• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Kelembagaan Dalam Pengolahan Dan Pemasaran Gambir Di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Kelembagaan Dalam Pengolahan Dan Pemasaran Gambir Di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN KELEMBAGAAN DALAM PENGOLAHAN DAN

PEMASARAN GAMBIR DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

SUMATERA BARAT

AMELIRA HARIS NASUTION

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peran Kelembagaan Dalam Pengolahan dan Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

AMELIRA HARIS NASUTION. Peran Kelembagaan Dalam Pengolahan dan Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat. Dibimbing oleh RATNA WINANDI ASMARANTAKA dan LUKMAN M BAGA.

Gambir adalah salah satu komoditas perkebunan rakyat yang menjadi komoditas ekspor Indonesia dan diperdagangkan dalam bentuk getah. Sumatera Barat merupakan sentra gambir terbesar di Indonesia dengan Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai penghasil gambir terbesar (69.75%). Beberapa kajian menggambarkan bahwa pemasaran gambir tidak efisien akibat tertutupnya informasi harga serta dominasi pedagang perantara akibat ketergantungan petani dalam hal modal untuk pengolahan gambir, sehingga mengakibatkan rendahnya posisi tawar petani. Untuk meningkatkan posisi tawar petani diperlukannya pendirian kelembagaan ataupun penguatan kelembagaan yang telah ada. Oleh karena itu, perlu dianalisis peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir agar dapat meningkatkan bargaining power petani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis efisiensi operasional dan efisiensi harga dalam pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, 2) Menganalisis peran kelembagaan (tingkat petani dan pemasaran) dalam pengolahan dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, dan 3) Merumuskan alternatif kebijakan dari implikasi analisis efisiensi pemasaran dan peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota. Analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data kuantitatif menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Eviews 7.

Kelembagaan pemasaran yang bergerak dalam pengolahan dan pemasaran gambir adalah pedagang perantara yang terdiri dari: penyalur, pedagang pengumpul, pedagang besar dan eksportir. Analisis fungsi pemasaran menunjukkan bahwa pada bidang pemasaran, peran kelembagaan pemasaran relatif lebih dominan dibandingkan peran kelembagaan tingkat petani sehingga petani cenderung berada pada posisi tawar yang lemah. Meskipun 33.33% petani menunjukkan kerjasama dengan kelembagaan pemasaran. Namun kerjasama yang terbentuk adalah kerjasama yang menguntungkan pedagang tetapi kurang menguntungkan petani akibat posisi petani menjadi supplier pedagang dengan ketentuan harga yang cenderung tidak bersaing dan hasil produksi gambir yang harus disesuaikan dengan permintaan pedagang perantara. Disisi lain, petani juga memiliki ketergantungan modal pengolahan kepada pedagang perantara, sehingga pedagang perantara memiliki kekuatan untuk penentuan hasil produksi gambir dalam kegiatan pengolahan gambir.

(5)

gambir yang relatif tinggi dan share harga yang relatif rendah (total margin pemasaran = Rp 13 667.22 dan Rp 11 552.06; farmer’s share = 58.01% dan 69.06%). Analisis integrasi pasar vertikal menunjukkan bahwa tidak terintegrasinya antara pasar acuan dan pasar lokal yang disebabkan oleh tidak tertrasmisikannya informasi harga gambir dari pasar acuan ke pasar lokal, sehingga perubahan harga gambir pada pasar acuan tidak mempengaruhi pasar lokal. Hal ini ditunjukkan oleh nilai IMC yang lebih dari 1 dan nilai b2 yang tidak mendekati 1. Dalam jangka panjang harga gambir ditingkat pedagang besar, memiliki korelasi dengan harga gambir ditingkat eksportir namun informasi harga tidak tertransmisi, sehingga kecenderungan adanya kolusi pada jangka panjang semakin besar. Hal ini diperkuat dengan struktur pasar yang monopsoni dan posisi pedagang pungumpul dan pedagang besar sebagai kaki tangan lembaga pemasaran diatasnya (eksportir). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya market power yang dimiliki kelembagaan pemasaran (dalam hal ini pedagang perantara) dalam pemasaran gambir melalui pembuatan jaringan pemasaran yang kuat. Pada akhirnya, kondisi ini menyebabkan petani tidak memiliki akses dan kesempatan untuk menjual gambir kepada pihak-pihak yang dianggap lebih menguntungkan. Oleh karena itu, untuk menanggulangi hal ini sangat dibutuhkan penguatan dan pembentukan kelembagaan yang berpihak pada petani gambir seperti asosiasi, koperasi ataupun kelompok tani.

Hasil penelitian yang menunjukkan belum adanya peran kelembagaan tingkat petani dalam meningatkan bargaining power petani, sehingga menyebabkan peran kelembagaan pemasaran lebih dominan dalam pengolahan dan pemasaran gambir. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah dengan memperkuat intelegen pasar gambir melalui perbaikan pusat informasi harga dan ekspor gambir serta melakukan kegiatan promosi untuk mendapatkan pasar baru. Alternatif kebijakan pada kelembagaan tingkat petani dapat dilakukan melalui perbaikan akses permodalan serta mengimbangkan peran anak kampo dan petani melalui upaya peningkatan kemampuan petani dalam pengolahan gambir dengan sistem kerjasama yang saling menguntungkan.

(6)

SUMMARY

AMELIRA HARIS NASUTION. The Role of Institution in Gambier Processing and Marketing in Lima Puluh Kota Regency West Sumatera Province. Supervised by RATNA WINANDI ASMARANTAKA and LUKMAN M BAGA.

Gambier is one of the civil plantation commodity which became an Indonesian export commodity and was traded in latex form. West Sumatera is the center of gambier supplier in Indonesia which is the biggest producer of gambier (69.75%) is Lima Puluh Kota Regency. Several studies illustrated that marketing system of gambier is not efficient because of price information intransparency and domination of merchand middlement because of farmers dependency in capital matter for gambier proccesing, so that the farmers have weak bargaining position. To improve the bargaining position of farmers, establish institution or strengthen some existing institutions was needed. So that, the role of institution in gambier processing and marketing was needed to be analyzed in order to improve the bargaining power of gambier farmers in Lima Puluh Kota Regency

This study aims to: 1) analyze the operational efficiency and price efficiency of gambier marketing in Lima Puluh Kota Regency, 2) analyze the institution role (farmers level and marketing level) in gambier processing and marketing in Lima Puluh Kota Regency, 3) formulate an alternative policy from marketing efficiency and institutional role analysis implication in gambier processing and marketing in Lima Puluh Kota Regency. The analysis method was used descriptive qualitative and quantitative analysis. Quantitative data processing was using Microsoft Excel 2007 and Eviews 7.

Marketing institutions which have role in gambier processing and marketing consist of :distributor, traders, wholesalers and expoter. Marketing function analysis showed that in the marketing field, the role of marketing institutions was more dominant relatively than the role of farmers organization, so the farmers tend to be in the weak bargaining position. Although 33.33% of farmers was proven that they cooperated with middlemen. But cooperation which was formed was advantageous cooperation for trader but less profitable for farmers due to the position of farmers is as suppliers of traders with conditions that price tend to be uncompetitive and gambier production must be adapted to middlemen demand. In other side, farmers also had capital dependency on middlemen, so that the middlement had the power to determine the production of gambier in gambier processing.

(7)

the local market caused by gambier price information was not transmitted correctly from the reference market to the local market, so changes in gambier price in reference market was not influence local market. This is indicated by the value of IMC is more than 1 and the value b2 is not close to 1. In the long term gambier price level in wholesalers level, had a correlation with the price level gambir exporters but pricing information did not transmited. So the tendency of collusion in the greater long-term, and this was confirmed by an monopsony market structure and the traders and wholesalers position as a pander of previous marketing channel (exporters). It showed that the high market power which was had by middlemen in the marketing system through the creation of strong marketing network. In the end, this condition caused the farmers did not have access and opportunity to sell gambier to parties which are considered more profitable. Therefore, to solve it, strengthening and formating an institution which was proin gambier farmers such as associations, cooperation or farmer groups.

