• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN SIDOARJO (Studi Kasus di UPTD Liponsos Sidokare).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN SIDOARJO (Studi Kasus di UPTD Liponsos Sidokare)."

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Per syaratan Memperoleh Gelar Sar jana Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur

Oleh :

ANDRE PANE SIXWANDA NPM. 0941010053

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

(2)
(3)
(4)
(5)

v

limpahan rahmat, berkat, dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pember dayaan Gelandangan dan Pengemis di Ka bupaten Sidoar jo (Studi kasus di UPTD Liponsos Sidokar e)”

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih pada Bapak Tukiman. S.sos, Msi sebagai dosen pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan, nasehat serta motivasi kepada penulis. Tak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penyusunan skripsi ini diantaranya :

1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. DR. Lukman Arif, M.Si, Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Ibu Anastasia, selaku Kepala Lingkungan Pondok Sosial Sidokare 4. Bapak Mulyadi, selaku Kepala Seksi Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial 5. Seluruh pegawai Lingkungan Pondok Sosial Sidokare

(6)

vi

Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Akhirnya, dengan segala keterbatasan yang penulis miliki semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak umumnya dan penulis pada khususnya.

Surabaya, April 2013

(7)

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR REVISI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

ABSTRAKSI ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJ IAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu ... 11

2.2 Landasan Teori ... 19

2.2.1 Kesejahteraan Sosial ... 19

2.2.1.1 Kesejahteraan Sosial ... 19

2.2.2 Kebijakan Sosial ... 22

2.2.2.1 Pengertian Kebijakan Sosial ... 22

2.2.3 Pemberdayaan ... 24

2.2.3.1 Pengertian Pemberdayaan ... 24

2.2.3.2 Proses Pemberdayaan Masyarakat ... 28

2.2.3.3 Upaya-upaya Pemberdayaan ... 32

2.2.3.4 Indikator-indikator Pemberdayaan ... 34

2.2.3.5 Pendekatan-pendekatan Pemberdayaan Masyarakat ... 34

2.2.4 Partisipasi Masyarakat ... 37

2.2.4.1 Pengertian dan Prinsip Partisipasi Masyarakat ... 37

2.2.4.2 Pengelompokan Partisipasi Masyarakat ... 43

2.2.4.3 Tingkatan Partisipasi Masyarakat ... 44

2.2.4.4 Bentuk dan Tipe Partisipasi ... 46

2.2.4.5 Motif Partisipasi Masyarakat ... 49

2.2.4.6 Keberhasilan Partisipasi Masyarakat ... 50

2.2.5 Gepeng (Gelandangan dan Pengemis) ... 52

2.2.5.1 Pengertian Gelandangan dan Pengemis ... 52

2.2.5.2 Faktor-faktor Munculnya Gelandangan dan Pengemis ... 56

2.3 Kerangka Berpikir ... 57

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 58

3.2 Lokasi Penelitian ... 59

(8)

4.1.1 Profil kantor UPTD Liponsos Sidokare ... 71

4.1.2 Visi dan Misi ... 74

4.1.3 Struktur Organisasi ... 75

4.1.4 Tugas, Pokok dan Fungsi ... 75

4.1.5 Tujuan Pendirian ... 76

4.1.6 Pemulangan/Rujukan ... 76

4.1.7 Pelayanan yang di berikan... 76

4.1.8 Komposisi Pegawai Liponsos... 77

4.1.9 Data Gelandangan dan Pengemis ... 79

4.1.10 Sarana dan Prasarana ... 82

4.2 Hasil Penelitian ... 84

4.2.1 Bimbingan Ketrampilan ... 84

4.2.2 Bimbingan Mental ... 86

4.2.3 Bimbingan Sosial ... 88

4.2.4 Bimbingan Fisik ... 91

4.3 Pembahasan ... 94

4.3.1 Bimbingan Ketrampilan ... 94

4.3.2 Bimbingan Mental ... 96

4.3.3 Bimbingan Sosial ... 99

4.3.4 Bimbingan Fisik ... 102

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 104

5.2 Saran ... 105 Daftar Pustaka

(9)

Tabel 4.4 Komposisi Pegawai Berdasarkan Jenis Usia ... 78 Tabel 4.5 Komposisi Pegawai Berdasarkan Jenis Status ... 78 Tabel 4.6 Data Gelandangan dan Pengemis yang Masuk dan Keluar ... 79 Tabel 4.7 Data Gelandangan dan Pengemis yang Mengikuti Bimbingan

Ketrampilan ... 80 Tabel 4.8 Data Gelandangan dan Pengemis yang Mengikuti Bimbingan

Agama ... 80 Tabel 4.9 Data Gelandangan dan Pengemis yang Mengikuti Bimbingan

Sosial ... 81 Tabel 4.10 Data Gelandangan dan Pengemis yang Mengikuti Bimbingan

(10)

Gambar 4.4 Struktur Organisasi Liponsos ... 75

Gambar 4.5 Pelatihan Penjahitan di Liponsos ... 85

Gambar 4.6 Pendekatan Konseling di Liponsos ... 89

(11)

Gelandangan dan Pengemis merupakan dua istilah yang digunakan untuk menunjuk seseorang yang hidupnya menggelandang, meminta minta tanpa memiliki tempat tinggal secara tetap. Gelandangan dan Pengemis boleh dikatakan bagaikan dua keping mata uang yang tidak terlalu jauh dalam hal perbedaan, karena keduanya secara fungsional bisa terjadi dalam saat yang bersamaan. Gelandangan bisa sekaligus menjadi pengemis, demikian pula pengemis bisa menjadi gelandangan. Gelandangan dan pengemis hidupnya dengan mengharap belas kasihan dari orang lain dengan cara mengemis atau mengamen. Gelandangan dan pengemis hidup dan mempunyai tempat tinggal di kolong jembatan, stasiun kereta api dan membangun gubuk liar di tepi sungai yang menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga menimbulkan masalah kesehatan dan keamanan lingkungan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan tentang Pemberdayaan gelandangan dan pengemis di Kabupaten Sidoarjo (Studi kasus di UPTD Liponsos Sidokare)

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Fokus penelitian adalah Bimbingan keterampilan, bimbingan agama, bimbingan sosial, dan bimbingan fisik. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara. Analisa data dalam Penelitian ini dengan menggunakan model interaktif.

Dari hasil penelitian dan pembahasan menghasilkan kesimpulan yaitu pemberdayaan gelandangan dan pengemis di kabupaten sidoarjo (studi kasus di UPTD Liponsos Sidokare) melalui bimbingan keterampilan, bimbingan agama, bimbingan sosial dan bimbingan fisik yang mampu meningkatkan kesejahteraan gelandangan dan pengemis beserta keluarganya setelah keluar.

(12)

1.1 Latar Belakang

Pembangunan nasional adalah upaya untuk meningkatkan seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang sekaligus merupakan proses pengembangan keseluruhan sistem penyelenggaraan negara untuk mewujudkan

Tujuan Nasional. Dalam pengertian lain, pembangunan nasional dapat diartikan merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan dan meliputi

seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan Tujuan Nasional.

Pembangunan nasional dilaksanakan untuk mewujudkan Tujuan Nasional seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV, yaitu melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial serta mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam alinea II Pembukaan UUD 1945.

