PROVINSI SUMATERA BARAT
RONI AFRIZAL
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis
saya yang berjudul:
ANALISIS PRODUKSI DAN PEMASARAN GAMBIR
DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA
PROVINSI SUMATERA BARAT
merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan
secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, September 2009
RONI AFRIZAL. Analysis of Gambier Production and Marketing in Kabupaten
Lima Puluh Kota West Sumatera Province (HENY K.S. DARYANTO as a
Chairman and DEDI BUDIMAN HAKIM as a Member of the Advisory
Committee).
Gambier is one of West Sumatera export commodities which has been
planted by many farmers in Kabupaten Lima Puluh Kota. As an export
commodity, this product has not yet contributed adequately to the improvement of
farmer’s welfare. The purposes of this current work are to analyze the allocative
efficiency of the use of production factors in gambier plantation, the market
integration, the marketing efficiency and the interrelation between production and
marketing activities of gambier commodity both of which are connected by a
marketing system of agricultural product in Kabupaten Lima Puluh Kota. The
analysis employed the Cobb-Douglas production function model and the
structure-conduct-performance approach. Factors significantly affecting gambier
production are labor, land size, a number of productive gambier trees, the plant’s
age, the use of pesticide, farmer’s experience, cultivation frequency and planting
procedure. The use of labor, fertilizer and pesticide were to increase due to their
inefficient allocation. Gambier market in Kabupaten Lima Puluh Kota suffers
from a weak oligopsony market structure and the gambier marketing activity
seems not yet efficient.
Keywords: gambier, cobb-douglas production function, allocative efficiency,
structure-conduct-performance, oligopsony
RONI AFRIZAL. Analisis Produksi dan Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima
Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat (HENY K.S. DARYANTO sebagai Ketua
dan DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Sumatera Barat merupakan daerah sentra produksi gambir. Komoditas ini
termasuk tanaman khas daerah tropis dengan manfaat serbaguna. Prospek pasar
dan potensi pengembangannya cukup baik karena digunakan sebagai bahan baku
dalam berbagai industri. Gambir banyak diusahakan dalam skala usahatani
perkebunan rakyat di Sumatera Barat. Kabupaten Lima Puluh Kota adalah salah
satu daerah sentra produksi gambir di Sumatera Barat. Pengembangan komoditas
gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota khususnya, masih sangat prospektif bila
dilihat dari potensi produksi dan pemasaran pada pasar domestik dan ekspor.
Prospek yang potensial terhadap permintaan gambir di pasar dalam dan luar
negeri, belum dibarengi dengan peningkatan produktivitas maupun pendapatan
petani, meskipun sudah ada peningkatan luas areal maupun produksi. Agar
produktifitas dapat ditingkatkan dan kualitas mutu olahan dapat diperbaiki yang
memungkinkan akses ke pasar menjadi lebih baik, maka perlu dilakukan
penelitian mengenai aspek produksi dan pemasaran gambir.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis efisiensi penggunaan
faktor-faktor produksi dalam usahatani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, dan (2)
menganalisis efisiensi pemasaran gambir dengan menilai kinerja partisipan yang
terlibat dalam pasar gambir menggunakan pendekatan
structure-conduct-performance
(SCP) serta keterpaduan pasar gambir di Kabupaten Lima Puluh
Kota. Penelitian dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota dengan pertimbangan
bahwa daerah ini merupakan sentra produksi gambir yang memberikan kontribusi
terbesar, baik dari segi luas lahan maupun produksi gambir bagi provinsi
Sumatera Barat. Selanjutnya dari Kabupaten Lima Puluh Kota dipilih lagi tiga
kecamatan secara sengaja (
purposive
) yang menjadi sentra produksi gambir yaitu
Kecamatan Kapur IX, Lareh Sago Halaban dan Harau. Penelitian ini
menggunakan data primer dan sekunder dalam bentuk
data
cross section
yang
akan digunakan untuk analisis efisiensi produksi dan pemasaran, serta data
time
series
yang dipakai untuk kelengkapan analisis kinerja pemasaran gambir mulai
tahun 1994 - 2007. Data
cross section
bersumber dari responden penelitian yaitu
petani dan pedagang gambir. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara langsung terhadap sampel petani dan pedagang gambir yang terpilih.
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan dalam
kuisioner terstruktur yang telah disiapkan sesuai dengan tujuan penelitian. Model
fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan untuk menjawab tujuan penelitian
pertama. Sedangkan untuk analisis efisiensi pemasaran menggunakan pendekatan
SCP. Pengolahan data untuk analisis produksi gambir dengan model fungsi
produksi Cobb-Douglas menggunakan metode
Ordinary Least Squares
(OLS).
Data diolah dengan menggunakan program SAS 9.1.
berusahatani gambir, frekwensi panen dan cara tanam juga mempengaruhi tingkat
produksi gambir secara nyata. Semua faktor tersebut berpengaruh positif terhadap
tingkat produksi gambir, kecuali luas lahan dan pengalaman petani dalam
berusahatani gambir. Pengalokasian faktor produksi tenaga kerja, terutama pupuk
dan pestisida dalam usahatani gambir belum efisien. Pemakaian kedua input
tersebut masih bisa ditingkatkan atau ditambah penggunaannya guna
memaksimalkan keuntungan dalam usahatani gambir. Input tetap luas lahan,
dalam pemanfaatannya sudah tidak efisien lagi.
Kinerja pasar gambir berdasarkan indikator margin pemasaran dari lembaga
yang terlibat dalam saluran pemasaran gambir relatif adil dan seimbang dalam
pendistribusiannya dan rasio harga yang diterima petani relatif tinggi. Beberapa
indikator lainnya memperlihatkan bahwa kinerja pemasaran gambir di Kabupaten
Lima Puluh Kota belum efisien. Pasar gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota
berada pada kondisi
weak oligopsony market structure
atau pasar persaingan tidak
sempurna. Hal ini ditandai oleh sangat tidak seimbangnya rasio petani dan
pedagang yang ditunjukkan oleh tingginya derajat konsentrasi pasar dan ada
indikasi relatif tingginya hambatan untuk masuk pasar bagi pedagang baru yang
tergambar dari tingginya nilai MES. Perilaku pasar terlihat bahwa petani tersebar
di berbagai wilayah dengan waktu panen yang sangat beragam, tempat penjualan
tersebar dan tidak serentak, jumlah yang dipanen masing-masing petani relatif
sedikit, produk yang dihasilkan beragam, sedangkan pasar akhir gambir atau
konsumen akhir sebagian besar berada di tempat yang sangat jauh dari sentra
produksi, sehingga daya tawar petani menjadi rendah. Pasar di tingkat petani dan
eksportir belum terintegrasi dengan baik. Kondisi di atas mengakibatkan tidak ada
harga terbaik yang berlaku bagi petani, yang akhirnya hal tersebut berdampak
pada rendahnya tingkat kesejahteraan petani.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah
b.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
PROVINSI SUMATERA BARAT
RONI AFRIZAL
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS
(Dosen Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)
Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang:
Prof. Dr. Ir. Kuntjoro
Nama Mahasiswa : Roni Afrizal
Nomor Pokok
: H353070091
Mayor
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Heny K.S. Daryanto, MEc Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MAEc
Ketua Anggota
Mengetahui,
2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Puji dan syukur kepada Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis yang berjudul ”Analisis
Produksi dan Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi
Sumatera Barat”. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Heny K.S. Daryanto,
MEc dan Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MAEc selaku Komisi Pembimbing yang
telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang
sangat membantu selama penyusunan tesis ini. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada:
1.
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi
Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dalam
proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian.
2.
Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS selaku Penguji Luar Komisi dan Prof. Dr. Ir.
Kuntjoro sebagai Penguji yang mewakili Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan
Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah memberikan masukan bagi
perbaikan tesis ini.
3.
Seluruh staf Mayor EPN, Mba Ruby, Mba Yani, Mba Aam, Ibu Kokom, Ibu
Siti dan Pak Husen yang selalu sabar dan menyediakan waktu untuk
membantu penulis selama perkuliahan sampai penulis menyelesaikan studi.
4.
Keluarga besarku di Padang Balimbiang, Lareh dan Koto Nan Ampek.