The results of studies show that there was not institution‟s role in farmer level in increasing bargaining power of farmers, causing marketing institution‟s role was more dominant in the gambier processing and marketing system. Alternative government policies that can be done by goverment is strengthening the gambier market intelligence through gambier pricing and export information center improvement and conduct promotion activities to gain new market. An alternative policy at the farm level is improving access to capital and balancing the role kampo children and farmers through improving the ability of farmers in gambier processing with a system of mutually beneficial cooperation.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)
(10)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

PERAN KELEMBAGAAN DALAM PENGOLAHAN DAN

PEMASARAN GAMBIR DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

SUMATERA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(11)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :Dr Ir Harianto, MS

(12)

Judul Tesis : Peran Kelembagaan Dalam Pengolahan dan Pemasaran Gambir Di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat

Nama : Amelira Haris Nasution NIM : H351130051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS Ketua

Dr Ir Lukman M Baga, M.AEc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(13)
(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Peran Kelembagaan Dalam Pengolahan dan Pemasaran Gambir Di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS dan Dr Ir Lukman M Baga, MAEc selaku Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat membantu selama penyusunan tesis ini. Di samping itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku dosen evaluator kolokium proposal penelitian dan selaku dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis serta Dr Ir Harianto, MS selaku dosen penguji luar komisi pada ujian sidang tesis.

2. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Dr Ir Suharno, MAdev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat, bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan pada Program Studi Agribisnis.

3. Ucapan terimakasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) Calon Dosen kepada penulis.

4. Petani Gambir, Pedagang Gambir, Asosiasi Petani Gambir Indonesia (APEGI), Klaster Harau, Kelompok Tani Gambir serta instansi terkait di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat yang telah bersedia menjadi narasumber dalam penelitian ini.

5. Teman-teman seperjuangan Angkatan IV pada Program Studi Agribisnis atas diskusi, masukan, dan bantuan selama mengikuti pendidikan.

6. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Abdul Haris Nasution dan (Almh) Masfelida yang telah memberikan doa dan dukungan, serta terima kasih untuk kedua adik penulis Merlita Haris Nasution, A.Md dan Mela Haris Nasution.

7. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada Primananda Rahman, SPd.I yang telah memberikan dukungan penuh dan memberikan motivasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan.

(15)
(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xvi

DAFTAR GAMBAR xvii

DAFTAR LAMPIRAN xviii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Sekilas Tentang Tanaman Gambir 9

Pengembangan Gambir di Sumatera Barat 10

Sistem Pemasaran dan Kelembagaan Pemasaran Gambir 11

Penelitian Terdahulu Tentang Peranan Kelembagaan 13

Penelitian Terdahulu Tentang Pemasaran 14

3 KERANGKA PEMIKIRAN 15 Kerangka Pemikiran Konseptual 15

Kerangka Pemikiran Operasional 24

4 METODE PENELITIAN 26 Lokasi dan Waktu Penelitian 26 Jenis dan Sumber Data 26

Metode Pengambilan Contoh 26

Metode Pengumpulan Data 27

Metode Pengolahan dan Analisis Data 27

Definisi Operasional 32

5 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN GAMBIR DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA 32

Kondisi Topografi 32

Kondisi Infrastruktur dan Akses Modal 33

Aktivitas Usahatani dan Pengolahan dalam Pemasaran Gambir 35 Pasar dan Pemasaran 44

Karakteristik Responden di Kabupaten Lima Puluh Kota 45 Kelembagaan Tingkat Petani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 51

6 ANALISIS PERAN KELEMBAGAAN DALAM PENGOLAHAN DAN PEMASARAN GAMBIR DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA 56

Identifikasi Struktur Pasar Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 56

Analisis Lembaga dan Fungsi Pemasaran Serta Saluran Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 59

Mekanisme Pembentukan Harga 74

Sistem Pembayaran 75

Margin Pemasaran dan Farmer's Share 76

Analisis Efisiensi Operasional Dalam Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 85

(17)

Peran Kelembagaan Pemasaran dalam Pengolahan dan Pemasaran

Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 89 Peran kelembagaan Tingkat Petani Dalam Pengolahan dan

Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 93 Implikasi Analisis Efisiensi Pemasaran dan Peran Kelembagaan

Dalam Pengolahan dan Pemasaran Gambir 94

7 SIMPULAN DAN SARAN 100

Simpulan 100

Saran 101

DAFTAR PUSTAKA 101

LAMPIRAN 106

RIWAYAT HIDUP 123

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan ekspor gambir Indonesia ke berbagai negara tujuan

ekspor 2

2 Luas lahan dan produksi gambir di Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan pada tahun 2011 3 3 Daerah penghasil, luas lahan, dan produksi gambir di Provinsi Sumatera

Barat tahun 2013 3

4 Struktur pasar pada pangan dan serat 23

5 Perbandingan struktur pasar 24

6 Fungsi-fungsi pemasaran 28

7 Syarat suatu pasar terintegrasi atau tidak 31

8 Panjang jalan menurut status pemerintahan yang berwenang berdasarkan jenis permukaan di Kabupaten Lima

Puluh Kota 34

9 Sebaran jumlah dan persentase petani gambir berdasarkan frekuensi

panen 39

10 Standar mutu gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 43 11 Lokasi penelitian dan jumlah gambir yang menjadi responden di

Kabupaten Lima Puluh Kota 46

12 Sebaran jumlah dan persentase petani berdasarkan karakteristik di

Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2014 47 13 Jumlah kelompok tani gambir di masing-masing kecamatan dan nagari 54 14 Perbandingan jumlah partisipan pasar gambir di Kabupaten Lima

Puluh Kota serta volume gambir tahun 2014 57 15 Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan pada tingkat penyalur 62 16 Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan pada tingkat pedagang

pengumpul 64

(18)

21 Aktivitas perdagangan gambir yang dilakukan lembaga pemasaran 74 22 Sumber informasi dan proses penentuan harga gambir pada

setiap lembaga pemasaran di Kabupaten Lima Puluh Kota 75 23 Sebaran harga beli, biaya pemasaran, harga jual, keuntungan dan margin pemasaran berdasarkan lembaga pemasaran saluran pemasaran 1 di

KecamatanKapur IX 77

24 Sebaran harga beli, biaya pemasaran, harga jual, keuntungan dan

margin pemasaran berdasarkan lembaga pemasaran saluran pemasaran 2

di Kecamatan Kapur IX 78

25 Sebaran harga beli, biaya pemasaran, harga jual, keuntungan dan

margin pemasaran berdasarkan lembaga pemasaran saluran pemasaran 3

di Kecamatan Kapur IX 79

26 Sebaran harga beli, biaya pemasaran, harga jual, keuntungan dan

margin pemasaran berdasarkan lembaga pemasaran saluran pemasaran 4 di

Kecamatan Kapur IX 80

27 Farmer’s share setiap saluran pemasaran di Kecamatan Kapur IX 80

28 Sebaran total biaya pemasaran, total keuntungan dan total margin

pada masing-masing saluran di Kecamatan Kapur IX 81 29 Sebaran harga beli, biaya pemasaran, harga jual, keuntungan dan

margin pemasaran berdasarkan lembaga pemasaran saluran pemasaran 1 di Kecamatan Mungka dan Kecamatan Harau 82 30 Sebaran harga beli, biaya pemasaran, harga jual, keuntungan dan

margin pemasaran berdasarkan lembaga pemasaran saluran pemasaran 2 di Kecamatan Mungka dan Kecamatan Harau 83 31 Sebaran harga beli, biaya pemasaran, harga jual, keuntungan dan

margin pemasaran berdasarkan lembaga pemasaran saluran pemasaran 3 di Kecamatan Mungka dan Kecamatan Harau 83 32 Farmer’s share pada setiap saluran pemasaran di Kecamatan

Mungka dan Kecamatan Harau 84 33 Sebaran total biaya pemasaran, total keuntungan dan total margin

pada masing-masing saluran di Kecamatan Mungka dan Kecamatan

Harau 85

34 Indeks integrasi jangka pendek pada pasar gambir 87 35 Indeks integrasi jangka panjang pada pasar gambir 88

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan ekspor gambir Indonesia untuk dunia 1 2 Perbandingan volume ekspor gambir Indonesia pada tahun 2013 dengan

berbagai negara tujuan ekspor di dunia 2

3 Countervaling power 4

4 Penentuan harga dan keuntungan maksimal pada pasar persaingan

sempurna 21

5 Penentuan harga dan keuntungan maksimal pada pasar monopoli 22

6 Kerangka pemikiran operasional 25

7 Panjang jalan menurut kondisi permukaan di Kabupaten Lima Puluh

(19)

