• Tidak ada hasil yang ditemukan

KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

Kondisi Topografi

Gambir merupakan komoditas unggulan yang diusahakan oleh perkebunan rakyat di Sumatera Barat dengan posisi sebagai pemasok terbesar di dunia dan Indonesia. Gambir tersebar di 9 Kabupaten di Sumatera Barat, dengan Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai penghasil gambir terbesar di Sumatera Barat. Sarilamak merupakan ibukota Kabupaten Lima Puluh Kota dan secara geografis Kabupaten Lima Puluh Kota terletak antara 0025ꞌ28.71ꞌꞌLU dan 0022ꞌ14.52ꞌꞌLU serta antara

33 100015ꞌ44.10ꞌꞌ-100050ꞌ47.80ꞌꞌBT. Luas daratan Kabupaten Lima Puluh Kota mencapai 3 354.30 Km2 dengan luas lahan budidaya sebesar 1 718.50 Km2 dan luas kawasan lindung sebesar 1 635.80 Km2.

Jarak Kabupaten Lima Kota dengan Ibukota Provinsi Sumatera Barat (Padang) adalah 133 Km. Kabupaten Lima Puluh Kota diapit oleh 4 Kabupaten dan 1 Provinsi yaitu Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Pasaman serta Provinsi Riau dengan batas daerah sebelah utara dengan Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar Provinsi Riau, sebelah selatan dengan Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Sijunjung, sebelah barat dengan Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman, serta sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kampar Provinsi Riau.

Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki topografi yang bervariasi antara datar, bergelombang, dan berbukit dengan ketinggian 110 m-2 261 m dari permukaan laut. Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki 3 buah gunung yaitu Gunung Sago (2 261 m), Gunung Bungsu (1 253 m), dan Gunung Sanggul (1 495 m). Selain itu, Kabupaten Lima Puluh Kota juga memiliki 17 buah sungai besar dan kecil yang panjangnya mulai dari 6.37 km hingga 96.13 km dan banyak dimanfaatkan sebagai sumber irigasi bagi lahan pertanian. Berdasarkan jenis penggunaannya, luas lahan Kabupaten Lima Puluh Kota adalah sebesar 335 430 Ha dengan lahan kering yang dimanfaatkan sebagai perkebunan sebesar 38 150 Ha. Dari total lahan kering yang dimanfaatkan sebagai area perkebunan tersebut terdapat 15.308 Ha yang dikelola sebagai perkebunan gambir oleh rakyat.

Kabupaten Lima Puluh Kota terdiri atas 13 kecamatan (Lampiran 5) dan masing-masing kecamatan terdiri dari 3 hingga 11 nagari. Masing-masing nagari terbagi lagi menjadi 13 hingga 49 jorong. Dari 13 Kecamatan tersebut, terdapat 9 kecamatan yang menjadi penghasil gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota (Lampiran 2), yaitu Kecamatan Kapur IX, Kecamatan Pangkalan, Kecamatan Bukik Barisan, Kecamatan Harau, Kecamatan Mungka, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kecamatan Payakumbuh, Kecamatan Suliki dan Kecamatan Guguak. Diantara kecamatan penghasil gambir tersebut Kecamatan Kapur IX merupakan kecamatan yang memiliki luas lahan dan produksi gambir terbesar di Kabupaten Lima Puluh Kota, yaitu seluas 5 845 ha dan produksi sebesar 3 636.4 ton.