Seperti kita ketahui bahwa pada UUD 1945 Pasal 34 ayat 1 berisi mengenai Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Hal ini berarti fakir

miskin,dan anak terlantar tersebut menjadi tanggung jawab negara yang dilaksanakan oleh pemerintah. untuk masa depan mereka. Fakir adalah orang yang

(13)

mempunyai sanak saudara. Miskin adalah orang yang mempunyai penghasilan, namun tidak dapat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi, fakir

miskin ini perlu perhatian khusus, terutama bagi pemerintah dalam menjalankan tugasnya yang sesuai Pasal 34 ayat 1.

Berbicara tentang kemiskinan, saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang (11,96 persen), berkurang 0,89 juta

orang (0,53 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen). Selama periode Maret 2011-Maret 2012,

penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang sekitar 399,5 ribu orang (dari 11,05 juta orang pada Maret 2011 menjadi 10,65 juta orang pada Maret 2012), sementara di daerah perdesaan berkurang 487 ribu orang (dari 18,97 juta orang

pada Maret 2011 menjadi 18,48 juta orang pada Maret 2012). Sedangkan persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2011 sebesar 9,23

persen, menurun menjadi 8,78 persen pada Maret 2012. Begitu juga dengan penduduk miskin di daerah perdesaan, yaitu dari 15,72 persen pada Maret 2011 menjadi 15,12 persen pada Maret 2012. (http://www.bps.go.id)

Angka kemiskinan di Jawa Timur masih relatif tinggi di indonesia. Sampai

periode semester akhir tahun 2011 angka kemiskinan di Jawa Timur mencapai 14,23 persen atau sebesar 5.356.210 dari jumlah penduduk Jawa Timur yang

(14)

Penyebab masih tingginya angka kemiskinan di Jawa Timur, di antaranya kurangnya sinergi program pengentasan kemiskinan antar level pemerintahan

(pusat, provinsi, kab/kota), kultur masyarakat, rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan serta kendala geografis, serta masih terbatasnya infrastruktur ekonomi dan sosial di

pedesaan. Oleh karena itu, permasalahan kemiskinan harus menjadi prioritas yang utama dalam kebijakan pembangunan dan juga merupakan tantangan utama

pembangunan Jatim dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. (http://www.koranmadura.com/2013/02/15).

Kabupaten sidoarjo merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang memiliki angka kemiskinan besar. Upaya Pemerintah Kabupaten Sidoarjo untuk

menurunkan angka kemiskinan di wilayahnya semakin berat saja. Pasalnya, jumlah penduduk miskin di kabupaten Delta kini bertambah menjadi 121 ribu

kepala keluarga per Nopember 2012, atau naik sekitar 20 persen dari jumlah penduduk miskin pada tahun 2010-2011 sebanyak 99 ribu kepala keluarga. naiknya jumlah penduduk miskin itu, lebih disebabkan karena banyaknya

masyarakat urban dari luar daerah yang masuk dan menetap di Sidoarjo. Pada tahun 2008, jumlah penduduk Sidoarjo masih sekitar 1,7 juta, namun empat tahun

kemudian atau pada tahun 2012 ini, jumlah penduduk Sidoarjo naik sekitar 600 ribu atau sejumlah 2,3 juta jiwa sehingga menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang penting, di berbagai sudut kota pun setiap hari banyak ditemui

(15)

Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak

mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai

cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980).

Gelandangan dan Pengemis merupakan dua istilah yang digunakan untuk menunjuk seseorang yang hidupnya menggelandang, meminta minta tanpa memiliki tempat tinggal secara tetap. Gelandangan dan Pengemis boleh dikatakan

bagaikan dua keping mata uang yang tidak terlalu jauh dalam hal perbedaan, karena keduanya secara fungsional bisa terjadi dalam saat yang bersamaan.

Gelandangan bisa sekaligus menjadi pengemis, demikian pula pengemis bisa menjadi gelandangan. Gelandangan dan pengemis hidupnya dengan mengharap belas kasihan dari orang lain dengan cara mengemis atau mengamen.

Gelandangan dan pengemis hidup dan mempunyai tempat tinggal di kolong jembatan, stasiun kereta api dan membangun gubuk liar di tepi sungai yang

menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga menimbulkan masalah kesehatan dan keamanan lingkungan masyarakat.

Keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) di kabupaten Sidoarjo saat

ini semakin banyak dan sulit diatur, berdasarkan rekapitulasi data gelandangan dan pengemis di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Sidokare pada bulan

(16)

perempuan. Mereka dapat ditemui diberbagai pertigaan, perempatan, lampu merah dan tempat umum, bahkan di kawasan pemukiman, sebagian besar dari mereka

menjadikan mengemis sebagai profesi. Hal ini tentu sangat mengganggu pemandangan dan meresahkan masyarakat. Penyebab dari semua itu antara lain adalah jumlah pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan lapangan

pekerjaan yang memadai dan kesempatan kerja yang tidak selalu sama. Disamping itu menyempitnya lahan pertanian di desa karena banyak digunakan

untuk pembangunan pemukiman dan perusahaan atau pabrik. Keadaan ini mendorong penduduk desa untuk berurbanisasi dengan maksud untuk merubah nasib, tapi sayangnya, mereka tidak membekali diri dengan pendidikan dan

keterampilan yang memadai. Sehingga keadaan ini akan menambah tenaga yang tidak produktif dikota. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka

bekerja apa saja asalkan mendapatkan uang termasuk meminta-minta (mengemis). Demi untuk menekan biaya pengeluaran, mereka memanfaatkan kolong jembatan, stasiun kereta api, emperan toko, pemukiman kumuh dan lain sebagainya untuk

beristirahat, mereka tinggal tanpa memperdulikan norma sosial. Hidup bergelandangan tidak memungkinkan orang hidup berkeluarga, tidak memiliki

kebebasan pribadi, tidak memberi perlindungan terhadap hawa panas ataupun hujan dan hawa dingin, hidup bergelandangan akan dianggap hidup yang paling hina diperkotaan. Keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) di perkotaan

sangat meresahkan masyarakat, selain mengganggu aktifitas masyarakat di jalan raya, mereka juga merusak keindahan kota. Dan tidak sedikit kasus kriminal yang

(17)

sebab itulah, apabila masalah gelandangan dan pengemis tidak segera mendapatkan penanganan, maka dampaknya akan merugikan diri sendiri,

keluarga, masyarakat serta lingkungan sekitarnya. (http://kabarsidoarjo.com) Dengan beberapa uraian-uraian dan fenomena-fenomena yang terjadi akan membuat permasalahan yang tersendiri dan permasalahan tersebut adalah dengan

banyaknya gelandangan dan pengemis terutama di perempatan jalan dapat menimbulkan kemacetan bahkan dapat menimbulkan kecelakaan apabila

gelandangan dan pengemis itu tidak berhati-hati. Dan untuk lingkungan yang seharusnya bersih dari gelandangan dan pengemis seperti kawasan pusat-pusat kota justru pada tempat-tempat tersebut menjadi ladang pencaharian bagi mereka

karena tempat-tempat tersebut cukup strategis karena banyak orang dan kendaraan berlalu lalang. Permasalahan gelandangan dan pengemis ini pun juga membuat

masalah dalam penataan kota maupun kabupaten, ini terlihat dengan adanya gubuk-gubuk liar pada lahan kosong yang seharusnya tempat tersebut dijadikan sebagai tempat sarana umum atau dijadikan tempat yang bermanfaat apabila

mereka mau dipindahkan atau direlokasi ke tempat lain dan terkadang mereka tidak mau pindah dan terkadang mereka lebih memilih tempat tersebut karena

tempat tersebut lebih strategis walaupun tanah tersebut merupakan tanah milik pemerintah.

