islam diyakini telah menyebar pada sekitar abad ke-15.

(11)

bandingkan dengan Daya 1990: 179).3 Setelah Syaikh ‘AbdullŒh ‘ rif wafat, Pono —sesuai saran gurunya— kemudian pergi ke Aceh untuk belajar kepada Syaikh Abdurrauf Sinkili. Dari al-Sinkili inilah Pono mendapatkan nama barunya, Burhanuddin (Amin 1993: 19).

Dalam sumber-sumber lokal digambarkan bahwa hubungan Burhanuddin Ulakan dengan al-Sinkili tergolong istimewa. Ketaatan dan sikap hormat (ta’½¥m) Burhanuddin kepada al-Sinkili, misalnya, digambarkan persis seperti ketaatan Sinkili kepada gurunya, al-QusyŒsy¥:

“...adab dan tertib Burhanuddin kepada gurunya Syaikh Abdurrauf di dalam menuntut ilmu tidak ada ubahnya seperti adab dan tertib Syaikh Abdurrauf pula terhadap gurunya, Syaikh Aúmad al-QusyŒsy¥, yaitu mendukung dari tempat tinggalnya ke tempat mengajar, yaitu di Masjid, selain mendukung guru juga Burhanuddin menggembalakan ternak Syaikh Abdurrauf, yaitu kambing tiap-tiap hari dan lagi menggali tabat (kolam) ikan di sekeliling masjid…” (Amin 1993: 21; bandingkan dengan Ronkel 1914).

Riwayat yang berkaitan dengan berapa lama Syaikh Burhanuddin Ulakan belajar kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili agak simpang siur. Beberapa sumber di antaranya menyebutkan bahwa Syaikh Burhanuddin Ulakan belajar di Aceh selama 13 tahun.4 Akan tetapi, sumber-sumber lokal sendiri menyebut angka 30 tahun.5

Dalam hal ini, tidak mudah untuk memastikan angka yang paling mendekati kebenaran, apalagi beberapa angka tahun yang disebut dalam naskah-naskah lokal seringkali meragukan karena tidak sesuai dengan sumber-sumber sejarah lainnya. Dalam hal awal kedatangan Syaikh Burhanuddin dan keempat temannya ke Aceh misalnya, naskah Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau menceritakan:

“...selamatlah perjalanan mereka sampai ke negeri Sinkil. Setelah tiba di Sinkil, didapatlah keterangan bahwa Syaikh Abdurrauf telah duduk mengajar di Sinkil telah setahun lamanya, yaitu dari tahun 1039 H …” (Amin 1993: 19).

Dari kutipan di atas, diisyaratkan bahwa al-Sinkili kembali dari Haramayn pada tahun 1039 H/1629 M, padahal, beberapa sumber lain menyebut bahwa al-Sinkili baru kembali pada tahun 1072

3 Selengkapnya tentang riwayat Syaikh Burhanuddin ketika belajar dengan Syaikh

Abdullah Arif, lihat Amin 1993.

(12)

H/1661 M, yakni setahun setelah gurunya, al-QusyŒsy¥, wafat (Rinkes 1909; Voorhoeve 1980; Azra 1994). Hal lain yang meragukan adalah keterangan yang menyebutkan bahwa Syaikh Burhanuddin kembali ke Minangkabau pada tahun 1070 H/1659 M (Amin 1993: 37). Informasi ini jelas terbantahkan jika dapat dipastikan bahwa al-Sinkili baru kembali pada tahun 1072 H/1661 M seperti disebutkan di atas.

Sesungguhnya, jika angka tahun 1039 H yang disebutkan dalam kutipan di atas diabaikan saja, dan lebih memperhatikan kalimat: “…setelah tiba di Sinkil, didapatlah keterangan bahwa Syaikh Abdurrauf telah duduk mengajar di Sinkil telah setahun lamanya…” dalam naskah tersebut di atas, maka —dengan mengasumsikan bahwa al-Sinkili tiba di Aceh dari Haramayn pada tahun 1072 H/1661 M— berarti Syaikh Burhanuddin mulai belajar dengan al-Sinkili pada tahun 1073 H/1662 M. Kemudian, tentang berapa lama Syaikh Burhanuddin belajar dengan al-Sinkili, barangkali patut diperhatikan apa yang dikemukakan Burhanuddin Daya bahwa Syaikh Burhanuddin pertama kali mendirikan suraunya pada tahun 1680 M (Daya 1990: 79). Artinya, ada rentang waktu sekitar 18 tahun sejak keberangkatan Syaikh Burhanuddin ke Aceh. Tentu saja, — sekali lagi— tidak mudah menentukan angka pasti lamanya Syaikh Burhanuddin belajar dengan al-Sinkili, tetapi diduga kuat kurang dari 30 tahun.

Terlepas dari adanya beberapa ketidakjelasan menyangkut riwayat hidup dan riwayat pendidikannya, satu hal yang tidak diragukan adalah bahwa Syaikh Burhanuddin Ulakan telah memainkan peran yang sangat penting dan menentukan dalam proses islamisasi di alam Minangkabau. Segera setelah kembali ke kampung halamannya, Syaikh Burhanuddin mendirikan surau Sya‹‹Œriyyah, sebuah lembaga pendidikan tradisional sejenis ribŒ‹, di Tanjung Medan, yang saat itu segera termasyhur sebagai salah satu, kalau tidak satu-satunya, pusat keilmuan Islam di wilayah ini.6 Surau Syaikh Burhanuddin ini pada mulanya diberi nama “Surau Batang Jelatang”, dan kini dikenal sebagai “Surau Gadang” (Yafas dkk. 1984: 129).

Murid-murid Syaikh Burhanuddin Ulakan pun datang dari berbagai pelosok; di antara mereka banyak yang kemudian diangkat menjadi khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah, dan menyebarkannya di desa masing-masing melalui lembaga surau yang mereka dirikan pula.

Di antara murid-murid Syaikh Burhanuddin Ulakan, empat orang di antaranya adalah sahabat-sahabatnya sendiri

(13)

ketika menuntut ilmu kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh. Konon, ketika Syaikh Burhanuddin diizinkan pulang oleh gurunya, al-Sinkili, keempat sahabatnya itu juga memohon izin kepada al-Sinkili untuk mengikuti Syaikh Burhanuddin. Saat itu al-Sinkili tidak memberikan izin karena mereka dianggap belum “lulus”, dan masih harus menyelesaikan pelajarannya. Akan tetapi, keempat sahabat Syaikh Burhanuddin Ulakan tersebut memaksa pulang, sehingga mereka berangkat dengan tanpa mendapat restu dari al-Sinkili.

Kemudian, keempat sahabat Syaikh Burhanuddin Ulakan tersebut mencoba menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat di desanya masing-masing, yakni: Datuk Maruhun Panjang ke Padang Ganting Batusangkar, Syaikh Tarapang ke Kubung Tiga Belas Solok, Syaikh Mutanasir ke Koto Tangah Padang, dan Syaikh Buyung Muda ke Bayang Pulut-pulut Bandar Sepuluh. Ternyata, kedatangan mereka tidak disambut sebagaimana mestinya seorang guru tarekat, bahkan tidak sedikit masyarakat yang membencinya. Dalam naskah Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau diceritakan:

“...Tetapi, entah oleh karena belum sepenuh hati guru melepasnya pulang ke kampung, maka setelah dicobanya menyiarkan agama Islam di kampung mereka masing-masing, tidak suka orang mengikuti mereka, sehingga kebanyakan orang benci mendengarkan perkataan mereka dan sangat benci melihat mereka…” (Amin 1993: 54; lihat juga Amin, Sejarah Ringkas Syaikh Surau Baru, h. 13 ).

