SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Per syaratan Memperoleh Gelar Sar jana Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur
Oleh :
ANDRE PANE SIXWANDA NPM. 0941010053
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
v
limpahan rahmat, berkat, dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pember dayaan Gelandangan dan Pengemis di Ka bupaten Sidoar jo (Studi kasus di UPTD Liponsos Sidokar e)”
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih pada Bapak Tukiman. S.sos, Msi sebagai dosen pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan, nasehat serta motivasi kepada penulis. Tak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penyusunan skripsi ini diantaranya :
1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. DR. Lukman Arif, M.Si, Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Ibu Anastasia, selaku Kepala Lingkungan Pondok Sosial Sidokare 4. Bapak Mulyadi, selaku Kepala Seksi Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial 5. Seluruh pegawai Lingkungan Pondok Sosial Sidokare
vi
Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Akhirnya, dengan segala keterbatasan yang penulis miliki semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak umumnya dan penulis pada khususnya.
Surabaya, April 2013
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR REVISI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
ABSTRAKSI ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 10
BAB II KAJ IAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu ... 11
2.2 Landasan Teori ... 19
2.2.1 Kesejahteraan Sosial ... 19
2.2.1.1 Kesejahteraan Sosial ... 19
2.2.2 Kebijakan Sosial ... 22
2.2.2.1 Pengertian Kebijakan Sosial ... 22
2.2.3 Pemberdayaan ... 24
2.2.3.1 Pengertian Pemberdayaan ... 24
2.2.3.2 Proses Pemberdayaan Masyarakat ... 28
2.2.3.3 Upaya-upaya Pemberdayaan ... 32
2.2.3.4 Indikator-indikator Pemberdayaan ... 34
2.2.3.5 Pendekatan-pendekatan Pemberdayaan Masyarakat ... 34
2.2.4 Partisipasi Masyarakat ... 37
2.2.4.1 Pengertian dan Prinsip Partisipasi Masyarakat ... 37
2.2.4.2 Pengelompokan Partisipasi Masyarakat ... 43
2.2.4.3 Tingkatan Partisipasi Masyarakat ... 44
2.2.4.4 Bentuk dan Tipe Partisipasi ... 46
2.2.4.5 Motif Partisipasi Masyarakat ... 49
2.2.4.6 Keberhasilan Partisipasi Masyarakat ... 50
2.2.5 Gepeng (Gelandangan dan Pengemis) ... 52
2.2.5.1 Pengertian Gelandangan dan Pengemis ... 52
2.2.5.2 Faktor-faktor Munculnya Gelandangan dan Pengemis ... 56
2.3 Kerangka Berpikir ... 57
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 58
3.2 Lokasi Penelitian ... 59
4.1.1 Profil kantor UPTD Liponsos Sidokare ... 71
4.1.2 Visi dan Misi ... 74
4.1.3 Struktur Organisasi ... 75
4.1.4 Tugas, Pokok dan Fungsi ... 75
4.1.5 Tujuan Pendirian ... 76
4.1.6 Pemulangan/Rujukan ... 76
4.1.7 Pelayanan yang di berikan... 76
4.1.8 Komposisi Pegawai Liponsos... 77
4.1.9 Data Gelandangan dan Pengemis ... 79
4.1.10 Sarana dan Prasarana ... 82
4.2 Hasil Penelitian ... 84
4.2.1 Bimbingan Ketrampilan ... 84
4.2.2 Bimbingan Mental ... 86
4.2.3 Bimbingan Sosial ... 88
4.2.4 Bimbingan Fisik ... 91
4.3 Pembahasan ... 94
4.3.1 Bimbingan Ketrampilan ... 94
4.3.2 Bimbingan Mental ... 96
4.3.3 Bimbingan Sosial ... 99
4.3.4 Bimbingan Fisik ... 102
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 104
5.2 Saran ... 105 Daftar Pustaka
Tabel 4.4 Komposisi Pegawai Berdasarkan Jenis Usia ... 78 Tabel 4.5 Komposisi Pegawai Berdasarkan Jenis Status ... 78 Tabel 4.6 Data Gelandangan dan Pengemis yang Masuk dan Keluar ... 79 Tabel 4.7 Data Gelandangan dan Pengemis yang Mengikuti Bimbingan
Ketrampilan ... 80 Tabel 4.8 Data Gelandangan dan Pengemis yang Mengikuti Bimbingan
Agama ... 80 Tabel 4.9 Data Gelandangan dan Pengemis yang Mengikuti Bimbingan
Sosial ... 81 Tabel 4.10 Data Gelandangan dan Pengemis yang Mengikuti Bimbingan
Gambar 4.4 Struktur Organisasi Liponsos ... 75
Gambar 4.5 Pelatihan Penjahitan di Liponsos ... 85
Gambar 4.6 Pendekatan Konseling di Liponsos ... 89
Gelandangan dan Pengemis merupakan dua istilah yang digunakan untuk menunjuk seseorang yang hidupnya menggelandang, meminta minta tanpa memiliki tempat tinggal secara tetap. Gelandangan dan Pengemis boleh dikatakan bagaikan dua keping mata uang yang tidak terlalu jauh dalam hal perbedaan, karena keduanya secara fungsional bisa terjadi dalam saat yang bersamaan. Gelandangan bisa sekaligus menjadi pengemis, demikian pula pengemis bisa menjadi gelandangan. Gelandangan dan pengemis hidupnya dengan mengharap belas kasihan dari orang lain dengan cara mengemis atau mengamen. Gelandangan dan pengemis hidup dan mempunyai tempat tinggal di kolong jembatan, stasiun kereta api dan membangun gubuk liar di tepi sungai yang menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga menimbulkan masalah kesehatan dan keamanan lingkungan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan tentang Pemberdayaan gelandangan dan pengemis di Kabupaten Sidoarjo (Studi kasus di UPTD Liponsos Sidokare)
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Fokus penelitian adalah Bimbingan keterampilan, bimbingan agama, bimbingan sosial, dan bimbingan fisik. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara. Analisa data dalam Penelitian ini dengan menggunakan model interaktif.
Dari hasil penelitian dan pembahasan menghasilkan kesimpulan yaitu pemberdayaan gelandangan dan pengemis di kabupaten sidoarjo (studi kasus di UPTD Liponsos Sidokare) melalui bimbingan keterampilan, bimbingan agama, bimbingan sosial dan bimbingan fisik yang mampu meningkatkan kesejahteraan gelandangan dan pengemis beserta keluarganya setelah keluar.