Untuk mengatasi masalah gelandangan dan pengemis (gepeng) di sidoarjo, pemerintah kabupaten sidoarjo mengirimkan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)

(18)

bertujuan untuk membersihkan kota dari gelandangan dan pengemis, serta berupaya untuk memberikan penyadaran kepada mereka. Dan salah satu usaha

yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo adalah dengan memberikan pemberdayaan bagi gelandangan dan pengemis. Tugas pemberdayaan ini menjadi wewenang dari Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Sidokare, dalam Peraturan

Bupati Sidoarjo Nomor 38 Tahun 2011 telah ditegaskan bahwa Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Sidokare mempunyai tugas yaitu :

a. Menyusun program kegiatan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) b. Pelaksanaan regristrasi, akomodasi, dan identifikasi pelayanan

c. Pelaksanaan penentuan diagnosa kecacatan mental dan sosial serta perawatan kesehatan

d. Pelaksanaan pengembangan kecerdasan mental dan sosial

e. Pelaksanaan latihan keterampilan kerja dasar kejuruan dan bina usaha f. Pelaksanaan usaha-usaha penyaluran dan penempatan kembali ke keluarga

g. Pelaksanaan pembinaan lanjutan dan perlindungan sosial h. Pelaksanaan tata usaha Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) i. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas

j. Pelaksanaan tugas – tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai dengan tugas dan fungsinya

(19)

pengemis. Program pembinaan gelandangan dan pengemis merupakan salah satu program yang dilakukan oleh Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Sidokare.

Untuk pembinaan yang pertama, gelandangan dan pengemis tersebut mendapat bimbingan sosial melalui bimbingan mental berupa ceramah agama dan ceramah sosial. Bimbingan Sosial ini dilakukan untuk memberikan suatu bimbingan dan

pengarahan kepada para gelandangan dan pengemis tentang ajaran nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam agama dan masyarakat agar mereka dapat

menjalankan kehidupannya dengan baik. Setelah para gelandangan dan pengemis mendapatkan bimbingan sosial melalui ceramah agama dan ceramah sosial, mereka mendapatkan pembinaan ketrampilan kerja, yang sesuai dengan bakat dan

kemampuan mereka.

Hal ini dilakukan agar para gelandangan dan pengemis mempunyai bekal

ketrampilan yang nantinya dapat digunakan untuk mencari kerja atau usaha baru sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Dalam pemberian ketrampilan

tersebut Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Sidokare bertindak sebagai mediator dengan maksud agar para gelandangan dan pengemis mendapatkan tenaga ahli yang sesuai dengan bidangnya masing-masing. Setelah para

gelandangan dan pengemis diberikan pembinaan sosial dan pembinaan ketrampilan maka Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Sidokare memberikan

bantuan langsung berupa Bantuan ekonomi produktif dimana bantuan tersebut sesuai dengan pelatihan ketrampilan yang mereka miliki, misalnya ketrampilan menjahit mereka dibantu dengan disediakannya alat penjahitan, keterampilan

(20)

mengevaluasi terhadap pelatihan dan pembinaan dari berbagai kegiatan yang diikuti oleh gelandangan dan pengemis, dilakukan program pengawasan dan

evaluasi sehingga mereka mengatahui sejauh mana kegiatan tersebut dapat diserap sehingga nantinya mereka dapat berpartisipasi dalam pembangunan kesejahteraan sosial dan juga pemberian keterampilan dan pembinaan ini bertujuan agar

gelandangan dan pengemis dapat mewujudkan kesejahteraan sosial bagi gelandangan dan pengemis itu sendiri maupun bagi keluarganya serta

terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan serta menciptakan kemandirian bagi gelandangan dan pengemis.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, peneliti ingin membahas mengenai pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui pelatihan dan pembinaan yang dilakukan oleh Liponsos Sidokare Kabupaten Sidoarjo. Sehingga

dapat ditentukan judul penelitian yaitu ”Pemberdayaan Gelandangan dan

Pengemis di Kabupaten Sidoar jo (Studi kasus di UPTD Liponsos Sidokare)”.

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka

dapat dirumuskan perumusan masalah penelitian ini sebagai berikut :

“Bagaimana Pemberdayaan bagi Gelandangan dan pengemis di Kabupaten

(21)

1.3 Tujuan

Untuk mendeskripsikan Pemberdayaan bagi Gelandangan dan Pengemis di

Kabupaten Sidoarjo (Studi kasus di UPTD Liponsos Sidokare) 1.4 Manfaat

a. Bagi mahasiswa

Dapat menambah pengetahuan dalam menganalisa suatu masalah dengan menerapkan teori yang telah diperoleh dengan literatur serta

membandingkan keadaan nyata di lapangan b. Bagi Instansi

Hasil ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan

dalam mengatasi masalah yang terjadi dan juga untuk membantu memberikan pemahaman lebih kepada Lingkungan Pondok Sosial

(Liponsos) Sidokare dalam memberikan pemberdayaan gelandangan dan pengemis di Kabupaten Sidoarjo.

c. Bagi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Untuk menambah referensi yang dapat berguna bagi penelitian serta menambah wawasan baru bagi mahasiswa FISIP di masa yang akan

(22)

2.1 Penelitan Terdahulu

Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak lain yang dapat

dipakai sebagai bahan masukan serta bahan pengkajian yang terkait dengan penelitian ini, yaitu :

1. Taufik, Mahdi Syahbandir, M Saleh Syafei, Magister Ilmu Hukum

Pascasarjana Universyitas Syiah Kuala Banda Aceh. Staff Pengajar Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala.

Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang menyatakan

bahwa Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen menetapkan norma, standar prosedur, urusan wajib dan urusan pilihan

pelaksanaan. Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut Kementerian Sosial telah menetapkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 129 tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial

Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, Pelaksanaan Bidang Sosial, Penyediaan Sarana, Prasarana Sosial serta Pengembangan

Jaminan Sosial. Masalah pokok pada penelitian ini adalah (1) Apakah tugas dan fungsi Pemerintah Kabupaten Bireuen sudah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan? (2) Faktor-faktor

(23)

kabupaten Bireuen? (3) Apa upayadan kendala yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bireuen terhadap penanggulangan gelandangan

dan pengemis. Penelitian dan pengkajian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis tugas dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Bireuen, sudah sesuai peraturan perundang-undangan.