Kondisi Infrastruktur dan Akses Pemodalan Kondisi Infrastruktur

Kondisi infrastruktur jalan berkaitan dengan jalannya pemasaran gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota. Kondisi jalan yang relatif beragam tentu saja akan berkontribusi pada biaya transportasi yang harus dikeluarkan dalam perdagangan gambir. Pokhrel dan Thapa (2006) menyebutkan bahwa kemudahan akses antara tempat produksi suatu komoditas dengan tempat pemasaran yang difasilitasi oleh jalan raya akan memberikan kemudahan bagi produsen dalam hal ini petani gambir serta pedagang, sehingga dapat memperkecil biaya pemasaran. Berdasarkan hasil pengamatan di area lokasi penelitian diketahui bahwa kondisi jalan yang menjadi tempat mobilitas perdagangan gambir relatif baik dan bagus, meskipun ada beberapa jalan di 1 kecamatan yang memiliki akses jalan yang cukup sulit karena masih belum diaspal dan berlubang. Keterbatasan infrastruktur

34

ini akan sangat berkaitan dengan tingkat kemudahan petani maupun pedagang gambir dalam melakukan mobilisasi perdagang gambir khususnya dalam pengangkutan gambir yang bersifat voluminous.

Data BPS tahun 2014 menunjukkan panjang jalan Kabupaten Lima Puluh Kota adalah 1 322.75 Km dengan 80.90 Km dibawah status pemerintahan nasional, 124.55 Km dibawah status pemerintahan Sumatera Barat dan 1 127.30 Km dibawah status pemerintahan Kabupaten Lima Puluh Kota. Luas lahan yang dibangun untuk jalan dengan status pemerintahan kabupaten selama 3 tahun terakhir cenderung tetap. Jalan yang dibangun terdiri dari 50.36% jalan aspal dan 49.64% sisanya merupakan jalan beton, kerikil dan tanah (Tabel 8).

Tabel 8 Panjang jalan menurut status permintaan yang berwenang berdasarkan jenis permukaan di Kabupaten Lima Puluh Kota

Jenis permukaan

Status pemerintahan yang berwenang Jumlah Persentase*)

Nasional Provinsi Kabupaten

Aspal 80.90 124.55 567.70 773.15 50.36 Beton 0.60 0.60 0.05 Kerikil 317.20 317.20 28.14 Tanah 241.80 241.80 21.45 Jumlah 80.90 124.55 1 127.30 1 332.75 100 Sumber : BPS (2014b); *) olahan

Berdasarkan statistik panjang jalan menurut kondisi permukaan diketahui bahwa 44.78% kondisi jalan di Kabupaten berada pada kondisi baik (Gambar 7). Ini artinya, kondisi infrastruktur berupa jalan untuk mendukung roda perdagangan gambir dapat dikatakan cukup memadai meskipun belum dapat dikatakan sangat baik karena terdapat 55.22% jalan yang masih memiliki kondisi rusak ringan hingga berat.

Sumber : BPS (2014b)

Gambar 7 Panjang jalan menurut kondisi permukaan di Kabupaten Lima Puluh Kota

Dengan kondisi jalan yang cukup memadai ini, arus perdagang gambir dari kecamatan menuju kabupaten, provinsi maupun luar provinsi berjalan cukup baik, meskipun jalan penghubung antar nagari tidak cukup baik sebagai jalur perdagangan. Dalam perdagangan gambir, pedagang gambir memiliki keleluasaan untuk melakukan penjulan gambir antar provinsi. Eksportir juga memiliki 2 kemungkinan dalam pengiriman barangnya, baik itu itu melalui pelabuhan di

Baik (44,78%) Sedang (12,07%) Rusak (19,49%) Rusak Berat (23,67%)

35 Sumatera Barat (Pelabuhan Teluk Bayur) ataupun melalui pelabuhan di Sumatera Utara (Pelabuhan Belawan).

Akses jalan yang cukup baik belum dapat dipastikan akan menjamin baiknya akses informasi yang tersebar antar lembaga pemasaran. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa akses informasi mengenai harga gambir cenderung dikuasai oleh eksportir sebagai pemegang informasi utama. Akses informasi tersebut kemudian disampaikan pada lembaga pemasaran dibawahnya dengan memposisikan lembaga pemasaran dibawahnya sebagai kaki tangan eksportir, sehingga arus infomasi pada tingkat eksportir terkirimkan secara sempurna kepada lembaga pemasaran dibawahnya dengan tingkat kolusi yang tinggi.

