• Tidak ada hasil yang ditemukan

TENAGA KERJA KABUPATEN SIDOARJO DALAM

PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN (Studi Pada Anak Jalanan Di Kecamatan Sidoarjo). Undergraduate thesis, UPN "Veteran" Jatim.

Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, Indonesia juga memiliki sejumlah permasalahan baik sosial maupun ekonomi yang akan terus menerus mengikuti laju pembangunan dan pertumbuhan. Salah satu fenomena sosial yang terjadi saat ini yaitu munculnya anak-anak jalanan. Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu kabupaten yang ada di Jawa Timur. Keberadaan anak jalanan di beberapa titik yang ada di Sidoarjo, hal ini seringkali memicu stigma negatif dari masyarakat, selain itu juga banyak masyarakat yang menggambarkan mereka dekat dengan dunia miras, narkoba bahkan sex bebas. Melihat hal tersebut, sebaiknya perlu adanya penanganannya dari pemerintah yang dipusatkan pada titik tersebut, agar kawasan tersebut terbebas dari kesan yang tak sedap. Akan tetapi pada kenyataan peran pemerintah dalam penanganan anak jalanan dapat dikatakan sangat lamban dan masih kurang maksimal. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang peran Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam pemberdayaan anak jalanan di Kecamatan Sidoarjo. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif, sedangkan sumber data diperoleh dengan melakukan wawancara dan observasi dengan pihak terkait, dalam hal

ini adalah Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam pemberdayaan anak jalanan di Kabupaten Sidoarjo dan juga para anak-anak jalanan. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah anak jalanan yang tertangkap pada saat operasi penertiban yang telah dilakukan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sidoarjo dan secara bersama-sama oleh pihak Satpol PP, Kepolisian, dan Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sidoarjo mayoritas berasal dari Sidoarjo yaitu sebanyak 14 orang atau sebesar 82,35%. Setelah di lakukan registrasi. Untuk anak jalanan yang berasal dari Kabupaten Sidoarjo di tangani langsung oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sidoarjo, dan diberikan pembinaan sosial melalui bimbingan sosial dan pembinaan ketrampilan kerja, sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh anak jalanan. Selain itu pengawasan juga dilakukan terhadap anak jalanan yang ditampung dalam pembinaan Dinas Sosial dan melakukan evaluasi terhadap pelatihan dan pembinaan dari berbagai kegiatan yang diikuti oleh anak-anak jalanan, sehingga nantinya mereka dapat berpartisipasi dalam pembangunan kesejahteraan sosial.

3. MOTIVASI NON-EKONOMI PENGEMIS DI KOTA

YOGYAKARTA, Arie Kusuma Paksi, Nugroho Budi N., Nugroho Noto Susanto, Jurusan Hubungan Intenasional, Univ Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motivasi non-ekonomi pengemis di Kota Yogyakarta khususnya di Masjid Gede yang berada di Kauman dan Masjid Syuhada yang berada di Kotabaru sehingga dapat menjadi masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya mereka yang tertarik untuk meneliti permasalahan sosial seperti pengemis. Penelitian ini juga diharapkan menjadi salah satu masukan bagi aparatur terkait dalam upaya pengentasan permasalahan pengemis yang biasanya sangat mudah dijumpai di kota-kota besar. Artinya, kebijakan yang selama ini hanya bersandar pada permasalahan ekonomi saja tidaklah cukup untuk menjadi faktor penentu pengentasan permasalahan tersebut. Pada perkembangannya hingga saat ini, permasalahan pengemis juga muncul akibat motivasi non-ekonomi. Penelitian ini menggunakan analisa kebijakan sebagai cara atau prosedur untuk menghasilkan informasi mengenai masalah-masalah kemasyarakatan berikut pemecahannya. Sedangkan perolehan datanya menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi langsung (natural observation) dan wawancara mendalam (indepth review). Sedang data sekundernya diperoleh dengan cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa buku-buku, jurnal dan majalah yang berisi tentang pendapat, teori, dalil/hukum dan lain-lain. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif, yaitu analisis yang bergerak dalam tiga komponen, yaitu (1) reduksi data (data reduction),