Menjelaskan dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan adanya gelandangan dan pengemis di Kabupaten Bireuen sudah

dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menjelaskan dan menganalisis upaya dan kendala yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bireuen terhadap penanggulangan gelandangan

dan pengemis. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris. Sumber data utama adalah data skunder yang ditunjang oleh data

primer. Data skunder diperoleh dari buku-buku, majalah, jurnal, serta tulisan-tulisan yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab pemerintah. Sedangkan data primer diperoleh melalui wawancara

dengan pihak terkait. Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif guna menarik kesimpulan atas pokok permasalahan yang

diajukan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama tanggung jawab pemerintah Kabupaten Bireuen terhadap penanggulangan gelandangan dan pengemis belum sesuai dengan Qanun Kabupaten

Bireuen Nomor 7 Tahun 2010 Tentang perubahan atas Qanun Kabupaten Bireuen Nomor 2 Tahun 2010 Tentang susunan organisasi

(24)

adanya gelandangan dan pengemis di Kabupaten Bireuen disebabkan oleh faktor kurangnya perhatian pemerintah Kabupaten Bireuen

terhadap pemberdayaan gelandangan dan pengemis. Ketiga upaya-upaya yang telah dilakukan adalah pemberian dana langsung oleh pemerintah Kabupaten Bireuen kepada masyarakat miskin atau

pengemis untuk kebutuhan pokok dan kendala yang dihadapi terhadap penanggulangan gelandangan dan pengemis tidak adanya anggaran

yang tersedia dan tidak adanya koordinasi antara dinas/badan terkait dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis. Disarankan kepada Bupati Bireuen untuk melaskanakan tugas dan tanggung jawabnya

secara optimal yakni dengan melakukan perencanaan bidang sosial, pendataan jumlah gelandangan dan pengemis, pembinaan dan

pendidikan serta pemberian modal usaha. Disarankan kepada Bupati Bireuen juga untuk menemukan faktor-faktor yang menyebabkan adanya gelandangan dan pengemis di wilayah Kabupaten Bireuen, dan

upaya yang perlu dilakukan ke depan adalah peningkatan sumber daya manusia (SDM), berupa ketrampilan, penyiapan modal usaha,

(25)

2. SIGIT, BAYU LEKSONO (2011) PERAN DINAS SOSIAL DAN

TENAGA KERJA KABUPATEN SIDOARJO DALAM

PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN (Studi Pada Anak Jalanan Di Kecamatan Sidoarjo). Undergraduate thesis, UPN "Veteran" Jatim.

Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, Indonesia

juga memiliki sejumlah permasalahan baik sosial maupun ekonomi yang akan terus menerus mengikuti laju pembangunan dan

pertumbuhan. Salah satu fenomena sosial yang terjadi saat ini yaitu munculnya anak-anak jalanan. Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu kabupaten yang ada di Jawa Timur. Keberadaan anak jalanan di

beberapa titik yang ada di Sidoarjo, hal ini seringkali memicu stigma negatif dari masyarakat, selain itu juga banyak masyarakat yang

menggambarkan mereka dekat dengan dunia miras, narkoba bahkan sex bebas. Melihat hal tersebut, sebaiknya perlu adanya penanganannya dari pemerintah yang dipusatkan pada titik tersebut,

agar kawasan tersebut terbebas dari kesan yang tak sedap. Akan tetapi pada kenyataan peran pemerintah dalam penanganan anak jalanan

dapat dikatakan sangat lamban dan masih kurang maksimal. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang peran Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam pemberdayaan anak jalanan di Kecamatan

Sidoarjo. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif, sedangkan sumber data diperoleh dengan

(26)

ini adalah Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam pemberdayaan anak jalanan di Kabupaten Sidoarjo dan juga para anak-anak jalanan.

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah anak jalanan yang tertangkap pada saat operasi penertiban yang telah dilakukan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sidoarjo

dan secara bersama-sama oleh pihak Satpol PP, Kepolisian, dan Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sidoarjo mayoritas berasal dari

Sidoarjo yaitu sebanyak 14 orang atau sebesar 82,35%. Setelah di lakukan registrasi. Untuk anak jalanan yang berasal dari Kabupaten Sidoarjo di tangani langsung oleh Dinas Kesejahteraan Sosial

Kabupaten Sidoarjo, dan diberikan pembinaan sosial melalui bimbingan sosial dan pembinaan ketrampilan kerja, sesuai dengan

bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh anak jalanan. Selain itu pengawasan juga dilakukan terhadap anak jalanan yang ditampung dalam pembinaan Dinas Sosial dan melakukan evaluasi terhadap

pelatihan dan pembinaan dari berbagai kegiatan yang diikuti oleh anak-anak jalanan, sehingga nantinya mereka dapat berpartisipasi

dalam pembangunan kesejahteraan sosial.

3. MOTIVASI NON-EKONOMI PENGEMIS DI KOTA

YOGYAKARTA, Arie Kusuma Paksi, Nugroho Budi N., Nugroho

(27)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motivasi non-ekonomi pengemis di Kota Yogyakarta khususnya di Masjid Gede

yang berada di Kauman dan Masjid Syuhada yang berada di Kotabaru sehingga dapat menjadi masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya mereka yang tertarik untuk meneliti permasalahan sosial seperti

pengemis. Penelitian ini juga diharapkan menjadi salah satu masukan bagi aparatur terkait dalam upaya pengentasan permasalahan pengemis

yang biasanya sangat mudah dijumpai di kota-kota besar. Artinya, kebijakan yang selama ini hanya bersandar pada permasalahan ekonomi saja tidaklah cukup untuk menjadi faktor penentu

pengentasan permasalahan tersebut. Pada perkembangannya hingga saat ini, permasalahan pengemis juga muncul akibat motivasi

non-ekonomi. Penelitian ini menggunakan analisa kebijakan sebagai cara atau prosedur untuk menghasilkan informasi mengenai masalah-masalah kemasyarakatan berikut pemecahannya. Sedangkan perolehan

datanya menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi langsung (natural observation)

dan wawancara mendalam (indepth review). Sedang data sekundernya diperoleh dengan cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa buku-buku, jurnal dan majalah yang berisi

tentang pendapat, teori, dalil/hukum dan lain-lain. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif, yaitu analisis yang

(28)

(2) sajian data (data display), dan (3) penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing). Dari hasil perolehan data dilapangan,

peneliti berhasil membuat profil masing-masing pengemis (baik Masjid Gede maupun Syuhada ) beserta karakteristiknya dalam mengemis. Secara keseluruhan hampir dipastikan bahwa pengemis

tersebut adalah orang-orang yang mampu secara ekonomi. Selain dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (misalnya makan tiga kali

sehari), pengemis tersebut juga memiliki fasilitas-fasiltas tertentu yang terdapat dirumah mereka masing-masing seperti TV, Radio dan peralatan elektronik yang lain. Bahkan banyak diantara mereka juga

memiliki tabungan di bank-bank swasta. Motivasi non-ekonomi yang berhasil ditemukan dibagi menjadi tiga faktor. Pertama, budaya,

dimana pada diri pengemis tersebut sudah tertanam mental-mental pengemis. Artinya ada keengganan (malas) pada diri mereka untuk mencari pekerjaan yang lain. Apalagi pekerjaan mengemis

mengiming-iming penghasilan yang besar dengan tenaga yang tidak begitu besar. Akhirnya mengemis dijadikan sebuah profesi. Kedua,

agama, dimana dalam agama Islam diwajibkan bagi seorang yang mampu untuk memberikan sebagian harta miliknya kepada orang-orang yang kurang mampu (miskin). Hal tersebut menjadi faktor

eksternal yang menyebabkan munculnya para pengemis. Sementara disisi yang lain, ada faktor internal dari pengemis itu sendiri yang

(29)

banyak fenomena pengemis muncul ditempat peribadatan seperti yang terdapat di Masjid Gede Kauman dan Masjid Syuhada . Ketiga, sosial,

dalam kategori ini, penyebab munculnya pengemis dibagi lagi menjadi dua hal yaitu, lingkungan sosial dan keluarga. Lingkungan sosial memiliki pengaruh dalam hal munculnya fenomena pengemis karena

secara tidak langsung suatu komunitas tertentu seperti pengemis ini telah mempengaruhi sebagian orang yang berada disekitarnya untuk

mengemis. Hal itu terjadi karena didorong oleh pendapatan tertentu dan kemudian dia coba-coba ikut dalam kelompok pengemis tersebut dan lama kelamaan menyukai pekerjaan ini. Uniknya, keluarga juga

menjadi faktor penentu dalam kemunculan fenomena pengemis. Ada beberapa pengemis yang melakukan pekerjaan tersebut karena

memiliki permasalahan pribadi di rumahnya. Karena merasa tidak tahan lagi merasa dirumah akhirnya mereka jarang pulang kerumah atau nekat untuk meninggalkan kediamannya tersebut. Karena

keterbatasan tenaga yang dimiliki akhirnya mereka menjadi pengemis. Dari temuan-temuan dilapangan tersebut, peneliti dapat mengambil