Teristimewa untuk kedua orang tuaku terkasih, Almarhum Ayahanda M.
serta keluarga besar Mess Universitas Andalas di Bogor, Edi Syafri dan
anggota Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Sumatera Barat (IMPACS).
5.
Al Hendri dan keluarga besar Bapak Zulfahmi di Lambuak-Halaban, keluarga
besar Mas Sugiman di Solok Bio-bio Harau dan keluarga besar Uda Bakar di
Trans-Koto Bangun Kapur IX, yang telah bersedia menampung penulis
selama pengambilan data lapangan. Jazaakumullaahu khairan katsiiran atas
keikhlasan dan ketulusan bantuan serta jalinan persaudaraannya.
6.
Istriku Resa Yulita dan yang tersayang anakku Atikah dan Hafizh.
Jazaakumullaahu khairan katsiiran atas doa dan pengorbanannya.
Teman-teman EPN angkatan 2007, Dian, Mba Wiwiek, Mba Desi, Wanti,
Mba Asri, Fitri, Mba Ries, Mas Ambar, Mas Fer, Pak Narta, Pak Zul, Pak
Suryadi, Pak Adi, Non Dewi dan Uni Aida untuk kebersamaan selama
perkuliahan dan proses penulisan tesis ini, juga pada pihak-pihak lain yang
namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namun telah banyak
memberikan sumbang saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB.
Akhir kata, tesis ini penulis persembahkan kepada pembaca sebagai
pengetahuan dan sumber informasi yang diharapkan berguna bagi semua pihak
yang membutuhkannya.
Bogor, September 2009
Penulis dilahirkan di Desa Pakan Rabaa Kecamatan Lareh Sago Halaban,
Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 1 April 1977 dari Ayah M. Husnan
Kamil (Almarhum) dan Ibu Syamsudiar. Bungsu dari lima bersaudara.
Tahun 1996 lulus dari SMA Negeri 1 Luhak dan diterima sebagai
mahasiswa S1 pada Jurusan Manajemen, dengan pilihan konsentrasi Manajemen
Pemasaran di Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas di Padang melalui jalur
Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Tamat April 2001. Penulis
melanjutkan studi S2 tahun 2007 pada Program Magister Sains di Mayor Ilmu
Ekonomi Pertanian, dengan pilihan konsentrasi Pemasaran dan Perdagangan
Pertanian, di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa
Program Pascasarjana (BPPS) yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Politeknik Pertanian Universitas
Andalas sejak tahun 2002 sampai dengan sekarang. Mata kuliah yang pernah
diasuh diantaranya adalah Manajemen Pemasaran, Manajemen Finansial dan Riset
Operasi. Bidang ilmu yang menjadi konsentrasi adalah Manajemen Pemasaran.
Penulis menetap di Kota Payakumbuh, menikah tahun 2003 dengan Resa
Yulita binti Emris Jakfar dan telah dikaruniai dua orang anak, Atikah
Halaman
DAFTAR
TABEL... xvi
DAFTAR GAMBAR……….……...
xviii
DAFTAR
LAMPIRAN………...……….……… xix
I. PENDAHULUAN……….……….…..…..…
1
1.1. Latar Belakang……….…….…………..
1
1.2. Perumusan Masalah………...………..
4
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...………….….………...
9
1.4. Ruang Lingkup Penelitian...
10
1.5. Keterbatasan Penelitian…………...
11
II. TINJAUAN PUSTAKA...
12
2.1. Kinerja Usahatani Komoditas Gambir...
12
2.2. Penelitian Efisiensi Produksi pada Berbagai Usahatani
Komoditas Pertanian...
14
2.3. Penelitian Efisiensi Pemasaran pada Berbagai Usahatani
Komoditas Pertanian...
16
III. KERANGKA PEMIKIRAN...
20
3.1. Teori Produksi...
20
3.1.1. Fungsi Produksi...
22
3.1.2. Analisis Efisiensi Produksi...
25
3.2. Teori Pemasaran Komoditas Pertanian...
29
3.2.1. Pendekatan dalam Studi Pemasaran...
32
3.2.2. Konsep Efisiensi Pemasaran...
34
3.2.2.1. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar...
36
3.2.2.2. Margin Pemasaran...
41
3.2.2.3. Bagian Harga yang Diterima Petani...
44
3.3. Tahapan Penelitian...
48
IV. METODE PENELITIAN...
51
4.1. Penentuan Lokasi Penelitian...
51
4.2. Jenis dan Sumber Data...
52
4.3. Metode Pengambilan Sampel...
53
4.4. Metode Pengumpulan Data...
56
4.5.
Model
Analisis...
56
4.5.1. Analisis Produksi...
56
4.5.2. Analisis Pemasaran...
62
4.5.2.1. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar...
63
4.5.2.2. Margin Pemasaran...
65
4.5.2.3. Bagian Harga yang Diterima Petani...
66
4.5.2.4. Keterpaduan Pasar...
67
4.6. Definisi Operasional...
69
4.7. Pengolahan Data...
70
V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN
KERAGAAN USAHATANI GAMBIR...
71
5.1. Gambaran Umum Kabupaten Lima Puluh Kota...
71
5.1.1. Letak Geografis, Topografi dan Iklim...
71
5.1.2. Wilayah dan Penduduk...
72
5.1.3. Penggunaan Lahan dan Perkembangan Pertanian...
73
5.1.4. Potensi Pengembangan Gambir...
74
5.2. Keragaan Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota....
76
5.2.1. Karakteristik Responden...
76
5.2.2. Keragaan Penerapan Teknologi Usahatani Gambir...
77
5.2.3. Karakteristik Usahatani Gambir...
85
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN...
88
6.1. Analisis Produksi Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota...
88
Gambir...
88
6.1.2. Pengujian Fungsi Produksi Gambir...
93
6.1.3. Analisis Efisiensi Alokatif Produksi Gambir...
103
6.2. Analisis Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota...
106
6.2.1. Struktur Pasar Gambir...
106
6.2.1.1. Jumlah Partisipan dan Derajat Konsentrasi Pasar
106
6.2.1.2. Hambatan Keluar Masuk Pasar...
109
6.2.1.3. Kondisi dan Keadaan Produk...
110
6.2.1.4. Lembaga Pemasaran...
111
6.2.2. Perilaku Pasar Gambir...
125
6.2.2.1. Praktek Pembelian dan Penjualan...
125
6.2.2.2. Proses Pembentukan Harga...
128
6.2.2.3. Kerjasama Antarlembaga Pemasaran...
130
6.2.3. Kinerja Pasar Gambir...
131
6.2.3.1. Bagian Harga yang Diterima Petani...
131
6.2.3.2. Keterpaduan Pasar dan Elastisitas Transmisi
Harga...
133
6.3. Implikasi Kebijakan...
139
VII. KESIMPULAN DAN SARAN...
142
7.1.
Kesimpulan... 142
7.2.
Saran... 144
DAFTAR
PUSTAKA... 145
LAMPIRAN... 150
Nomor
Halaman
1.
Perbandingan Luas Semua Kecamatan dan Jumlah Nagari di
Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009...
72
2.
Perkembangan Produksi Beberapa Komoditas Tanaman
Perkebunan di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2004 –
2007... 73
3.
Perkembangan Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga
Berlaku di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2004 – 2007....
74
4.
Perbandingan Luas Areal Tanam dan Produksi Gambir di
Semua Kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun
2007... 75
5.
Karakteristik Responden Petani Gambir di Kabupaten Lima
Puluh Kota Tahun 2009...
76
6.
Karakteristik Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh
Kota Tahun 2009...
85
7.
Keragaan Produksi Gambir Berdasarkan Perlakuan Sampel di
Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009...
86
8.
Kelayakan Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota
per Hektar...
87
9.
Hasil Pendugaan Parameter Model Fungsi Produksi
Komoditas Gambir Perkebunan Rakyat di Kabupaten Lima
Puluh Kota Tahun 2009...
96
10.
Tingkat Efisiensi Alokatif Penggunaan Faktor Produksi pada
Usahatani Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun
2009... 104
11.
Perbandingan Jumlah Partisipan Pasar Gambir di Kabupaten
Lima Puluh Kota Tahun 2009...
107
12.
Klasifikasi dan
Market Share
Sampel Pedagang Gambir di
Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009...
107
13.