(2) sajian data (data display), dan (3) penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing). Dari hasil perolehan data dilapangan, peneliti berhasil membuat profil masing-masing pengemis (baik Masjid Gede maupun Syuhada ) beserta karakteristiknya dalam mengemis. Secara keseluruhan hampir dipastikan bahwa pengemis tersebut adalah orang-orang yang mampu secara ekonomi. Selain dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (misalnya makan tiga kali sehari), pengemis tersebut juga memiliki fasilitas-fasiltas tertentu yang terdapat dirumah mereka masing-masing seperti TV, Radio dan peralatan elektronik yang lain. Bahkan banyak diantara mereka juga memiliki tabungan di bank-bank swasta. Motivasi non-ekonomi yang berhasil ditemukan dibagi menjadi tiga faktor. Pertama, budaya, dimana pada diri pengemis tersebut sudah tertanam mental-mental pengemis. Artinya ada keengganan (malas) pada diri mereka untuk mencari pekerjaan yang lain. Apalagi pekerjaan mengemis mengiming-iming penghasilan yang besar dengan tenaga yang tidak begitu besar. Akhirnya mengemis dijadikan sebuah profesi. Kedua, agama, dimana dalam agama Islam diwajibkan bagi seorang yang mampu untuk memberikan sebagian harta miliknya kepada orang-orang yang kurang mampu (miskin). Hal tersebut menjadi faktor eksternal yang menyebabkan munculnya para pengemis. Sementara disisi yang lain, ada faktor internal dari pengemis itu sendiri yang terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka wajar bila

banyak fenomena pengemis muncul ditempat peribadatan seperti yang terdapat di Masjid Gede Kauman dan Masjid Syuhada . Ketiga, sosial, dalam kategori ini, penyebab munculnya pengemis dibagi lagi menjadi dua hal yaitu, lingkungan sosial dan keluarga. Lingkungan sosial memiliki pengaruh dalam hal munculnya fenomena pengemis karena secara tidak langsung suatu komunitas tertentu seperti pengemis ini telah mempengaruhi sebagian orang yang berada disekitarnya untuk mengemis. Hal itu terjadi karena didorong oleh pendapatan tertentu dan kemudian dia coba-coba ikut dalam kelompok pengemis tersebut dan lama kelamaan menyukai pekerjaan ini. Uniknya, keluarga juga menjadi faktor penentu dalam kemunculan fenomena pengemis. Ada beberapa pengemis yang melakukan pekerjaan tersebut karena memiliki permasalahan pribadi di rumahnya. Karena merasa tidak tahan lagi merasa dirumah akhirnya mereka jarang pulang kerumah atau nekat untuk meninggalkan kediamannya tersebut. Karena keterbatasan tenaga yang dimiliki akhirnya mereka menjadi pengemis. Dari temuan-temuan dilapangan tersebut, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa motivasi non-ekonomi yang menjadi pendorong munculnya pengemis tersebut disebakan oleh tiga faktor yaitu, budaya, agama dan sosial.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Kesejahteraan Sosial

2.2.1.1Pengertian Kesejahteraan Sosial

Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, baik kita suka atau tidak, hampir semua yang kita lakukan dalam kehidupan kita berkaitan dengan orang lain (Jones,2009). Kondisi sejahtera (well-being) biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non material. Menurut Midgley (2000: XI) mendefinisikan kesejateraan sosial sebagai “..a condition or state of human well being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusiaaman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat terpenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. Agar dapat memahami lebih dalam apa yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial berikut definisi kesejahteraan sosial menurut para ahli.

Menurut definisinya kesejahteraan sosial dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan, kesejahteraan sosial sebagai suatu kegiatan atau pelayanan dan kesejahteraan sosial sebagai ilmu (Suud, 2006). Menurut Suharto (2006: 3) kesejahteraan sosial juga termasuk sebagai suatu proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan,

lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas melalui pemberian pelayanan sosial dan tunjangan sosial. Kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan adalah sebagai berikut dibawah ini.

Menurut Suparlan dalam Suud (2006: 5), kesejahteraan sosial, menandakan keadaan sejahterah pada umumnya, yang meliputi keadaan jasmaniah, rohaniah, dan sosial dan bukan hanya perbaikan dan pemberantasan keburukan sosial tertentu saja; jadi merupakan suatu keadaan dan kegiatan.