(30)

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Kesejahteraan Sosial

2.2.1.1Pengertian Kesejahteraan Sosial

Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, baik kita suka atau tidak, hampir semua yang kita lakukan dalam kehidupan kita

berkaitan dengan orang lain (Jones,2009). Kondisi sejahtera (well-being) biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial sebagai

kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non material. Menurut Midgley (2000: XI) mendefinisikan kesejateraan sosial sebagai “..a condition or state of human well being.” Kondisi sejahtera terjadi

manakala kehidupan manusiaaman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan

pendapatan dapat terpenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. Agar dapat memahami lebih dalam apa yang dimaksud

dengan kesejahteraan sosial berikut definisi kesejahteraan sosial menurut para ahli.

Menurut definisinya kesejahteraan sosial dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan, kesejahteraan sosial sebagai suatu kegiatan atau pelayanan dan

kesejahteraan sosial sebagai ilmu (Suud, 2006). Menurut Suharto (2006: 3) kesejahteraan sosial juga termasuk sebagai suatu proses

(31)

lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas melalui pemberian pelayanan sosial dan

tunjangan sosial. Kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan adalah sebagai berikut dibawah ini.

Menurut Suparlan dalam Suud (2006: 5), kesejahteraan sosial,

menandakan keadaan sejahterah pada umumnya, yang meliputi keadaan jasmaniah, rohaniah, dan sosial dan bukan hanya perbaikan

dan pemberantasan keburukan sosial tertentu saja; jadi merupakan suatu keadaan dan kegiatan.

Menurut Segel dan Bruzy (1998:8), “Kesejahteraan sosial

adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat.Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas

hidup rakyat”.Sedangkan menurut Midgley (1995:14) Kondisi kesejahteraan sosial diciptakan atas kompromi tiga elemen. Pertama, sejauh mana masalah-masalah sosial ini diatur, kedua sejauh mana

kebutuhan-kebutuhan dipenuhi, ketiga sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat disediakan

Kesejahteraan sosial menurut Friendlander dalam Suud (2006: 8) merupakan system yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan danlembaga-lembaga sosial, yang dimaksudkan untuk membantu

individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai tingkat hidup dan kesehatan yang memuaskan dan hubungan-hubungan

(32)

memperkembangkan seluruh kemampuannya dan untuk meningkatkan kesejahteraannya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan

keluarga dan masyarakatnya.

Menurut Segal dan Brzuzy, yang dikutip dalam suud (2006: 5) kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu

masyarakat.Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat.

Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingat kehidupan, pemenuhan kebutuhan pokok, kualitas hidup dan pembangunan manusia (Sen, 2008: 8).Yang paling berhubungan

dengan system kesejahteraan sosial bagi para homeless ini adalah seikatsu hogo.pemerintah memberikan perlindungan hidup (seikatsu

hogo) kepada masayarakat Jepang dan tidak boleh ada diskriminasi, dan orang yang hidup miskin dapat menuntut pertolongan bantuan dari pemerintah (Kennett dan Iwata, 2003: 63).

Menurut Okumara dalam Takehara (2005: 114) menjabarkan bahwa ada tujuh karakteristik di dalam kesejahteraan sosial yaitu :

1. Tuntutan ekonomi yang stabil 2. Tuntutan pekerjaan yang layak 3. Tuntutan keluarga yang stabil

4. Tuntutan jaminan kesehatan 5. Tuntutan jaminan pendidikan

(33)

7. Tuntutan kesempatan budaya atau rekreasi

2.2.2 Kebijakan Sosial

2.2.2.1Pengertian Kebijakan Sosial

Dalam arti spesifik atau sempit, kata sosial menyangkut sector kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari

pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang

dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung (disadvantaged group) dan kelompok rentan (vulnerable group).Kata sosial disini menyangkut program-program dan atau pelayanan-pelayanan sosial

untuk mengatasi masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, ketidakberfungsian fisik dan psikis, tuna sosial dan tuna

susila, kenakalan remaja dan lain sebagainya.Sementara kebijakan sosial diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian spesifik, yakni yang menyangkut bidang

kesejahteraan sosial.Pengertian sosial seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagaimana dikemukakan oleh

Conyer. Menurut Conyer, perencanaan sosial adalah perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial dalam berbagai hal (Suharto, 2005) dalam buku (Studi Kebijakan

Pemerintah ;2012 :182).

Kemudian dari pada itu, maka Huttman (1981) dan Gilbert dan

(34)

kebijakan sosial sebagai proses, sebagai produk dan sebagai kinerja atau capaian.

Pertama, Sebagai suatu proses, kebijakan sosial menunjuk pada perumusan kebijakan dalam kaitannya dengan variabel-variabel sosial-politik dan teknik metodologi. Kebijakan sosial merupakan

suatu tahapan untuk membuat sebuah rencana tindak (plan of action) yang dimulai dari pengidentifikasian kebutuhan (assessing need),

penetapan alternatif-alternatif tindakan, penyeleksian strategi-strategi kebijakan.

Kedua, kebijakan sosial sebagai produk, kebijakan sosial

adalah hasil dari proses perumusan kebijakan atau perencanaan sosial, yaitu mencakup segala bentuk peraturan perundang-undangan atau

proposal program yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan berbagai kegiatan atau proyek.

Ketiga, kebijakan sosial sebagai suatu kinerja (performance),

kebijakan sosial merupakan deskripsi atau evaluasi terhadap hasil pengimplementasian produk kebijakan sosial atau pencapaian tujuan

suatu rencana pembangunan. Kebijakan sosial dalam pengertian ini, menyangkut kegiatan analisa untuk melihat dampak atau pengaruh yang terjadi pada masyarakat, baik yang bersifat positif maupun

(35)

diistilahkan dengan analisa kebijakan sosial (Dunn, 1981 ; Quide, 1982).

2.2.3 Pemberdayaan

2.2.3.1Pengertian Pemberdayaan

Menurut Ife dan Tesoriero (2008 : 510), “pemberdayaan

berarti menyediakan sumber daya, kesempatan, kosa kata, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan

masyarakat untuk menentukan masa depan mereka sendiri dan untuk berpartisipasi serta mempengaruhi kehidupan masyarakatnya”. Dari definisi ini terlihat jelas bahwa pemberdayaan bukan sekedar

menolong orang miskin agar menjadi tidak miskin. Pengertian pemberdayaan menurut Ife dan Tesoriero lebih diarahkan kepada

peningkatan kemampuan masyarakat untuk mandiri, dapat mengendalikan masa depannya dan bahkan dapat mempengaruhi orang lain.

Senada dengan Ife dan Tesoriero, Sardlow dalam Adi (2008) mengatakan bahwa “pada intinya pengertian pemberdayaan

membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka”. Adi

(2008 : 78 – 79) mengatakan bahwa “tujuan dan target pemberdayaan bisa saja berbeda, misalnya di bidang ekonomi, pendidikan atau

(36)

sehingga pemberdayaan di suatu bidang bisa berbeda dengan bidang lainnya.