Sementara itu, pada saat yang sama, keempat orang ini menyaksikan sahabatnya, Syaikh Burhanuddin Ulakan, mendapatkan sambutan terhormat yang luar biasa besar dari masyarakat Tanjung Medan khususnya, dan masyarakat Minangkabau dari berbagai pelosok umumnya:

“...penuntut sangat ramai berdatangan dari tiap-tiap nagari di Minangkabau ini. Orang yang datang itu bukan yang muda-muda saja, tetapi juga yang tua-tua dan perempuan-perempuan…” (Amin 1993: 53-54).

(14)

Burhanuddin Ulakan pun kemudian menerima mereka sebagai murid-muridnya, sekaligus pembantu-pembantunya dalam mengajarkan Islam, dengan corak tarekat Sya‹‹Œriyyah (Amin, Sejarah Ringkas, h. 15).

Oleh Syaikh Burhanuddin, keempat sahabatnya ini tidak ditempatkan di Tanjung Medan, melainkan diberikan tempat tinggal dan mengajar tersendiri, yakni di suatu tempat yang di kemudian hari dikenal sebagai Ulakan, tempat di mana Syaikh Burhanuddin dimakamkan pada tahun 1111 H/1699 M, beberapa tahun setelah wafatnya Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh (Abdullah 1980: 57).

Dengan kemasyhurannya sebagai seorang tokoh penyebar ajaran Islam, Syaikh Burhanuddin Ulakan memantapkan dirinya sebagai ulama Minangkabau paling penting menjelang akhir abad ke-17, di mana hampir semua ulama Minangkabau, termasuk mereka yang kemudian berbeda pendapat dan memilih jenis tarekat selain Sya‹‹Œriyyah, dari generasi berikutnya, belajar dan berguru kepadanya.

Di antara murid Syaikh Burhanuddin Ulakan adalah seorang ulama besar di Padang Darat, Tuanku Nan Tuo Mansiangan, guru bagi Tuanku Nan Tuo di Cangking, Ampek Angkek, yang belakangan memilih mengembangkan tarekat Naqsybandiyyah dan menjadi rival tarekat Sya‹‹Œriyyah di Ulakan.7 Seperti telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, sejauh menyangkut sejarah Islam di Minangkabau, “tarekat Ulakan”, yang Sya‹‹Œriyyah, dan “tarekat Cangking”, yang Naqsybandiyyah, mengalami pertentangan yang lumayan sengit, sehingga timbul kesan, seolah-olah ada dua macam Islam di Minangkabau: “Islam Ulakan”, dan “Islam Cangking”.8 Akan tetapi, yang ingin ditegaskan di sini adalah, betapa pun belakangan muncul pertentangan tersebut, keduanya tetap memiliki silsilah keilmuan dengan tarekatnya Syaikh Burhanuddin.

Apalagi, berkaitan dengan Tuanku Nan Tuo di Cangking, kendati memilih untuk mengembangkan tarekat Naqsybandiyyah, ia, bersama-sama dengan ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah lain, sangat giat mengkampanyekan rekonsiliasi antara ajaran tasawuf dan syariat. Melalui suraunya sendiri di Cangking, Ampat Angkat, Tuanku Nan Tuo meraih kemasyhurannya sebagai ulama syariat dan tasawuf. Karena keahliannya dalam dua aspek Islam ini, Tuanku Nan Tuo dilukiskan dalam Hikayat Jalaluddin sebagai “Sul‹Œn ‘



lim AuliyŒ AllŒh” yang menjadi “pemimpin seluruh ulama

7 Lihat Schrieke 1973: Daya 1990: 180.

(15)

Minangkabau yang termasuk golongan ahl sunnah wa al-jamŒ’ah”.9 Pada masa berikutnya, perjuangan Tuanku Nan Tuo di Cangking ini dilanjutkan oleh salah seorang muridnya yang bernama Fakih Shagir Jalaluddin, yang menulis naskah Hikayat Jalaluddin yang dikutip di atas.

Kembali kepada Syaikh Burhanuddin Ulakan, hal lain yang penting ditegaskan adalah bahwa melalui institusi tarekat, dalam hal ini tarekat Sya‹‹Œriyyah, yang menjadi sarana Syaikh Burhanuddin Ulakan dalam mendakwahkan Islam, ajaran-ajaran Islam tampaknya lebih mudah diterima oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau. Hal ini sangat dimungkinkan karena, dalam dakwahnya, Islam tarekat lebih mengedepankan pentingnya kualitas spiritual dan penyucian batin (tah ¥b al-nafs) dibanding praktek dan ritual syariat, sehingga, di wilayah mana pun tarekat berkembang, masyarakat yang menerima umumnya tidak menunjukkan penolakan keras.

©

10

Apalagi, dalam tarekat terdapat tradisi silsilah11, yang menegaskan bahwa berbagai ajaran tarekat yang disampaikan, telah melalui mata rantai guru-murid yang terpercaya, dan silsilahnya bahkan sampai kepada Nabi Saw.

Demikianlah, hingga saat ini, di Sumatra Barat —sebagaimana halnya juga dalam dunia tarekat di wilayah lain— ikatan silsilah dijadikan sebagai salah satu syarat jika seseorang ingin diakui menjadi seorang guru tarekat (mursyid), di samping beberapa syarat lainnya seperti: sudah mendapat izin (ijŒzah) dari gurunya, taat melaksanakan perintah Allah lahir dan batin, serta sabar dan rajin mengikuti pengajian.12 Silsilah yang menghubungkan seorang guru tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat sampai kepada guru-gurunya dan bahkan sampai kepada Nabi ini, pada gilirannya memberikan keyakinan bahwa ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh Syaikh Burhanuddin benar-benar dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya. Masyarakat Minangkabau bahkan meyakini bahwa, karena tarekat berasal dari Nabi, maka mengingkarinya adalah berarti mengingkari Nabi (Daya 1990: 177).

Perkembangan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat sendiri tampaknya tidak dapat dipisahkan dari institusi surau, yang secara

9 Hikayat Jalal al-Din, h. 6-7 dalam Hollander (peny.) 1857. 10 Tentang hal ini, lihat Gilsenan 1973: 10.

11 Pengertian ‘silsilah’ dalam hal ini tidak merujuk pada hubungan kekeluargaan

(genealogy), melainkan pada hubungan keilmuan, guru-murid (lihat penjelasan dalam daftar istilah; bandingkan juga dengan pengertian isnŒd).

12 Tentang syarat-syarat mur¥d selengkapnya, lihat Amin 1993: 127-128; Syarifuddin

(16)

umum telah memainkan peran penting dalam proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan Islam.13 Dalam hal ini, Syaikh Burhanuddin —yang kemudian diikuti oleh para khalifah berikutnya— bisa dianggap berhasil dalam menyerap potensi lokal dengan memanfaatkan institusi surau, yang dalam masyarakat Minangkabau sejak awal telah berfungsi sebagai rumah tempat tinggal para pemuda setelah akil baligh, terpisah dari rumah keluarga yang menjadi tempat tinggal wanita dan anak-anak (Dobbin 1992: 142). Kendati sudah tidak berfungsi lagi sebagai pusat keilmuan Islam seperti pada awal perkembangannya, hingga kini, ribuan surau masih dapat dijumpai di Sumatra Barat. Khususnya di surau-surau tua yang pernah menjadi basis tarekat, biasanya dijumpai sejumlah kitab keagamaan, baik yang masih ditulis tangan (manuscripts) maupun kitab cetakan.