8 Tanaman gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 36 9 Bentuk daun berdasarkan jenis varietas Tanaman Gambir 37 10 Benih tanaman gambir yang berasal dari bunga gambir yang sudah

dikeringkan di Kabupaten Lima Puluh Kota 37

11 Pola tanam tumpangsari pada budidaya gambir di Kabupaten Lima

Puluh Kota 38

12 Proses pengolahan gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 41 13 Pengujian sederhana komponen yang terkandung dalam gambir 42 14 Jenis gambir hasil pengempaan di Kabupaten Lima Puluh Kota 43 15 Kegiatan transaksi perdagangan pasar gambir di Kecamatan Kapur IX 69 16 Saluran pemasaran di Kecamatan Kapur IX 70 17 Saluran pemasaran di Kecamatan Mungka dan Harau 72 18 Implikasi peran kelembagaan dalam sistem pemasaran gambir 96

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perkembangan ekspor gambir Indonesia untuk dunia 106 2 Luas lahan dan produksi gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 107

3 Pohon industri gambir 108

4 Matriks pendekatan studi 109

5 Peta sebaran penghasil gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota 110 6 Nama Ibu Kota Kecamatan, Jumlah Nagari, Jorong Menurut Kecamatan 111 7 Kelompok tani penerima fasilitas dan alat pengolahan gambir serta

rumah kempa di Kabupaten Lima Puluh Kota 112

8 Data penjualan gambir di tingkat petani 113 9 Analisis margin pemasaran di Kecamatan Kapur IX 115 10 Analisis margin pemasaran di Kecamatan Mungka dan Kecamatan

Harau 116

(20)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gambir adalah salah satu komoditas perkebunan rakyat yang menjadi komoditas ekspor Indonesia dan diperdagangkan dalam bentuk getah yang diperoleh dari pengempaan daun dan ranting yang telah disedimentasi, dicetak, dan dikeringkan dari tanaman Uncaria gambier (Hunt.) Roxb. Ekstrak dari tanaman perdu ini mengandung katekin dan tanin yang termasuk dalam golongan falvanoid dan bersifat antioksidan dan antibakteri sehingga berguna sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetik, penyamakan kulit, pewarna, dan industri makanan. Dari pemanfaatan ekstrak gambir inilah yang menempatkan gambir sebagai komoditas yang memiliki prospek pengembangan yang besar dalam pemanfaatan nilai ekonomi dari daun gambir sekaligus sebagai salah satu komoditas penghasil devisa negara dan sebagai sumber mata pencarian petani.

Indonesia menempati posisi yang sangat penting sebagai produsen gambir terbesar di dunia dengan memasok 80% kebutuhan gambir dunia (Sa‟id et al. 2009; Adi 2011; BAPPENAS dan GIZ 2013). Keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia berupa kecocokan iklim dan topografi yang sesuai dengan budidaya gambir memberikan efek positif terhadap produksi gambir asal Indonesia sehingga Indonesia dapat mengekspor gambir setiap tahunnya dan menjadi pemasok utama gambir dunia.

Berdasarkan data Trade Map tahun 2014 dengan HS 320190100 Gambier dan 3201901000 Gambier, trend perkembangan ekspor gambir cenderung meningkat (Gambar 1). Akan tetapi pada tahun 2011, terlihat adanya penurunan yang signifikan terhadap volume ekspor gambir Indonesia yang semula 21 090.36 (2010) menjadi 13 338.34 (2011) (Lampiran 1) dan hal ini diduga akibat pertumbuhan jumlah produksi gambir yang relatif kecil yaitu 3.01% dan besarnya kehilangan hasil (ekstrak gambir) dalam pengolahan gambir yang dilakukan petani gambir secara tradisional (BAPPENAS dan GIZ 2013) serta penurunan permintaan pasar terhadap gambir asal Indonesia akibat mutu gambir yang rendah (Evalia et al. 2012). Namun penurunan volume ekspor gambir ini tidak bertahan lama dan dalam dua tahun terakhir perkembangan volume ekspor gambir Indonesia mulai merangkak naik kembali, meskipun belum mencapai volume ekspor tertinggi seperti yang terjadi pada tahun 2010.

Sumber: Trade Map (2014)

Gambar 1 Perkembangan ekspor gambir Indonesia untuk dunia

-2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013

Ku

2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013

(21)

2

Terdapat 17 negara tujuan ekspor gambir asal Indonesia yaitu India, Pakistan, Bangladesh, Singapura, Jepang, Malaysia, Vietnam, Korea Selatan, Nepal, Turki, Srilanka, China, Saudi Arabia, Taipe, Uni Emirat Arab, Thailand, dan Amerika Serikat. Diantara 17 negara tersebut, terdapat 4 negara tujuan utama ekspor gambir Indonesia yang mengimpor gambir asal Indonesia dengan kuantitas lebih dari 100 ton setiap tahunnya. Negara pengimpor terbesar tersebut adalah negara India, Pakistan, Bangladesh dan Singapura (Gambar 2) dengan jumlah permintaan yang cenderung relatif stabil setiap tahunnya (Tabel 1).

Sumber: Trade Map (2014)

Gambar 2 Perbandingan volume ekspor gambir Indonesia pada tahun 2013 dengan berbagai negara tujuan ekspor di dunia

Diantara keempat negara pengimpor terbesar gambir asal Indonesia, negara India menduduki peringkat pertama. Bahkan untuk tahun 2013, ekspor gambir asal Indonesia untuk India mencapai 14 113.7 ton (Tabel 1). Kebutuhan gambir sebagai bahan baku utama dalam upacara-upacara adat serta sebagai bahan makanan (bahan menyirih), permen serta penjernih dalam industri air, membuat India selalu menempati posisi pertama dalam pengimpor gambir asal Indonesia. Tabel 1 Perkembangan ekspor gambir Indonesia ke berbagai negara tujuan ekspor

Negara Importir

Kuantitas/Tahun (Ton/Tahun) dan Persentase

2010 2011 2012 2013

Kuantitas % Kuantitas % Kuantitas % Kuantitas %

India 19 267.7 91.4 12 029.3 90.2 14 312.8 91.3 14 113.7 90.1

Pakistan 612.2 2.9 584.7 4.4 720.8 4.6 858.8 5.5

Bangladesh 231.2 1.1 245.0 1.8 264.0 1.7 330.0 2.1 Singapore 289.2 1.4 150.9 1.1 123.0 0.8 147.2 0.9 Lain-Lain 690.3 3.3 328.4 2.5 263.2 1.7 221.3 1.4 Total 21 090.4 100 13 338.3 100 15 683.7 100 15 671.1 100

Sumber: Trade Map (2014)

Indonesia memiliki empat provinsi di Sumatera yang menjadi produsen gambir nasional. Keempat provinsi tersebut adalah Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan. Berdasarkan data BPS masing-masing provinsi tahun 2011, diantara keempat provinsi tersebut Sumatera Barat

India (90.1%) Pakistan

(5.5%)

Bangladesh (2.1%)

Singapore (0.9%)

(22)

3 merupakan sentra gambir terbesar (Tabel 2) dan mampu memasok 80% hingga 90% dari total produksi gambir nasional sehingga Sumatera Barat disebut barometer gambir nasional (Ermiati 2004; Sa‟id et al. 2009; Sa‟id 2010).

Tabel 2 Luas lahan dan produksi gambir di Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan pada tahun 2011

Provinsi Luas Lahan (Ha) Produksi (Ton)

Sumatera Barata 21 404 14 025

Sumatera Utarab 1 887.66 1 888.72

Riauc 4 928 4 312 Sumatera Selatand 564 193

Sumber : aBPS (2014a); bBPS (2011); cBPS (2013); dBPS (2012)

Provinsi Sumatera Barat memiliki 2 daerah penghasil terbesar gambir yaitu Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Pesisir Selatan. Untuk produksi gambir terbesar berada di Kabupaten Lima Puluh Kota yang memasok 69.75% dari total produksi gambir Sumatera Barat tahun 2013 (Tabel 3).

Tabel 3 Daerah penghasil, luas lahan, dan produksi gambir di Provinsi Sumatera Barat tahun 2013

Kabupaten/ Kota Luas Lahan Gambir (Ha) Produksi (Ton)

Kabupaten

Pesisir Selatan 5 602 3 490

Sijunjung 231 54

Padang Pariaman 218 108

Agam 1 046 214

Lima Puluh Kota 15 474 10 310

Pasaman 669 445

Pasaman Barat 192 102

Kota

Padang 96 55

Sawahlunto 10 4

Jumlah 23 537 14 782

Sumber: BPS (2014a)

(23)

4

sebagai pembeli tunggal dengan konsekuensi kuatnya posisi India sebagai negara konsumen gambir dalam mempengaruhi harga. Hal ini diperkuat oleh Dhalimi (2006) yang menyebutkan bahwa pasar gambir besifat monopsoni.