Payne (1997 : 266) mengemukakan bahwa pemberdayaan (empowerment) pada dasarnya ditujukan untuk :

“To help clients gain power of decision and action over their

own lives by reducing the effect of social or personal blocks to

exercising exiting power, by increasing capacity and self confidence

to use power and by transferring power from the environment to

clients.”

Pengertian pemberdayaan menurut Payne menunjukkan bahwa

agar seseorang bisa berdaya perlu ada pembagian atau pemberian kekuatan dari lingkungannya. Pembagian kekuatan atau pemberian

kemampuan ini bisa diartikan sebagai saling membagi kekuatan (power sharing) dari seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain yang tidak berdaya sehingga mereka mempunyai kemampuan

yang setara. Dalam perspektif pekerjaan sosial, pengertian pemberdayaan ini dapat diartikan sebagai peningkatan kemampuan

dan rasa percaya diri seseorang agar ia dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara wajar tanpa dihalangi oleh kesenjangan terhadap lingkungannya.

Suharto (2006 : 58) mengatakan bahwa pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan

(37)

a. Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom)

b. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan, dan

c. Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Konsep empowerment pada dasarnya adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara,

regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi dan lain-lain. memberdayakan masyarakat menurut kartasasmita (1996 :

144) adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.

Gagasan pembangunan yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat perlu untuk dipahami sebagai suatu proses transformasi

dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat. perubahan struktur yang sangat diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan dan harus dapat

dinikmati bersama. begitu pula sebaliknya, yang menikmati haruslah yang menghasilkan. proses ini diarahkan agar setiap upaya

(38)

(capacity building) melalui penciptaan akumulasi modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan, yang mana pada gilirannya

nanti dapat pula menciptakan pendapatan yang akhirnya dinikmati oleh seluruh rakyat. dan proses transpormasi ini harus dapat digerakan sendiri oleh masyarakat.

Menurut sumodiningrat (1999 : 134), mengatakan bahwa kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat secara umum dapat dipilah

dalam tiga kelompok yaitu:

1. kebijaksanaan yang secara tidak langsung mengarah pada

sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat.

2. kedua, kebijaksanaan yang secara langsung mengarah pada

peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran.

3. ketiga, kebijaksanaan khusus yang menjangkau masyarakat

miskin melalui upaya khusus.

Pemberdayaan merupakan suatu upaya yang harus diikuti dengan tetap memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh setiap

masyarakat. dalam rangka itu pula diperlukan langkah-langkah yang lebih positif selain dari menciptakan iklim dan suasana. perkuatan ini

meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta membuka akses kepada berbagai peluang (upportunities) yang nantinya dapat membuat masyarakat menjadi

(39)

2.2.3.2Pr oses Pemberdayaan Masyarakat

Menurut Suharto (2006:59) pemberdayaan adalah sebuah

proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian

kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok

lemah dalam masyarakat, terutama individu-individu yang mengalami

kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada

keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial;

yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai

pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya

baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki

kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata

pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam

melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan

sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator sebuah

keberhasilan pemberdayaan.

Proses pemberdayaan dapat dilakukan secara individual

maupun kolektif (kelompok). Proses ini merupakan wujud perubahan

sosial yang menyangkut relasi atau hubungan antara lapisan sosial

yang dicirikan dengan adanya polarisasi ekonomi, maka kemampuan

individu “senasib” untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok

cenderung dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif

(Friedman, 1993). Hal tersebut dapat dicapai melalui proses dialog

(40)

dalam kelompok belajar untuk mendeskripsikan suatu situasi,

mengekspresikan opini dan emosi mereka atau dengan kata lain

mereka belajar untuk mendefinisikan masalah, menganalisis,

kemudian mencari solusinya.

Menurut United Nations (1956:83-92 dalam Tampubolon,

2006), proses-proses pemberdayaan masyarakat adalah sebagai

berikut:

1) Getting to know the local community; Mengetahui karakteristik

masyarakat setempat (lokal) yang akan diberdayakan, termasuk

perbedaan karakteristik yang membedakan masyarakat desa

yang satu dengan yang lainnya. Mengetahui artinya untuk

memberdayakan masyarakat diperlukan hubungan timbal balik

antara petugas dengan masyarakat.

2) Gathering knowledge about the local community;

Mengumpulkan pengetahuan yang menyangkut informasi

mengenai masyarakat setempat. Pengetahuan tersebut

merupakan informasi faktual tentang distribusi penduduk

menurut umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan,

status sosial ekonomi, termasuk pengetahuan tentang nilai,

sikap, ritual dan custom, jenis pengelompokan, serta faktor

kepemimpinan baik formal maupun informal.

3) Identifying the local leaders; Segala usaha pemberdayaan

(41)

dari pimpinan atau tokoh-tokoh masyarakat setempat. Untuk itu,

faktor "the local leaders" harus selau diperhitungkan karena

mereka mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat.

4) Stimulating the community to realize that it has problems; Di

dalam masyarakat yang terikat terhadap adat kebiasaan, sadar

atau tidak sadar mereka tidak merasakan bahwa mereka punya

masalah yang perlu dipecahkan. Karena itu, masyarakat perlu

pendekatan persuasif agar mereka sadar bahwa mereka punya

masalah yang perlu dipecahkan, dan kebutuhan yang perlu

dipenuhi.

5) Helping people to discuss their problem; Memberdayakan

masyarakat bermakna merangsang masyarakat untuk

mendiskusikan masalahnya serta merumuskan pemecahannya

dalam suasana kebersamaan.

6) Helping people to identify their most pressing problems;

Masyarakat perlu diberdayakan agar mampu mengidentifikasi

permasalahan yang paling menekan. Dan masalah yang paling

menekan inilah yang harus diutamakan pemecahannya.

7) Fostering self-confidence; Tujuan utama pemberdayaan

masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat.

Rasa percaya diri merupakan modal utama masyarakat untuk

(42)

8) Deciding on a program action; Masyarakat perlu diberdayakan

untuk menetapkan suatu program yang akan dilakukan. Program

action tersebut perlu ditetapkan menurut skala prioritas, yaitu

rendah, sedang, dan tinggi. Tentunya program dengan skala

prioritas tinggilah yang perlu didahulukan pelaksanaannya.

9) Recognition of strengths and resources; Memberdayakan

masyarakat berarti membuat masyarakat tahu dan mengerti

bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber

yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan permasalahan dan

memenuhi kebutuhannya.

10) Helping people to continue to work on solving their problems;

Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang

berkesinambungan. Karena itu, masyarakat perlu diberdayakan

agar mampu bekerja memecahkan masalahnya secara

berkelanjutan.

11) Increasing people ability for self-help; Salah satu tujuan

pemberdayaan masyarakat adalah tumbuhnya kemandirian

masyarakat. Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang

sudah mampu menolong diri sendiri. Untuk itu, perlu selalu

ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk berswadaya.

Menurut Oakley dan Marsden, 1984, proses pemberdayaan

(43)

1. proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses

memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan

atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih

berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya

membangun asset material guna mendukung kemandirian

mereka melalui organisasi.

2. Kecendrungan kedua atau kecendrungan sekunder menekankan

pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu

agar mempunyai kemampuan dan atau keberdayaan untuk

menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses

dialog.