1.1 Latar Belakang
Pembangunan nasional adalah upaya untuk meningkatkan seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang sekaligus merupakan proses pengembangan keseluruhan sistem penyelenggaraan negara untuk mewujudkan
Tujuan Nasional. Dalam pengertian lain, pembangunan nasional dapat diartikan merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan dan meliputi
seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan Tujuan Nasional.
Pembangunan nasional dilaksanakan untuk mewujudkan Tujuan Nasional seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV, yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial serta mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam alinea II Pembukaan UUD 1945.
Seperti kita ketahui bahwa pada UUD 1945 Pasal 34 ayat 1 berisi mengenai Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Hal ini berarti fakir
miskin,dan anak terlantar tersebut menjadi tanggung jawab negara yang dilaksanakan oleh pemerintah. untuk masa depan mereka. Fakir adalah orang yang
mempunyai sanak saudara. Miskin adalah orang yang mempunyai penghasilan, namun tidak dapat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi, fakir
miskin ini perlu perhatian khusus, terutama bagi pemerintah dalam menjalankan tugasnya yang sesuai Pasal 34 ayat 1.
Berbicara tentang kemiskinan, saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang (11,96 persen), berkurang 0,89 juta
orang (0,53 persen) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen). Selama periode Maret 2011-Maret 2012,
penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang sekitar 399,5 ribu orang (dari 11,05 juta orang pada Maret 2011 menjadi 10,65 juta orang pada Maret 2012), sementara di daerah perdesaan berkurang 487 ribu orang (dari 18,97 juta orang
pada Maret 2011 menjadi 18,48 juta orang pada Maret 2012). Sedangkan persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2011 sebesar 9,23
persen, menurun menjadi 8,78 persen pada Maret 2012. Begitu juga dengan penduduk miskin di daerah perdesaan, yaitu dari 15,72 persen pada Maret 2011 menjadi 15,12 persen pada Maret 2012. (http://www.bps.go.id)
Angka kemiskinan di Jawa Timur masih relatif tinggi di indonesia. Sampai
periode semester akhir tahun 2011 angka kemiskinan di Jawa Timur mencapai 14,23 persen atau sebesar 5.356.210 dari jumlah penduduk Jawa Timur yang
Penyebab masih tingginya angka kemiskinan di Jawa Timur, di antaranya kurangnya sinergi program pengentasan kemiskinan antar level pemerintahan
(pusat, provinsi, kab/kota), kultur masyarakat, rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan serta kendala geografis, serta masih terbatasnya infrastruktur ekonomi dan sosial di
pedesaan. Oleh karena itu, permasalahan kemiskinan harus menjadi prioritas yang utama dalam kebijakan pembangunan dan juga merupakan tantangan utama
pembangunan Jatim dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. (http://www.koranmadura.com/2013/02/15).
Kabupaten sidoarjo merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang memiliki angka kemiskinan besar. Upaya Pemerintah Kabupaten Sidoarjo untuk
menurunkan angka kemiskinan di wilayahnya semakin berat saja. Pasalnya, jumlah penduduk miskin di kabupaten Delta kini bertambah menjadi 121 ribu
kepala keluarga per Nopember 2012, atau naik sekitar 20 persen dari jumlah penduduk miskin pada tahun 2010-2011 sebanyak 99 ribu kepala keluarga. naiknya jumlah penduduk miskin itu, lebih disebabkan karena banyaknya
masyarakat urban dari luar daerah yang masuk dan menetap di Sidoarjo. Pada tahun 2008, jumlah penduduk Sidoarjo masih sekitar 1,7 juta, namun empat tahun
kemudian atau pada tahun 2012 ini, jumlah penduduk Sidoarjo naik sekitar 600 ribu atau sejumlah 2,3 juta jiwa sehingga menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang penting, di berbagai sudut kota pun setiap hari banyak ditemui
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak
mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai
cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980).
Gelandangan dan Pengemis merupakan dua istilah yang digunakan untuk menunjuk seseorang yang hidupnya menggelandang, meminta minta tanpa memiliki tempat tinggal secara tetap. Gelandangan dan Pengemis boleh dikatakan
bagaikan dua keping mata uang yang tidak terlalu jauh dalam hal perbedaan, karena keduanya secara fungsional bisa terjadi dalam saat yang bersamaan.
Gelandangan bisa sekaligus menjadi pengemis, demikian pula pengemis bisa menjadi gelandangan. Gelandangan dan pengemis hidupnya dengan mengharap belas kasihan dari orang lain dengan cara mengemis atau mengamen.
Gelandangan dan pengemis hidup dan mempunyai tempat tinggal di kolong jembatan, stasiun kereta api dan membangun gubuk liar di tepi sungai yang
menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga menimbulkan masalah kesehatan dan keamanan lingkungan masyarakat.
Keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) di kabupaten Sidoarjo saat
ini semakin banyak dan sulit diatur, berdasarkan rekapitulasi data gelandangan dan pengemis di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Sidokare pada bulan
perempuan. Mereka dapat ditemui diberbagai pertigaan, perempatan, lampu merah dan tempat umum, bahkan di kawasan pemukiman, sebagian besar dari mereka
menjadikan mengemis sebagai profesi. Hal ini tentu sangat mengganggu pemandangan dan meresahkan masyarakat. Penyebab dari semua itu antara lain adalah jumlah pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan lapangan
pekerjaan yang memadai dan kesempatan kerja yang tidak selalu sama. Disamping itu menyempitnya lahan pertanian di desa karena banyak digunakan
untuk pembangunan pemukiman dan perusahaan atau pabrik. Keadaan ini mendorong penduduk desa untuk berurbanisasi dengan maksud untuk merubah nasib, tapi sayangnya, mereka tidak membekali diri dengan pendidikan dan
keterampilan yang memadai. Sehingga keadaan ini akan menambah tenaga yang tidak produktif dikota. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka
bekerja apa saja asalkan mendapatkan uang termasuk meminta-minta (mengemis). Demi untuk menekan biaya pengeluaran, mereka memanfaatkan kolong jembatan, stasiun kereta api, emperan toko, pemukiman kumuh dan lain sebagainya untuk
beristirahat, mereka tinggal tanpa memperdulikan norma sosial. Hidup bergelandangan tidak memungkinkan orang hidup berkeluarga, tidak memiliki
kebebasan pribadi, tidak memberi perlindungan terhadap hawa panas ataupun hujan dan hawa dingin, hidup bergelandangan akan dianggap hidup yang paling hina diperkotaan. Keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) di perkotaan
sangat meresahkan masyarakat, selain mengganggu aktifitas masyarakat di jalan raya, mereka juga merusak keindahan kota. Dan tidak sedikit kasus kriminal yang
sebab itulah, apabila masalah gelandangan dan pengemis tidak segera mendapatkan penanganan, maka dampaknya akan merugikan diri sendiri,
keluarga, masyarakat serta lingkungan sekitarnya. (http://kabarsidoarjo.com) Dengan beberapa uraian-uraian dan fenomena-fenomena yang terjadi akan membuat permasalahan yang tersendiri dan permasalahan tersebut adalah dengan
banyaknya gelandangan dan pengemis terutama di perempatan jalan dapat menimbulkan kemacetan bahkan dapat menimbulkan kecelakaan apabila
gelandangan dan pengemis itu tidak berhati-hati. Dan untuk lingkungan yang seharusnya bersih dari gelandangan dan pengemis seperti kawasan pusat-pusat kota justru pada tempat-tempat tersebut menjadi ladang pencaharian bagi mereka
karena tempat-tempat tersebut cukup strategis karena banyak orang dan kendaraan berlalu lalang. Permasalahan gelandangan dan pengemis ini pun juga membuat
masalah dalam penataan kota maupun kabupaten, ini terlihat dengan adanya gubuk-gubuk liar pada lahan kosong yang seharusnya tempat tersebut dijadikan sebagai tempat sarana umum atau dijadikan tempat yang bermanfaat apabila
mereka mau dipindahkan atau direlokasi ke tempat lain dan terkadang mereka tidak mau pindah dan terkadang mereka lebih memilih tempat tersebut karena
tempat tersebut lebih strategis walaupun tanah tersebut merupakan tanah milik pemerintah.
Untuk mengatasi masalah gelandangan dan pengemis (gepeng) di sidoarjo, pemerintah kabupaten sidoarjo mengirimkan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
bertujuan untuk membersihkan kota dari gelandangan dan pengemis, serta berupaya untuk memberikan penyadaran kepada mereka. Dan salah satu usaha
yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo adalah dengan memberikan pemberdayaan bagi gelandangan dan pengemis. Tugas pemberdayaan ini menjadi wewenang dari Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Sidokare, dalam Peraturan
Bupati Sidoarjo Nomor 38 Tahun 2011 telah ditegaskan bahwa Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Sidokare mempunyai tugas yaitu :
a. Menyusun program kegiatan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) b. Pelaksanaan regristrasi, akomodasi, dan identifikasi pelayanan
c. Pelaksanaan penentuan diagnosa kecacatan mental dan sosial serta perawatan kesehatan
d. Pelaksanaan pengembangan kecerdasan mental dan sosial
e. Pelaksanaan latihan keterampilan kerja dasar kejuruan dan bina usaha f. Pelaksanaan usaha-usaha penyaluran dan penempatan kembali ke keluarga
g. Pelaksanaan pembinaan lanjutan dan perlindungan sosial h. Pelaksanaan tata usaha Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) i. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas
j. Pelaksanaan tugas – tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai dengan tugas dan fungsinya
pengemis. Program pembinaan gelandangan dan pengemis merupakan salah satu program yang dilakukan oleh Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Sidokare.
Untuk pembinaan yang pertama, gelandangan dan pengemis tersebut mendapat bimbingan sosial melalui bimbingan mental berupa ceramah agama dan ceramah sosial. Bimbingan Sosial ini dilakukan untuk memberikan suatu bimbingan dan
pengarahan kepada para gelandangan dan pengemis tentang ajaran nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam agama dan masyarakat agar mereka dapat
menjalankan kehidupannya dengan baik. Setelah para gelandangan dan pengemis mendapatkan bimbingan sosial melalui ceramah agama dan ceramah sosial, mereka mendapatkan pembinaan ketrampilan kerja, yang sesuai dengan bakat dan
kemampuan mereka.
Hal ini dilakukan agar para gelandangan dan pengemis mempunyai bekal
ketrampilan yang nantinya dapat digunakan untuk mencari kerja atau usaha baru sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Dalam pemberian ketrampilan
tersebut Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Sidokare bertindak sebagai mediator dengan maksud agar para gelandangan dan pengemis mendapatkan tenaga ahli yang sesuai dengan bidangnya masing-masing. Setelah para
gelandangan dan pengemis diberikan pembinaan sosial dan pembinaan ketrampilan maka Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Sidokare memberikan
bantuan langsung berupa Bantuan ekonomi produktif dimana bantuan tersebut sesuai dengan pelatihan ketrampilan yang mereka miliki, misalnya ketrampilan menjahit mereka dibantu dengan disediakannya alat penjahitan, keterampilan
mengevaluasi terhadap pelatihan dan pembinaan dari berbagai kegiatan yang diikuti oleh gelandangan dan pengemis, dilakukan program pengawasan dan
evaluasi sehingga mereka mengatahui sejauh mana kegiatan tersebut dapat diserap sehingga nantinya mereka dapat berpartisipasi dalam pembangunan kesejahteraan sosial dan juga pemberian keterampilan dan pembinaan ini bertujuan agar
gelandangan dan pengemis dapat mewujudkan kesejahteraan sosial bagi gelandangan dan pengemis itu sendiri maupun bagi keluarganya serta
terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan serta menciptakan kemandirian bagi gelandangan dan pengemis.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, peneliti ingin membahas mengenai pemberdayaan gelandangan dan pengemis melalui pelatihan dan pembinaan yang dilakukan oleh Liponsos Sidokare Kabupaten Sidoarjo. Sehingga
dapat ditentukan judul penelitian yaitu ”Pemberdayaan Gelandangan dan
Pengemis di Kabupaten Sidoar jo (Studi kasus di UPTD Liponsos Sidokare)”.