Menurut Segel dan Bruzy (1998:8), “Kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat.Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat”.Sedangkan menurut Midgley (1995:14) Kondisi kesejahteraan sosial diciptakan atas kompromi tiga elemen. Pertama, sejauh mana masalah-masalah sosial ini diatur, kedua sejauh mana kebutuhan-kebutuhan dipenuhi, ketiga sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat disediakan

Kesejahteraan sosial menurut Friendlander dalam Suud (2006: 8) merupakan system yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan danlembaga-lembaga sosial, yang dimaksudkan untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai tingkat hidup dan kesehatan yang memuaskan dan hubungan-hubungan personal dan sosial yang memberi kesempatan kepada mereka untuk

memperkembangkan seluruh kemampuannya dan untuk meningkatkan kesejahteraannya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakatnya.

Menurut Segal dan Brzuzy, yang dikutip dalam suud (2006: 5) kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat.Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat.

Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingat kehidupan, pemenuhan kebutuhan pokok, kualitas hidup dan pembangunan manusia (Sen, 2008: 8).Yang paling berhubungan dengan system kesejahteraan sosial bagi para homeless ini adalah seikatsu hogo.pemerintah memberikan perlindungan hidup (seikatsu hogo) kepada masayarakat Jepang dan tidak boleh ada diskriminasi, dan orang yang hidup miskin dapat menuntut pertolongan bantuan dari pemerintah (Kennett dan Iwata, 2003: 63).

Menurut Okumara dalam Takehara (2005: 114) menjabarkan bahwa ada tujuh karakteristik di dalam kesejahteraan sosial yaitu :

1. Tuntutan ekonomi yang stabil 2. Tuntutan pekerjaan yang layak 3. Tuntutan keluarga yang stabil 4. Tuntutan jaminan kesehatan 5. Tuntutan jaminan pendidikan

7. Tuntutan kesempatan budaya atau rekreasi 2.2.2 Kebijakan Sosial

2.2.2.1Pengertian Kebijakan Sosial

Dalam arti spesifik atau sempit, kata sosial menyangkut sector kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung (disadvantaged group) dan kelompok rentan (vulnerable group).Kata sosial disini menyangkut program-program dan atau pelayanan-pelayanan sosial untuk mengatasi masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, ketidakberfungsian fisik dan psikis, tuna sosial dan tuna susila, kenakalan remaja dan lain sebagainya.Sementara kebijakan sosial diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian spesifik, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial.Pengertian sosial seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagaimana dikemukakan oleh Conyer. Menurut Conyer, perencanaan sosial adalah perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial dalam berbagai hal (Suharto, 2005) dalam buku (Studi Kebijakan Pemerintah ;2012 :182).

Kemudian dari pada itu, maka Huttman (1981) dan Gilbert dan Specht (1986) melihat kebijakan sosial dari tiga sudut pandang, yakni

kebijakan sosial sebagai proses, sebagai produk dan sebagai kinerja atau capaian.

Pertama, Sebagai suatu proses, kebijakan sosial menunjuk pada perumusan kebijakan dalam kaitannya dengan variabel-variabel sosial-politik dan teknik metodologi. Kebijakan sosial merupakan suatu tahapan untuk membuat sebuah rencana tindak (plan of action) yang dimulai dari pengidentifikasian kebutuhan (assessing need), penetapan alternatif-alternatif tindakan, penyeleksian strategi-strategi kebijakan.

Kedua, kebijakan sosial sebagai produk, kebijakan sosial adalah hasil dari proses perumusan kebijakan atau perencanaan sosial, yaitu mencakup segala bentuk peraturan perundang-undangan atau proposal program yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan berbagai kegiatan atau proyek.

Ketiga, kebijakan sosial sebagai suatu kinerja (performance), kebijakan sosial merupakan deskripsi atau evaluasi terhadap hasil pengimplementasian produk kebijakan sosial atau pencapaian tujuan suatu rencana pembangunan. Kebijakan sosial dalam pengertian ini, menyangkut kegiatan analisa untuk melihat dampak atau pengaruh yang terjadi pada masyarakat, baik yang bersifat positif maupun negatif, sebagai akibat dari diterapkannya suatu perundang-undangan atau suatu program. Secara khusus dimensi ketiga ini biasanya

diistilahkan dengan analisa kebijakan sosial (Dunn, 1981 ; Quide, 1982).