Kondisi diatas dalam Ekonomi Managerial disebut sebagai Monopoli Bilateral (Arsyad 2008) atau Countervaling Power (Wilkinson 2005). Monopoli bilateral terjadi jika ada pembeli yang bersifat monopolis dan penjual yang bersifat monopolis pula. Arsyad (2008) menyebutkan harga dan kuantitas yang terjadi tidak dapat ditentukan dengan teori ekonomi. Penyelesaiannya akan bergantung dengan perbandingan kekuatan tawar menawar dan strategi antar pembeli tersebut. Wilkinson (2008) menyebutkan bahwa countervalling power mengacu pada situasi di mana keberadaan kekuatan monopoli di satu sisi pasar dapat menyebabkan penangkalan atau peniadaan kekuatan monopoli di sisi lain dari pasar. Kedua monopolis dalam kondisi tersebut menyadari pengaruh tindakan mereka terhadap harga dan output. Monopoli merupakan sisi penjual, dimana penjual akan melihat pada demand, sedangkan monopsoni berada pada sisi pembeli yang akan melihat supply. Pada pasar monopoli, kuantitas yang dihasilkan berada pada Qs, dimana terdapat perpotongan MC dengan MR, sehingga ketika ditarik keatas (kearah D) akan terbentuk harga di Ps. Disisi lain, monopsoni akan membeli barang di Qb dengan harga di Pb. Jika lebih kuat monopolis maka transaksi akan ada di Ps dan Qs, akan tetapi bila lebih kuat monopsonis maka akan berada di Pb dan Qb (Gambar 3).

Pb D

MR Qs

Ps

S MC

Qb

P*

Q P (Rp/Unit)

Harga

Kuantitas

Gambar 3 Countervaling power

Untuk menyeimbangkan kedua posisi tersebut maka diharapkan agar harga yang yang diterima monopolis dari sisi penjual dan monopolis dari sisi pembeli mengikuti harga pada pasar persaingan sempurna yang berada pada titik pertemuan antara supply dan demand (P*). Akan tetapi dalam pemasaran gambir, untuk berada pada struktur pasar persaingan sempurna ditemui beberapa kendala. Salah satunya diduga disebabkan oleh lemahnya sisi kelembagaan gambir, pengolahan dan pemasaran gambir (Adi 2011; Elida 2011).

(24)

5 lemahnya sisi pemasaran gambir diduga disebabkan oleh tidak efisiennya sistem pemasaran gambir. Hal ini dapat dilihat pada pemasaran gambir yang berhadapan dengan situasi pasar monopoli pada sisi penjual dan situasi pasar monopsoni pada sisi pembeli, sehingga menimbulkan ketidakefisienan sistem pemasaran gambir. Padahal secara normatif struktur pasar yang relatif efisien berada struktur pasar persaingan sempurna. Disisi lain, kuatnya dominasi pedagang dan eksportir dalam menentukan harga gambir yang menyebabkan petani cenderung menjadi price taker serta menimbulkan ketidakpuasan petani sebagai produsen gambir yang memiliki bargaining power yang lemah. Akibatnya pemasaran gambir dianggap tidak efisien bila ukuran efisiensi diartikan sebagai kepuasan dari konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan barang atau jasa dari petani sampai konsumen akhir.

Ketidakpuasan petani yang seharusnya mampu diakomodasi oleh kelembagaan melalui pembentukan kelompok seperti koperasi dan asosiasi diduga juga belum mampu mentransformasi fungsi dan menjalankan perannya untuk meningkatkan bargaining power petani dalam pengolahan dan pemasaran gambir. Keberadaan kelembagaan yang seharusnya mampu mengarahkan pasar gambir pada pasar persaingan sempurna agar efisien dan mampu mengakomodasi kebutuhan petani gambir tidak dirasakan oleh petani. Meskipun Kohls dan Uhl (2002) menyebutkan penentuan harga secara kolektif atau kelompok (collective bargaining approaches to pricing) dalam mechanisms of price discovery dapat meningkatkan bargaining power petani, namun peran kelembagaan pemasaran (pedagang perantara) diduga masih memiliki kontribusi yang lebih besar dibandingkan kelembagaan tingkat petani (kelembagaan dalam artian organisasi ditingkat petani maupun kelembagaan sebagai aturan main yang berkaitan dengan perilaku).Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui peran dari kelembagaan pemasaran dan kelembagaan pada tingkat petani dalam pengembangan gambir khususnya pada pengolahan dan pemasaran gambir, agar perbaikan kelembagaan dapat meningkatkan bargaining power petani gambir.

Perumusan Masalah

(25)

6

lahan dan produksi gambir yang paling besar di Kabupaten Lima Puluh Kota serta memiliki pasar gambir.

Untuk mendukung posisinya sebagai penghasil gambir terbesar di Sumatera Barat, Kabupaten Lima Puluh Kota telah membuat kebijakan yang menetapkan gambir sebagai leading sector economic development dalam rangka pengembangan sumberdaya ekonomi lokal atau Local Economic Resources Development (LERD). Konsep LERD ini merupakan kebijakan yang mengakomodasi penumbuhan wilayah lokal secara sosial ekonomi dengan lebih mandiri berdasarkan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, geografis, kelembagaan, kewirausahaan dan sebagainya. Penetapan komoditas gambir sebagai leading sector economic development didasari oleh posisi gambir sebagai salah satu komoditas yang unik di Kabupaten Lima Puluh Kota, bahkan juga di Indonesia. Keunikan ini disebabkan tanaman gambir relatif berkembang dan banyak diusahakan di Kabupaten Lima Puluh Kota, sementara itu tidak banyak dan bahkan sama sekali tidak dikembangkan di daerah lainnya (BAPPEDA 2013)

Posisi leading sector economic development diharapkan berdampak positif terhadap pengembangan gambir melalui peningkatan pendapatan petani sebagai produsen gambir. Akan tetapi dengan posisi Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai penghasil gambir terbesar di Sumatera Barat, diduga belum mampu meningkatkan pendapatan petani gambir. Menurut Ermiati (2004), meskipun usahatani gambir menguntungkan akan tetapi belum tentu dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani bila dilihat dari analisis kelayakan usahatani gambir. Hal ini diduga disebabkan oleh lemahnya posisi tawar petani gambir akibat tertutupnya informasi harga gambir, sehingga memposisikan petani gambir hanya sebagai price taker. Disisi lain, pengembangan gambir juga dihadapkan pada berbagai permasalahan seperti aspek pengolahan, pemasaran dan kelembagaan.

Beberapa kajian menggambarkan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pengolahan dan pemasaran gambir, sehingga menyebabkan tidak efisiennya pemasaran gambir (Dhalimi 2006; Afrizal 2009; Asben 2008 dalam Evalia et al. 2012; Sa‟id et al. 2009) . Tertutupnya informasi harga, posisi petani gambir yang terpaksa menjual gambir karena terjerat hutang pada pedagang, serta dominasi pedagang pengumpul yang merupakan perpanjangan tangan dari para eksportir gambir mengakibatkan rendahnya posisi tawar petani (Dhalimi 2006; Afrizal 2009). Wewenang eksportir dalam penetapan harga domestik gambir yang cenderung mempertimbangkan kuota permintaan negara tujuan ekspor dibandingkan harga gambir internasional (Dhalimi 2006; Sa‟id et al. 2009; Afrizal 2009; Elida 2011; BAPPENAS dan GIZ 2013) turut memperkuat dugaan yang menyatakan pasar gambir tidak efisien, terlebih lagi dengan beragamnya kualitas dan mutu produk gambir yang dihasilkan petani akibat permasalahan dalam pengolahan gambir, juga turut berkontribusi terhadap sistem penetapan harga yang dilakukan pedagang. Bahkan turun tangannya importir yang berasal dari India secara langsung untuk menetapkan harga gambir (Adi 2011) diduga juga menjadi permasalahan lainnya yang menyebabkan tidak efisiennya sistem pemasaran gambir.

(26)

7 dalam mechanisms of price discovery menurut Kohls dan Uhl (2002) dapat dilakukan melalui wadah koperasi dan asosiasi-asosiasi. Diharapkan dengan adanya koperasi dan asosiasi, maka dominasi dari pedagang dalam menetapkan harga gambir yang mampu menekan petani dapat dihindari. Hal ini sejalan dengan pernyataan Pokhrel and Thapa (2006) yang menyatakan bahwa diperlukannya pendirian kelembagaan ataupun penguatan kelembagaan yang telah ada untuk mengatasi lemahnya posisi tawar petani.