Di surau inilah para khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah, mulai dari Syaikh Burhanuddin Ulakan sendiri, hingga murid-muridnya di berbagai pelosok di Sumatra Barat, membangun jaringan guru-murid sehingga tercipta saling-silang hubungan keilmuan yang sangat kompleks, dan melibatkan banyak ulama lokal. Di bawah ini, penulis mencoba merekonstruksi silsilah tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat, yang didasarkan pada beberapa naskahnya, dan pada daftar silsilah yang dibuat oleh para ulama lokal tarekat Sya‹‹Œriyyah. Penting penulis kemukakan bahwa, sangat disayangkan, sebagian besar sumber-sumber yang ada tidak menyebutkan masa hidup dari nama-nama ulama yang terdapat dalam silsilah tarekat Sya‹‹Œriyyah ini, sehingga agak sulit untuk menguji kesahihan saling-silang hubungan guru-murid yang disebutkan.

Khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah setelah Syaikh Burhanuddin Ulakan sendiri tampaknya berjumlah puluhan, sehingga tidak mengherankan jika silsilah tarekat yang berkembang hingga saat ini bisa melalui jalur yang berbeda-beda. Selain itu, sumber-sumber lokal pun ternyata menyebutkan sejumlah nama khalifah yang urut-urutannya agak berbeda satu dengan yang lain (Yafas dkk.1984: 130). Khalifah-khalifah Syaikh Burhanuddin Ulakan tersebut, beberapa di antaranya —seperti disebutkan dalam naskah Muballigul Islam (h. 216-218)— melanjutkan kepemimpinan Syaikh Burhanuddin di surau Tanjung Medan, Ulakan. Mereka adalah:

13 Selengkapnya tentang surau, menyangkut pasang surut dan peranannya dalam

(17)

1. Syaikh Abdurrahman sebagai khalifah pertama, kemudian dilanjutkan secara berturut-turut oleh

2. Syaikh Khairuddin; 3. Syaikh Jalaluddin;

4. Syaikh Idris, yang konon juga merupakan kawan dekat Syaikh Burhanuddin sendiri ketika belajar dengan Syaikh Madinah di Air Sirah Tapakis;

5. Syaikh Abdul Muhsin, yaitu Tuanku Tapi Pasang yang tinggal di surau Tangah Padang;

6. Syaikh Habibullah. Pada masa ini, di Tanjung Medan Ulakan terdapat tiga khalifah yang menjadi pimpinan di surau Tanjung Medan, yakni: Syaikh Habibullah sendiri, Syaikh Khalidin, yang dikenal dengan sebutan Tuanku nan Hitam, dan Tuanku Fakih Mansur. Ketiga ulama ini merupakan murid langsung dari Syaikh Abdul Muhsin;

7. Syaikh Ahmad Qasim; 8. Tuanku Tibaru nan Tuo;

9. Syaikh Abdul Jalil, cucu dari Tuanku Tibaru nan Tuo.

Susunan dan urutan khalifah Syaikh Burhanuddin Ulakan di atas sedikit berbeda dengan susunan yang disebutkan dalam sebuah buku kecil berjudul Petunjuk ziarah ke Maqam Syaikh Burhanuddin Ulakan yang disusun oleh Yayasan Raudhatul Hikmah Jakarta. Dalam buku —yang juga menyertakan informasi tentang masa kepemimpinan masing-masing khalifah— ini disebutkan bahwa susunan dan urutan khalifah Syaikh Burhanuddin yang menjadi pimpinan di Ulakan adalah:

1. Syaikh Muhammad Idris bin Salim, yang menjadi khalifah mulai dari tahun 1111 H/1699 M sampai 1126 H/1714 M; 2. Syaikh Abdurrahman bin Abdurrahim (1126 H/1714

M-1137 H/1724 M);

3. Syaikh Kaharuddin (1137 H/1724 M-1146 H/1733 M) (dalam daftar di atas, tertulis Syaikh Khairuddin);

4. Syaikh Jalaluddin (1146 H/1733 M-1161 H/1748 M) 5. Syaikh Abdul Muhsin Tuanku Faqih (1161 H/1748

M-1180 H/1766 M);

6. Syaikh Abdul Hasan bin Husin (1180 H/1766 M-1194 H/1780 M);

7. Syaikh Khaliluddin bin Khalid (1194 H/1780 M-1211 H/1796 M);

8. Syaikh Habibullah bin Alif (1211 H/1796 M-1231 H/1815 M);

(18)

10.Syaikh Tuanku Ja’far bin Muhammad (1248 H/1832 M-1280 H/1863 M)

11.Syaikh Tuanku Muhammad Sani (1280 H/1863 M-1311 H/1893 M);

12.Syaikh Tuanku Busai (1311 H/1893 M-1366 H/1948 M); dan

13.Syaikh Tuanku Barmawi (mulai 1366 H/1948 M sampai sekarang).

Selain dua sumber di atas, di kalangan penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat, juga beredar sebuah susunan silsilah yang disusun oleh tiga orang ulama tua tarekat Sya‹‹Œriyyah, yakni: Buya Mata Air Pakandangan, Buya Angku Pakandangan, dan Buya Tapakis. Dalam silsilah ini dijelaskan bahwa di antara murid Syaikh Burhanuddin Ulakan, yang kemudian berjasa mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat adalah empat orang khalifahnya, yakni: Syaikh Janggut hitam Lubuk Ipuh, Syaikh Abdurrahman Ulakan, Syaikh Kapih-kapih Paninjauan Padang Panjang, dan Syaikh Mula Ibrahim Lunang Pesisir Selatan.14

Kemudian, melalui jalur khalifah yang disebut pertama, yakni Syaikh Janggut hitam, muncul pula khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah bernama Syaikh Abdurrahman Lubuk Ipuh, yang menurunkan estafet kekhalifahan berikutnya kepada Syaikh Malalo Lima Puluh.15 Mulai dari Syaikh Malalo Lima Puluh inilah, silsilah tarekat Sya‹‹Œriyyah semakin kompleks dengan melahirkan, antara lain, empat khalifah ternama, yakni: Syaikh Mata Air Pakandangan,

14 Urutan dalam penyebutan nama-nama khalifah, dan juga nama-nama murid, dalam

bagian ini tidak dimaksudkan sebagai hierarki kekhalifahan. Pada bagian berikut, penulis akan mengemukakan saling-silang hubungan guru-murid tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat berdasarkan nama-nama yang terdapat dalam silsilah versi tiga ulama tersebut, dan digabungkan dengan informasi dari berbagai naskah serta sumber lokal lainnya.

15 Dalam Viviani 1990/1991: 39-40, hubungan guru-murid antara Syaikh Janggut hitam

(19)

Syaikh Balindung Pilubang, Syaikh Cubadak Air Pariaman, dan Syaikh Aluma Koto Tuo Bukit Tinggi.

Dari murid Syaikh Malalo Lima Puluh yang pertama, yakni Syaikh Mata Air Pakandangan, muncul seorang murid bernama Syaikh Kamumuwan, guru dari Buya Angku Pakandangan, salah seorang ulama yang menyusun silsilah ini. Kemudian, murid Syaikh Malalo Lima Puluh yang kedua, yakni Syaikh Balindung Pilubang, juga mengangkat seorang khalifah bernama Syaikh Talang Koto Bangku, yang merupakan guru dari Syaikh Kubung Sungai Ranti. Dalam sebuah salinan lain dari silsilah ini, hubungan Syaikh Talang Koto Bangku dengan Syaikh Kubung Sungai Ranti bukan hubungan guru-murid, melainkan kawan seangkatan yang berguru kepada Syaikh Balindung Pilubang. Hal ini mungkin saja terjadi, karena tidak jarang seseorang berguru kepada kawan seperguruannya yang dianggap lebih pandai. Adapun murid Syaikh Malalo yang ketiga, yakni Syaikh Cubak Air Pariaman, tidak diketahui memiliki khalifah penggantinya.