2.2.3 Pemberdayaan

2.2.3.1Pengertian Pemberdayaan

Menurut Ife dan Tesoriero (2008 : 510), “pemberdayaan berarti menyediakan sumber daya, kesempatan, kosa kata, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menentukan masa depan mereka sendiri dan untuk berpartisipasi serta mempengaruhi kehidupan masyarakatnya”. Dari definisi ini terlihat jelas bahwa pemberdayaan bukan sekedar menolong orang miskin agar menjadi tidak miskin. Pengertian pemberdayaan menurut Ife dan Tesoriero lebih diarahkan kepada peningkatan kemampuan masyarakat untuk mandiri, dapat mengendalikan masa depannya dan bahkan dapat mempengaruhi orang lain.

Senada dengan Ife dan Tesoriero, Sardlow dalam Adi (2008) mengatakan bahwa “pada intinya pengertian pemberdayaan membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka”. Adi (2008 : 78 – 79) mengatakan bahwa “tujuan dan target pemberdayaan bisa saja berbeda, misalnya di bidang ekonomi, pendidikan atau kesehatan”. Pemberdayaan juga bisa bervariasi dalam pembangunan

sehingga pemberdayaan di suatu bidang bisa berbeda dengan bidang lainnya.

Payne (1997 : 266) mengemukakan bahwa pemberdayaan (empowerment) pada dasarnya ditujukan untuk :

“To help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising exiting power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients.”

Pengertian pemberdayaan menurut Payne menunjukkan bahwa agar seseorang bisa berdaya perlu ada pembagian atau pemberian kekuatan dari lingkungannya. Pembagian kekuatan atau pemberian kemampuan ini bisa diartikan sebagai saling membagi kekuatan (power sharing) dari seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain yang tidak berdaya sehingga mereka mempunyai kemampuan yang setara. Dalam perspektif pekerjaan sosial, pengertian pemberdayaan ini dapat diartikan sebagai peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri seseorang agar ia dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara wajar tanpa dihalangi oleh kesenjangan terhadap lingkungannya.

Suharto (2006 : 58) mengatakan bahwa pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam :

a. Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom)

b. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan, dan

c. Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Konsep empowerment pada dasarnya adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi dan lain-lain. memberdayakan masyarakat menurut kartasasmita (1996 : 144) adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.

Gagasan pembangunan yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat perlu untuk dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat. perubahan struktur yang sangat diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan dan harus dapat dinikmati bersama. begitu pula sebaliknya, yang menikmati haruslah yang menghasilkan. proses ini diarahkan agar setiap upaya pemberdayaan masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat

(capacity building) melalui penciptaan akumulasi modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan, yang mana pada gilirannya nanti dapat pula menciptakan pendapatan yang akhirnya dinikmati oleh seluruh rakyat. dan proses transpormasi ini harus dapat digerakan sendiri oleh masyarakat.

Menurut sumodiningrat (1999 : 134), mengatakan bahwa kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat secara umum dapat dipilah dalam tiga kelompok yaitu:

1. kebijaksanaan yang secara tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat.

2. kedua, kebijaksanaan yang secara langsung mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran.

3. ketiga, kebijaksanaan khusus yang menjangkau masyarakat miskin melalui upaya khusus.

Pemberdayaan merupakan suatu upaya yang harus diikuti dengan tetap memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh setiap masyarakat. dalam rangka itu pula diperlukan langkah-langkah yang lebih positif selain dari menciptakan iklim dan suasana. perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta membuka akses kepada berbagai peluang (upportunities) yang nantinya dapat membuat masyarakat menjadi semakin berdaya.

2.2.3.2Pr oses Pemberdayaan Masyarakat

Menurut Suharto (2006:59) pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, terutama individu-individu yang mengalami kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator sebuah keberhasilan pemberdayaan.