Akses Permodalan

Keterbatasan akses permodalan merupakan salah satu kendala yang sering ditemui petani dalam kegiatan pengembangan gambir. Penyediaan modal untuk usahatani dan pengolahan gambir masih terbatas, bahkan cenderung tidak ada. Kesulitan terbesar ditemui oleh petani karena hingga saat ini kredit pertanian untuk pengembangan komoditas gambir belum pernah dirasakan oleh petani. Seperti halnya komoditas pertanian lainnya, petani gambir juga memiliki kesulitan dalam akses untuk memperoleh pinjaman dari lembaga keuangan dan perbankan. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan bantuan kredit kepada petani dengan membentuk LKMA, namun berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa petani gambir tidak pernah tersentuh untuk jenis bantuan kredit ini. Sasaran bantuan yang hanya mengkhususkan pada petani komoditas tertentu serta tidak adanya kelompok tani yang khusus bergerak dalam bidang pengembangan gambir juga menjadi kendala lainnya. Padahal salah satu syarat dalam kegiatan kredit pemerintah adalah melalui lembaga kelompok tani. Untuk menutupi keterbatasan sumberdaya modal, petani melakukan peminjaman kepada pedagang dengan konsekuensi keterbatasan pilihan pemasaran serta memperkecil kemungkinan untuk mendapatkan harga terbaik dalam kegiatan pemasaran gambir.

Berbeda halnya dengan petani, pedagang yang menjadi responden memiliki akses yang luas terhadap kredit perbankan. Dengan 2 kantor cabang, 14 kantor unit dan 1 kantor kas Bank Umum serta 7 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang tersebar di wilayah administrasi Kabupaten Lima Puluh Kota (BPS 2014b), memberikan peluang yang besar bagi pedagang untuk mengajukan pinjaman kredit. Bahkan pihak perbankan cenderung menawarkan pinjaman karena usaha yang dimilliki pedagang dianggap layak untuk mendapatkan akses modal dengan adanya jaminan dan kepastian pengembalian pinjaman, sehingga pedagang akan lebih mudah dalam mengembangkan usahanya.

Aktivitas Usahatani dan Pengolahan dalam Pemasaran Gambir

Gambir (Uncaria gambir (Hunt.) Roxb) merupakan tanaman jenis perdu setengah merambat yang termasuk dalam genus Uncaria dalam family Rubiacieae (kopi-kopian). Gambir diperdagangkan dalam bentuk getah yang diperoleh dari aktivitas pengempaan daun dan ranting yang disedimentasi dan dicetak. Tanaman gambir dapat tumbuh di kawasan hutan dengan ketinggian antara 200-800 m dari

36

permukaan laut yang memiliki curah hujan merata sepanjang tahun dan cukup cahaya matahari serta daerah yang memiliki suhu berkisar antara 26 0C-28 0C dengan kelembapan mencapai 70%-85%. Tanaman gambir tumbuh hampir disemua jenis tanah dengan pH 4.8-5.5 dan daerah sekitar khatulistiwa yang memiliki curah hujan 2500-3000 mm per tahun merupakan wilayah yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman gambir (Said et al. 2009).

Gambar 8 Tanaman gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota

Daun dan ranting gambir merupakan bagian yang paling penting dan bernilai ekonomi dari tanaman gambir. Menurut Said et al. (2009) gambir memiliki beberapa senyawa yang terkandung pada ekstrak atau getah daun dan ranting yang kemudian dapat dimanfaatkan menjadi berbagai produk turunan lainnya. Karakteristik umum komponen-komponen yang terkandung dalam gambir (Said et al. 2009), diantaranya: katekin, asam catechutannat, pyrocathecol, gambir flourensensi, red catechu, quersetin, fixed oil, lilin, dan alkaloid. Kandungan kimia tersebutlah yang kemudian dimanfaatkan menjadi bahan baku obat-obatan dan kosmetik, penyamakan kulit, pewarna dan peluruh karat (Lampiran 3).