Perkembangan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat juga banyak ditentukan oleh murid Syaikh Malalo yang keempat, yakni Syaikh Aluma Koto Tuo Bukit Tinggi. Ia merupakan khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah yang dianggap sangat berjasa dalam menjadikan daerah Koto Tuo Bukit Tinggi sebagai salah satu sentra tarekat terpenting di Sumatra Barat. Di antara murid-murid Syaikh Aluma Koto Tuo, yang diketahui adalah Syaikh H. Ismail Kiambang (w. 1965), Buya Angku Panjang Sungai Sarik, Angku Paingan Sungai Limo, dan Angku Talawi. Selain sama-sama sebagai murid seperguruan, Syaikh H. Ismail Kiambang dan Angku Talawi juga memiliki hubungan kekeluargaan, karena belakangan Angku Talawi menikah dengan putri dari Syaikh H. Ismail Kiambang tersebut.

Menarik dikemukakan bahwa Angku Talawi, pada awal tahun 1950-an pernah diminta oleh para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Batang Kabung untuk membantu mengajar di beberapa surau mereka. Saat itu, yang telah lebih dahulu mengajar di surau Batang Kabung, dan beberapa surau lain di sekelilingnya, adalah Imam Maulana Abdul Manaf Amin. Menjelang Pemilihan Umum pertama tahun 1955 —saat di mana masing-masing partai gencar berkampanye mencari dukungan— terjadi ketegangan hubungan antara murid-murid Angku Talawi dengan murid-murid Imam Maulana Abdul Manaf Amin akibat perbedaan pilihan partai di antara mereka (Amin 2002: 47-57).16 Di satu sisi, Angku Talawi

16 Pertikaian antartokoh tarekat Sya‹‹Œriyyah —dan mungkin juga antartokoh Islam

(20)

bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII), sementara di sisi lain, Imam Maulana Abdul Manaf Amin menjadi anggota partai PERTI. Selain karena persoalan perbedaan partai, ketegangan tersebut juga konon terjadi karena Imam Maulana Abdul Manaf Amin tidak menerima dirinya dituduh sebagai orang Muhammadiyah oleh Angku Talawi, kendati ayahnya memang seorang pimpinan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut.

Adapun Syaikh H. Ismail Kiambang, selain merupakan murid dari Syaikh Aluma Koto Tuo, juga pernah belajar tarekat kepada Tuanku Bintungan Tinggi. Di antara murid-murid Syaikh H. Ismail Kiambang, yang diketahui adalah Buya Abdurrazak Mata Air Pakandangan, salah seorang penyusun silsilah ini, Buya Surau Yubadak Sungai Asam, dan Tuanku Ali Umar Kiambang. Nama yang disebut terakhir adalah ulama yang mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di daerah Bungus.

Buya Abdurrazak Mata Air Pakandangan sendiri mempunyai seorang anak, yaitu Haji Tuanku Sinaro Paneh Pakandangan, yang belakangan —bersama Buya Ansaruddin— menjadi pimpinan di pesantren Darul Ulum Kampung Panas Pakandangan, kecamatan 2 x 11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman (Viviani 1990/1991). Haji Tuanku Sinaro, kendati ayahnya juga telah mencapai kedudukan sebagai khalifah tarekat, justru belajar tarekat Sya‹‹Œriyyah dari guru lain, yakni Tuanku Haji Musa di surau Kabun Tapakis Ulakan, yang juga merupakan murid dari Syaikh Aluma Koto Tuo. Di pesantren Darul Ulum yang ia pimpin, Haji Tuanku Sinaro juga memiliki beberapa orang murid, di antaranya adalah Tuanku Basril Pakih Batuah dan Akhalis Malin Saidi, yang —pada sekitar tahun 1989— mulai mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Kenegerian Surian Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Solok (Amiruddin 1994: 58-59).

Adapun dari murid Syaikh Koto Tuo Bukit Tinggi yang lain, yakni Angku Panjang Sungai Sarik, muncul dua orang khalifah, yakni: Buya Tapakis, yang juga salah seorang penyusun silsilah ini, dan Buya Angku Sidi Batang Cino.

(21)

Demikianlah silsilah khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat melalui khalifah Syaikh Burhanuddin Ulakan yang bernama Syaikh Janggut Hitam Lubuk Ipuh.

Silsilah tarekat Sya‹‹Œriyyah melalui khalifah Syaikh Burhanuddin Ulakan yang lain tidak kurang kompleksnya. Syaikh Abdurrahman Ulakan misalnya, memiliki dua orang khalifah, yakni Syaikh Abdul Muhsin Ulakan dan Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan. Belakangan, nama yang disebut terakhir merupakan khalifah yang memainkan peranan penting dalam penyebaran tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat, karena melalui dirinya lah muncul sejumlah murid yang mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di berbagai pelosok Minangkabau.

Dari catatan yang dijumpai, Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan setidaknya memiliki lima murid utama, yaitu: pertama, Syaikh Abdul Wahab Calu Sijunjung, guru bagi Syaikh Supayang Solok. Dalam naskah RisalŒh M¥zŒn al-Qalb, Imam Maulana Abdul Manaf Amin memberikan sedikit informasi mengenai identitas Syaikh Abdul Wahab Calu Sijunjung ini. Disebutkan bahwa Syaikh Abdul Wahab berasal dari daerah Awur. Selain murid dari Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan, ia juga pernah berguru langsung kepada Syaikh Abdul Muhsin Ulakan, guru bagi Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan sendiri. Seusai menyelesaikan pelajarannya, Syaikh Abdul Wahab ditugaskan oleh gurunya untuk mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Desa Calu, Sijunjung, hingga ia dikenal dengan sebutan Angku Syaikh Calu atau Inyik Calu. Syaikh Abdul Wahab meninggal dan dikuburkan di Calu. Hingga kini, pusaranya banyak diziarahi orang, khususnya para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah dari berbagai pelosok di Minangkabau (Amin 1989: 70-71).

Murid Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan yang kedua adalah Syaikh Talawi Padang Ganting, yang kemudian memiliki dua orang murid utama, yakni: Angku Koto Tujuh dan Angku Ampalu Tinggi. Angku Koto Tujuh menurunkan kekhalifahan tarekat Sya‹‹Œriyyah kepada Angku Lubuk Puar.

Adapun Angku Ampalu Tinggi sendiri —yang nama aslinya adalah Syaikh Haji Ibrahim— memiliki, setidaknya, empat orang murid utama, yakni: Buya Sasak, Angku Sidi Talawi Sampan, Buya Angku Salif Kiramat, dan Syaikh Muhammad Nur, atau yang dikenal sebagai Syaikh Tuanku Kalumbuk (1894-1979).17 Imam

17 Selain kepada Syaikh Ampalu Tinggi, Tuanku Kalumbuk sebelumnya juga pernah

(22)

Maulana Abdul Manaf Amin juga dikabarkan pernah berguru kepada Syaikh Haji Ibrahim ini pada awal tahun 1940-an, ketika Syaikh Haji Ibrahim mengajar di Batang Kabung sebelum menjadi khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah di Ampalu Tinggi (Amin 2002: 3). Penting dicatat bahwa pada sekitar tahun 1955, atas permintaan dari Imam Maulana Abdul Manaf Amin, dan atas restu dari Angku Ampalu Tinggi, Buya Angku Salif —yang sering dipanggil sebagai Tuanku Sutan Guru Besar— duduk mengajar di surau Batang Kabung, menjadi ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah terkemuka di daerah tersebut, serta — pada tahun 1966— mendirikan sekolah Perti, bersama-sama dengan Imam Maulana Abdul Manaf Amin (Amin 2002: 45-47).