1.2 Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
dapat dirumuskan perumusan masalah penelitian ini sebagai berikut :
“Bagaimana Pemberdayaan bagi Gelandangan dan pengemis di Kabupaten
1.3 Tujuan
Untuk mendeskripsikan Pemberdayaan bagi Gelandangan dan Pengemis di
Kabupaten Sidoarjo (Studi kasus di UPTD Liponsos Sidokare) 1.4 Manfaat
a. Bagi mahasiswa
Dapat menambah pengetahuan dalam menganalisa suatu masalah dengan menerapkan teori yang telah diperoleh dengan literatur serta
membandingkan keadaan nyata di lapangan b. Bagi Instansi
Hasil ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan
dalam mengatasi masalah yang terjadi dan juga untuk membantu memberikan pemahaman lebih kepada Lingkungan Pondok Sosial
(Liponsos) Sidokare dalam memberikan pemberdayaan gelandangan dan pengemis di Kabupaten Sidoarjo.
c. Bagi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Untuk menambah referensi yang dapat berguna bagi penelitian serta menambah wawasan baru bagi mahasiswa FISIP di masa yang akan
2.1 Penelitan Terdahulu
Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak lain yang dapat
dipakai sebagai bahan masukan serta bahan pengkajian yang terkait dengan penelitian ini, yaitu :
1. Taufik, Mahdi Syahbandir, M Saleh Syafei, Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana Universyitas Syiah Kuala Banda Aceh. Staff Pengajar Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala.
Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang menyatakan
bahwa Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen menetapkan norma, standar prosedur, urusan wajib dan urusan pilihan
pelaksanaan. Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut Kementerian Sosial telah menetapkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 129 tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, Pelaksanaan Bidang Sosial, Penyediaan Sarana, Prasarana Sosial serta Pengembangan
Jaminan Sosial. Masalah pokok pada penelitian ini adalah (1) Apakah tugas dan fungsi Pemerintah Kabupaten Bireuen sudah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan? (2) Faktor-faktor
kabupaten Bireuen? (3) Apa upayadan kendala yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bireuen terhadap penanggulangan gelandangan
dan pengemis. Penelitian dan pengkajian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis tugas dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Bireuen, sudah sesuai peraturan perundang-undangan.
Menjelaskan dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan adanya gelandangan dan pengemis di Kabupaten Bireuen sudah
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menjelaskan dan menganalisis upaya dan kendala yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bireuen terhadap penanggulangan gelandangan
dan pengemis. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris. Sumber data utama adalah data skunder yang ditunjang oleh data
primer. Data skunder diperoleh dari buku-buku, majalah, jurnal, serta tulisan-tulisan yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab pemerintah. Sedangkan data primer diperoleh melalui wawancara
dengan pihak terkait. Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif guna menarik kesimpulan atas pokok permasalahan yang
diajukan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama tanggung jawab pemerintah Kabupaten Bireuen terhadap penanggulangan gelandangan dan pengemis belum sesuai dengan Qanun Kabupaten
Bireuen Nomor 7 Tahun 2010 Tentang perubahan atas Qanun Kabupaten Bireuen Nomor 2 Tahun 2010 Tentang susunan organisasi
adanya gelandangan dan pengemis di Kabupaten Bireuen disebabkan oleh faktor kurangnya perhatian pemerintah Kabupaten Bireuen
terhadap pemberdayaan gelandangan dan pengemis. Ketiga upaya-upaya yang telah dilakukan adalah pemberian dana langsung oleh pemerintah Kabupaten Bireuen kepada masyarakat miskin atau
pengemis untuk kebutuhan pokok dan kendala yang dihadapi terhadap penanggulangan gelandangan dan pengemis tidak adanya anggaran
yang tersedia dan tidak adanya koordinasi antara dinas/badan terkait dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis. Disarankan kepada Bupati Bireuen untuk melaskanakan tugas dan tanggung jawabnya
secara optimal yakni dengan melakukan perencanaan bidang sosial, pendataan jumlah gelandangan dan pengemis, pembinaan dan
pendidikan serta pemberian modal usaha. Disarankan kepada Bupati Bireuen juga untuk menemukan faktor-faktor yang menyebabkan adanya gelandangan dan pengemis di wilayah Kabupaten Bireuen, dan
upaya yang perlu dilakukan ke depan adalah peningkatan sumber daya manusia (SDM), berupa ketrampilan, penyiapan modal usaha,
2. SIGIT, BAYU LEKSONO (2011) PERAN DINAS SOSIAL DAN
TENAGA KERJA KABUPATEN SIDOARJO DALAM
PEMBERDAYAAN ANAK JALANAN (Studi Pada Anak Jalanan Di Kecamatan Sidoarjo). Undergraduate thesis, UPN "Veteran" Jatim.
Sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, Indonesia
juga memiliki sejumlah permasalahan baik sosial maupun ekonomi yang akan terus menerus mengikuti laju pembangunan dan
pertumbuhan. Salah satu fenomena sosial yang terjadi saat ini yaitu munculnya anak-anak jalanan. Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu kabupaten yang ada di Jawa Timur. Keberadaan anak jalanan di
beberapa titik yang ada di Sidoarjo, hal ini seringkali memicu stigma negatif dari masyarakat, selain itu juga banyak masyarakat yang
menggambarkan mereka dekat dengan dunia miras, narkoba bahkan sex bebas. Melihat hal tersebut, sebaiknya perlu adanya penanganannya dari pemerintah yang dipusatkan pada titik tersebut,
agar kawasan tersebut terbebas dari kesan yang tak sedap. Akan tetapi pada kenyataan peran pemerintah dalam penanganan anak jalanan
dapat dikatakan sangat lamban dan masih kurang maksimal. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang peran Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam pemberdayaan anak jalanan di Kecamatan
Sidoarjo. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif, sedangkan sumber data diperoleh dengan
ini adalah Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam pemberdayaan anak jalanan di Kabupaten Sidoarjo dan juga para anak-anak jalanan.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah anak jalanan yang tertangkap pada saat operasi penertiban yang telah dilakukan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sidoarjo
dan secara bersama-sama oleh pihak Satpol PP, Kepolisian, dan Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sidoarjo mayoritas berasal dari
Sidoarjo yaitu sebanyak 14 orang atau sebesar 82,35%. Setelah di lakukan registrasi. Untuk anak jalanan yang berasal dari Kabupaten Sidoarjo di tangani langsung oleh Dinas Kesejahteraan Sosial
Kabupaten Sidoarjo, dan diberikan pembinaan sosial melalui bimbingan sosial dan pembinaan ketrampilan kerja, sesuai dengan
bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh anak jalanan. Selain itu pengawasan juga dilakukan terhadap anak jalanan yang ditampung dalam pembinaan Dinas Sosial dan melakukan evaluasi terhadap
pelatihan dan pembinaan dari berbagai kegiatan yang diikuti oleh anak-anak jalanan, sehingga nantinya mereka dapat berpartisipasi
dalam pembangunan kesejahteraan sosial.