Dalam pendekatan kelembagaan pada pemasaran, kelembagaan pemasaran terdiri dari pedagang perantara, agen perantara, spekulator, pengolah pabrikan, dan organisasi. Dari lima kelembagaan tersebut, diduga adanya kecenderungan dominasi pedagang perantara yang menekan petani gambir melalui penetapan harga beli gambir. Disisi lain, lemahnya posisi asosiasi dan koperasi yang juga menjadi bagian dari organisasi dalam pendekatan kelembagaan di studi pemasaran, juga turut menjadi penyebab lemahnya posisi tawar petani gambir. Oleh karena itu, perlu diketahui peran kelembagaan dalam pengembangan gambir, baik itu kelembagaan tingkat petani maupun kelembagaan pemasaran gambir, agar perbaikan kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir dapat meningkatkan bargaining power petani gambir, sehingga paradoks yang muncul dalam pengembangan gambir dapat terpatahkan. Oleh karena itu dalam penelitian ini timbul pertanyaan penelitian, berupa:

1. Bagaimana efisiensi operasional dan efisiensi harga dalam pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota ?

2. Bagaimana peran kelembagaan (tingkat petani dan pemasaran) dalam pengolahan dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota?

3. Bagaimana alternatif kebijakan dari implikasi analisis efisiensi pemasaran dan peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota dan secara spesifik tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis efisiensi operasional dan efisiensi harga dalam pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota

2. Menganalisis peran kelembagaan (tingkat petani dan pemasaran) dalam pengolahan dan pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota

(27)

8

Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka diharapkan penelitian ini memberikan manfaat berupa:

1. Bagi petani, kelembagaan tingkat petani dan kelembagaan pemasaran, dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan kegiatan pengolahan dan pemasaran gambir sehingga gambir sebagai komoditas unggulan daerah Sumatera Barat juga menjadi bisa menjadi komoditas unggulan dalam perbaikan ekonomi petani dan anggota kelompok tani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.

2. Bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan, diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk memperbaiki sistem pemasaran gambir dan kelembagaan kelompok tani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota

3. Bagi peneliti dan akademisi, diharapkan bisa menjadi bahan referensi dan informasi untuk penelitian lebih lanjut sehingga semakin banyak masukan untuk perbaikan pengembangan gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota kedepan.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup analisis 2 aspek yang saling berkaitan, yaitu menganalisis efisiensi pemasaran gambir serta analisis peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir untuk merumuskan alternatif kebijakan dari implikasi analisis efisiensi pemasaran dan peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir. Analisis yang pertama dilakukan adalah efisiensi pemasaran dalam pemasaran gambir yang terdiri dari analisis margin pemasaran,

farmer’s share, serta integrasi pasar vertikal untuk melihat efisiensi operasional dan efisiensi harga dari pemasaran gambir. Pada bagian ini juga dianalisis saluran pemasaran gambir yang terbentuk mulai dari petani produsen gambir hingga ke eksportir gambir. Analisis kedua berkaitan dengan analisis peranan kelembagaan yang menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Analisis ini memiliki fokus pada sejauhmana peranan kelembagaan tingkat petani dan kelembagaan pemasaran dalam pengembangan gambir khususnya pengolahan dan pemasaran gambir. Peranan tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan fungsinya sebagai bagian dalam pengembangan gambir yang terlihat dari kontribusi, pola kerjasama, aturan main (rule of the game) yang dijalankan serta pola interaksi yang dijalankan. Diharapkan dengan analisis ini dapat menghasilkan alternatif kebijakan dalam pengembangan gambir melalui implikasi analisis efisiensi pemasaran dan peran kelembagaan dalam pengolahan dan pemasaran gambir.

(28)

9

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sekilas Tentang Tanaman Gambir

Gambir (Uncaria Gambier (Hunt.) Roxb) merupakan jenis tanaman perdu yang tersebar luas di daerah tropis seperti Asia bagian Selatan, Afrika dan Amerika Selatan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Untuk daerah Asia, tanaman gambir diketahui tumbuh di daerah Indonesia dan Malaysia. Gambir asal Indonesia, lebih banyak ditujukan sebagai komoditas ekspor. Saat ini Indonesia tercatat sebagai pemasok 80% kebutuhan gambir dunia dan 80% hingga 90% hasil produksi gambir tersebut berasal dari Sumatera Barat, sehingga Sumatera Barat ditetapkan sebagai barometer produksi gambir nasional.

Tanaman ini memiliki kandungan kimia yang diperoleh dari ekstrak gambir melalui proses pengempaan daun dan ranting yang kemudian disedimentasi, dicetak dan dikeringkan. Ekstrak gambir mengandung berbagai senyawa kimia yang berguna untuk antioksidan (Rauf et al. 2010; Rahmawati et al. 2013; Gani et al. 2013) dan antibakteri (Arinta dan Kusnadi 2006; Amos 2009; Lucida et al. 2010). Menurut Kementrian Riset dan Teknologi pada tahun 2012 penelitian mengenai senyawa kimia pada tanaman bergenus Uncaria ini telah dilakukan semenjak tahun 1990-an dan ditemukan lebih dari 150 senyawa kimia yang telah diisolasi dan diidentifikasi. Hingga saat ini berbagai penelitian masih terus dilakukan untuk mengetahui jenis kandungan kimia dan persentase jumlahnya pada ekstrak gambir (Widiyarti et al. 2009; Isnawati et al. 2012; Gani et al. 2013; Rahmawati et al. 2013). Namun kandungan yang paling sering dimanfaatkan dari ekstrak gambir adalah kandungan dari senyawa polifenol yang berada pada ekstrak gambir berupa katekin dan tanin. Kedua kandungan inilah yang kemudian memberikan nilai ekonomi karena dimanfaatkan sebagai bahan baku industri farmasi seperti pasta gigi (Lucida et al. 2010), kosmetik, penyamakan kulit, pewarna, dan bahan industri makanan. Besarnya kandungan senyawa dari gambir yang diperoleh dari proses ekstraksi gambir dipengaruhi oleh agroindustri (pengolahan) gambir.

(29)

10

Aswardi et al. (2010) menemukan bahwa proses agroindustri gambir yang menggunakan sistem tradisional melalui perajangan sebelum direbus memberikan hasil berupa rendemen getah gambir yang lebih tinggi dibandingkan tanpa rajangan, namun memiliki kandungan katekin yang lebih rendah. Kegiatan pengolahan yang tradisional serta masih kurangnya perhatian terhadap aspek kebersihan dan kemurnian membuat perbaikan dan pengembangan agroindustri gambir sangat dibutuhkan agar kandungan senyawa penting yang dimiliki gambir tidak banyak hilang dalam proses ekstraksinya. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan industri pemurnian gambir terpadu agar kualitas yang dihasilkan seragam dan diperoleh gambir Waferblock yang memenuhi standar SNI atau produk gambir yang sesuai dengan kebutuhan pasar ekspor (Roufiq et al. 2010). Disisi lain, pemanfaatan gambir sebagai bahan baku industri dapat dilihat melalui pemanfaatan seluruh bagian gambir sebagai sumber ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari Lampiran 3 mengenai pohon industri gambir yang menunjukkan pemanfaatan semua bagian dari gambir. Pemanfaatan gambir sebagai sumber pendapatan petani akan semakin menguntungkan bila kegiatan pengolahan tidak hanya terbatas pada produksi gambir setengah jadi atau diolah menjadi produk turunan lainnya yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.

Pengembangan Gambir di Sumatera Barat

Gambir sebagai salah satu komoditas perkebunan rakyat merupakan komoditas unggulan Sumatera Barat yang memasok 80% hingga 90% produksi gambir nasional. Indonesia menempatkan diri sebagai pemasaok terbesar untuk 17 negara tujuan ekspornya (India, Pakistan, Bangladesh, Singapura, Jepang, Malaysia, Vietnam, Korea Selatan, Nepal, Turki, Srilanka, China, Saudi Arabia, Taipe, Uni Emirat Arab, Thailand, dan Amerika Serikat). Meskipun demikian, petani yang menggantungkan hidupnya pada budidaya dan agroindustri gambir ternyata belum memperoleh hasil yang maksimal. Bahkan menurut Idrus (2012), tercatat untuk sektor agroindustri gambir tidak mengalami perkembangan yang berarti, walaupun trend pengembangan gambir sebagai komoditas unggulan yang luas tanam dan produksinya yang meningkat dan diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2016.