Ekstrak daun gambir yang telah dikeringkan merupakan produk yang dikenal dengan gambir, sedangkan dalam perdagangan internasional gambir dikenal dengan nama gambier, cutch, cathechu atau pale cathechu. Untuk perdagangan luar negeri, Statistik Perdagangan Luar Negeri Sumatera Barat telah mengeluarkan HS (Harmonized System) gambier yaitu 320190100.

Usahatani Gambir

1. Penyiapan Lahan

Kegiatan penyiapan lahan dilakukan bersamaan dengan pembibitan, pengolahan lahan. Penyiapan lahan yang akan ditanami bibit gambir dilakukan dengan cara memotong atau membabat semak-semak yang tumbuh di lahan dan kemudian dibakar. Dalam kegiatan penyiapan lahan yang dilakukan, mayoritas responden dalam penelitian ini melakukan dengan sistem gotong royong yang biasanya disebut kongsi. Dalam sistem ini, semua anggota kongsi melakukan kegiatan penyiapan lahan secara bersama-sama di lokasi anggota kongsi yang membutuhkan kegiatan penyiapan lahan dan sistem ini akan dilakukan secara bergantian kepada anggota-anggota lainnya. Selain sistem gotong royong, dalam penyiapan lahan petani juga bisa mengupah pekerja dengan sistem borongan.

37 2. Pembibitan dan Penyemaian

Bibit yang digunakan oleh petani responden bukan termasuk dalam bibit unggul, bahkan petani cenderung tidak mengetahui jenis bibit apa yang mereka gunakan. Namun berdasarkan ciri-ciri daun dan gambar yang dijadikan contoh dalam penelitian, petani responden lebih banyak menggunakan jenis bibit varietas riau, cubadak dan udang. Biasanya dalam 1 hektar lahan, petani responden menanam beberapa jenis varietas gambir.

a. Varietas Riau b. Varietas Udang c. Varietas Riau

Sumber :Sebayang (2013)

Gambar 9 Bentuk daun berdasarkan jenis varietas tanaman gambir

Sumber bibit yang diperoleh petani berasal dari pembibitan yang dilakukan sendiri dengan memanfaatkan bunga gambir yang berumur lebih dari 5 tahun. Pembibitan biasanya dilakukan di tebing lahan (pematang). Bibit ditebar di tebing lahan dengan cara ditiup kemudian ditutup dengan lumpur dan abu. Bibit yang baik adalah yang memiliki jumlah daun 6 hingga 8 pasang dengan tinggi bibit 25 sampai 30 cm. Bagi petani yang tidak melakukan pembibitan sendiri, biasanya lebih memilih untuk membeli bibit di pasar atau membeli bibit dari petani lain.

Gambar 10 Benih tanaman gambir yang berasal dari bunga gambir yang sudah dikeringkan di Kabupaten Lima Puluh Kota

3. Penanaman

Bibit gambir yang siap untuk ditanam ke lahan gambir biasanya berumur 2 hingga 3 bulan. Bibit gambir ditanam di pertengahan lubang tugal yang telah dibuat dengan arah yang berlawanan dengan sinar matahari. Jarak tanam yang diterapkan petani beragam, diantaranya 1x1m, 1.5x1.5m, dan 2x2m. Untuk menghindari kemungkinan kerusakan gambir setelah ditanam, petani membuat ranting sebagai pagar sederhana. Untuk tanaman yang mati setelah ditanam akan dilakukan kegiatan penyulaman bila petani masih memiliki cadangan bibit.

Lahan gambir yang ditanami petani tidak menerapkan sistem monokultur. Salah satu contohnya adalah petani di Kecamatan Kapur IX. Petani pada kecamatan ini melakukan tumpangsari tanaman gambir dengan tanaman lain,

38

seperti karet, sawit dan petai. Alasan petani melakukan tumpangsari berkaitan dengan rencana masa depan yang ingin mengganti tanaman gambir mereka menjadi tanaman lain jika usahatani gambir tidak lagi menguntungkan.