3. MOTIVASI NON-EKONOMI PENGEMIS DI KOTA
YOGYAKARTA, Arie Kusuma Paksi, Nugroho Budi N., Nugroho
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motivasi non-ekonomi pengemis di Kota Yogyakarta khususnya di Masjid Gede
yang berada di Kauman dan Masjid Syuhada yang berada di Kotabaru sehingga dapat menjadi masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya mereka yang tertarik untuk meneliti permasalahan sosial seperti
pengemis. Penelitian ini juga diharapkan menjadi salah satu masukan bagi aparatur terkait dalam upaya pengentasan permasalahan pengemis
yang biasanya sangat mudah dijumpai di kota-kota besar. Artinya, kebijakan yang selama ini hanya bersandar pada permasalahan ekonomi saja tidaklah cukup untuk menjadi faktor penentu
pengentasan permasalahan tersebut. Pada perkembangannya hingga saat ini, permasalahan pengemis juga muncul akibat motivasi
non-ekonomi. Penelitian ini menggunakan analisa kebijakan sebagai cara atau prosedur untuk menghasilkan informasi mengenai masalah-masalah kemasyarakatan berikut pemecahannya. Sedangkan perolehan
datanya menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi langsung (natural observation)
dan wawancara mendalam (indepth review). Sedang data sekundernya diperoleh dengan cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa buku-buku, jurnal dan majalah yang berisi
tentang pendapat, teori, dalil/hukum dan lain-lain. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif, yaitu analisis yang
(2) sajian data (data display), dan (3) penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing). Dari hasil perolehan data dilapangan,
peneliti berhasil membuat profil masing-masing pengemis (baik Masjid Gede maupun Syuhada ) beserta karakteristiknya dalam mengemis. Secara keseluruhan hampir dipastikan bahwa pengemis
tersebut adalah orang-orang yang mampu secara ekonomi. Selain dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (misalnya makan tiga kali
sehari), pengemis tersebut juga memiliki fasilitas-fasiltas tertentu yang terdapat dirumah mereka masing-masing seperti TV, Radio dan peralatan elektronik yang lain. Bahkan banyak diantara mereka juga
memiliki tabungan di bank-bank swasta. Motivasi non-ekonomi yang berhasil ditemukan dibagi menjadi tiga faktor. Pertama, budaya,
dimana pada diri pengemis tersebut sudah tertanam mental-mental pengemis. Artinya ada keengganan (malas) pada diri mereka untuk mencari pekerjaan yang lain. Apalagi pekerjaan mengemis
mengiming-iming penghasilan yang besar dengan tenaga yang tidak begitu besar. Akhirnya mengemis dijadikan sebuah profesi. Kedua,
agama, dimana dalam agama Islam diwajibkan bagi seorang yang mampu untuk memberikan sebagian harta miliknya kepada orang-orang yang kurang mampu (miskin). Hal tersebut menjadi faktor
eksternal yang menyebabkan munculnya para pengemis. Sementara disisi yang lain, ada faktor internal dari pengemis itu sendiri yang
banyak fenomena pengemis muncul ditempat peribadatan seperti yang terdapat di Masjid Gede Kauman dan Masjid Syuhada . Ketiga, sosial,
dalam kategori ini, penyebab munculnya pengemis dibagi lagi menjadi dua hal yaitu, lingkungan sosial dan keluarga. Lingkungan sosial memiliki pengaruh dalam hal munculnya fenomena pengemis karena
secara tidak langsung suatu komunitas tertentu seperti pengemis ini telah mempengaruhi sebagian orang yang berada disekitarnya untuk
mengemis. Hal itu terjadi karena didorong oleh pendapatan tertentu dan kemudian dia coba-coba ikut dalam kelompok pengemis tersebut dan lama kelamaan menyukai pekerjaan ini. Uniknya, keluarga juga
menjadi faktor penentu dalam kemunculan fenomena pengemis. Ada beberapa pengemis yang melakukan pekerjaan tersebut karena
memiliki permasalahan pribadi di rumahnya. Karena merasa tidak tahan lagi merasa dirumah akhirnya mereka jarang pulang kerumah atau nekat untuk meninggalkan kediamannya tersebut. Karena
keterbatasan tenaga yang dimiliki akhirnya mereka menjadi pengemis. Dari temuan-temuan dilapangan tersebut, peneliti dapat mengambil
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Kesejahteraan Sosial
2.2.1.1Pengertian Kesejahteraan Sosial
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, baik kita suka atau tidak, hampir semua yang kita lakukan dalam kehidupan kita
berkaitan dengan orang lain (Jones,2009). Kondisi sejahtera (well-being) biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial sebagai
kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non material. Menurut Midgley (2000: XI) mendefinisikan kesejateraan sosial sebagai “..a condition or state of human well being.” Kondisi sejahtera terjadi
manakala kehidupan manusiaaman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan
pendapatan dapat terpenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. Agar dapat memahami lebih dalam apa yang dimaksud
dengan kesejahteraan sosial berikut definisi kesejahteraan sosial menurut para ahli.
Menurut definisinya kesejahteraan sosial dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan, kesejahteraan sosial sebagai suatu kegiatan atau pelayanan dan
kesejahteraan sosial sebagai ilmu (Suud, 2006). Menurut Suharto (2006: 3) kesejahteraan sosial juga termasuk sebagai suatu proses
lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas melalui pemberian pelayanan sosial dan
tunjangan sosial. Kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan adalah sebagai berikut dibawah ini.
Menurut Suparlan dalam Suud (2006: 5), kesejahteraan sosial,
menandakan keadaan sejahterah pada umumnya, yang meliputi keadaan jasmaniah, rohaniah, dan sosial dan bukan hanya perbaikan
dan pemberantasan keburukan sosial tertentu saja; jadi merupakan suatu keadaan dan kegiatan.
Menurut Segel dan Bruzy (1998:8), “Kesejahteraan sosial
adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat.Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas
hidup rakyat”.Sedangkan menurut Midgley (1995:14) Kondisi kesejahteraan sosial diciptakan atas kompromi tiga elemen. Pertama, sejauh mana masalah-masalah sosial ini diatur, kedua sejauh mana
kebutuhan-kebutuhan dipenuhi, ketiga sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat disediakan
Kesejahteraan sosial menurut Friendlander dalam Suud (2006: 8) merupakan system yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan danlembaga-lembaga sosial, yang dimaksudkan untuk membantu
individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai tingkat hidup dan kesehatan yang memuaskan dan hubungan-hubungan
memperkembangkan seluruh kemampuannya dan untuk meningkatkan kesejahteraannya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
keluarga dan masyarakatnya.