(30)

11 tidak adanya kegiatan pemeliharaan dan pemupukan dalam budidaya gambir. Permasalahan pengolahan berkaitan dengan pengolahan yang masih tradisional serta adanya kebiasaaan mencampur gambir dengan bahan-bahan lain sehingga kualitas mutu gambir rendah dan harga jualnya lebih rendah.

Rendahnya kualitas gambir dan kebiasaan mencampur gambir dengan bahan-bahan lain sangat berkaitan erat dengan aspek keterbatasan teknologi dalam pengembangan agroindustri pengolahan gambir. Mutu gambir yang merupakan syarat mutlak untuk bersaing di pasar internasional membutuhkan perhatian yang khusus melalui perbaikan teknologi dalam proses produksi gambir di UKM agroindustri gambir (Sa‟id et al. 2010b) maupun pendirian industri katekin dan tanin yang didukung oleh kelembagaan (Adi 2011) agar gambir yang dihasilkan sesuai dengan SNI yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Selain dengan perbaikan teknologi untuk proses produksi, peningkatan mutu gambir juga sangat berkaitan dengan bahan baku dan didukung oleh sistem evaluasi dan pelaporan yang baik (Sa‟id et al. 2010b). Disisi lain, diharapkan juga pelaksanaan berbagai strategi dari hasil kajian mengenai pengembangan gambir seperti melakukan ekspansi pasar gambir dan peningkatan nilai tambah gambir guna meningkatkan pendapatan nasional maupun pendapatan petani dari kegiatan perdagangan ekspor gambir (Sa‟id et al. 2010a).

Aspek penting lainnya yang perlu diperbaiki dalam pegembangan komoditas gambir sebagai komoditas unggulan adalah aspek pengembangan kelembagaan demi perbaikan pengembangan pemasaran (domestik maupun ekspor), pengembangan produk, peningkatan kualitas sumberdaya manusia maupun penanganan masalah pemodalan (Adi 2011). Dukungan kelembagaan diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan petani gambir dengan koordinasi yang baik dan penyebaran informasi yang merata sehingga mampu meningkatkan bargaining power petani gambir. Selain itu, membina kelembagaan gambir menjadi lembaga ekonomi juga merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan dalam rangka perbaikan pengembangan pemasaran gambir yang selama ini selalu menjadi masalah (Elida 2011). Dari sisi kebijakan, perbaikan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pengembangan komoditas gambir adalah dengan memanfaatan program Agrotechnopark. Agrotechnopark merupakan salah satu program yang bertujuan untuk mengembangkan keunggulan komparatif dari sumber daya gambir untuk diubah menjadi keunggulan kompetitif dengan membantu merumuskan kebijakan umum dan strategi menghadapi kendala dan hambatan dalam pelaksanaan program pengembangan dan peningkatan nilai tambah gambir. Selain itu, upaya peningkatan diversifikasi hasil produk turunan gambir melalui inovasi juga dapat diterapkan untuk meningkatkan posisi gambir (Evalia et al. 2012).

Sistem Pemasaran dan Kelembagaan Pemasaran Gambir

(31)

12

terjadi dalam sistem pemasaran (Mdoe dan Wiggins 1996; Phokhrel dan Thapa 2006; Dawe et al. 2008; Afrizal 2009; Chamberlin dan Jayne 2012; Sekhar 2012).

Persoalan tidak efisiennya sistem pemasaran gambir merupakan salah satu hal yang menjadi sorotan dalam pengembangan gambir sebagai salah satu komoditas ekspor Indonesia. Sistem agribisnis yang terdiri dari subsitem agribisnis hulu, subsistem agribisnis usahatani, subsistem agribisnis pengolahan, subsistem agribisnis pemasaran dan subsistem agribisnis jasa dan penunjang secara normatif seharusnya memiliki keterkaitan satu sama lain bila dihubungkan dengan pengembangan agribisnis. Kompleksitas permasalahan dalam sistem pemasaran gambir memberikan tantangan tersendiri dalam upaya perbaikan sistem pemasaran gambir untuk mengembangkan komoditas gambir. Pemasaran gambir yang tujuan utamanya sebagai pemenuhan kebutuhan dunia akan gambir melalui kegiatan ekspor, ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian petani gambir. Hal ini selain diakibatkan oleh adanya tingkat kebutuhan adopsi inovasi untuk pengetahuan SDM petani dalam pengolahan (Ermiati 2004; Dhalimi 2006; Yuhono 2010), tetapi juga diakibatkan oleh lemahnya posisi petani dalam sistem pemasaran gambir akibat keterkaitan antara faktor penentuan harga dalam pemasaran gambir sehingga sistem pemasaran gambir dapat dikatakan tidak efisien (Afrizal 2009).

Ukuran efisiensi adalah kepuasan dari konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan barang atau jasa mulai dari petani sampai konsumen akhir, sehingga indikator efisiensi pemasaran dapat dilihat dari dua indikator yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga (Kohls dan Uhl 2002). Efisisensi operasional berkaitan dengan pelaksanaan aktivitas pemasaran yang dapat meningkatkan dan memaksimumkan rasio output-input pemasaran, sedangkan efisiensi harga menekankan pada kemampuan sistem pemasaran dalam mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh produk pertanian dan proses pemasaran sehingga efisien dan sesuai dengan keinginan konsumen. Ketidakefisienan dalam pemasaran gambir dapat dilihat dari penetapan harga yang dipegang oleh eksportir, struktur pasar yang oligopsoni yang dicirikan dengan tidak seimbangnya rasio petani dan pedagang yang ditunjukkan oleh tingginya derajat konsentrasi pasar, serta informasi harga yang tidak ditransmisi secara sempurna bahkan cenderung tertutup (Dhalimi 2006; Sa‟id et al 2009; Afrizal 2009; Elida 2011). Kondisi tersebut mengakibatkan tidak akan ada harga terbaik yang akan berlaku bagi petani dan berdampak pada rendahnya tingkat kesejahteraan petani (Afrizal 2009).

(32)

13 permasalahan mengenai akses informasi harga yang menyebabkan tidak efisiennya pemasaran gambir juga dapat diatasi dengan perbaikan akses pasar.

Peningkatan efisiensi pemasaran juga berkaitan dengan kelembagaan (aktor-aktor) yang terlibat dalam pemasaran, seperti yang disebutkan Mdoe dan Wiggins (1996) posisi dan peran kelembagaan sangat berpengaruh pada efisiensi pemasaran. Rekomendasi penguatan kelembagaan petani dan penguatan sinergi dan kerjasama merupakan hal yang dianjurkan dalam memperbaiki permasalahan sistem pemasaran yang tidak efisien yang menyebabkan posisi tawar petani yang lemah (Pokhrel dan Thapa 2006; Raharto 2010; Afrizal 2009; Herminingsih 2011). Oleh karena itu, salah satu rekomendasi yang dianggap tepat untuk meningkatkan bargaining power petani adalah melalui penguatan kelembagaan petani dalam pemasaran gambir (Dhalimi 2006; Elida 2011; Adi 2011) karena posisi kelembagaan sebagai salah satu subsistem agribisnis turut memberikan hubungan yang signifikan terhadap keragaan sistemnya (Juraime 2004).

Penelitian Terdahulu Mengenai Peranan Kelembagaan

Pendekatan kelembagaan merupakan salah satu studi yang dapat dilakukan dari perspektif mikro yang lebih mengedepankan aspek institution of governance (Raharjo 2009). Pendekatan kelembagaan ini berkaitan dengan pelaku yang bekontribusi dalam pemasaran suatu komoditas. Pendekatan kelembagaan tersebut bisa terdiri dari pedagang perantara, agen perantara, spekulator, pengolah dan pabrikan, serta organisasi. Pedagang perantara terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang eceran, pedagang grosir. Agen perantara terdiri dari komisioner dan broker, sedangkan organisasi terdiri dari asosiasi dan koperasi. Masing-masing dari kelembagaan pemasaran ini memiliki fungsi yang sesuai dengan aktivitas yang dilakukannya dalam sistem pemasaran (Asmarantaka 2012). Raharjo (2009) menyimpulkan bahwa kelembagaan pemasaran berperan penting dalam menyampaikan produk ke tangan konsumen secara langsung. Ketepatan pemilihan lembaga pemasaran yang digunakan, akan membuat saluran pemasaran menjadi lebih pendek sehingga menurunkan biaya pemasaran, yang berdampak pada penerimaan produsen (income) menjadi lebih besar.