Proses pemberdayaan dapat dilakukan secara individual maupun kolektif (kelompok). Proses ini merupakan wujud perubahan sosial yang menyangkut relasi atau hubungan antara lapisan sosial yang dicirikan dengan adanya polarisasi ekonomi, maka kemampuan individu “senasib” untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok cenderung dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif (Friedman, 1993). Hal tersebut dapat dicapai melalui proses dialog dan diskusi di dalam kelompoknya masing-masing, yaitu individu

dalam kelompok belajar untuk mendeskripsikan suatu situasi, mengekspresikan opini dan emosi mereka atau dengan kata lain mereka belajar untuk mendefinisikan masalah, menganalisis, kemudian mencari solusinya.

Menurut United Nations (1956:83-92 dalam Tampubolon, 2006), proses-proses pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut:

1) Getting to know the local community; Mengetahui karakteristik

masyarakat setempat (lokal) yang akan diberdayakan, termasuk perbedaan karakteristik yang membedakan masyarakat desa yang satu dengan yang lainnya. Mengetahui artinya untuk memberdayakan masyarakat diperlukan hubungan timbal balik antara petugas dengan masyarakat.

2) Gathering knowledge about the local community;

Mengumpulkan pengetahuan yang menyangkut informasi

mengenai masyarakat setempat. Pengetahuan tersebut

merupakan informasi faktual tentang distribusi penduduk menurut umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, termasuk pengetahuan tentang nilai, sikap, ritual dan custom, jenis pengelompokan, serta faktor kepemimpinan baik formal maupun informal.

3) Identifying the local leaders; Segala usaha pemberdayaan

dari pimpinan atau tokoh-tokoh masyarakat setempat. Untuk itu, faktor "the local leaders" harus selau diperhitungkan karena mereka mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat. 4) Stimulating the community to realize that it has problems; Di

dalam masyarakat yang terikat terhadap adat kebiasaan, sadar atau tidak sadar mereka tidak merasakan bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan. Karena itu, masyarakat perlu pendekatan persuasif agar mereka sadar bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan, dan kebutuhan yang perlu dipenuhi.

5) Helping people to discuss their problem; Memberdayakan

masyarakat bermakna merangsang masyarakat untuk

mendiskusikan masalahnya serta merumuskan pemecahannya dalam suasana kebersamaan.

6) Helping people to identify their most pressing problems;

Masyarakat perlu diberdayakan agar mampu mengidentifikasi permasalahan yang paling menekan. Dan masalah yang paling menekan inilah yang harus diutamakan pemecahannya.

7) Fostering self-confidence; Tujuan utama pemberdayaan

masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat. Rasa percaya diri merupakan modal utama masyarakat untuk berswadaya.

8) Deciding on a program action; Masyarakat perlu diberdayakan

untuk menetapkan suatu program yang akan dilakukan. Program

action tersebut perlu ditetapkan menurut skala prioritas, yaitu

rendah, sedang, dan tinggi. Tentunya program dengan skala prioritas tinggilah yang perlu didahulukan pelaksanaannya.

9) Recognition of strengths and resources; Memberdayakan

masyarakat berarti membuat masyarakat tahu dan mengerti bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhannya.

10) Helping people to continue to work on solving their problems;

Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang berkesinambungan. Karena itu, masyarakat perlu diberdayakan

agar mampu bekerja memecahkan masalahnya secara

berkelanjutan.

11) Increasing people ability for self-help; Salah satu tujuan

pemberdayaan masyarakat adalah tumbuhnya kemandirian masyarakat. Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang sudah mampu menolong diri sendiri. Untuk itu, perlu selalu ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk berswadaya.

Menurut Oakley dan Marsden, 1984, proses pemberdayaan mengandung dua kecendrungan, yaitu:

1. proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung kemandirian mereka melalui organisasi.

2. Kecendrungan kedua atau kecendrungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan dan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

2.2.3.3Upaya-upaya Pemberdayaan

Menurut Kartasasmita (1995:19), upaya memberdayakan masyarakat harus dilakukan melalui tiga cara:

1. Menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Disini titik tolaknya bahwa manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan, sehingga pemberdayaan merupakan upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

2. Memperkuat potensi yang dimiliki oleh rakyat dengan

masukan, menyediakan sarana dan prasarana baik fisik (irigasi,

Dokumen terkait