2.2.3.3Upaya-upaya Pemberdayaan

Menurut Kartasasmita (1995:19), upaya memberdayakan

masyarakat harus dilakukan melalui tiga cara:

1. Menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat

untuk berkembang. Disini titik tolaknya bahwa manusia dan

masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan,

sehingga pemberdayaan merupakan upaya untuk membangun

daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi, dan

membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta

berupaya untuk mengembangkannya.

2. Memperkuat potensi yang dimiliki oleh rakyat dengan

(44)

masukan, menyediakan sarana dan prasarana baik fisik (irigasi,

jalan dan listrik) maupun sosial (sekolah dan fasilitas pelayanan

kesehatan) yang dapat diakses masyarakat lapisan bawah.

Terbukanya akses pada berbagai peluang akan membuat rakyat

makin berdaya, seperti tersedianya lembaga pendanaan,

pelatihan, dan pemasaran di pedesaan.

3. Melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah.

Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang

lemah bertambah lemah atau makin terpinggirkan menghadapi

yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada

yang lemah amat mendasar sifatnya dalam pemberdayaan

masyarakat. Melindungi dan membela harus dilihat sebagai

upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak

seimbang dan eksploitasi atas yang lemah.

Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, menurut kartasasmita

(1996:159-160), harus dilakukan melalui beberapa kegiatan :

1. menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi

masyarakat berkembang (enabling).

2. kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering).

3. ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. di sinilah letak titik tolaknya yaitu bahwa pengenalan setiap

(45)

selalu dapat terus dikembangkan. artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tidak berdaya, karena kalau demikian akan

mudah punah.

2.2.3.4Indikator – indikator Pemberdayaan Masyarakat

Suharto (2006 : 64 – 66) mengemukakan bahwa

indikator-indikator pemberdayaan yang digunakan untuk mengetahui fokus dan tujuan pemberdayaan secara operasional adalah :

a. Kebebasan mobilitas

b. Kemampuan membeli komoditas kecil c. Kemampuan membeli komoditas besar

d. Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputusan rumah tangga e. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga

f. Kesadaran hukum dan politik

g. Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes h. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga.

2.2.3.5Pendekatan – pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Menurut Wahab dkk. (2002: 81-82) ada 3 (tiga) pendekatan

yang dapat dilakukan dalam empowerment, yaitu:

1. The welfare approach, pendekatan ini mengarahkan pada

pendekatan manusia dan bukan memperdaya masyarakat dalam

menghadapi proses politik dan kemiskinan rakyat, tetapi justru

(46)

centrum of power yang dilatar belakangi kekuatan potensi lokal

masyarakat.

2. The development approach, pendekatan ini bertujuan untuk

mengembangkan proyek pembangunan untuk meningkatkan

kemampuan, kemandirian dan keberdayaan masyarakat.

3. The empowerment approach, pendekatan yang melihat bahwa

kemiskinan sebagai akibat dari proses politik dan berusaha

memberdayakan atau melatih rakyat untuk mengatasi ketidak

berdayaan.

Sedangkan Ross (1987:77-78) mengemukakan 3 (tiga) pola

pendekatan pemberdayaan dalam rangka peningkatan partisipasi

masyarakat di dalam pembangunan, yaitu:

1. Pola pendekatan pemberdayaan masyarakat the single function

adalah program atau teknik pembangunan, keseluruhannya

ditanamkan oleh agen pembangunan dari luar masyarakat. Pada

umumnya pola ini kurang mendapat respon dari masyarakat,

karena program itu sangat asing bagi mereka sehingga inovasi

prakarsa masyarakat tidak berkembang.

2. Pola pendekatan the multiple approach, dimana sebuah tim ahli

dari luar melaksanakan berbagai pelayanan untuk memecahkan

masalah yang dihadapi masyarakat. Pola ini, juga tidak mampu

memberdayakan masyarakat secara optimum, karena segala

(47)

3. Pola pendekatan the inner resources approach sebagai pola

yang paling efektif untuk memberdayakan masyarakat. Pola ini

menekankan pentingnya merangsang masyarakat untuk mampu

mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya dan

bekerja secara kooperatif dengan pemerintah dan badan-badan

lain untuk mencapai kepuasan bagi mereka. Pola ini mendidik

masyarakat menjadi concern akan pemenuhan dan pemecahan

masalah yang dihadapi dengan menggunakan potensi yang

mereka miliki.

Sedangkan menurut Suharto (1997:218-219), pelaksanaan

proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan masyarakat dapat dicapai

melalui penerapan pendekatan pemberdayaan yang disingkat menjadi

5P, yaitu:

1. Pemungkinan; menciptakan suasana atau iklim yang

memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal.

Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari

sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat.

2. Penguatan; memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang

dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi

kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu

menumbuh kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan

(48)

3. Perlindungan; melindungi masyarakat terutama

kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok-kelompok yang kuat,

menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang antara

yang kuat dan yang lemah dan mencegah terjadinya eksploitasi

kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus

diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan

dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.

4. Penyokongan; memberikan bimbingan dan dukungan agar

masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas

kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong

masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam posisi yang semakin

lemah dan terpinggirkan.

5. Pemeliharaan; memelihara kondisi yang kondusif agar tetap

terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai

kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu

menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan

setiap orang memperoleh kesempatan berusaha.

2.2.4 Partisipasi Masyarakat

2.2.4.1Pengertian dan Prinsip Partisipasi Masyarakat

Menurut Mubyarto (1997) dalam Abu Huraerah (2009:96)

mengatakan pengertian dasar partisipasi adalah tindakan mengambil bagian dalam kegiatan, sedangkan pengertian partisipasi masyarakat

(49)

dimana masyarakat ikut terlibat mulai dari tahap penyusunan program, perencanaan dan pembangunan, perumusan kebijakan dan

pengambilan keputusan. Sementara itu, Sulaiman (1985) mengungkapkan partisipasi sosial sebagai keterlibatan aktif warga masyarakat secara perorangan, kelompok atau dalam kesatuan

masyarakat dalam proses pembuatan keputusan bersama, perencanaan dan pelaksanaan program serta usaha pelayanan dan pembangunann

kesejahteraan sosial di dalam dan atau diluar lingkungan masyarakat atas dasar rasa kesadaran tanggung jawab sosialnya.

Kemudian dengan mengutip beberapa pendapat ahli barat,

Ndraha (1987) dalam Abu huraerah (2009:96) menyimpulkan partisipasi masyarakat meliputi kegiatan :

1. Partisipasi dalam melalui kontak dengan pihak-pihak lain sebagai satu titik awal perubahan social.

2. Partisipasi dalam memperhatikan/ menyerap dan member

tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (menaati, menerima dengan syarat, maupun menolaknya).

3. Partisipasi dalam perencanaan pembanguna, termasuk pengambilan keputusan.

4. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan.

5. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan ( participation in benefit).

(50)

Partisipasi masyarakat bukan hanya dalam pelaksanaannya saja, tetapi meliputi kegiatan pengambilan keputusan, penyusunan

program, perencanaan program, pelaksanaan program, mengembangkan program dan menikmati hasil dari pelaksanaan program tersebut.

Loekman Soetrisno (1995:221-222) dalam Abu huraerah menguraikan dua jenis partisipasi :

1. Definisi yang diberikan oleh para perencana pembangunan formal di Indonesia. Definisi partisipasi jenis ini adala partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat

terhadap rencana atu proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi

masyarakat dalam definisi ini di ukur dengan kemauan rakyat ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam pelaksanaan proyek pembangunan

pemerintah.