(33)

14

Penelitian Risenasari (2013) menunjukkan bahwa peran kemitraan terhadap pembentukan rantai pemasaran dapat memperpendek rantai pemasaran. Sehingga dengan adanya sistem kemitraan, jumlah lembaga pemasaran yang terlibat dalam rantai pemasaran menjadi berkurang terutama jumlah pedagang perantara. Disisi lain, dengan pelaksanaan kemitraan maka akses terhadap lingkungan pendukung menjadi lebih baik dan memberikan hasil yang efisien terhadap pemasaran berupa kecilnya biaya, kecilnya marjin pemasaran, besarnya farmer’s share (95 persen), dan besarnya R/C rasio. Penelitian Adri (1999) juga menunjukkan bahwa dengan adanya peranan dari BUMD sebagai pembina petani dan petani sebagai produsen yang diperkuat dengan sistem kontrak dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas produk petani. Dengan adanya kelembagaan BUMD memberikan insentif kepada petani berupa pendapatan dan harga yang lebih baik.

Penelitian Terdahulu Mengenai Pemasaran

Secara umum permasalahan yang dihadapi dalam sistem pemasaran hampir sama yaitu berkaitan dengan tidak efisiennya sistem pemasaran. Ketidakefisienan ini diantaranya disebabkan oleh: (1) marjin pemasaran yang relatif tinggi, (2) rendahnya share harga yang diterima petani, (3) hubungan harga yang diterima petani dengan biaya produksi serta resiko yang harus dihadapinya (3) fasilitas pemasaran yang belum memadai untuk memperlancar arus komoditi, (4) lemahnya perang kelembagaan yang bepihak pada petani. Permasalahan ini dapat ditemukan di bebagai penelitian dan seringkali terlihat keterkaitan antara satu sama lainnya, yang kemudian dapat didekati peneliti dengan menggunakan analisis sistem pemasaran dengan menggunakan analisis efisiensi operasional dan analisis efisiensi harga atau menggunakan pendekatan analisis Structure Conduct Performance (SCP) (Afrizal 2009; Rosiana 2012; Putri 2013; Alham 2013) dan menggunakan pendekatan analisis Chicago School.

Identifikasi struktur pasar dapat dilihat melalui faktor jumlah pedagang, barrier entry, ada tidaknya kolusi dan konsentrasi pasar (Wardiyati dalam Rosiana 2012). Berdasarkan analisis struktur pasar, beberapa penelitian menunjukkan bahwa struktur pasar yang dihadapi petani cenderung mengarah pada struktur pasar oligopsoni (Afrizal 2009; Rosiana 2012; Putri 2013; Alham 2013). Sehingga petani cenderung pada posisi price taker akibat dominasi pedagang yang mampu mengontrol petani baik itu dari segi harga maupun permodalan. Jumlah petani yang jauh lebih banyak banyak dibandingkan pembeli membuat pedagang memiliki market power dan memperlemah bargaining power petani.

(34)

15 yang mempengaruhi margin pemasaran adalah biaya transaksi yang kemudian akan cenderung mempengaruhi biaya pemasaran serta harga ditingkat petani yang akan cenderung berkaitan dengan share harga yang diterima petani. Berdasarkan hasil penelitian Rosiana (2012) disimpulkan bahwa semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat maka marjin pemasaran semakin tinggi, sehingga menyebabkan farmer’s share yang semakin rendah.

Analisis efisiensi harga dilakukan dengan melihat tingkat keterpaduan pasar melalui analisis integrasi pasar. Heytens (1986) menyebutkan bahwa dalam sistem integrasi pasar, akan terdapat korelasi positif terhadap waktu diantara harga pada lokasi yang berbeda. Faktor yang mendukung perubahan tersebut bisa berkaitan dengan trend perubahan pasar seperti inflasi, keadaan musiman (khususnya untuk dunia pertanian) atau berbagai faktor lainnya yang memungkinkan lainnya namun tidak berhubungan dengan perubahan harga. Berdasarkan hasil penelitian Rosiana (2012); Putri (2013); dan Alham (2013), pada pasar yang tidak terintegrasi ditemukan bahwa petani cenderung sebagai price taker sehingga kenaikan harga di tingkat retail tidak tertransmisikan di tingkat petani. Oleh karena itu, dibutuhkan intervensi dari dari pemerintah khususnya pada level konsumen dan produsen untuk meningkatkan efisiensi pemasaran (Firdaus dan Gunawan 2012).

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Konseptual

Konsep Kelembagaan

(35)

16

Kelembagaan atau institution merupakan faktor penting yang menjadi variabel pendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara karena posisi kelembagaan yang mampu berjalan diatas realitas sosial. Kelembagaan dipandang penting karena kelembagaan merupakan hal yang mendasari keputusan untuk produksi, investasi dan kegiatan ekonomi lainnya, yang dibuat oleh individu atau sebuah organisasi dalam konteks sosial atau interaksi dengang pihak lain. Perubahan dalam kelembagaan akan mengubah kesempatan yang dihadapi oleh pelaku ekonomi sehingga keragaan ekonomi seperti produksi, kesempatan kerja, kemiskinan, kerusakan lingkungan, distribusi pedapatan dan lain-lain menuntut adanya perubahan dalam kelembagaan (Pakhpahan 1991).

Kelembagaan juga dianggap unsur terpenting dari pencapaian kemajuan ekonomi suatu negara. Kondisi geografis yang baik, sumberdaya alam yang melimpah, teknologi yang memadai, dan penduduk yang bermutu mungkin menjadi pertumbuhan ekonomi, namun disatu sisi semua hal tersebut tidak mampu menciptakan kesejahteraan apabila tidak dipadukan dengan sistem kelembagaan ekonomi yang baik (Yustika 2006). Menurut Samuel (1995) dalam Yustika (2006), teori kelembagaan merupakan nilai (value) yang tidak melihat harga-harga relatif (relative price), namun nilai kepentingan terhadap kelembagaan, struktur sosial dan perilaku. Sehingga ekonomi kelembagaan dianggap sebagai cara pandang yang menyeluruh dan mencoba menjelaskan aktivitas ekonomi dalam perspektif multidisipliner.

Perspektif Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institusional Economics), Williamson (2000) dalam Raharjo (2009) melihat kelembagaan beroperasi pada level makro maupun mikro. Pada tingkat makro kelembagaan merupakan rules of the game yang mempengaruhi perilaku dari keragaan dan pelaku ekonomi, sebagai suatu gugus fundamental dan aturan mendasar mengenai aspek politik, sosial, dan legal yang mendasari proses produksi, pertukaran dan distribusi. Pada tingkat mikro, aspek kelembagaan lebih dikenal sebagai institusional arangement yang lebih mengedepankan aspek institusions of governance. Kelembagaan juga harus dibedakan dengan organisasi. Organisasi adalah structure of roles (struktur dan peran), sedangkan kelembagaan tidak terlepas dari biaya transaksi yang artinya kelembagaan berkaitan dengan kesepakatan yang meminimalisasi biaya. Kelembagaan dapat berbentuk organisasi (merujuk pada lembaga formal yang memiliki hierarki yang jelas) seperti koperasi, unit usaha (asosiasi) dan kelembagaan bisa juga berbentuk bukan organisasi, misalnya produk hukum dan perundang-undangan. Sedangkan organisasi ada yang bukan merupakan lembaga, seperti organisasi grass-root. Kelembagaan dapat berbentuk informal yang terjalin berdasarkan suatu ikatan seperti kelompok tani yang terbentuk melalui ikatan antar anggotanya atau ikatan antar pelaku usaha seperi petani dengan pedagang pengumpul dan pedagang pengumpul dengan pedagang besar.

(36)

17 dijalankan bila kewajiban dan hak telah terpenuhi. Peranan dianggap penting karena peranan mengatur perilaku berdasarkan norma-norma yang berlaku. Peranan juga lebih menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses. Oleh karena itu, menurut Levinson sebagaimana dirujuk oleh Soekanto (2012) menyatakan, bahwa peranan setidaknya mencakup tiga hal, yaitu: (1) peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau kedudukan seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini adalah rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat; (2) peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi; (3) peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Konsep Pemasaran

Konsep pemasaran dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek ilmu ekonomi dan aspek ilmu manajemen. Dalam aspek ilmu ekonomi, pemasaran diartikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem fungsi-fungsi pemsaran yaitu fungsi pertukaran, fasilitas dan fisik. Fungsi-fungsi tersebut merupakan aktivitas bisnis atau kegiatan produktif dalam mengalirkan produk atau jasa pertanian dari petani produsen ke konsumen akhir (Asmarantaka 2012). Sedangkan dalam aspek ilmu manajemen, pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain (Kotler dan Amstrong 2004). Pemasaran dapat juga diartikan sebagai suatu fungsi organisasi dan kumpulan proses mendesain perencanaan, menciptakan, mengkomunikasikan dan memberikan nilai kepada pelanggan dan untuk membangun hubungan yang efektif dengan cara yang mengutungkan perusahaan dan stakeholders (Levens 2010).