Penting dikemukakan bahwa, berkaitan dengan Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan, dalam naskah Sejarah Ringkas Syaikh Paseban al-Syattari (h. 5), karangan Imam Maulana Abdul Manaf Amin, disebutkan bahwa Syaikh Paseban —tokoh tarekat Sya‹‹Œriyyah asal Koto Panjang, Koto Tangah, Padang, yang juga guru bagi Imam Maulana Abdul Manaf Amin sendiri— pertama kali belajar tarekat kepada seorang guru bernama Syaikh Habibullah, yang disebutnya sebagai khalifah keenam dari Syaikh Burhanuddin Ulakan.

Berdasarkan data-data yang tersedia, dan berdasarkan pada sebutan “Habibullah” yang terdapat di akhir nama Syaikh Sultan al-Kisai di atas, penulis menduga bahwa Syaikh Habibullah yang menjadi guru Syaikh Paseban ini adalah masih keturunan dari Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan itu sendiri.18 Selain

Padang Ganting. Pada tahun 1929, Tuanku Kalumbuk kembali ke kampung halamannya di nagari Taluk, Lintau Buo, Tanah Datar, dan mendirikan pesantren yang kemudian dikenal sebagai pesantren Tuanku Kalumbuk, sebelum akhirnya berubah nama menjadi pesantren Surau Sumur Darek (Yafas 1988: 37). Setelah Tuanku Kalumbuk wafat, pesantren Surau Sumur Darek ini dilanjutkan oleh khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah berikutnya, yakni Buya Azra’i (lahir sekitar tahun 1935), yang juga adalah kemenakan dari Tuanku Kalumbuk, dibantu oleh beberapa murid Tuanku Kalumbuk lainnya, seperti Buya Engku Mudo Sa’id (lahir sekitar tahun 1918), Hamzah (lahir sekitar tahun 1936), yang juga anak dari Tuanku Kalumbuk sendiri (Yafas 1988: 35-39).

18 Nama Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan dan Syaikh Habibullah Ulakan

(23)

kepada Syaikh Habibullah, Syaikh Paseban (w. 1356 H/1937) juga pernah belajar, kendati hanya sebentar, kepada Syaikh Malalo Lima Puluh, yang silsilahnya akan dikemukakan di bawah. Dalam hal ijazah tarekatnya sendiri, Syaikh Paseban mendapatkannya dari dua guru pertama tersebut, melainkan dari guru berikutnya, yakni Angku Syaikh Padang Ganting, guru bagi Angku Surau Gadang Pakandangan (Amin 2001: 7-9).

Syaikh Paseban sendiri diketahui memiliki beberapa orang murid yang mengambil baiat darinya, seperti: Angku Fakih Lutan dari Koto Tangah, Angku Inyik Adam juga dari Koto Tangah, Angku Haji Abdul Majid dari Paseban, Imam Maulana Abdul Manaf Amin dari Batang Kabung, Angku Qadi Talang dari Solok, Angku Syaikh Datuk dari Lumindai, Angku Surau Gadang dari Tanjung Medan Ulakan, Angku Ibrahim dari Mudik Padang, dan lain-lain (Amin 2001: 45). Di antara murid-muridnya tersebut, tiga di antaranya diangkat sebagai khalifahnya, yakni: Angku Fakih Lutan, Angku Inyik Adam, dan Angku Haji Abdul Majid.19 Imam Maulana Abdul Manaf Amin menjelaskan dalam naskah otobiografinya, bahwa selain sebagai kawan seperguruan, Angku Fakih Lutan adalah juga gurunya, khususnya di bidang ilmu Qiraat. Selain kepada Fakih Lutan, Imam Maulana Abdul Manaf Amin juga mengaku pernah belajar selama enam bulan kepada seorang guru perempuan bernama Sari Makkah di Muara Penjalinan (Amin 2002: 2).20

Kembali kepada Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan, muridnya yang ketiga adalah Syaikh Surau Panjang Kaman Gadang, murid keempat adalah Syaikh Joro Limo Purut, dan murid kelima adalah Syaikh Muhammad Sani Tanjung Medan. Dari murid Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan yang kelima inilah muncul tiga orang murid utama, yakni: Syaikh Surau Gadang Koto Tinggi, Syaikh Bintungan Tinggi, dan Syaikh Kapalu Koto, yang dikenal sebagai Syaikh ahli zikir (lihat Apendiks 3, butir b).

Melalui jalur Syaikh Bintungan Tinggi, tarekat Sya‹‹Œriyyah juga menyebar ke daerah Bungus Taluk Kabung sejak akhir abad ke19, karena salah seorang muridnya, yakni Tuanku Khatib Simpang

Jalaluddin Ulakan, Syaikh Idris, Syaikh Abdul Hasan Ulakan, Syaikh Khalidin, dan Syaikh Masyruddin.

19 Dalam catatan Imam Maulana Abdul Manaf Amin, pengangkatan tiga khalifah

Syaikh Paseban tersebut terjadi pada 1356 H/1937 M, tidak lama sebelum keberangkatan Syaikh Paseban ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji, dan akhirnya meninggal di sana (lihat Amin 2001: 56-57).

20 Informasi tentang adanya guru perempuan dalam dunia tarekat ini —meskipun

(24)

Tigo (w. 1961 M) berasal dari daerah ini, tepatnya dari Koto Hilalang, Bungus. Dengan demikian, Tuanku Khatib Simpang Tigo tercatat sebagai khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah yang mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Bungus, selain Tuanku Ali Umar Kiambang seperti telah dikemukakan di atas. Selain berguru kepada Syaikh Bintungan Tinggi di Pariaman, Tuanku Khatib Simpang Tigo juga pernah belajar di Sumpur Malalo Padang Panjang.

Di Bungus, Tuanku Khatib Simpang Tigo juga memiliki dua orang khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah, yakni Tuanku M. Husin dan Tuanku Khatib Tamar, di samping beberapa murid lainnya yang tidak sampai memperoleh gelar khalifah, seperti Buya Malin Putih, Buya Mamad, Imam Burhan, Angku Khariman, Tuanku Siaruddin, dan lain-lain. Kendati tidak sampai mencapai gelar khalifah, murid-murid ini pada gilirannya juga cukup berjasa dalam mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah, karena umumnya mereka memiliki surau di daerahnya masing-masing, di mana mereka mengajarkan kembali ajaran-ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah tersebut (Firdaus dkk. 1999/2000: 20-31). Demikianlah silsilah tarekat Sya‹‹Œriyyah melalui Syaikh Abdurrahman Ulakan.

