• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat Kimia Bambu dan Tipe Ikatan Pembuluh

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Sifat Kimia Bambu dan Tipe Ikatan Pembuluh

4.3 Sifat Kimia Bambu dan Tipe Ikatan Pembuluh

Sifat kimia yang diperoleh melalui analisis komponen kimia struktural dan non struktural bambu belum bisa secara penuh menjadi ciri pembeda antara ke empat tipe ikatan pembuluh. Hal ini karena tidak adanya komponen kimia baik struktural maupun non struktural yang secara khas melekat pada tipe ikatan pembuluh tertentu. Ada beberapa kadar komponen kimia tertentu yang tidak berbeda dalam setiap tipe ikatan pembuluh. Bila dilihat dari komponen kimia struktural pada keempat tipe ikatan pembuluh tersebut tipe II, III dan IV memiliki kadar holoselulosa yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan tipe I. Kadar selulosa pada setiap ikatan pembuluh termasuk ke dalam kelas komponen dengan kadar selulosa yang cenderung tinggi dibanding kayu. Sama halnya dengan kadar selulosa, alfa selulosa pada keempat tipe ikatan pembuluh memiliki kadar yang cenderung besar pada setiap tipe ikatan. Bila dilihat dari kadar lignin ikatan pembuluh tipe III dan IV memiliki kadar yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan tipe I dan II.

Bila dilihat dari komponen non strukturalnya tipe I dan IV memiliki kadar kelarutan dalam etanol benzene (1:2) yang relatif lebih besar. Kadar abu pada tipe II dan IV relatif lebih besar bila dibandingkan dengan tipe I dan III. Pada tipe II kadar kelarutan dalam air dingin yang dimiliki relatif lebih kecil dibandingkan dengan yang lain sedangkan tipe I dan IV memiliki kelarutan dalam air panas yang relatif lebih besar. Kelarutan dalam NaOH 1% menunjukan bahwa tipe I, II dan IV memiliki kadar yang relatif lebih besar bila dibandingkan dengan tipe III.

Komponen kimia bambu pada bagian pangkal, tengah dan ujung menunjukan kecenderungan distribusi yang berbeda-beda. Kadar komponen struktural memiliki kecenderungan naik pada holoselulosa dan selolosa sedangkan kadar lignin dan alfa selulosa tidak memiliki kecenderungan yang jelas. Pada komponen non struktural distribusi komponen kimianya memiliki kecenderungan naik pada kelarutan etanol benzene dan kadar abu sedangkan pada kelarutan air panas, air dingin dan NaOH 1% memiliki kecenderungan menurun.

Arundinaria japonica (Tipe I) memiliki kadar holoselulosa, selulosa, alfa selulosa dan lignin yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan jenis lainnya. Kadar holoselulosa, selulosa dan alfa selulosa yang rendah setidaknya

mencerminkan jumlah serabut yang menyusun batang bambu relatif lebih sedikit sehingga bisa diduga bahwa jenis bambu pada tipe ikatan I tidak sesuai apabila diguakan sebagai bahan baku konstruksi. Jenis bambu ini juga memiliki ukuran diameter batang yang kecil sehingga tidak akan mampu menahan beban yang besar. Bila dilihat dari komponen non strukturalnya tipe ini memiliki kadar kelarutan dalam air dingin, air panas, NaOH 1% dan etanol benzene yang relatif lebih besar dengan kadar abu yang relatif lebih kecil. Tingginya kadar zat ekstraktif akan mengakibatkan proses pembuatan pulp tidak efisien. Dengan tingginya kelarutan NaOH 1% berarti bahwa semakin banyak karbohidrat berbobot molekul rendah yang terdegradasi atau dengan kata lain menunjukan semakin tingginya tingkat degradasi komponen kimia kayu oleh organisme perusak kayu.

Cephalostachyum pergracile (Tipe II) memiliki kadar holoselulosa dan alfa selulosa dan abu yang relatif lebih besar sedangkan kadar selulosa dan lignin relatif lebih kecil. Jumlah holoselulosa dan alfa selulosa yang tinggi bisa dijadikan penduga bahwa jumlah serat yang terkandung dalam bambu jenis ini cukup besar sehingga bambu jenis ini bisa digunakan sebagai bahan baku konstruksi. Bila dilihat dari komponen kimia non strukturalnya tipe ini memiliki kadar abu, dan kelarutan NaOH yang relatif lebih besar. Kadar abu yang tinggi akan mempengaruhi proses pengerjaan karena erat kaitannya dengan kadar silika yang dapat menyebabkan tumpulnya alat pemotong yang digunakan. Zat extraktif yang tinggi akan membuat penggunaan bambu sebagai bahan baku pulp kurang efisien khususnya dalam penggunaan bahan kimia.

Dendrocalamus strictus (Tipe III) memiliki kadar holoselulosa, alfa selulosa dan lignin yang relatif lebih besar dapat digunkan sebagai bahan baku konstruksi. Selain itu lignin sebagai perekat alami pada kayu dan bersifat termoplastik akan membantu memperkuat ikatan antar serat dalam papan panel. Bila dilihat dari komponen kimia non struktural tipe ini memiliki kelarutan dalam etanol benzene, abu, kelarutan dalam air panas dan NaOH 1% yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan yang lain. Kelarutan dalam zat ekstraktif yang rendah akan membuat penggunaan bambu ini lebih efisien bila digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Kadar abu yang rendah menunjukan bahwa tipe ini lebih memiliki kemudahan dalam pengerjaan karena dapat mengurangi penumpulan alat. Oleh karena itu bambu tipe ini baik digunakan sebagai bahan baku konstruksi dan pulp dan kertas.

Dendrocalamus giganteus (Tipe IV) memiliki kadar holoelulosa, selulosa alfa selulosa dan lignin yang relatif lebih besar akan lebih optimal apabila digunakan sebagai bahan baku konstruksi, industri pulp dan kertas dan turunan selulosa. Ditambah ukuran diameter dan ketebalan dinding batang yang besar serta kadar polisakarida penyusun dinding sel yang tinggi bambu jenis ini memang baik bila digunakan sebagai bahan baku konstruksi. Selain itu kadar selulosa yang tinggi juga dapat menduga bahwa wilayah kristalin dalam molekul selulosa juga tinggi sehingga akan mampu menghantarkan getaran dengan baik, atau dengan kata lain bambu jenis ini juga memiliki potensi digunakan sebagai bahan baku musik. Bila dilihat dari komponen non strukturalnya kelarutan dalam air dingin, air panas dan etanol benzene yang relatif lebih tinggi akan berpengaruh pada penggunaannya sebagai bahan baku pulp dan kertas sehingga diperlukan perlakuan pendahuluan dengan menghilangkan zat ekstraktif agar peroses pemasakan pulp dapat lebih efisien. Kadar zat ekstraktif yang tinggi akan menghalangi penetrasi bahan kimia dan mengakibatkan masalah pitch problem pada kertas yakni munculnya titik-titik buram pada kertas akibat masih banyaknya zat ekstraktif. Zat ekstraktif yang terlarut etanol benzene yang didominasi oleh senyawa lemak, lilin, resin, minyak dan tanin dapat pula berpotensi sebaga bahan baku kosmetik dan obat–obatan.

Dokumen terkait