Fungsi-Fungsi yang Dilakukan Lembaga Pemasaran Gambir
15.
Rasio Keuntungan dan Biaya Pemasaran Gambir di
Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009...
122
16.
Farmer’s Share
Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh
Kota Tahun 2009...
132
17.
Hasil Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Gambir di
Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2009...
135
18.
Tingkat Hubungan Integrasi Pasar dalam Analisis Korelasi ....
137
Nomor
Halaman
1.
Perkembangan Luas Areal Tanam Gambir di Sumatera Barat
dan Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2001 - 2007...
2
2.
Perbandingan Produksi Gambir Sumatera Barat dengan
Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2001 - 2007...
3
3.
Produktivitas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun
1996 – 2007...
5
4.
Produk Total, Produk Marginal, Produk Rata-Rata dan Tiga
Tahapan Produksi...
24
5.
Kurva Permintaan Asal, Permintaan Turunan, Penawaran
Asal dan Penawaran Turunan...
43
6.
Tahapan Analisis Produksi dan Pemasaran Komoditas
Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota...
49
7.
Saluran Pemasaran Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota
Tahun 2009...
113
Nomor
Halaman
1.
Hasil Pendugaan Parameter Model Fungsi Produksi
Komoditas Gambir dengan Uji Statistik F dan Uji t...
151
2.
Hasil Uji Asumsi OLS pada Model Fungsi Produksi
Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota...
153
3.
Hasil Pengujian Skala Usahatani pada Model Fungsi Produksi
Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota...
155
4.
Hasil Analisis Keterpaduan Pasar
Komoditas Gambir di
Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 1994 – 2007...
156
5.
Data untuk Analisis Keterpaduan Pasar Komoditas Gambir di
Kabupaten
Lima
Puluh Kota Tahun 1994 – 2007...
158
6.
Data Primer untuk Analisis Produksi Usahatani Gambir
Perkebunan Rakyat di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun
2009... 159
1.1. Latar Belakang
Sumatera Barat adalah barometer produksi gambir Indonesia karena
merupakan daerah sentra produksi gambir. Komoditas ini termasuk tanaman khas
daerah tropis dengan manfaat serbaguna. Prospek pasar dan potensi
pengembangannya cukup baik karena digunakan sebagai bahan baku dalam
berbagai industri. Gambir banyak diusahakan dalam skala usahatani perkebunan
rakyat di Sumatera Barat dan termasuk dalam sepuluh komoditas ekspor utama
provinsi ini. Ekspor gambir Indonesia lebih dari 80 persen berasal dari Sumatera
Barat, disamping itu gambir juga diusahakan dalam skala yang lebih kecil di
provinsi lain seperti Aceh, Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera
Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Maluku dan Papua (Nazir et al.
2007). Disamping sebagai penyumbang devisa, usahatani gambir juga merupakan
mata pencaharian bagi lebih kurang 125 000 kepala keluarga petani atau sekitar
15 persen penduduk Sumatera Barat (Ermiati, 2004).
Luas areal dan produksi gambir di Sumatera Barat (Sumbar) menurut data
Dinas Perkebunan Provinsi Sumbar, untuk tahun 2005 adalah 19 658 hektar
dengan produksi total mencapai 13 249 ton. Daerah penghasil utama tanaman ini
adalah Kabupaten Lima Puluh Kota. Terdapat 11 daerah tingkat dua, dari 19
kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Sumbar, yang memproduksi gambir.
Gambar 1 memperlihatkan perkembangan luas areal tanam gambir di Sumbar dan
Total luas tanaman gambir di Sumbar cenderung mengalami peningkatan,
walaupun pada tahun 2003 mengalami penurunan 10.93 persen dibandingkan
tahun 2002. Menurut Dinas Perkebunan Sumbar hal ini disebabkan banyaknya
lahan baru untuk penanaman gambir pada tahun 2002 namun mengalami
kegagalan, sehingga luas areal tanaman gambir mengalami penurunan pada tahun
2003 (Gambar 1). Sedangkan dari Gambar 2, terlihat bahwa produksi gambir
Sumatera Barat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kenaikan produksi
dari tahun 2001 ke tahun 2007 sebesar 23.91 persen.
21812 16811 19350 19121 19851,75 19457 19427 16145
12612 13286 13306
13749,75 13156 13261 10000 12000 14000 16000 18000 20000 22000 24000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun Hektar
Luas areal gambir Sumbar Luas areal gambir 50 Kota
Sumber: BPS, 2007b
Gambar 1. Perkembangan Luas Areal Tanam Gambir di Sumatera Barat dan Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2001 - 2007
Tahun 2006 produksi gambir Kabupaten Lima Puluh Kota mencapai 9 181
ton atau naik 4.08 persen dari tahun 2005 dengan luas areal tanam gambir
mencapai 13 156 ha. Luas areal perkebunan gambir di Kabupaten Lima Puluh
Kota pada tahun 2007 mencapai 13 261 ha atau 68.53 persen dari total luas areal
gambir Sumbar yang mencapai 13 115 ton, sekitar 70.45 persennya atau sebanyak
9 240 ton merupakan hasil produksi gambir dari kabupaten ini.
10584 10729
12346 12436
13249 12973 13115
9240 9181 8821 8451 8443 8505 8444 6000 7000 8000 9000 10000 11000 12000 13000 14000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun Ton
Produksi gambir Sumbar Produksi gambir 50 Kota
Sumber: BPS, 2007b
Gambar 2. Perbandingan Produksi Gambir Sumatera Barat dengan Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2001 - 2007
Gambir yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota, sebagai salah satu daerah
tingkat dua penghasil gambir yang ada di Sumbar, memiliki karakteristik yang
relatif sama dengan gambir yang diproduksi di daerah tingkat dua lainnya.
Karakteristik yang dimaksud meliputi produk, pola usahatani yang dilakukan oleh
petani produsen, proses budidaya, pengolahan serta kegiatan panen dan
pascapanen. Perkebunan gambir yang ada di Sumbar semuanya merupakan
perkebunan rakyat, yang tahap proses produksinya mulai dari budidaya dan
pengolahan dilakukan dengan cara tradisional. Teknologi produksi dan
pengolahan gambir yang digunakan masih sangat sederhana dan dengan
keterampilan yang diwariskan secara turun-temurun antargenerasi, menyebabkan
tingginya variasi gambir kering yang dihasilkan petani, bervariasi dari segi bentuk
Produk gambir yang dijual petani masih dalam bentuk gambir mentah
karena belum memiliki standar kualitas yang jelas, baik standar menurut pasar
atau pun standar menurut orientasi kegunaan dan pemakaiannya. Belum ada
investor yang mencoba mengelola potensi usaha perkebunan gambir maupun
pengolahan pascapanennya. Oleh karena itu, meskipun gambir merupakan salah
satu komoditas perkebunan rakyat yang menjadi produk andalan Kabupaten Lima
Puluh Kota dan sekaligus sebagai daerah sentra produksi untuk Sumbar, namun
industri gambir masih tergolong dalam industri rumahtangga yang dikelola secara
tradisional. Produksi gambir yang dilakukan petani produsen dengan
menggunakan teknologi dan peralatan sederhana ini menyebabkan produktivitas,
mutu serta pendapatan petani masih rendah.
1.2. Perumusan Masalah
Pengembangan komoditas gambir di Indonesia dan Kabupaten Lima Puluh
Kota khususnya, masih sangat prospektif bila dilihat dari potensi produksi dan
pemasaran pada pasar domestik dan ekspor. Sejalan dengan berkembangnya
jenis-jenis barang industri yang memerlukan bahan baku dari gambir, maka kebutuhan
akan gambir dalam industri akan semakin meningkat pula. Sebagai contoh, India
membutuhkan 6 000 ton gambir kering setiap tahunnya (Tinambunan, 2007).