Gambar 11 Pola tanam tumpangsari pada budidaya tanaman gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota

4. Pemeliharaan

Pemeliharaan dalam usahatani gambir berkaitan dengan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit serta penyiangan. Berdasarkan hasil penelitian, petani tidak melakukan kegiatan pemupukan dan pengendalian hama secara terus menerus dan berkelanjutan. Petani hanya melakukan pemupukan dengan urea ketika tanaman gambir terlihat tidak menghasilkan daun yang banyak atau tanaman gambir sudah berumur tua. Selain itu petani juga memberikan pupuk kandang untuk tanaman gambir mereka, namun tidak dilakukan secara terus menerus. Alasan yang menyebabkan petani tidak melakukan pemupukan serta pengendalian hama dan penyakit dikarenakan karakteristik tanaman gambir yang tidak memerlukan perawatan khusus. Selain itu, sulitnya akses lahan membuat kegiatan pendistribusian pupuk menjadi lebih sulit. Disisi lain, keterbatasan modal juga menjadi penyebab petani tidak melakukan kegiatan pemeliharaan.

Pemupukan yang dilakukan petani hanya memanfaatkan ranting dan daun gambir yang telah selesai diolah dengan cara menyebarkan dan menumpuk daun dan ranting sisa pengempaan disekitar batang pokok tanaman gambir. Selain itu, untuk menggendalikan gulma, petani hanya memanfaatkan round up. Pemeliharaan yang kontiniu dilakukan petani gambir adalah berupa kegiatan penyiangan. Kegiatan penyiangan gulma ini dilakukan 1 kali 6 bulan setelah kegiatan panen raya gambir dilakukan. Kegiatan penyiangan biasanya dilakukan dengan sistem gotong royong seperti pada kegiatan penyiapan lahan atau dengan sistem borongan (upahan).

5. Panen

Panen pertama pada tanaman gambir dilakukan setelah tanaman berumur 1.5-2 tahun, sedangkan panen puncak dapat dilakukan petani saat gambir berumur 4-14 tahun. Menurut Adi (2011); Suhendri (2003) dan Hasan (2000) dalam Ferry (2010), gambir dapat dipanen setiap 3-4 bulan, namun kebun gambir masyarakat umumnya dapat dipanen setiap enam bulan. Padahal menurut penelitian Ferry (2010) kombinasi panen terbaik adalah pada umur 3 bulan.

39 Frekuensi panen yang dilakukan petani di daerah penelitian terjadi 1 kali hingga 3 kali dalam 1 tahun (Tabel 9). Petani yang dapat melakukan pemananen daun gambir 3 kali dalam 1 tahun biasanya memiliki tanaman gambir yang berada pada umur panen puncak, sedangkan petani yang hanya mampu melakukan pemanenan 1 kali dalam 1 tahun biasanya disebabkan oleh tanaman gambir yang berumur tua serta tidak dilakukan pemeliharaan melalui penggunaan pupuk. Tabel 9 Sebaran jumlah dan persentase petani gambir berdasarkan frekuensi

panen

No Frekuensi panen Jumlah Petani (orang) Persentase

1 3 kali dalam 1 tahun 1 1.59

2 2 kali dalam 1 tahun 60 95.24

3 1 kali dalam 1 tahun 2 3.17

Jumlah 63 100

Panen dilakukan dengan memotong daun dan ranting dari tanaman gambir yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda dengan jarak 5-15 cm dari pangkal cabang tanaman dengan memanfaatkan tuai (seperti sejenis sabit) atau ani-ani. Kegiatan panen dan pengolahan dilakukan secara berkesinambungan, begitu daun dipanen dan dikumpulkan dalam wadah anyaman rotan yang berbentuk keranjang yang disebut eje dan ambuang, gambir akan langsung diolah (dikampo) pada hari yang sama. Jika daun yang dipetik dan ranting yang dipanen tidak diolah pada hari yang sama, akan menghasilkan getah yang lebih sedikit. Petani yang memiliki lahan 2 hektar atau lebih, bisa melakukan kegiatan pengolahan sepanjang tahun.