Adapun dalam silsilah yang melalui Syaikh Kapih-kapih Paninjauan Padang Panjang, diketahui ada empat murid, yakni: Syaikh Pamansiangan Koto Lawas —yang juga memiliki murid bernama Syaikh Usman dari suku Panyalaian, Lubuk Puar Pariaman, dan kemudian menyebarkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Ampalu Tinggi, Padang Pariaman (Nur 1995: 4)—, Syaikh Nan Tuo Koto Tuo, seorang ulama Sya‹‹Œriyyah yang dikenal ahli di bidang ilmu alat (gramatika Arab), Tuanku di Lembah, dan Tuanku di Puar.21 Dari jalur Syaikh Mula Ibrahim Lunang Pesisir Selatan bahkan tidak tercatat satu pun murid dalam daftar silsilah versi Buya Mata Air Pakandangan dan dua ulama lainnya tersebut. Sebuah sumber lokal lain justru menyebutkan adanya ulama selain Syaikh Mula Ibrahim yang mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di wilayah Pesisir Selatan ini. Hermarosrita (1994: 45-46) misalnya, mencatat bahwa di Dusun Lereng Bukit, tarekat Sya‹‹Œriyyah berkembang atas jasa dari Tuanku Labai Kunud, yang pernah berguru kepada Sidi Jaul di Batang Kabung. Sidi Jaul sendiri, konon merupakan salah seorang murid langsung dari Syaikh Burhanuddin Ulakan. Dari Tuanku Labai Kunud, silsilah tarekat bersambung kepada Baharuddin Imam Mandaro, kemudian kepada Imam Suar, dan terakhir kepada Khatib Nusi.

(25)

Selain melalui empat murid Syaikh Burhanuddin Ulakan seperti tersebut dalam silsilah di atas, tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat juga dikembangkan melalui empat murid Syaikh Burhanuddin yang juga sahabat seangkatannya ketika belajar kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh, yakni: Datuk Maruhun Panjang dari Padang Ganting Batusangkar, Syaikh Tarapang dari Kubung Tiga Belas Solok, Syaikh Mutanasir dari Koto Tangah Padang, dan Syaikh Buyung Muda dari Bayang Pulut-pulut Bandar Sepuluh.

Sayangnya, informasi berkaitan dengan silsilah guru-murid tarekat Sya‹‹Œriyyah melalui keempat ulama ini dalam naskah-naskah yang ada sangat tidak memadai. Di antara mereka yang diketahui adalah beberapa murid dari Syaikh Mutanasir, yang setelah kembali ke kampungnya di Koto Panjang, Koto Tangah, Padang, dikenal sebagai Syaikh Surau Baru, karena ia tercatat sebagai ulama pertama yang mendirikan surau baru di daerah tersebut (Amin, Sejarah Ringkas Syaikh Surau Baru, h. 16). Syaikh Surau Baru sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Koto Tangah, Pauh, Lubuk Bagalung, dan Padang.

Syaikh Surau Baru sendiri dapat dipastikan sebagai salah seorang ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah yang memiliki koleksi naskah tulisan tangan cukup banyak. Sebagian di antara naskah-naskahnya tersebut sempat juga disalin oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin, seorang guru tarekat Sya‹‹Œriyyah yang produktif menulis atau menyalin kitab-kitab melalui tulisan tangan, dan yang sejumlah naskah tulisannya menjadi sumber utama dalam penelitian ini.

Salah seorang murid Syaikh Surau Baru dikenal dengan sebutan Fakih Muda, yang berasal dari Kampung Jambak Koto Panjang, Koto Tangah. Setelah selesai belajar dengan Syaikh Surau Baru, Fakih Muda mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di daerah Pauh, tepatnya di Kampung Gua Balimbing Pauh Sembilan, di Negeri Nan Dua Puluh (Lubuk Bagalung), dan di kota Padang.

Selain sebagai guru tarekat Sya‹‹Œriyyah, Fakih Muda juga diketahui pernah memimpin gerakan pemberontakan di Pauh terhadap penjajah Belanda pada sekitar awal abad ke-18, yang akhirnya menghantarkan pada kematiannya. Saat itu, Fakih Muda dibantu oleh tiga orang kawannya, yakni: Datuk Rajo Basari dari suku Caniago, Kampung Kurung Gadang; Datuk Raja Putih dari suku Malayu, orang Pauh Lima; dan Datuk Rajo Bugaga dari suku Jambak, Kampung Kuranji.22

22 Deskripsi lebih detil tentang pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda

(26)

Aktivitas Fakih Muda, yang merupakan murid dari Syaikh Surau Baru, sebagai pemimpin pemberontakan melawan kolonial Belanda ini, pada akhirnya juga mengakibatkan ditangkapnya Syaikh Surau Baru sendiri oleh pemerintah kolonial, karena dianggap bisa menghasilkan murid-murid militan semacam Fakih Muda tersebut yang membahayakan keberadaan mereka. Pada awalnya, Syaikh Surau Baru ditahan di Muara Penjalinan, sebelum akhirnya dipindahkan ke dalam tahanan Belanda di Padang, dan meninggal dalam tahanan tersebut (Amin, Sejarah Ringkas Syaikh Surau Baru, h. 47-48).

Selain Fakih Muda, Syaikh Surau Baru juga diketahui memiliki seorang murid lain yang menjadi khalifahnya dalam tarekat Sya‹‹Œriyyah, yakni Syaikh Bawah Asam. Diriwayatkan bahwa ketika menjelang wafatnya, Syaikh Bawah Asam pernah mengisyaratkan untuk mengangkat Syaikh Paseban al-Syattari —yang waktu itu berkunjung bersama ibunya— sebagai khalifahnya dalam tarekat Sya‹‹Œriyyah. Akan tetapi, karena waktu itu Syaikh Paseban masih sangat kecil, yakni sekitar 4 tahun, maka tongkat kekhalifahan pun akhirnya diberikan kepada Angku Mirad (Amin 2001: 24).

Syaikh Paseban sendiri, seperti telah dikemukakan, mendapatkan ijazah kekhalifahannya dalam tarekat Sya‹‹Œriyyah dari Angku Syaikh Padang Ganting. Kendati demikian, disebutkan bahwa Syaikh Paseban menaruh hormat yang sangat besar kepada Syaikh Bawah Asam dan gurunya, Syaikh Surau Baru, sehingga ia secara rutin melakukan ziarah ke makam kedua Syaikh tersebut di Batusingka.

(27)

tetapi, seringkali silsilahnya tidak dapat ditelusuri secara utuh sampai kepada guru-guru tarekat Sya‹‹Œriyyah periode awal, karena ada sejumlah guru yang tidak tercatat, dan mungkin karena rentang waktu yang sudah terlalu jauh.

Penting dikemukakan bahwa, seiring dengan persebaran Islam melalui tarekat di surau-surau tersebut, tradisi penulisan naskah-naskah keagamaan pun semakin tumbuh subur, karena hal tersebut pada akhirnya merupakan bagian tak terpisahkan dari proses belajar-mengajar yang terjadi. Berbeda dengan apa yang terjadi di berbagai wilayah lain, di Sumatra Barat ini, tradisi penulisan naskah keagamaan masih berlangsung hingga kini, dengan tetap menggunakan aksara Jawi sebagai medianya. Sejumlah naskah yang menjadi sumber utama penelitian ini, bahkan ditulis pada awal tahun 2000 ini.