Berdasarkan data ekspor impor Sumbar untuk tahun 2006 dan 2007, ekspor
gambir kering dari pelabuhan Teluk Bayur berturut-turut mencapai 36 003 ton
dan 471 000 ton dengan nilai transaksi USD 48 738 dan USD 829 565 (BPS,
2008d). Ini belum termasuk jumlah produksi gambir asal Sumatera Barat yang di
Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai sentra utama tanaman gambir di
Sumatera Barat, belum mampu memberikan sumbangan atau pendapatan yang
berarti, baik bagi daerah maupun bagi petaninya sendiri. Nazir (2000),
mengemukakan bahwa sampai saat ini masih banyak permasalahan yang dihadapi
dalam pengembangan gambir yaitu dari segi teknologi bercocok tanam,
pengolahan pascapanen, perencanaan bisnis dan pemasaran, serta aspek sosial
ekonomi budaya. Hal ini terlihat jelas dari cara bercocok tanam petani yang masih
tradisional, jenis dan mutu produk tidak banyak mengalami perubahan dari waktu
ke waktu. Agar produktifitas dapat ditingkatkan dan kualitas mutu olahan dapat
diperbaiki yang memungkinkan akses ke pasar menjadi lebih baik, diperlukan
kegiatan identifikasi, analisis permasalahan gambir dan sistem usahatani gambir
di lapangan.
Prospek yang potensial terhadap permintaan gambir di pasar dalam dan luar
negeri, belum diikuti oleh peningkatan produktivitas maupun pendapatan petani,
meskipun sudah ada peningkatan luas areal maupun produksi.
0,674 0,523 0,723 0,702 0,642 0,635 0,635 0,674 0,632 0,478 0,618 0,505 0,400 0,450 0,500 0,550 0,600 0,650 0,700 0,750
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Ta hun
(ton/ha )
Sumber: BPS, Diolah dari Data Produksi Gambir Tahun 1996– 2007
Gambar 3 memperlihatkan tingkat produktivitas gambir di Lima Puluh Kota
yang diolah dari data BPS dari tahun 1996 – 2007. Produktivitas gambir daerah
ini masih dibawah rata-rata produktivitas yang seharusnya, seperti hasil penelitian
yang dikemukakan Ermiati (2004). Tingkat produktivitas panen untuk gambir
kering mencapai 0.75 ton per hektar untuk petani yang memanen kurang dari 3
kali setahun. Hal ini menunjukkan bahwa produksi gambir di daerah ini masih
memiliki potensi untuk ditingkatkan.
Salah satu indikator dari efisiensi adalah respon jumlah produksi terhadap
perubahan jumlah faktor produksi. Jika dalam kegiatan produksi persentase
tambahan jumlah produksi lebih besar daripada persentase tambahan faktor
produksi yang digunakan, maka kegiatan produksi yang demikian akan menuju
pada produksi yang efisien, begitu juga sebaliknya. Dari permasalahan di atas
muncul pertanyaan yang perlu dijawab yaitu apakah pengalokasian faktor-faktor
produksi dalam usahatani gambir sudah efisien.
Perkembangan areal tanam dan produksi gambir telah menarik banyak pihak
untuk terlibat dalam proses pemasarannya. Ada banyak pedagang, lembaga
pemasaran maupun pemerintah, dengan kepentingannya masing-masing ikut
berperan dalam pemasaran gambir. Sementara mutu gambir yang dihasilkan
petani belum memiliki standar yang jelas. Hal ini akan mempengaruhi proses
pemasarannya karena mekanisme pembentukan harga komoditas gambir di pasar
akan berdampak langsung pada perilaku partisipan yang terlibat dalam
perdagangan komoditas ini. Eksportir, pedagang lokal, pedagang pengumpul dan
petani sendiri, adalah pihak yang akan terkena dampak harga. Seberapa besar
pada kekuatan masing-masing pelaku yang terlibat dalam rantai pemasaran
gambir itu sendiri.
Keadaan pasar gambir seperti yang digambarkan di atas berpotensi
menimbulkan masalah dan bisa merugikan petani produsen. Pola pemasaran yang
terjadi akan cenderung tidak terorganisir karena melibatkan pelaku pemasaran
yang banyak dengan kepentingan yang berbeda-beda. Pola pemasaran gambir
yang ada sekarang adalah melalui pedagang pengumpul, pedagang besar dan
eksportir, merupakan pola pemasaran gambir yang secara tradisional masih tetap
bertahan sampai saat ini.
Daya tawar petani juga cenderung rendah karena jumlah petani sangat
banyak dan tersebar di berbagai wilayah, belum adanya koordinasi dan kerjasama
antarpetani, persaingan pasar yang semakin kompetitif, lokasi konsumen akhir
gambir yang jauh dari sentra produksi (di luar negeri) dan belum adanya rantai
distribusi yang jelas dari petani sampai ke industri berbahan baku gambir,
ditambah lagi dengan masalah produksi dan mutu seperti yang telah diuraikan di
atas. Petani tidak akan menjadi penentu harga. Perilaku harga akan cenderung
didominasi oleh kepentingan pedagang besar dan eksportir.
Jumlah petani gambir di wilayah Lima Puluh Kota mencapai 9 056
rumahtangga petani (BPS, 2003), yang tersebar di beberapa kecamatan dengan
pola usahatani tradisional berskala rumahtangga, berhadapan dengan pedagang
dan lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran gambir yang jumlahnya
jauh lebih sedikit. Hal tersebut mengindikasi bahwa pasar gambir bersifat
oligopsoni. Selama ini hasil panen hanya ditampung oleh pedagang besar atau
memperdagangkan gambir keluar wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota atau ke
pasar luar negeri. Saluran pemasaran gambir yang terbentuk cenderung dikuasai
oleh pedagang pengumpul. Dengan pola distribusi yang demikian, dimana
informasi harga di tingkat eksportir/importir tidak diketahui dengan jelas, harga
gambir bisa berubah dengan cepat dan cenderung fluktuatif yang menimbulkan
ketidakpastian bagi petani. Dari uraian tersebut, pertanyaan yang muncul yang
perlu dijawab adalah bagaimana struktur, perilaku dan kinerja pasar gambir,
apakah kegiatan pemasaran gambir sudah efisien.
Analisis dengan menggunakan pendekatan SCP (
Structure-Conduct-Performance) bisa memberikan alternatif solusi bagi permasalahan di atas, yang
terjadi dalam pasar gambir. Pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana
struktur pasar mempengaruhi mekanisme pembentukan harga dan perilaku
partisipan dalam pasar gambir serta pengaruhnya pada kinerja pasar gambir akan
didapatkan dengan pendekatan analisis ini.
Permasalahan dalam penelitian ini dengan demikian bisa disimpulkan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kinerja faktor-faktor produksi yang mempengaruhi produksi
gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota, apakah pengalokasian faktor-faktor
produksi dalam usahatani gambir sudah efisien ?
2. Bagaimana struktur, perilaku dan kinerja pasar gambir di Kabupaten Lima
Puluh Kota, bagaimana tingkat keterpaduan pasar gambir dan apakah kegiatan
pemasaran gambir sudah efisien ?
Berdasarkan uraian di atas, serta terbukanya prospek pengembangan gambir
produksi dan pemasaran gambir. Bagaimana keterkaitan antara kegiatan produksi
gambir di tingkat usahatani (on farm) dengan pemasaran gambir sebagai
komoditas pertanian (off farm) yang terhubung dalam suatu kesatuan sistem
pemasaran, serta bagaimana peranannya dalam mempengaruhi dan menentukan
harga gambir yang merupakan sinyal bagi produsen dan konsumen. Sehingga
dengan adanya penelitian ini diperoleh informasi mengenai keragaan produksi dan
pemasaran usahatani gambir di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota, sekaligus
sebagai gambaran usahatani gambir di Provinsi Sumatera Barat.
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Mengacu pada permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini secara
umum adalah untuk menganalisis aspek produksi dan pemasaran komoditas
gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota. Secara spesifik tujuan penelitian adalah
sebagai berikut:
1. Menganalisis efisiensi alokatif penggunaan faktor-faktor produksi dalam
usahatani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.
2. Menganalisis efisiensi pemasaran gambir dengan menilai kinerja partisipan
yang terlibat dalam pasar gambir menggunakan pendekatan struktur, perilaku
dan keragaan pasar, serta menilai keterpaduan pasar gambir di Kabupaten
Lima Puluh Kota.