Kegiatan pemanenan dan pengolahan dilakukan oleh anak kampo. Anak kampo merupakan orang yang diupah untuk melakukan kegiatan pengolahan gambir termasuk kegiatan panen hingga gambir siap untuk dijual. Upah yang ditetapkan untuk anak kampo biasanya berdasarkan sistem bagi hasil penjualan. Anak kampo terdiri dari 2-3 orang dengan fungsi yang berbeda-beda. Anak kampo yang tugas utamanya melakukan kegiatan pemetikan daun gambir disebut Kewi dan terdiri dari 2 orang, sedangkan anak kampo yang tugas utamanya mengolah gambir di dalam rumah kampo disebut Nodo yang terdiri dari 1 orang. Selama panen dan proses kegiatan pengolahan, anak kampo akan selalu berada di rumah kampo yang terletak diperkebunan gambir. Anak kampo biasanya akan keluar dari perkebunan gambir setiap minggunya dalam musim panen untuk membawa hasil panen gambir yang telah kering dan siap dijual. Biasanya anak kampo akan keluar dari perkebunan ketika satu hari sebelum hari pasar didaerah yang bersangkutan.

Terdapat 26.98% pemilik lahan gambir yang juga berprofesi sebagai anak kampo atau melakukan kegiatan pengempaan gambirnya sendiri, sedangkan 73.02% lainnya menyerahkan kegiatan pengempaan gambir kepada anak kampo dengan sistem bagi hasil yang telah disepakati (Tabel 12). Penyebab petani gambir hanya bertindak sebagai pemilik lahan disebabkan oleh tidak semua petani memiliki kemampuan dalam kegiatan pengolahan gambir. Selain itu, terdapat 58.69% petani yang hanya bertindak sebagai pemilik lahan karena sumber pendapatan utamanya bukan berasal dari usahatani gambir (seperti pedagang, sopir dan pembudidaya ikan).

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pendapatan yang diterima oleh petani yang melakukan kegiatan pengempaan sendiri atau turut berkontribusi

40

sebagai pengempa dan yang melakukan pengolahan gambir melalui anak kampo atau hanya sebagai pemilik lahan. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 13 yang menunjukkan bahwa pendapatan petani yang turut serta dalam melakukan pengempaan lebih besar dibandingkan petani yang melakukan sistem upah dengan anak kampo. Dengan turut sertanya petani dalam kegiatan pengempaan memberikan dampak berupa peningkatan pendapatan karena biaya untuk tenaga kerja pengolahan (sistem bagi hasil) dapat menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan petani yang menyerahkan kegaiataan pengempaan kepada anak kampo. Pengolahan Gambir

Pengolahan gambir dilakukan di rumah kampo atau kampaan yang berukuran 4x4m dengan memanfaatkan alat yang dirakit sendiri dan dongkrak sebagai alat pengepres daun gambir yang sebelumnya telah direbus. Terdapat 96.83 % petani responden yang memilki rumah kampo sendiri, sedangkan sisanya melakukan sistem sewa ataupun peminjaman. Pembayaran rumah kampo yang disewa disesuaikan dengan kebiasaan penduduk nagari setempat.

Hingga saat ini, pengolahan gambir masih menggunakan peralatan tradisional. Meskipun Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Lima Puluh Kota telah memberikan bantuan berupa alat pengolahan gambir kepada kelompok tani, namun belum menyentuh seluruh petani gambir dan hanya terbatas pada beberapa kelompok tani tertentu. Selain itu, bantuan peralatan tersebut juga jarang digunakan untuk pengolahan gambir. Alasannya karena gambir yang dihasilkan dari pengolahan dengan menggunakan alat tradisional lebih sesuai dengan yang diharapkan petani dibandingkan alat pengolahan gambir bantuan pemerintah, sehingga bagi kelompok tani yang bersedia untuk memodivikasi peralatan tersebut, biasanya dapat memanfaatkan bantuan tersebut.