Menurut Segal dan Brzuzy, yang dikutip dalam suud (2006: 5) kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu
masyarakat.Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat.
Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingat kehidupan, pemenuhan kebutuhan pokok, kualitas hidup dan pembangunan manusia (Sen, 2008: 8).Yang paling berhubungan
dengan system kesejahteraan sosial bagi para homeless ini adalah seikatsu hogo.pemerintah memberikan perlindungan hidup (seikatsu
hogo) kepada masayarakat Jepang dan tidak boleh ada diskriminasi, dan orang yang hidup miskin dapat menuntut pertolongan bantuan dari pemerintah (Kennett dan Iwata, 2003: 63).
Menurut Okumara dalam Takehara (2005: 114) menjabarkan bahwa ada tujuh karakteristik di dalam kesejahteraan sosial yaitu :
1. Tuntutan ekonomi yang stabil 2. Tuntutan pekerjaan yang layak 3. Tuntutan keluarga yang stabil
4. Tuntutan jaminan kesehatan 5. Tuntutan jaminan pendidikan
7. Tuntutan kesempatan budaya atau rekreasi
2.2.2 Kebijakan Sosial
2.2.2.1Pengertian Kebijakan Sosial
Dalam arti spesifik atau sempit, kata sosial menyangkut sector kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari
pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang
dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung (disadvantaged group) dan kelompok rentan (vulnerable group).Kata sosial disini menyangkut program-program dan atau pelayanan-pelayanan sosial
untuk mengatasi masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, ketidakberfungsian fisik dan psikis, tuna sosial dan tuna
susila, kenakalan remaja dan lain sebagainya.Sementara kebijakan sosial diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian spesifik, yakni yang menyangkut bidang
kesejahteraan sosial.Pengertian sosial seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagaimana dikemukakan oleh
Conyer. Menurut Conyer, perencanaan sosial adalah perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial dalam berbagai hal (Suharto, 2005) dalam buku (Studi Kebijakan
Pemerintah ;2012 :182).
Kemudian dari pada itu, maka Huttman (1981) dan Gilbert dan
kebijakan sosial sebagai proses, sebagai produk dan sebagai kinerja atau capaian.
Pertama, Sebagai suatu proses, kebijakan sosial menunjuk pada perumusan kebijakan dalam kaitannya dengan variabel-variabel sosial-politik dan teknik metodologi. Kebijakan sosial merupakan
suatu tahapan untuk membuat sebuah rencana tindak (plan of action) yang dimulai dari pengidentifikasian kebutuhan (assessing need),
penetapan alternatif-alternatif tindakan, penyeleksian strategi-strategi kebijakan.
Kedua, kebijakan sosial sebagai produk, kebijakan sosial
adalah hasil dari proses perumusan kebijakan atau perencanaan sosial, yaitu mencakup segala bentuk peraturan perundang-undangan atau
proposal program yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan berbagai kegiatan atau proyek.
Ketiga, kebijakan sosial sebagai suatu kinerja (performance),
kebijakan sosial merupakan deskripsi atau evaluasi terhadap hasil pengimplementasian produk kebijakan sosial atau pencapaian tujuan
suatu rencana pembangunan. Kebijakan sosial dalam pengertian ini, menyangkut kegiatan analisa untuk melihat dampak atau pengaruh yang terjadi pada masyarakat, baik yang bersifat positif maupun
diistilahkan dengan analisa kebijakan sosial (Dunn, 1981 ; Quide, 1982).
2.2.3 Pemberdayaan
2.2.3.1Pengertian Pemberdayaan
Menurut Ife dan Tesoriero (2008 : 510), “pemberdayaan
berarti menyediakan sumber daya, kesempatan, kosa kata, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk menentukan masa depan mereka sendiri dan untuk berpartisipasi serta mempengaruhi kehidupan masyarakatnya”. Dari definisi ini terlihat jelas bahwa pemberdayaan bukan sekedar
menolong orang miskin agar menjadi tidak miskin. Pengertian pemberdayaan menurut Ife dan Tesoriero lebih diarahkan kepada
peningkatan kemampuan masyarakat untuk mandiri, dapat mengendalikan masa depannya dan bahkan dapat mempengaruhi orang lain.
Senada dengan Ife dan Tesoriero, Sardlow dalam Adi (2008) mengatakan bahwa “pada intinya pengertian pemberdayaan
membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka”. Adi
(2008 : 78 – 79) mengatakan bahwa “tujuan dan target pemberdayaan bisa saja berbeda, misalnya di bidang ekonomi, pendidikan atau
sehingga pemberdayaan di suatu bidang bisa berbeda dengan bidang lainnya.
Payne (1997 : 266) mengemukakan bahwa pemberdayaan (empowerment) pada dasarnya ditujukan untuk :
“To help clients gain power of decision and action over their
own lives by reducing the effect of social or personal blocks to
exercising exiting power, by increasing capacity and self confidence
to use power and by transferring power from the environment to
clients.”
Pengertian pemberdayaan menurut Payne menunjukkan bahwa
agar seseorang bisa berdaya perlu ada pembagian atau pemberian kekuatan dari lingkungannya. Pembagian kekuatan atau pemberian
kemampuan ini bisa diartikan sebagai saling membagi kekuatan (power sharing) dari seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain yang tidak berdaya sehingga mereka mempunyai kemampuan
yang setara. Dalam perspektif pekerjaan sosial, pengertian pemberdayaan ini dapat diartikan sebagai peningkatan kemampuan
dan rasa percaya diri seseorang agar ia dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara wajar tanpa dihalangi oleh kesenjangan terhadap lingkungannya.
Suharto (2006 : 58) mengatakan bahwa pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan
a. Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom)
b. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan, dan
c. Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Konsep empowerment pada dasarnya adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara,
regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi dan lain-lain. memberdayakan masyarakat menurut kartasasmita (1996 :
144) adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Gagasan pembangunan yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat perlu untuk dipahami sebagai suatu proses transformasi
dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat. perubahan struktur yang sangat diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan dan harus dapat
dinikmati bersama. begitu pula sebaliknya, yang menikmati haruslah yang menghasilkan. proses ini diarahkan agar setiap upaya
(capacity building) melalui penciptaan akumulasi modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan, yang mana pada gilirannya
nanti dapat pula menciptakan pendapatan yang akhirnya dinikmati oleh seluruh rakyat. dan proses transpormasi ini harus dapat digerakan sendiri oleh masyarakat.