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka kegunaan atau
kontribusi penelitian yang diharapkan adalah:
1. Pada tataran ilmu pengetahuan, dengan memadukan analisis kegiatan
menjadikan Lima Puluh Kota sebagai daerah penelitian, diperoleh gambaran
dan informasi yang menyeluruh mengenai kegiatan produksi, memberikan
acuan model teoritis mengenai determinan efisiensi alokatif pada usahatani
gambir perkebunan rakyat, serta gambaran mengenai struktur pasar dan
perilaku partisipan yang dibandingkan dengan kinerja pasar yang terjadi, akan
memberikan informasi yang lengkap bagi pengambil kebijakan dalam
mengelola dan memperbaiki pasar gambir sebagai satu kesatuan dalam sistem
yang utuh, mulai dari sisi petani produsen serta dari sisi pemasaran gambir
oleh lembaga yang terlibat.
2. Sebagai landasan dan rujukan bagi pemerintah daerah dalam membuat
kebijakan guna mendorong produktivitas usahatani gambir secara
berkelanjutan, dalam rangka memperluas kesempatan kerja, peningkatan
dayasaing, serta peningkatan pendapatan petani.
3. Bagi petani sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola dan
mengembangkan usahataninya, juga sebagai masukan dan bahan
pertimbangan bagi pelaku ekonomi atau investor swasta.
4. Sebagai bahan referensi maupun informasi bagi kalangan akademisi dan
peneliti untuk penelitian lebih lanjut secara lebih mendalam dalam
pengembangan metodologi maupun pengembangan introduksi teknologi
gambir yang tepat guna.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian ini meliputi analisis produksi dan pemasaran gambir,
menggunakan regresi linear berganda dan dilanjutkan dengan uji efisiensi alokatif.
Sedangkan pendekatan struktur, perilaku dan keragaan pasar digunakan untuk
menganalisis efisiensi pemasaran gambir di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota.
1.5. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan data cross section. Fakta yang digambarkan
merupakan kegiatan dan keadaan pada saat penelitian dilakukan, selanjutnya
berdasarkan fakta tersebut dilakukan penyimpulan mengenai masalah-masalah
penelitian yang ingin dibuktikan atau dicari hubungannya. Harga input dan harga
output yang digunakan dalam analisis adalah harga yang berlaku pada saat
penelitian berlangsung, walaupun pada kenyataannya harga input dan harga
output sangat bervariasi sepanjang tahun.
Gambir merupakan tanaman perkebunanan tahunan. Gambir yang dianalisis
dalam fungsi produksi Cobb-Douglas adalah gambir yang telah melalui proses
pengolahan menjadi produk gambir kering sehingga tidak menjelaskan hasil
produksi gambir seutuhnya yang langsung dihasilkan dari tanaman gambir. Nilai
variabel yang diuji telah disetarakan untuk satu tahun produksi, karena pada saat
penelitian berlangsung proses produksi yang dilakukan petani responden sedang
berjalan dan belum sampai satu tahun berproduksi.
Perhitungan faktor produksi, jumlah produksi dan biaya hanya diambil
untuk satu tahun sehingga biaya yang tidak dikeluarkan dalam tahun tersebut tidak
diperhitungkan sebagai biaya. Biaya bibit tidak diperhitungkan karena umur
produksi gambir lebih dari 20 tahun, sedangkan gambaran produksi gambir dari
2.1. Kinerja Usahatani Komoditas Gambir
Penelitian usahatani gambir yang dilakukan oleh Yuhono (2004), Ermiati
(2004) dan Tinambunan (2007), masing-masing memiliki metode, lokasi dan
waktu, serta tujuan penelitian yang berbeda, tapi menyimpulkan hal yang sama
tentang usahatani gambir. Bahwa masalah utama dalam pengelolaan usahatani
gambir adalah produksi, produktivitas serta mutu yang rendah. Teknologi
budidaya dan pengolahan yang dilakukan petani masih bersifat tradisional
sehingga mutu rendemen dan pendapatan petani rendah.
Yuhono (2004), meneliti pendapatan usahatani gambir di Desa Manggilang
Kecamatan Pangkalan Kotobaru, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat,
sebagai daerah sampel yang dipilih secara sengaja karena merupakan desa sentra
produksi gambir. Keragaan usahatani dianalisis secara deskriptif, pendapatan
usahatani dianalisis melalui analisis pendapatan. Penelitian komoditas gambir
yang dilakukan oleh Ermiati (2004), juga mengambil satu desa sebagai sampel
yaitu Desa Solok Bio-bio di Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota.
Penelitiannya tentang budidaya, pengolahan hasil dan kelayakan usahatani
gambir. Beberapa hal yang dapat disimpulkan berdasarkan hasil penelitian
keduanya adalah: (1) adopsi teknologi yang dilakukan petani masih rendah, (2)
usahatani yang dilakukan petani tergolong tidak intensif, (3) kegiatan pemupukan
dan pemberantasan hama dan penyakit belum pernah dilakukan, (4) pemeliharaan
hanya berupa penyiangan, (5) keterampilan usahatani umumnya diperoleh secara
kemampuan managerial dan kewiraswastaan juga rendah, (7) pembaharuan dan
alih teknologi sulit dilakukan, dan (8) biaya usahatani yang terbesar adalah biaya
panen dan pengolahan hasil.
Tinambunan (2007), yang melakukan penelitian tentang analisis pendapatan
usahatani di Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, mengungkapkan hal yang
relatif sama dengan yang disimpulkan oleh Yuhono dan Ermiati. Bahwa walaupun
gambir termasuk salah satu komoditas unggulan Kabupaten Pakpak Bharat, tetapi
prospek yang baik terhadap permintaan gambir di dalam maupun di luar negeri
belum disertai dengan peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Hal ini
disebabkan antara lain karena terbatasnya informasi pasar, masalah pengolahan
dan modal untuk pengembangan usahatani gambir, disamping teknik budidaya
yang diterapkan belum sesuai dengan teknologi anjuran. Penelitiannya mengambil
tiga kecamatan sebagai daerah studi yang ditetapkan secara sengaja yaitu
Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe, Kerajaan dan Tinada. Hal yang berdeda dalam
usahatani di Kabupaten Pakpak Bharat adalah, produk yang dijual oleh petani di
daerah ini selain dalam bentuk gambir kering, juga dalam bentuk daun dan ranting
muda (tanpa pengolahan) dan getah basah (bubur gambir yang belum dicetak dan
dikeringkan). Hasil analisis pendapatan dari ketiga bentuk output yang dijual
petani, bentuk produk gambir kering lebih menguntungkan meskipun ada
tambahan biaya dan waktu pengolahan.
Kesimpulan mengenai kinerja usahatani gambir perkebunan rakyat, secara
umum belum diusahakan secara intensif tetapi tetap menguntungkan serta layak
untuk dikembangkan. Nilai Investasi Sekarang (Net Present Value/NPV) dari
discount factor 15 persen. Titik impas investasi (Break Even Point/BEP) 3.27
tahun dengan nilai investasi Rp 3 282 500 per hektar serta nilai R/C
(Revenue/Cost Ratio) 1.61 (Ermiati, 2004). Yuhono (2004), yang juga melakukan
penelitian usahatani gambir memperoleh R/C rasio 1.69 terhadap biaya total dan
2.11 terhadap biaya tunai, serta margin harga yang diterima petani sebesar 67
persen. Sedangkan menurut Tinambunan (2007), usahatani gambir juga layak
untuk diusahakan, dengan perolehan pendapatan bersih petani Rp 11 476 200 jika
panen dalam bentuk daun dan ranting muda, Rp 14 073 200 untuk output getah
basah, serta Rp 15 129 200 untuk menjual dalam bentuk gambir kering.
2.2. Penelitian Efisiensi Produksi pada Berbagai Usahatani Komoditas Pertanian
Harsoyo (1999), meneliti tentang kinerja produksi dan mengukur perbedaan
efisiensi kinerja produksi salak pondoh antarpetani berdasarkan perbedaan skala
pengusahaan dan letak geografis di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian
dilakukan di empat desa di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. Pendekatan
analisis adalah model biaya dan keuntungan translog. Ia juga melakukan
pembandingan antarskala pengusahaan dan antardesa untuk memperoleh efisiensi
ekonomi relatif. Hasil analisis fungsi biaya translog menghasilkan kesimpulan
yang konsisten dengan hasil analisis fungsi keuntungan translog, bahwa kondisi
usaha dan produksi salak pondoh adalah increasing return to scale, artinya
persentase tambahan produk lebih besar daripada persentase tambahan
faktor-faktor produksi. Pengusahaan dalam skala lebih dari seribu rumpun lebih efisien
dan produksi di Desa Girikerto dan Wonokerto lebih efisien dibandingkan dua
Slameto (2003), meneliti efisiensi produksi usahatani kakao untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao di Provinsi
Lampung. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja yang mencakup tiga kabupaten
sebagai daerah sampel. Analisis menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas.