Pengolahan gambir diawali dengan memasukkan daun dan ranting ke dalam tali rajut yang dipasang dalam suatu wadah yang disebut kapuak yang berbentuk silinder besar dengan bagian atas dan bawahnya tidak tertutup dan terbuat dari anyaman bambu. Daun dan ranting gambir kemudian dipadatkan dan direbus dalam wadah berupa kuali besar yang terbuat dari besi (kancah) dengan menggunakan tungku yang terbuat dari beton. Setelah kegiatan perebusan dianggap cukup merata daun dan ranting gambir diangkat dari kapuak dan selanjutnya hasil hasil perebusan tersebut diikat atau dililitkan dengan tali pelilik hingga berbentuk bulat dan padat.

Tahap selanjutnya adalah proses pengempaan. Proses ini merupakan proses yang paling penting dalam menghasilkan getah gambir. Daun dan ranting gambir yang telah direbus diletakkan pada alat pengempa yang terbuat balok kayu besar dan dikempa dengan menggunakan dongkrak hidrolik. Air hasil kempaan akan ditampung dan disaring untuk diendapkan dalam wadah pengendapan yang disebut paraku selama 1 malam.

Proses pengendapan merupakan proses yang biasanya menentukan gambir tersebut termasuk dalam kategori gambir murni atau gambir campuran. Pada tahap ini, petani yang membuat gambir campuran akan melakukan pencampuran ekstrak gambir dengan bahan lain seperti tanah, pupuk ataupun tepung. Pencampuran ini bertujuan untuk memperoleh hasil (kuantitas gambir) yang lebih banyak dibandingkan dengan gambir murni. Hasil penirisan akan menghasilkan bentuk

41 pasta encer yang kemudian disaring dengan kain, diikat dan di press dengan alat press getah berupa alat pemberat. Setelah gambir dianggap benar-benar padat, maka dilakukan pencetakan dengan alat pencetak yang sesuai dengan bentuk hasil gambir yang diinginkan.

a. Daun gambir b. Persiapan perebusan c. Gambir siap rebus

f. Pencetakan e. Pengendapan d. Pengepresan

g. Penjemuran h. Gambir siap jual Gambar 12 Proses pengolahan gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Gambir yang telah dicetak selanjutnya dijemur di atas samia yaitu alat untuk meletakkan getah gambir yang sudah dicetak yang terbuat dari anyaman bambu. Penjemuran gambir dibawah sinar matahari dalam kondisi normal menghabiskan 1 hari, namun apabila cuaca mendung bisa menghabiskan 2 hingga 3 hari penjemuran. Selain itu, alternatif penjemuran lainnya yang dilakukan petani ketika cuaca mendung adalah dengan melakukan kegiatan penjemuran diatas tungku perebusan daun yang biasa disebut manyalai. Tahap selanjutnya adalah pemanasan menggunakan tungku selama 3 hari agar warna getah gambir tidak pudar. Setelah getah gambir dianggap kering maka gambir siap dimasukkan kedalam karung untuk selanjutnya dijual.

Hasil panen gambir yang dihasilkan petani beragam, ada yang disebut gambir murni dan ada yang disebut gambir campuran. Gambir murni merupakan hasil ekstraksi gambir yang tidak memiliki campuran dengan material lain, sedangkan gambir campuran merupakan gambir yang memiliki pencampuran

42

dengan material lain selain ekstrak daun gambir asli. Campuran gambir bisa berupa tepung ubi (tepung tapioka), tanah, dan pupuk SP36. Dalam 1 minggu panen dan pengolahan gambir, gambir murni hanya mampu dihasilkan sebanyak 25-50 kg/ha sedangkan gambir campuran dalam 1 minggu pemanenan dan pengolahan bisa menghasilkan 80-125 kg/ha.

Dokumen terkait