Alhasil, proses islamisasi, dan terutama meningkatnya intensitas perkembangan Islam di Sumatra Barat ini, sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tarekat, dalam konteks ini tarekat Sya‹‹Œriyyah, yang sejak akhir abad 17 telah mapan sebagai sebuah institusi. Tak heran kemudian jika hingga kini, sejumlah wilayah di Sumatra Barat masih tetap menjadi basis tarekat, baik tarekat Sya‹‹Œriyyah, Naqsyabandiyyah, maupun Sammaniyyah. Dalam tabel yang dibuat Martin van Bruinessen (1996: 133), tampak bahwa basis tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat yang paling kuat terdapat di daerah Padang Pariaman dan Tanah Datar, menyusul kemudian daerah Agam, Solok, Sawah Lunto Sijunjung, Pasaman, dan Pesisir Selatan.23 Dengan demikian, tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat telah melalui jalur persebarannya mulai dari daerah pantai pesisir sampai ke darek atau luhak nan tigo, yaitu: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota.

7.4. Sifat dan Kecenderungan Tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat

Dari pembahasan–pembahasan yang telah lalu, tampak bahwa sejak awal munculnya di wilayah India, mengalami reformulasi di Haramayn, dan kemudian menyebar ke berbagai bagian dunia Islam lain, termasuk dunia Islam Melayu-Indonesia, tarekat Sya‹‹Œriyyah telah mengalami dan menunjukkan perkembangan yang sangat dinamis dengan munculnya sifat dan kecenderungan yang beragam di masing-masing periodenya, baik menyangkut ritual maupun doktrin ajarannya.

(28)

Demikianlah, di wilayah yang menjadi fokus pembahasan penelitian ini, yakni Minangkabau atau kini Sumatra Barat, tarekat Sya‹‹Œriyyah telah menjadi salah satu pilar terpenting dalam pembentukan struktur masyarakat Muslimnya. Ulama-ulama setempat yang mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di wilayah ini, mulai dari Syaikh Burhanuddin Ulakan hingga para khalifah dan murid-muridnya, telah mengalami pergumulan yang demikian intens dengan berbagai unsur dan karakter budaya lokal, sehingga pada gilirannya melahirkan sifat dan kecenderungan ajaran yang khas dan relatif berbeda dengan sifat dan kecenderungan ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah di wilayah lain.

Bagian ini akan mengemukakan beberapa sifat dan kecenderungan ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat tersebut., dengan tetap mendasarkan pada sejumlah data yang terdapat dalam naskah-naskahnya.

7.4.1. Pelucutan Faham Waúdat al-wuj´d

Di antara hal menarik yang muncul di kalangan penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat adalah penolakan mereka terhadap doktrin waúdat al-wuj´d. Disebut menarik karena sebelumnya, tokoh-tokoh penting tarekat ini, baik yang berada di Haramayn, terutama Aúmad al-QusyŒsy¥ dan IbrŒh¥m al-K´rŒn¥, maupun ulama Melayu-Indonesia sendiri pada periode awal, seperti Abdurrauf al-Sinkili, dalam karya-karyanya tidak menunjukkan penolakan terhadap doktrin tersebut, melainkan melakukan reinterpretasi dengan mengemukakan penjelasan yang relatif dapat diterima oleh ulama fikih sekalipun.24

Penting dijelaskan kembali secara ringkas bahwa doktrin waúdat al-wuj´d adalah sebuah konsepsi tentang Tuhan, hubungannya dengan alam, yang sering dinisbatkan kepada Ibnu ‘Arab¥ (560-638 H/1165-1240 M), seorang sufi asal Andalusia, sebagai arsitek utamanya. Pada dasarnya, para sarjana sepakat bahwa dalam berbagai karangannya, termasuk dalam dua karya utamanya, Fu§´ § al-î ikam dan Fut´ úŒt al-Makkiyyah, Ibnu ‘Arab¥ tidak pernah menggunakan istilah waúdat al-wuj´d, atau wuj´diyyah. Akan tetapi, berbagai penjelasan Ibnu ‘Arab¥ dalam berbagai karangannya tersebut memang menggambarkan dengan sesungguhnya apa yang dimaksud dengan waúdat al-wuj´d.

(29)

Dalam Fu§´ § al-î ikam misalnya, Ibnu ‘Arab¥ menegaskan:

ﷲا

ﻮه

ﻞﺑ

،ﷲﺎﺑو

ﻞﻜﻟا

نﺎآ

[KŒna al-kullu li AllŒh wa bi AllŒh, bal Huwa AllŒh]

Artinya: “Semua (wuj´d) adalah milik Allah, dan (tercipta) dengan-Nya, bahkan semua (wuj´d) itu adalah Allah sendiri” (Ibn ‘Arab¥, Fu§´ §, h. 73).

Atau ungkapannya yang lain:

ﺎﻬﻨﻴﻋ

ﻮهو

ءﺎﻴﺷﻷا

ﻖﻠﺧ

ﻦﻣ

نﺎﺤﺒﺳ

[subúŒna man khalaqa al-asyyŒ’a wa huwa ‘ainuhŒ]

“Maha Suci Zat Yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah Zat segala sesuatu itu ” (Ibn ‘Arab¥, Fu§´ §, h. 25).

Demikian halnya dalam Fut´ úŒt al-Makkiyyah, Ibnu ‘Arab¥ mengatakan:

ﷲا

ﻻإ

ﷲا

فﺮﻌی

ﻻو

،ﷲا

ﻻإ

دﻮﺟﻮﻟا

ﻲﻓ

ﺎﻤﻓ

[fa mŒ f¥ al-wuj´di illŒ AllŒh, wa lŒ ya’rifu AllŒha illŒ AllŒhu]

“Maka tidak ada dalam wuj´d kecuali Allah, dan tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah” (Ibn ‘Arab¥, Fut´ úŒt, IV, 1975: 224).

Berbagai nada ungkapan seperti inilah yang menimbulkan pemahaman pada sebagian sufi lain bahwa Ibnu ‘Arab¥ lah orang yang paling bertanggungjawab dalam pengajaran doktrin yang belakangan dikenal sebagai waúdat al-wuj´d atau wuj´diyyah tersebut, kendati sebagian sufi lainnya mencoba memberikan penjelasan bahwa dengan pernyataan-pernyataannya itu, Ibnu ‘Arab¥ sama sekali tidak bermaksud menyerupakan Tuhan dengan alam (tasyb¥h) secara mutlak, karena pada bagian lain dari karya-karyanya, Ibnu ‘Arab¥ juga tetap menekankan sifat transendensi Tuhan (tanz¥h).

Dalam Fu§´ § al-î ikam misalnya, Ibnu ‘Arab¥ mengatakan:

ﻪﻓﺮﻋ

ﺎﻣو

ﻩدﺪﺡو

ﻩﺪﻴﻗ

ﺪﻘﻓ

ﻪهﺰﻥ

ﺎﻣو

ﻪﺒﺷ

ﻦﻣ

[man syabbaha wa mΠnazzahahu fa qad qayyadahu wa

úaddadahu wa mŒ ‘arafahu]

(30)

Terlepas dari adanya perbedaan pandangan dan beragam penafsiran atas ajaran-ajaran Ibnu ‘Arab¥ tersebut, tidak dapat disangkal bahwa hingga beratus-ratus tahun kemudian, doktrin waúdat al-wuj´d selalu memicu perdebatan di kalangan para ulama sufi sendiri, dan bahkan menimbulkan penentangan dari para ulama fikih (syar¥’at), yang lebih menekankan ajaran-ajaran Islam yang bersifat eksoteris (½Œhir) dibanding yang bersifat esoteris (bŒ‹in).