Produksi kakao rakyat sangat dipengaruhi oleh input tenaga kerja, pupuk kandang,
pestisida, luas lahan, jumlah dan umur tanaman kakao, serta penggunaan klon
unggul, seluruhnya memberikan pengaruh positif terhadap produksi. Penggunaan
input produksi dapat meningkatkan produksi kakao rakyat dengan proporsi yang
sama yang ditunjukkan oleh ekonomi skala usaha yang cenderung pada kondisi
constant return to scale.
Pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas relatif sering dipakai dalam
penelitian efisiensi produksi pada berbagai usahatani komoditas pertanian. Berikut
hasil ulasan singkat beberapa penelitian menyangkut efisiensi produksi usahatani
berbagai komoditas pertanian, yaitu: (1) enam penelitian menyangkut efisiensi
produksi pada komoditas tanaman perkebunan tahunan, yaitu: salak pondoh
(Harsoyo, 1999), kakao (Slameto, 2003; Sahara et al. 2006), sawit (Hasiholan,
2005), lada (Sahara et al. 2004; Sahara dan Sahardi, 2005), (2) lima penelitian
menyangkut efisiensi produksi pada komoditas tanaman musiman, yaitu: cabai
merah (Sukiyono, 2005), ubi kayu (Asnawi, 2003), bawang merah (Suciaty,
2004), padi (Jauhari, 1999; Sahara dan Idris, 2005), melon (Yekti, 2004), dan (3)
dari sebelas penelitian tersebut hanya satu penelitian yang memakai pendekatan
2.3. Penelitian Efisiensi Pemasaran pada Berbagai Usahatani Komoditas Pertanian
Tinambunan (2007), meneliti efisiensi pemasaran gambir di Kabupaten
Pakpak Bharat, Sumatera Utara, sedangkan Yuhono (2004), menganalisis
pemasaran gambir di Desa Manggilang, Kecamatan Pangkalan Kotobaru,
Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Keduanya sama-sama
menggunakan pendekatan margin pemasaran dan farmer’s share sebagai alat
analisis efisiensi pemasaran. Tinambunan menjelaskan bahwa margin pemasaran
yang terbentuk pada lembaga pemasaran yang terlibat dalam saluran pemasaran
tiga macam output gambir (daun/ranting muda, bubur gambir dan gambir kering)
sudah cukup seimbang dan efisien, sedangkan bagian harga yang diterima petani
juga lebih dari 75 persen. Yuhono dengan menggunakan pendekatan yang sama,
menyebutkan bahwa saluran pemasaran gambir cukup pendek dan sederhana,
yaitu dari petani ke pedagang pengumpul dan dari pedagang pengumpul ke
eksportir. Pendeknya rantai pemasaran membuat marjin pemasaran yang terjadi
cukup seimbang dan cukup efisien. Keduanya lebih lanjut menyebutkan,
meskipun usahatani gambir sudah menguntungkan dan layak untuk diusahakan,
serta saluran pemasaran gambir sudah efisien, akan tetapi semuanya belum tentu
dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani.
Harsoyo (1999), meneliti tentang efisiensi pemasaran salak pondoh di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana pengaruh
perubahan harga di tingkat pedagang pengecer terhadap perubahan harga di
tingkat petani, apakah pasar salak pondoh terintegrasi secara vertikal, serta
bagaimana distribusi margin pemasarannya. Alat analisis yang digunakan adalah
farmer’s share. Ia menemukan bahwa pemasaran komoditas salak pondoh sudah
efisien. Berdasarkan analisis transmisi harga dan integrasi didapatkan bahwa
perubahan harga yang terjadi di tingkat pedagang pengecer diteruskan ke tingkat
petani. Petani juga ikut menikmati kenaikan harga tersebut dan dari analisis
margin pemasaran disimpulkan bahwa penyebaran margin cukup merata serta
bagian harga yang dinikmati petani sudah cukup besar, yaitu lebih dari 70 persen.
Hukama (2003), Kurniawan (2003) dan Slameto (2003), menggunakan
pendekatan yang lebih menyeluruh jika dibandingkan dengan Harsoyo,
Tinambunan dan Yuhono. Pendekatan SCP (Structure-Conduct-Performance)
digunakan dalam menganalisis efisiensi pemasaran. Hukama (2003), menganalisis
pemasaran jambu mete dengan daerah sampel dua kecamatan di Kabupaten Buton
dan satu kecamatan di Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pendekatan
SCP digunakan untuk mengetahui pola saluran pemasaran, struktur pasar yang
terbentuk dan perilaku pasar, faktor-faktor yang mempengaruhinya dan
keterpaduan pasar kacang mete. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah
pemasaran jambu mete belum efisien karena saluran pemasaran untuk
gelondongan maupun kacang mete masih panjang dan melibatkan banyak pelaku
pemasaran. Struktur pasar mengarah ke oligopsoni, praktek pencampuran jenis
mutu super dengan non super masih terjadi di pasar kacang mete. Keuntungan
pemasaran sebagian besar masih dinikmati oleh pedagang.Farmer’s share belum
adil jika ditinjau dari aspek resiko karena resiko paling besar ditanggung petani.
Jika ditinjau dari hasil analisis keterpaduan pasar kacang mete, dominasi
pedagang besar dalam menetapkan harga menempatkan petani sebagai penerima
Kurniawan (2003), yang meneliti kelembagaan pemasaran gaharu di
Kalimantan Timur, menggunakan pendekatan SCP untuk menganalisis perilaku
usaha pengumpul dan pedagang gaharu. Sedangkan untuk mengetahui
karakteristik kelembagaan pemasaran gaharu, dianalisis secara deskriptif
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan yang
diterapkan dalam kelembagaan pemasaran gaharu adalah sistem patron-klien,
struktur pasar gaharu baik di tingkat kelembagaan pengumpul (desa), maupun
pedagang gaharu (kota) adalah oligopsoni. Hasil lain yang dikemukakan adalah
tidak seluruh patron (pedagang) dapat mengambil keuntungan dalam pemasaran
gaharu. Perilaku patron cenderung eksploitatif kepada kliennya sehingga klien
yang merasa dirugikan akan merespon dengan mengurangi loyalitasnya kepada
patron dimana perilaku ini menimbulkan moral hazard dalam kelembagaan
gaharu.
Slameto (2003), menganalisis kinerja kelembagaan pemasaran kakao rakyat
di Lampung dengan pendekatan SCP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
struktur pasar cenderung pada kondisi oligopoli dengan perilaku pasar cenderung
terjadi transaksi pada pedagang yang sama. Harga ditentukan pedagang dan belum
dipatuhinya grading dan standarisasi produk. Keragaan pasar kakao belum baik
dimana hubungan antara pasar lokal (petani) dengan pasar acuan (eksportir)
kurang padu, sehingga harga yang terjadi tidak ditransmisikan secara sempurna ke
petani dan saluran pemasaran yang efisien adalah petani - pedagang pengumpul
tingkat kecamatan - eksportir.
Kesimpulan dari studi literatur menyangkut efisiensi produksi dan
yang menggabungkan sekaligus analisis produksi dan pemasaran dalam satu
penelitian, yaitu penelitian tentang komoditas salak pondoh yang dilakukan
Harsoyo (1999) dan kakao yang diteliti oleh Slameto (2003). Seperti halnya
gambir, kedua komoditas tanaman perkebunan tahunan di atas juga didominasi
oleh perkebunan rakyat yang dalam proses produksi sampai pemasarannya
dihadapkan pada situasi dan kondisi dimana struktur pasar dan mekanisme
pembentukan harga yang terjadi cenderung merugikan petani produsen. Karena
itu penggabungan analisis kedua aspek (produksi dan pemasaran) dalam satu
kajian, bertujuan agar dapat memberikan alternatif solusi yang lebih menyeluruh
menyangkut semua partisipan dalam pasar, mulai dari petani, lembaga pemasaran
3.1. Teori Produksi
Produksi adalah suatu kegiatan yang mengubah input menjadi output.