2. Definisi yang ada dan berlaku universal adala partisipasi rakyat

dalam pembanguna merupakan kerja sama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan , melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang

telah dicapai. Menurut definisi ini, ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur

(51)

tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun di

wilayah mereka. Ukuran lain yang digunakan definisi ini dalam mengukur tinggi rendahnya partisipasi rakyat adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secaramandiri melertarikan dan

mengembangkan hasil proyek itu sendiri.

Lebih lanjut Soetrisno (1995:222) dalam Abu Huraerah

menjelaskan, definisi yang akan digunakan akan sangat menentukan keberhasilan dalam mengembangkan dan memasyarakatkan sistem pembangunan wilayah yang pertisipatif

Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers dalam Susetiawan (1991:154-155) tang dikutip oleh Abu Huraerah adalah

sebagai berikut: pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program

pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program

pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek

tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka

(52)

Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat

baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan untuk jangka yang

lebih panjang. Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan

Partisipatif yang disusun oleh Department for International Development (DFID) yang dikutip Monique Sumampouw

(2004:106-107) adalah :

a) Cakupan

Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena

dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan.

b) Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership)

Pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk

(53)

c) Transparansi

Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi dan

iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog.

d) Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership)

Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari

terjadinya dominasi.

e) Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility)

Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam

setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan

dan langkah-langkah selanjutnya. f) Pemberdayaan (Empowerment)

Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan

kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu

proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain. g) Kerjasama

Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk

saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber

(54)

2.2.4.2Pengelompokan Partisipasi Masyarakat

Gaventa dan Valderman yang dikutip oleh Suhiorman (2003)

dalam abu huraerah bahwa terdapat tiga tradisi konsep partisipasi terutama jika dikaitkan dengan praktik pembangunan masyarakat yang demokratis, yaitu :

a. Partisipasi politik : representasi dalam demokrasi. Tujuannya untuk mempengaruhi dan mendudukan wakil rakyat dalam

lembaga pemerintahan daripada melibatkan langsung masyarakat dalam proses-proses pemerintahan.

b. Partisipasi social : masyarakat dipandang sebagai “beneficiary”

pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangnan dari penilaian

kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pemantauan dan evaluasi program. Dengan demikian, pertisipasi berada di luar lembaga formal pemerintahan seperti forum warga.

c. Partsisipasi warga : warga berpartisipasi secara langsung dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses pemerintahan

Sementara itu, menurut Najib (2005) dalam Abu Huraerah , jika dilihat dari penggunaanya partisipasi dapat dikelompokan manjadi :

a. Partisipasi sebagai alat

Melalui partisipasi , pemerintah diharapkan mampu menyusun

(55)

kepentingan warga, serta mampu mendorong pengelolaan pemerintahan yang transparan, efektif, bertanggungjawab, dan

efisien

b. Partisipasi sebagai tujuan

Setiap warga Negara memiliki hak untuk terlibat dalam

penyusunan berbagai kebijakan yang diharapkan berdampak pada kehidupannya. Partisipasi merupakan salah satu aspek dari

kehidupan bernegara, dimana warga memiliki hak untuk terlibat dalam proses penyusunan serta pengambilan keputusan berbagai kebijakan.

2.2.4.3Tingkatan Partisipasi Masyarakat

Karena konsep partisipasi dalam perkembangannya memiliki

makna luas dan memiliki arti yang berbeda-beda, maka untuk memudahkan memaknainya dapat digunakan tingkatan partisipasi. Menurut Asia Development bank (ADB) seperti yang dikutip

Soegijoko (2005) dalam Abu Huraerah, tingkatan partisipasi ( dari yang terendah sampai tertinggi) sebagai berikut :

1. Berbagi informasi bersama ( sosialisasi)

Pemerintah hanya menyebarluaskan informasi mengenai program yang akan direncanakan atau sekadar memberikan informasi

(56)

2. Konsultasi/ mendapatkan umpan balik

Pemerintah meminta saran dan kritik dari masyarakat sebelum

suatu keputusan ditetapkan

3. Kolaborasi/ pembuatan keputusan bersama

Masyarakat dilibatkan untuk merancang dan mengambil

keputusan bersama, sehingga peran masyarakat secara signifikan dapat mempengaruhi hasil/ keputusan.

4. Pemberdayaan/ kendali

Masyarakat memiliki kekuasaab dalam mengawasi secara langsung keputusan yang telah diambil dan menolak pelaksanaan

keputusan yang bertentangan dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Hoofstede seperti dikutip Khairudin (1992:125) dalam Abu huraerah membagi partisipasi menjadi tiga tingkatan, yaitu :

a. Partisipasi inisiasi adalah partisipasi yang mengandung inisiatif

dari pemimpin desa, baik formal maupun informal, ataupun dari anggota masyarakat mengenai suatu ptoyek yang nantinya proyek

tersebut merupakan kebutuhan-kebutuhan bagi masyarakat. b. Partisipasi legitimasi adalah partisipasi pada tingkat pembicaraan

atau pembuatan keputusan tentang proyek tersebut.

(57)

2.2.4.4Bentuk dan Tipe Partisipasi

Ada beberapa bentuk partisipasi yang dapat diberikan

masyarakat dalam suatu program pembangunan, yaitu partisipasi uang, partisipasi harta benda, partisipasi tenaga, partisipasi keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, partisipasi

dalam proses pengambilan keputusan, dan partisipasi representatif. Bentuk partisipasi dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu

bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata misalnya uang, harta

benda, tenaga dan keterampilan sedangkan bentuk partisipasi yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial,

pengambilan keputusan dan partisipasi representatif. Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan

Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas. Partisipasi

tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program. Sedangkan partisipasi keterampilan, yaitu memberikan

(58)

tersebut dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya.

Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program maup

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Gambar 3.2 Analisis Interaktif Menurut Miles Dan Huberman
Gambar 4.3 Kantor UPTD Liponsos Sidokare
Gambar 4.4 Struktrur Organisasi Liponsos Sidokare
+7

Referensi

Dokumen terkait

Munculnya Strategi Pemberdayaan Kelompok Gelandangan Pengemis Orang Terlantar Dalam Pengentasan Kemiskinan Yang Dilakukan Oleh Dinas Sosial Pemuda Olahraga Kota

Upaya penegakan hukum dari segi penerapan aturannya hingga penerapan sanksinya terdapat beberapa faktor yang menjadi kendala dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis yakni

Penelitian ini bertujuan untuk :1) Mendeskripsikan proses perencanaan program pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui pendidikan kecakapan hidup, 2)

Tujuan dalam penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui pemberdayaan Balai Rehabilitasi Sosial Samekto Karti terhadap pembinaan Moral PGOT (Pengemis, Gelandangan, dan

Sedangkan Pembinaan gelandangan dan pengemis merupakan tindak lanjut razia, dikoordinasikan dengan Dinas Sosial dan Pemakaman Kota Pekanbaru untuk melakukan

Penanggulangan gelandangan dan pengemis merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh Satuan Polisi pamong Praja Kabupaten Tulungagung. Razia terhadap gelandangan

Penanggulangan gelandangan dan pengemis merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh Satuan Polisi pamong Praja Kabupaten Tulungagung. Razia terhadap gelandangan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan penanganan anak jalanan gelandangan dan pengemis di Kota Makassar, apa program dalam pembinaan anak jalanan gelandangan