Dalam konteks dunia Melayu-Indonesia sendiri, perdebatan atas doktrin waúdat al-wuj´d tersebut —seperti telah disinggung pada bab sebelumnya— pernah terjadi di Aceh, khususnya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Sani (1047-1051 H/1637-1641 M). Perdebatan tersebut terjadi antara seorang ulama sufi besar penganut tarekat Rifa’iyah, Nuruddin al-Raniri (w. 1666), dengan para pengikut ajaran wuj´diyyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrai. Sebagai seorang ulama ortodoks yang lebih mementingkan pengamalan syariat, al-Raniri mengeluarkan fatwa bahwa doktrin wuj´diyyah bersifat heterodoks, menyimpang dari akidah Islam, sehingga mereka yang tidak mau bertobat dan menolak menanggalkan paham tersebut, dapat dianggap kafir, dan dijatuhi hukuman mati (Azra 1994:182).

Berdasarkan sumber-sumber yang ada, perdebatan atas doktrin waúdat al-wuj´d di Aceh ini awalnya dipicu, terutama oleh adanya pemahaman yang tidak tepat terhadap sebuah kitab tasawuf karangan Faèl AllŒh al-Hind¥ al-BurhŒnp´r¥, yang berjudul Tuúfah al-Mursalah IlŒ [R´ ú] al-Nab¥. Hal ini misalnya digambarkan oleh IbrŒh¥m al-K´rŒn¥ dalam kitab karangannya, ItúŒf al-ªak¥ yang telah dideskripsikan pada bab sebelumnya, yakni (aslinya berbahasa Arab):

(31)

memiliki keyakinan yang keliru, bahkan terjerumus ke dalam ajaran atheis (zandaqah) dan sesat (al-ilْúŒd). Kami berlindung kepada Allah dari berbagai kekeliruan, dan dari kejelekan yang tampak dan tidak tampak. Sebagian murid Jawi ini kemudian menceritakan bahwa di antara kitab hakikat paling populer yang banyak menimbulkan salah paham tersebut adalah Tuúfah al-Mursalah IlŒ [R´ ú] al-Nab¥ Saw. karangan al-‘ rif bi AllŒh Syaikh Muúammad ibn Syaikh Faèl AllŒh al-Hind¥ al-BurhŒnp´r¥…” (Al-K´rŒn¥, ItúŒf al-ªak¥, h. 2r).

Berdasarkan kabar yang diterimanya inilah kemudian al-K´rŒn¥ memberikan penjelasan panjang lebar tentang bagaimana seharusnya doktrin waúdat al-wuj´d —atau al-K´rŒn¥ menyebutnya tauú¥d al-wuj´d— tersebut dipahami. Prinsipnya, menurut al-K´rŒn¥, mengesakan wuj´d Tuhan (tauú¥d al-wuj´d) bisa saja dilakukan oleh para sufi yang telah mencapai martabat spiritual tertentu, kendati tetap tidak boleh bertentangan dengan rambu-rambu yang terdapat dalam al-Quran dan hadis Nabi (lihat kembali penjelasan tentang hal ini dalam pembahasan naskah ItúŒf al-ªak¥ pada bab 6).

Dengan demikian, penting ditegaskan bahwa al-K´rŒn¥, sebagai salah seorang yang sangat mempengaruhi pemikiran Abdurrauf al-Sinkili, sama sekali tidak menolak secara mutlak ajaran waúdat al-wuj´d, melainkan memberikan reinterpretasi atasnya.

Demikian halnya yang dilakukan oleh al-Sinkili. Sebagai khalifah yang paling bertanggungjawab atas penyebaran ajaran dan doktrin tarekat Sya‹‹Œriyyah di dunia Melayu-Indonesia, ia juga melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh gurunya, al-K´rŒn¥, dengan menulis berbagai karangan, baik dalam bahasa Arab maupun Melayu, untuk menjelaskan doktrin waúdat al-wuj´d tersebut.

(32)

lahu), meskipun Ia selalu menyertai segala sesuatu (al-Muú¥‹). Dalam hal ini, berarti al-Sinkili tetap mempertahankan konsep transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya (tanz¥h) (Tanb¥h al-MŒsy¥, h. 7; Sya‹‹Œriyyah, h. 5).

Oleh karenanya, menurut al-Sinkili, kalau ada orang yang mengatakan bahwa alam dan segala sesuatu itu adalah Zat al-î aq sendiri, hal itu sama sekali tidak benar, karena kesatuan wuj´d secara mutlak hanya berlaku pada zaman azali. Pada zaman azali, segala sesuatu memang dihubungkan dengan wuj´d Allah, sehingga ia dapat dikatakan sebagai wuj´d, namun itu pun bukan wuj´d hakiki, karena yang hakiki di zaman azali pun hanya wuj´d Allah, yang lain hanya berada pada tingkat imkŒn al-wuj´d (kemungkinan wuj´d) (Tanb¥h al-MŒsy¥, h. 8).

Kendati tidak menyebutkan nama secara ekplisit, melainkan hanya menyebut “kalau ada orang” yang bersifat umum, dalam konteks Aceh, ungkapan ini tampaknya ditujukan kepada Hamzah Fansuri atau Syamsuddin al-Sumatrai, dengan tujuan untuk mengkritisi pandangan keduanya tentang konsep waúdat al-wuj´d. Akan tetapi, menurut al-Sinkili, mereka yang setuju dengan pandangan ekstrim Hamzah Fansuri atau Syamsuddin al-Sumatrai tersebut juga tidak dapat dihakimi sebagai kafir. Dalam hal ini al-Sinkili berpesan:

“...peliharalah lidahmu dari g¥bah (membicarakan orang lain) dan dari mengkafirkan orang lain, karena pada keduanya terdapat dosa yang besar di sisi Tuhanmu yang Mahaagung; jangan engkau mengutuk saudaramu sesama muslim, karena hal itu akan menjerumuskan engkau menjadi golongan orang yang berdosa pada hari kiamat…” (Tanb¥h al-MŒsy¥, h. 44).

(33)

“…ulama yang menuduh tarekat Syaikh Burhanuddin berfaham waúdat al-wuj´d adalah kurang tahu pada sejarah Syaikh Burhanuddin…di sini kita jelaskan supaya jangan sama pula kita dengan ulama yang buta sejarah itu…(h. 74).

Penjelasan lebih lanjut dikemukakan dalam naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau Semenjak Dahulu Dari Syaikh Burhanuddin Sampai Ke Zaman Kita Sekarang sebagai berikut:

“…Islam yang beliau kembangkan ialah… yang berfaham zahirnya kita yang memperbuat batinnya Tuhan yang menjadikan…tidak ada beliau mengajarkan faham yang beriktikad waúdat al-wuj´d…” (h. 117).

Yang menarik bahwa di antara sebab penolakan terhadap doktrin waúdat al-wuj´d tersebut dalam naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah adalah karena doktrin ini dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat dalam Islam. Masih dalam kitab yang sama dijelaskan, mereka yang menganut ajaran waúdat al-wuj´d dianggap memiliki pandangan bahwa:

“…Allah semuanya, tidak ada alam hanya Allah semata-mata, artinya tidak ada diri kita hanya Allah semata-mata, dari itulah mereka tidak merasa wajib sembahyang yang memakai ruku’ sujud, hanya merasakan Allah semata-mata meliputi seluruh alam, itulah salat dŒ’im namanya, selalu sembahyang…” (h. 70).

Tampaknya, pelucutan doktrin waúdat al-wuj´d dari keseluruhan ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat ini merupakan bagian dari kecenderungan secara umum rumusan ajaran dan doktrin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang memang jauh lebih “lunak” jika dibandingkan dengan rumusan ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah sebelumnya, baik pada masa al-QusyŒsy¥ maupun al-Sinkili.

Referensi

Dokumen terkait