Kegiatan tersebut dalam ekonomi biasa dinyatakan dalam fungsi produksi.
Terdapat berbagai macam fungsi produksi yang bisa digunakan sebagai
alternatif dalam melakukan analisis untuk mengetahui hubungan antara faktor
produksi (input) dan produksi (output), diantaranya adalah: fungsi produksi
linier, kuadratik, polinominal akar pangkat dua, eksponensial, CES (Constant
Elasticity of Substitution) dan translog. Memilih fungsi produksi apa yang
akan digunakan dalam suatu penelitian diperlukan banyak pertimbangan,
karena masing-masing fungsi produksi memiliki keunggulan dan keterbatasan.
Selain disesuaikan dengan kebutuhan penelitian, jenis data yang digunakan
dan tujuan analisis, Soekartawi (2003), juga menganjurkan tindakan berikut
dalam memilih model atau bentuk fungsi produksi yaitu: (1) identifikasi
masalah secara jelas, variabel-variabel apa saja yang berfungsi sebagai
penjelas dan apa variabel yang dijelaskannya, (2) tindakan pertama tersebut
kemudian harus dilanjutkan dengan studi pustaka untuk melihat apakah
identifikasi masalah sesuai dengan teori yang benar yang dikombinasikan
dengan pengalaman sendiri serta belajar dari penelitian lain, dan (3)
melakukantrial and error untuk menguatkan model yang dipakai.
Fungsi produksi eksponensial yang biasanya disebut juga dengan fungsi
Cobb-Douglas adalah fungsi yang sering dipakai sebagai model analisis
sederhana dan mudah untuk melihat hubungan input-output. Menurut Debertin
(1986), walaupun memiliki beberapa keterbatasan, penggunaan fungsi
produksi Cobb-Douglas didasarkan atas pertimbangan: (1) secara metodologis
lebih representatif dibandingkan dengan fungsi keuntungan misalnya, karena
variabel bebas yang dimasukkan adalah kuantitas dari input, datacross section
akan lebih tepat dianalisis dengan fungsi produksi dibandingkan dengan fungsi
keuntungan, (2) dalam penerapan secara empiris lebih sederhana dan lebih
mudah karena nilai parameter dugaan sekaligus juga menunjukkan elastisitas
produksi dan ekonomi skala usaha, dan (3) dari fungsi tersebut dapat
diturunkan fungsi permintaan input.
Soekartawi (2003), menyebutkan ada tiga alasan pokok mengapa fungsi
Cobb-Douglas lebih banyak dipakai oleh para peneliti yaitu: (1)
penyelesaiannya relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan fungsi produksi
yang lain karena dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linier, (2) hasil
pendugaan garis fungsi ini menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga
menunjukkan besaran elastisitas, dan (3) besaran elastisitas tersebut sekaligus
menunjukkan tingkat besaranreturn to scale.
Terlepas dari kelebihan tertentu yang dimiliki fungsi produksi
Cobb-Douglas jika dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang lain, bukan berarti
fungsi tersebut sempurna. Kesulitan umum yang dijumpai dalam penggunaan
fungsi produksi Cobb-Douglas atau kelemahan dan keterbatasan fungsi ini
adalah: (1) spesifikasi variabel yang keliru akan menghasilkan elastisitas
produksi yang negatif atau nilainya terlalu besar atau terlalu kecil. Hal ini juga
dipakai, masalah ini sering terjadi dalam pendugaan menggunakan metode
kuadrat terkecil, (2) kesalahan pengukuran variabel, hal ini terletak pada
validitas data apakah terlalu ekstrim ke atas atau ke bawah, (3) bias terhadap
variabel manajemen karena kadang-kadang sulit diukur dan dipakai sebagai
variabel independen dalam pendugaan karena erat hubungannya dengan
variabel independen yang lain, dan (4) multikolinearitas. Selain itu ada asumsi
yang perlu diikuti dalam menggunakan fungsi Cobb-Douglas, seperti misalnya
asumsi bahwa teknologi dianggap netral, yang artinyaintercept boleh berbeda,
tetapi slope garis penduga Cobb-Douglas dianggap sama dan asumsi bahwa
sampel dianggapprice takers (Soekartawi, 2003).
3.1.1. Fungsi Produksi
Fungsi produksi menunjukkan jumlah maksimum output yang dapat
dihasilkan dari pemakaian sejumlah input dengan menggunakan teknologi
tertentu. Fungsi produksi merupakan fungsi dari kuantitas input tidak tetap dan
input tetap. Menurut Debertin (1986), fungsi produksi menerangkan hubungan
teknis yang mentransformasikan input atau sumberdaya menjadi output atau
komoditas. Atau bisa juga dikatakan bahwa fungsi produksi adalah suatu
fungsi atau persamaan yang menunjukan hubungan teknis antara jumlah faktor
produksi yang digunakan dengan jumlah hasil produksi yang dihasilkan per
satuan waktu. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:
Q = (X1, X2, X3, ...Xn/Zn) ...(1)
dimana:
Q = Output atau produksi
Zn = Input tetap ke-n
Petani yang maju dalam melakukan usahatani akan selalu berfikir
bagaimana mengalokasikan input atau faktor produksi seefisien mungkin
untuk memperoleh produksi yang maksimum. Gambar 4 menggambarkan
keterkaitan antara hasil produksi (Q) yang dalam grafik dilambangkan dengan
Y, dengan faktor produksi yang digunakan (X). Keterkaitan tersebut bisa
dilihat dari hubungan antara Produk Total (PT), Produk Marginal (PM) dan
Produk Rata-rata (PR).
Produk Total (PT) merupakan produksi total yang dihasilakan oleh suatu
proses produksi. Produk Marginal (PM) menunjukkan perubahan produksi
yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan satu satuan faktor produksi
variabel, sedangkan Produk Rata-rata (PR) menunjukkan besarnya rata-rata
produksi yang dihasilkan oleh setiap penggunaan faktor produksi. Berdasarkan
Gambar 4 terlihat apabila faktor produksi X terus-menerus ditambah
jumlahnya, pada mulanya pertambahan PT akan semakin banyak, tetapi ketika
mencapai suatu tingkat tertentu, produksi tambahan yang akan diperoleh akan
semakin berkurang dan akhirnya mencapai nilai negatif.
Keadaan yang menyebabkan pertambahan produksi yang semakin
melambat sebelum akhirnya mencapai tingkat maksimum dan kemudian
menurun dikenal dengan hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang
(the law of deminishing marginal return). Hubungan antara tingkat produksi
dengan jumlah input variabel yang digunakan dapat dibedakan dalam tiga
tahap daerah produksi, yaitu: (1) daerah I yang terjadi pada saat PR naik
maksimum di titik B sampai hingga PT maksimum di titik C, dan (3) daerah
III adalah daerah saat PT menurun mulai dari titik C.
Sumber: Doll dan Orazem, 1984
Gambar 4. Produk Total, Produk Marginal, Produk Rata-Rata dan Tiga Tahapan Produksi
Daerah I dikatakan irrational region karena penggunaan input masih
menaikkan PT sehingga pendapatan masih dapat terus diperbesar. Daerah II
adalah rational region karena pada daerah ini dimungkinkan pencapaian
pendapatan maksimum, pada daerah ini pula PT maksimum tercapai,
sedangkan daerah III adalah irrational region karena PT telah menurun.
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala usahatani pada
model fungsi produksi komoditas gambir berada padarational region. A
B
[image:44.612.187.472.159.463.2]3.1.2. Analisis Efisiensi Produksi
Istilah efisiensi dikenal dalam teori produksi. Tersedianya faktor
produksi belum berarti produktivitas yang diperoleh petani akan tinggi.
Bagaimana petani melakukan usahanya secara efisien adalah upaya yang
sangat penting. Menurut Nicholson (2002), konsep efisiensi bisa dibedakan
atas efisiensi teknis, efisiensi ekonomi dan efisiensi alokasi. Menurutnya
alokasi sumberdaya disebut efisien secara teknis (technically efficient) jika
alokasi tersebut tidak mungkin meningkatkan output suatu produk tanpa
menurunkan produksi jenis barang lainnya. Jadi efisiensi teknis adalah suatu
pengalokasian sumberdaya yang tersedia sedemikian rupa, sehingga untuk
memproduksi satu atau lebih produk menyebabkan pengurangan produksi
barang-barang lainnya.
