• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Protein dan Non Protein Nitrogen

2.1.5 Sifat Protein dan Asam Amino

Denaturasi protein melibatkan gangguan dan perusakan yang mungkin dari kedua struktur sekunder, tersier, dan kuartener tanpa diikuti oleh struktur primer. Karena reaksi denaturasi tidak cukup kuat untuk mematahkan ikatan peptida, struktur primer (urutan asam amino) tetap sama setelah proses denaturasi. Denaturasi mengganggu normal alfa-heliks dan lembaran beta pada protein menjadi bentuk acak. Denaturasi terjadi karena interaksi yang bertanggungjawab untuk struktur sekunder, struktur tersier, dan struktur kuartener terganggu. Dalam struktur tersier ada empat jenis interaksi ikatan antara rantai samping termasuk ikatan hidrogen, jembatan garam, ikatan disulfida, dan non-polar interaksi hidrofobik, yang mungkin terganggu. Oleh karena itu, berbagai reagen dan kondisi dapat menyebabkan denaturasi. Denaturasi dapat diartikan suatu perubahan terhadap struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein, tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Pengamatan yang

paling umum dalam proses denaturasi adalah pengendapan atau koagulasi protein (Winarno, 1986). Sketsa proses denaturasi protein dapat dilihat pada Gambar 2.9 berikut ini:

Gambar 2.9 Sketsa proses denaturasi (Anonim, 2010).

Menurut Winarno (1991), ada beberapa faktor yang menyebabkan denaturasi yaitu:

a. Fisika 1) Panas

Panas adalah penyebab umum denaturasi molekul serum albumin alamiah berbentuk ellips dengan panjang : lebar (3 : 1) yang akan berubah bentuk menjadi bulat (5 : 5) bila dipanaskan. Denaturasi sering diikuti oleh penurunan kelarutan protein, karena terbukanya gugus hidrofilik disebut agregasi. Protein atau denaturasi cendrung migrasi ke interface (antarmuka) sehingga gugus hidrofilik pada fase air dan gugus hidrofobik pada fase non air.

2) Alkohol

Alkohol dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein yaitu dengan mengganggu ikatan rantai sisi hidrogen intramolekuler.

3) Pendinginan

Suhu yang rendah dapat menyebabkan terjadinya denaturasi. Beberapa protein susu dan telur teragregasi dan mengendap apabila didinginkan pada freezer.

4) Rangsangan mekanik

Perlakuan mekanik pada adonan roti (kneading and rolling) dapat menyebabkan terjadinya denaturasi (akibat energi yang diberikan), dan terjadinya regangan yang berulang; rusaknya α-helix.

5) Tekanan hidrostatik

Pada tekanan > 50 kPa dapat menyebabkan terjadinya proses denaturasi. 6) Radiasi

Pengaturan radiasi elektromagnetik terhadap protein tergantung pada panjang gelombang dan energi yang diberikan. Radiasi UV diadsorbsi oleh residu asam amino aromatik yaitu: triptofan, tirosin, dan fenilalanin. b. Bahan kimia

1) Asam dan basa

Protein stabil pada pH tertentu, tetapi bila diberi pH yang jauh lebih besar atau jauh lebih kecil, maka akan terjadi denaturasi.

2) Logam

Ada beberapa jenis logam yang dapat menyebabkan denaturasi yaitu: logam alkali Na, K (sedikit bereaksi); logam alkali tanah Ca, Mg (lebih

reaktif); logam transisi Cu, Fe, Hg, dan Ag (langsung bereaksi dan membentuk komplek yang stabil).

3) Pelarut organik

Hampir seluruh pelarut organik akan menyebabkan denaturasi, dengan cara mengganggu konstanta dielektrika dari media pelarut sehingga stabilitas protein terganggu. Pelarut organik non polar mampu menembus ke dalam daerah hidrofobik, mengganggu interaksi hidrofobik. Denaturasi juga terjadi karena interaksi pelarut organik dengan air (kompetisi, misal alkohol/etanol).

4) Larutan senyawa organik dalam air

Beberapa senyawa organik seperti urea dan garam dalam air akan mengganggu ikatan hidrogen sehingga menyebabkan terjadinya denaturasi. Senyawa ini juga menurunkan interaksi hidrofobik, dengan menaikkan kelarutan residu asam amino hidrofobik dalam fase air.