Dalam pertanian, pemasaran diartikan Kohls dan Uhl (2002) sebagai sistem karena terdiri dari berbagai komponen yang saling berkaitan. Sistem pemasaran meliputi 2 jenis aktivitas utama, yaitu aktivitas penyaluran produk dari produsen ke konsumen dimulai dari bahan baku menjadi barang jadi serta aktivitas pertukaran dan proses penetapan harga dalam sistem pasar. Sedangkan Dahl dan Hammond (1977), mendefinisikan pemasaran sebagai serangkaian fungsi yang diperlukan dalam menggerakkan input atau produk dari tingkat produksi primer sampai konsumen akhir. Pemasaran agribisnis pada akhirnya dapat disebut sebagai aliran yang bertujuan untuk memberikan kepuasan konsumen dan keuntungan bagi lembaga-lembaga yang memiliki andil dalam berjalannya kegiatan penyaluran produk pertanian tersebut. Ada beberapa pendekatan dalam melakukan studi pemasaran menurut Kohls dan Uhl (2002), yaitu:

1. Pendekatan serba fungsi,

Berbagai aktivitas pemasaran diklasifikasikan ke dalam berbagai fungsi pemasaran. Pendekatan pada isu “what is done”.

- Fungsi pertukaran (exchange function)

(37)

18

secara luas. Pada fungsi ini terdapat berbagai macam aktivitas yang terkadang dapat disebut aktivitas perdagangan.

- Fungsi fisik (physical function)

Fungsi fisik berkaitan dengan aktivitas pemeliharaan, pemindahan, dan perubahan fisik dari komoditas itu sendiri. Fungsi ini mampu menyelesaikan permasalahan “when, what, dan where” dalam pemasaran. Fungsi ini terdiri dari penyimpanan, transportasi dan pengolahan. Fungsi penyimpanan berkonsentrasi pada ketersediaan barang ketika dibutuhkan. Fungsi transportasi tujuan utamnya adalah membuat barang berada pada tempat yang tepat. Fungsi pengolahan terkadang tidak menyangkut pada fungsi pemasaran karena secara mendasar telah terjadi perubahan aktivitas. Akan tetapi dalam kegiatan pemasaran pertanian, hal ini tidak dapat dilupakan. Fungsi pengolahan pemasaran menyangkut pada kegiatan produksi yang mengolah bahan baku dari sebuah produk.

- Fungsi fasilitas (facilitating function)

Fungsi ini terdiri dari standarisasi, pembiayaan, pengelolaan resiko, dan market intelligence. Fungsi standarisasi bertujuan untuk membuat dan memelihara sesuai dengan ukuran yang telah ditetapkan. Fungsi finansial mengamankan berbagai macam aspek pada pemasaran. Fungsi pengelola resiko adalah menerima segala kemungkinan kerugian pada pemasaran produk. Intelejen pasar memiliki tugas untuk mengumpulkan, menginterpretasi dan mendiseminasi dari berbagai macam data yang dibutuhkan pada proses pemasaran.

2. Pendekatan perilaku

Analisis fungsi dari berbagai perantara merupakan pendekatan yang dapat membantu dalam mengevaluasi biaya pemasaran. Pendekatan perilaku juga membantu untuk mengerti perbedaan biaya pemasaran dari berbagai macam komoditas. Ada tiga karakteristik yang paling penting dalam fungsi pemasaran ini, yaitu 1) efek dari fungsi ini bukan selalu berkaitan dengan biaya dari pemasaran makanan tetapi berkaitan dengan nilai dari produk makanan tersebut hingga sampai ke tangan konsumen, 2) meskipun dimungkinkan untuk menghilangkan pelaku perantara, namun tidak mungkin untuk menghilangkan fungsi pemasarannya, 3) ini akan selalu dapat dilihat dimanapun dalam food system.

3. Pendekatan kelembagaan

(38)

19 4. Pendekatan sistem

Pendekatan sistem dan pendekatan institusional digunakan untuk menganalisis kondisi sebenarnya dari aktivitas pemasaran. Akan tetapi, proses pemasaran terus menerus berubah menjadi organisasi dan kombinasi fungsi. Setiap organisaisi lembaga pemasaran dalam rantai pemasaran (marketing channel) dapat dipandang sebagai suatu sistem perilaku. Setiap perusahaan mencoba membuat keputusan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi (Asmarantaka 2012). Empat pendekatan sistem:

- Input-output system, mencoba mengkombinasu atau memilih input melalui pengembangan teknologi, diversifikasi atau substansi, sehingga kepuasan konsumen meningkat dengan atau tanpa meningkatkan biaya (input)

- Power system, setiap perusahaan mempunyai kepentingan dan peranan yang berbeda. Sebagai market leader dapat mengembangkan produk melalui perbaikan kualitas, penetapan harga, dan kebijakan yang semakin memperkuat posisi. Berbeda dengan followers yang bergerak dalam ceruk pasar yang kecil dan mengikuti keputusan dari leaders.

- Communication system, mengembangkan komunikasi antara pemilih perusahaan dengan tenaga kerja, pelanggang, dan lain-lain.

- The behaviour system for adapting to internal-external change. Perusahaan perlu mengidentifikasi perubahan-perubahan dan adaptasi terhadap perubahan tersebut. Bagaimana pemecahan masalahnya sehingga perusahaan tetap dapat keuntungan dan pelanggan mendapat kepuasan.

Konsep Efisiensi Pemasaran

Efisiensi pada pemasaran produk agribisnis secara terus menerus digunakan dalam mengukur kinerja pemasaran. Peningkatan efisiensi merupakan tujuan utama dari petani, perusahaan pemasaran produk agribisnis atau lembaga-lembaga pemasaran (pedagang, pengolah dan pabrik), konsumen, dan masyarakat umum. Pengukuran efisiensi menggunakan rasio input output. Input pemasaran terdiri dari kebutuhan sumberdaya untuk menghasilkan fungsi pemasaran. output pemasaran terdiri dari kegunaan waktu, bentuk, tempat, dan milik yang berkaitan dengan kepuasan konsumen. Pada akhirnya, sumberdaya berupa biaya dan kegunaan akan memberikan manfaat terhadap rasio efisiensi pemasaran. Efisiensi pemasaran bertujuan untuk memaksimalisasi dari rasio output dengan input pemasaran (Kohls dan Uhl 2002).

Gambar

Gambar 2 Perbandingan volume ekspor gambir Indonesia pada tahun 2013
Tabel 3 Daerah penghasil, luas lahan, dan produksi gambir di Provinsi Sumatera
Gambar 3 Countervaling power
Gambar 4 Penentuan harga dan keuntungan maksimal pada pasar persaingan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pengelolaan gambir pada Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota melalui Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan terlebih

Potensi Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai penghasil gambir utama akan selalu terbuka karena beberapa aspek dalam usaha tanaman gambir cukup mendukung, antara lain : 1 kebutuhan

Dengan Alat Pengolah Gambir hasil rekayasa alat kempa gambir dari Palembang yang dikembangkan oleh salah satu staf pengajar Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh (Ir. Irzal,

Dalam bab ini disajikan gambaran agroindustri gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat yang meliputi teknologi proses yang digunakan, gambaran mutu

Berdasarkan pernyataan diatas maka, pendapatan masyarakat di Kecamatan Mungka rata-rata berada pada tanaman gambir dengan produksi tertinggi dari pada tanaman lainnya,

Skripsi ini berjudul : “Strategi Inovasi Produk dalam Meningkatkan Nilai Tambah Produk Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota” yang disusun oleh Nur Aziyah, dengan NIM :

Komoditi gambir berperan terhadap perekonomian Kabupaten Lima Puluh Kota, dimana dilihat dari sektor pertanian komoditi gambir memberikan kontribusi yang selalu meningkat, dari

Komoditi gambir berperan terhadap perekonomian Kabupaten Lima Puluh Kota, dimana dilihat dari sektor pertanian komoditi gambir memberikan kontribusi yang