Berproduksi efisien secara teknis yaitu dengan berada pada batas
kemungkinan produksi, jika kita ingin menggambarkan efisiensi teknis secara
grafik. Sedangkan alokasi sumberdaya yang efisien secara ekonomis
(economic efficiency) adalah sebuah alokasi sumberdaya yang efisien secara
teknis dimana kombinasi output yang diproduksi juga mencerminkan
preferensi masyarakat. Agar alokasi sumberdaya menjadi efisien, harga harus
sama dengan biaya marginal sosial yang sebenarnya pada setiap pasar
(efisiensi alokasi).
Lau dan Yotopoulus (1971), mendefinisikan efisiensi teknis sebagai
hasil produksi yang dapat dicapai untuk suatu kombinasi faktor produksi yang
diberikan. Efisiensi harga (alokatif) didefinisikan sebagai kemampuan
produk marginal setiap faktor produksi yang diberikan dengan harga inputnya,
sedangkan efisiensi ekonomis adalah gabungan antara efisiensi teknis dan
efisiensi harga.
Produsen mengelola usahanya bertujuan untuk meningkatkan produksi
dan pendapatan, yang merupakan faktor penentu bagi produsen dalam
mengambil keputusan untuk usahanya. Produsen akan meningkatkan
produksinya apabila mengetahui bahwa tambahan faktor produksi yang
diberikan memberi tambahan keuntungan. Peningkatan keuntungan itu didapat
bila penerimaan marginal hasil lebih besar daripada biaya marginal faktor
produksi. Karena itu diperlukan efisiensi usaha dimana efisiensi itu dapat
dilakukan dengan pendekatan maksimalisasi produk dengan pengeluaran biaya
tertentu, atau minimisasi biaya untuk mendapatkan output tertentu. Bisa juga
dengan pendekatan maksimalisasi keuntungan dimana setiap faktor input
harus digunakan pada nilai produk marginal masing-masing faktor sama
dengan harganya.
Pemilihan fungsi produksi yang baik dan benar dari berbagai fungsi
produksi yang ada sebenarnya merupakan pendugaan subjektif. Sekalipun
demikian ada beberapa pedoman yang perlu diikuti untuk mendapatkan fungsi
produksi yang baik dan benar yaitu: (1) bentuk aljabar fungsi produksi itu
dapat dipertanggungjawabkan, (2) bentuk aljabar fungsi produksi itu
mempunyai dasar yang logik secara fisik maupun ekonomi, (3) mudah
dianalisis, dan (4) mempunyai implikasi ekonomi (Soekartawi et al. 1986).
Untuk analisis fungsi produksi dengan menggunakan data survei usahatani
produksi, hal yang penting dan perlu diperhatikan dalam melakukan pekerjaan
ini adalah: (1) variasi dari berbagai variabel yang tidak disertakan dalam
analisis seperti jenis tanah, cara bercocok tanam, iklim, hendaknya kecil, (2)
sebaliknya variasi dari kombinasi masukan yang dipakai oleh sampel lebih
beragam, misalnya tidak semua sampel memakai pupuk dalam dosis yang
hampir sama, dan (3) jumlah sampel yang digunakan harus memadai,
misalnya paling sedikit 40 responden (Soekartawiet al. 1986).
Metode pengukuran efisiensi dengan menggunakan fungsi produksi
yang telah digunakan secara luas untuk analisis usahatani, salah satunya
adalah dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang secara
metematis dituliskan sebagai berikut:
Y =
a
x
x
x
an n a a,..., 2 1
2 1
0 ...(2)
dimana:
Y = Produksi komoditas pertanian atau output (variabel tidak bebas/dependent variable)
a0 = Konstanta atau intersep
X1, X2, Xn = Faktor produksi atau input ke-1, 2, ..., n (variabel bebas/independent variable)
a1,a2, an = Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas
ke-1, 2, ..., n
= Gangguan stokhastik/kesalahan (disturbance term)
Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi berpangkat yang
terdiri dari dua variabel atau lebih, dimana variabel yang satu disebut variabel
yang dijelaskan Y (variabel tak bebas) dan yang lain disebut variabel yang
menjelaskan X (variabel bebas). Penyelesaian hubungan antara Y dan X
variasi X (Soekartawi, 2003). Fungsi di atas dapat dilinierkan dengan
mentransformasi variabel tersebut menggunakan logaritma natural sebagai
berikut:
ln Y = lna0 +a1 ln x1 +a2 ln x2 + ... +an ln xn +ε ...……..(3)
dimana:
ln = Logaritma natural
ε = Error termataudisturbance term
Pendekatan yang digunakan sebagai alat untuk menganalisis tingkat
efektivitas dan efisiensi usahatani melalui fungsi produksi adalah pendekatan
produk marjinal. Dalam fungsi produksi ini sebagai variabel bebas adalah
lahan garapan, bibit, pupuk buatan, pestisida dan tenaga kerja. Dengan cara
analisis ini dapat diketahui sampai sejauh mana kontribusi faktor produksi
terhadap hasil produksi yang dicapai.
Mubyarto (1989), menyatakan bahwa persoalan yang dihadapi dalam
usahatani pada umumnya adalah bagaimana mengalokasikan secara tepat
sumber-sumber daya atau faktor-faktor produksi yang terbatas agar dapat
memaksimumkan pendapatan. Berkaitan dengan masalah efisiensi, ada dua
pendekatan yang dapat mengukur efisiensi tersebut yakni: (1) pendekatan
produk marjinal yaitu pendekatan melalui konsep produksi marjinal mencapai
maksimum, dan (2) pendekatan efisiensi ekonomis yaitu pendekatan melalui
konsep keuntungan mencapai maksimum. Kedua pendekatan ini merupakan
cara analisis untuk mendapatkan gambaran tentang efisiensi usahatani dan
apabila efisiensi ini tercapai maka keuntungan maksimum akan tercapai,
Fungsi produksi merupakan hubungan teknis, maka fungsi produksi
dapat berubah akibat pengaruh penggunaan faktor produksi. Perubahan
tersebut ditunjukkan oleh kenaikan hasil, karena itu terdapat tiga bentuk
kenaikan hasil dalam fungsi produksi yaitu: (1) kenaikan hasil tetap artinya
penambahan satu satuan korbanan menyebabkan kenaikan hasil yang tetap
dengan kata lain produk marjinal naiknya tetap, (2) kenaikan hasil bertambah
artinya penambahan satu satuan korbanan menyebabkan hasil yang bertambah
dengan kata lain produk marjinal semakin meningkat, dan (3) kenaikan hasil
berkurang artinya penambahan satu satuan korbanan menyebabkan kenaikan
hasil yang semakin berkurang dengan kata lain produk marjinal semakin
berkurang. Untuk mengetahui tingkat efisiensi alokatif penggunaan
faktor-faktor produksi pada usahatani gambir dilakukan dengan menghitung rasio
nilai produk marjinal suatu input (NPMx) dengan harga inputnya (Px).
3.2. Teori Pemasaran Komoditas Pertanian
Kegiatan produksi dan pemasaran seperti dua sisi mata uang. Upaya
peningkatan produksi dalam pengembangan suatu komoditas harus diikuti
oleh kegiatan pemasaran yang baik, karena kedua kegiatan ini merupakan satu
kesatuan yang berkaitan dan saling memperkuat. Hasil akhir dari suatu proses
produksi adalah produk atau output yang akan dijual ke konsumen/pasar.
Pemasaran adalah kegiatan yang menjembatani proses pertukaran produk dari
produsen sampai produk tersebut diterima oleh konsumen.
Kinerja pemasaran memegang peranan sentral dalam pengembangan
pemasaran yang mampu menciptakan kinerja pemasaran yang kondusif dan
efisien, akan memberikan kontribusi positif terhadap beberapa aspek yaitu: (1)
mendorong adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan efisiensi, serta
daya saing komoditas pertanian, (2) meningkatkan kinerja dan efektivitas
kebijakan pengembangan produksi, khususnya kebijakan yang terkait dengan
program sta