2. Zwitter ion

Dalam larutan asam (pH rendah), gugus amino bereaksi dengan H+, sehingga protein bermuatan positif. Bila pada kondisi ini dilakukan elektrolisis, molekul protein akan bergerak ke arah katoda. Sebaliknya, dalam larutan basa (pH tinggi), molekul protein akan bereaksi sebagai asam atau bermuatan negatif, sehingga molekul protein akan bergerak menuju anoda. Pada pH tertentu yang disebut titik isoelektrik (pI) (berkisar 4-4,5), muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan sehingga molekul bermuatan nol. Tiap jenis protein mempunyai titik isoelektrik yang berlainan. Pengendapan paling cepat terjadi

pada titik isolistrik ini, dan prinsip ini digunakan dalam proses-proses pemisahan serta pemurnian protein (Winarno, 1991).

3. Ampoter

Adanya gugus amino dan karboksil bebas pada ujung-ujung rantai molekul protein, menyebabkan protein banyak muatan (polielektrolit) dan bersifat amfoter (dapat bereaksi dengan asam dan basa). Daya reaksi berbagai jenis protein terhadap asam dan basa tidak sama, tergantung dari jumlah dan letak asam amino dan karboksil dalam molekul (Winarno, 1991).

4. Pembentukan ikatan peptida

Dua asam amino berikatan melalui suatu ikatan peptida dengan melepas sebuah molekul air. Reaksi keseimbangan ini untuk berjalan ke arah hidrolisis daripada sintesis. Pembentukan ikatan tersebut memerlukan banyak energi, sedang untuk hidrolisis praktis tidak memerlukan energi (Winarno, 1991). Pembentukan ikatan peptida dapat dilihat pada Gambar 2.10 berikut ini:

Gambar 2.10 Pembentukan ikatan peptida (Anonim, 2010).

2.1.6 Manfaat Protein

Protein adalah salah satu bagian dari makanan sehat. Protein berperan penting dalam struktur dan fungsi semua sel makhluk hidup dan virus. Selain itu protein juga memiliki peran penting dalam pembentukan sistem kekebalan (imunitas) sebagai antibodi, mengatur kerja hormon dan enzim dalam tubuh. Disamping menjadi salah satu sumber gizi, pada prinsipnya protein berperan menunjang keberadaan setiap sel tubuh dan proses kekebalan tubuh. Setiap orang dewasa sedikitnya wajib mengkonsumsi 1 g protein per kg berat tubuhnya. Kebutuhan akan protein bertambah pada perempuan yang mengandung dan atlet. Protein mutlak diperlukan tubuh selama masa pertumbuhan. Protein berperan dalam proses regenerasi sel, penyembuhan luka, produksi antibodi dan haemoglobin untuk menjaga kesehatan tubuh, serta mengatur kerja hormon dan enzim dalam tubuh (Widodo, 2009).

2.1.7 Akibat Kelebihan dan Kekurangan Protein

Mengonsumsi protein dalam jumlah yang berlebihan akan membebani kerja ginjal. Makanan yang tinggi proteinnya, biasanya juga tinggi lemaknya sehingga menyebabkan obesitas. Kelebihan protein pada bayi dapat memberatkan ginjal dan hati harus memetabolisme dan mengeluarkan kelebihan nitrogen dan juga dapat menyebabkan asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan amonia darah dan ureum darah, dan demam (Ellya, 2010).

Sebaliknya, jika kita kurang mengonsumsi protein maka dapat menyebabkan penyakit kwashiorkor dan marasmus. Penyakit kwashiorkor lebih banyak terdapat pada usia dua hingga tiga tahun yang komposisi makanannya tidak seimbang terutama dalam hal protein. Gejala penyakit kwashiorkor adalah

pertumbuhan terhambat, otot-otot berkurang dan melemah, edema (terutama pada perut, kaki, dan tangan), muka bulat seperti bulan (moonface), gangguan psikomotor, apatis, tidak ada nafsu makan, tidak gembira dan suka merengek, kulit mengalami depigmentasi, kering, bersisik, pecah-pecah, dan dermatosisi, luka sukar sembuh, rambut mengalami depigmentasi, menjadi lurus, kusam, halus, dan mudah rontok, hati membesar dan berlemak, sering disertai anemia dan xeroftalmia. Kwashiorkor jarang dijumpai pada orang dewasa. Marasmus berasal dari kata Yunani yang berarti wasting/merusak. Marasmus pada umumnya merupakan penyakit pada bayi (dua belas bulan pertama), karena terlambat diberi makanan tambahan. Marasmus adalah penyakit kelaparan yang banyak terdapat pada kelompok sosial ekonomi rendah dan lebih banyak daripada kwashiorkor. Gejalanya adalah pertumbuhan terhambat, lemak di bawah kulit berkurang serta otot-otot berkurang dan melemah, apatis, muka seperti orangtua (olman's face) (Widodo, 2009; Yuniastuti, 2008).

Dokumen terkait