Menurut sumodiningrat (1999 : 134), mengatakan bahwa kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat secara umum dapat dipilah
dalam tiga kelompok yaitu:
1. kebijaksanaan yang secara tidak langsung mengarah pada
sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat.
2. kedua, kebijaksanaan yang secara langsung mengarah pada
peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran.
3. ketiga, kebijaksanaan khusus yang menjangkau masyarakat
miskin melalui upaya khusus.
Pemberdayaan merupakan suatu upaya yang harus diikuti dengan tetap memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh setiap
masyarakat. dalam rangka itu pula diperlukan langkah-langkah yang lebih positif selain dari menciptakan iklim dan suasana. perkuatan ini
meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta membuka akses kepada berbagai peluang (upportunities) yang nantinya dapat membuat masyarakat menjadi
2.2.3.2Pr oses Pemberdayaan Masyarakat
Menurut Suharto (2006:59) pemberdayaan adalah sebuah
proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian
kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok
lemah dalam masyarakat, terutama individu-individu yang mengalami
kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada
keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial;
yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai
pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki
kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata
pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam
melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan
sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator sebuah
keberhasilan pemberdayaan.
Proses pemberdayaan dapat dilakukan secara individual
maupun kolektif (kelompok). Proses ini merupakan wujud perubahan
sosial yang menyangkut relasi atau hubungan antara lapisan sosial
yang dicirikan dengan adanya polarisasi ekonomi, maka kemampuan
individu “senasib” untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok
cenderung dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif
(Friedman, 1993). Hal tersebut dapat dicapai melalui proses dialog
dalam kelompok belajar untuk mendeskripsikan suatu situasi,
mengekspresikan opini dan emosi mereka atau dengan kata lain
mereka belajar untuk mendefinisikan masalah, menganalisis,
kemudian mencari solusinya.
Menurut United Nations (1956:83-92 dalam Tampubolon,
2006), proses-proses pemberdayaan masyarakat adalah sebagai
berikut:
1) Getting to know the local community; Mengetahui karakteristik
masyarakat setempat (lokal) yang akan diberdayakan, termasuk
perbedaan karakteristik yang membedakan masyarakat desa
yang satu dengan yang lainnya. Mengetahui artinya untuk
memberdayakan masyarakat diperlukan hubungan timbal balik
antara petugas dengan masyarakat.
2) Gathering knowledge about the local community;
Mengumpulkan pengetahuan yang menyangkut informasi
mengenai masyarakat setempat. Pengetahuan tersebut
merupakan informasi faktual tentang distribusi penduduk
menurut umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan,
status sosial ekonomi, termasuk pengetahuan tentang nilai,
sikap, ritual dan custom, jenis pengelompokan, serta faktor
kepemimpinan baik formal maupun informal.
3) Identifying the local leaders; Segala usaha pemberdayaan
dari pimpinan atau tokoh-tokoh masyarakat setempat. Untuk itu,
faktor "the local leaders" harus selau diperhitungkan karena
mereka mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat.
4) Stimulating the community to realize that it has problems; Di
dalam masyarakat yang terikat terhadap adat kebiasaan, sadar
atau tidak sadar mereka tidak merasakan bahwa mereka punya
masalah yang perlu dipecahkan. Karena itu, masyarakat perlu
pendekatan persuasif agar mereka sadar bahwa mereka punya
masalah yang perlu dipecahkan, dan kebutuhan yang perlu
dipenuhi.
5) Helping people to discuss their problem; Memberdayakan
masyarakat bermakna merangsang masyarakat untuk
mendiskusikan masalahnya serta merumuskan pemecahannya
dalam suasana kebersamaan.
6) Helping people to identify their most pressing problems;
Masyarakat perlu diberdayakan agar mampu mengidentifikasi
permasalahan yang paling menekan. Dan masalah yang paling
menekan inilah yang harus diutamakan pemecahannya.
7) Fostering self-confidence; Tujuan utama pemberdayaan
masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat.
Rasa percaya diri merupakan modal utama masyarakat untuk
8) Deciding on a program action; Masyarakat perlu diberdayakan
untuk menetapkan suatu program yang akan dilakukan. Program
action tersebut perlu ditetapkan menurut skala prioritas, yaitu
rendah, sedang, dan tinggi. Tentunya program dengan skala
prioritas tinggilah yang perlu didahulukan pelaksanaannya.
9) Recognition of strengths and resources; Memberdayakan
masyarakat berarti membuat masyarakat tahu dan mengerti
bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber
yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan permasalahan dan
memenuhi kebutuhannya.
10) Helping people to continue to work on solving their problems;
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang
berkesinambungan. Karena itu, masyarakat perlu diberdayakan
agar mampu bekerja memecahkan masalahnya secara
berkelanjutan.
11) Increasing people ability for self-help; Salah satu tujuan
pemberdayaan masyarakat adalah tumbuhnya kemandirian
masyarakat. Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang
sudah mampu menolong diri sendiri. Untuk itu, perlu selalu
ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk berswadaya.
Menurut Oakley dan Marsden, 1984, proses pemberdayaan
1. proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan
atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih
berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya
membangun asset material guna mendukung kemandirian
mereka melalui organisasi.
2. Kecendrungan kedua atau kecendrungan sekunder menekankan
pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu
agar mempunyai kemampuan dan atau keberdayaan untuk
menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses
dialog.
2.2.3.3Upaya-upaya Pemberdayaan
Menurut Kartasasmita (1995:19), upaya memberdayakan
masyarakat harus dilakukan melalui tiga cara:
1. Menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat
untuk berkembang. Disini titik tolaknya bahwa manusia dan
masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan,
sehingga pemberdayaan merupakan upaya untuk membangun
daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi, dan
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkannya.
2. Memperkuat potensi yang dimiliki oleh rakyat dengan
masukan, menyediakan sarana dan prasarana baik fisik (irigasi,
jalan dan listrik) maupun sosial (sekolah dan fasilitas pelayanan
kesehatan) yang dapat diakses masyarakat lapisan bawah.
Terbukanya akses pada berbagai peluang akan membuat rakyat
makin berdaya, seperti tersedianya lembaga pendanaan,
pelatihan, dan pemasaran di pedesaan.
3. Melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah.
Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang
lemah bertambah lemah atau makin terpinggirkan menghadapi
yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada
yang lemah amat mendasar sifatnya dalam pemberdayaan
masyarakat. Melindungi dan membela harus dilihat sebagai
upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak
seimbang dan eksploitasi atas yang lemah.
Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, menurut kartasasmita
(1996:159-160), harus dilakukan melalui beberapa kegiatan :
1. menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang (enabling).
2. kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering).
3. ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. di sinilah letak titik tolaknya yaitu bahwa pengenalan setiap
selalu dapat terus dikembangkan. artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tidak berdaya, karena kalau demikian akan
mudah punah.
2.2.3.4Indikator – indikator Pemberdayaan Masyarakat
Suharto (2006 : 64 – 66) mengemukakan bahwa
indikator-indikator pemberdayaan yang digunakan untuk mengetahui fokus dan tujuan pemberdayaan secara operasional adalah :
a. Kebebasan mobilitas
b. Kemampuan membeli komoditas kecil c. Kemampuan membeli komoditas besar
d. Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputusan rumah tangga e. Kebebasan relatif dari dominasi keluarga
f. Kesadaran hukum dan politik
g. Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes h. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga.
2.2.3.5Pendekatan – pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Menurut Wahab dkk. (2002: 81-82) ada 3 (tiga) pendekatan
yang dapat dilakukan dalam empowerment, yaitu:
1. The welfare approach, pendekatan ini mengarahkan pada
pendekatan manusia dan bukan memperdaya masyarakat dalam
menghadapi proses politik dan kemiskinan rakyat, tetapi justru
centrum of power yang dilatar belakangi kekuatan potensi lokal
masyarakat.
2. The development approach, pendekatan ini bertujuan untuk
mengembangkan proyek pembangunan untuk meningkatkan
kemampuan, kemandirian dan keberdayaan masyarakat.
3. The empowerment approach, pendekatan yang melihat bahwa
kemiskinan sebagai akibat dari proses politik dan berusaha
memberdayakan atau melatih rakyat untuk mengatasi ketidak
berdayaan.
Sedangkan Ross (1987:77-78) mengemukakan 3 (tiga) pola
pendekatan pemberdayaan dalam rangka peningkatan partisipasi
masyarakat di dalam pembangunan, yaitu:
1. Pola pendekatan pemberdayaan masyarakat the single function
adalah program atau teknik pembangunan, keseluruhannya
ditanamkan oleh agen pembangunan dari luar masyarakat. Pada
umumnya pola ini kurang mendapat respon dari masyarakat,
karena program itu sangat asing bagi mereka sehingga inovasi
prakarsa masyarakat tidak berkembang.
2. Pola pendekatan the multiple approach, dimana sebuah tim ahli
dari luar melaksanakan berbagai pelayanan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi masyarakat. Pola ini, juga tidak mampu
memberdayakan masyarakat secara optimum, karena segala
3. Pola pendekatan the inner resources approach sebagai pola
yang paling efektif untuk memberdayakan masyarakat. Pola ini
menekankan pentingnya merangsang masyarakat untuk mampu
mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya dan
bekerja secara kooperatif dengan pemerintah dan badan-badan
lain untuk mencapai kepuasan bagi mereka. Pola ini mendidik
masyarakat menjadi concern akan pemenuhan dan pemecahan
masalah yang dihadapi dengan menggunakan potensi yang
mereka miliki.
Sedangkan menurut Suharto (1997:218-219), pelaksanaan
proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan masyarakat dapat dicapai
melalui penerapan pendekatan pemberdayaan yang disingkat menjadi
5P, yaitu:
1. Pemungkinan; menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal.
Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari
sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat.
2. Penguatan; memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang
dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu
menumbuh kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan
3. Perlindungan; melindungi masyarakat terutama
kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok-kelompok yang kuat,
menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang antara
yang kuat dan yang lemah dan mencegah terjadinya eksploitasi
kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus
diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan
dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.
4. Penyokongan; memberikan bimbingan dan dukungan agar
masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas
kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong
masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam posisi yang semakin
lemah dan terpinggirkan.
5. Pemeliharaan; memelihara kondisi yang kondusif agar tetap
terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai
kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu
menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan
setiap orang memperoleh kesempatan berusaha.
2.2.4 Partisipasi Masyarakat
2.2.4.1Pengertian dan Prinsip Partisipasi Masyarakat
Menurut Mubyarto (1997) dalam Abu Huraerah (2009:96)
mengatakan pengertian dasar partisipasi adalah tindakan mengambil bagian dalam kegiatan, sedangkan pengertian partisipasi masyarakat
dimana masyarakat ikut terlibat mulai dari tahap penyusunan program, perencanaan dan pembangunan, perumusan kebijakan dan
pengambilan keputusan. Sementara itu, Sulaiman (1985) mengungkapkan partisipasi sosial sebagai keterlibatan aktif warga masyarakat secara perorangan, kelompok atau dalam kesatuan
masyarakat dalam proses pembuatan keputusan bersama, perencanaan dan pelaksanaan program serta usaha pelayanan dan pembangunann
kesejahteraan sosial di dalam dan atau diluar lingkungan masyarakat atas dasar rasa kesadaran tanggung jawab sosialnya.
Kemudian dengan mengutip beberapa pendapat ahli barat,
Ndraha (1987) dalam Abu huraerah (2009:96) menyimpulkan partisipasi masyarakat meliputi kegiatan :
1. Partisipasi dalam melalui kontak dengan pihak-pihak lain sebagai satu titik awal perubahan social.
2. Partisipasi dalam memperhatikan/ menyerap dan member
tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (menaati, menerima dengan syarat, maupun menolaknya).
3. Partisipasi dalam perencanaan pembanguna, termasuk pengambilan keputusan.
4. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan.
5. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan ( participation in benefit).
Partisipasi masyarakat bukan hanya dalam pelaksanaannya saja, tetapi meliputi kegiatan pengambilan keputusan, penyusunan
program, perencanaan program, pelaksanaan program, mengembangkan program dan menikmati hasil dari pelaksanaan program tersebut.
Loekman Soetrisno (1995:221-222) dalam Abu huraerah menguraikan dua jenis partisipasi :
1. Definisi yang diberikan oleh para perencana pembangunan formal di Indonesia. Definisi partisipasi jenis ini adala partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat
terhadap rencana atu proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi
masyarakat dalam definisi ini di ukur dengan kemauan rakyat ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam pelaksanaan proyek pembangunan
pemerintah.
2. Definisi yang ada dan berlaku universal adala partisipasi rakyat
dalam pembanguna merupakan kerja sama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan , melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang
telah dicapai. Menurut definisi ini, ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur
tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun di
wilayah mereka. Ukuran lain yang digunakan definisi ini dalam mengukur tinggi rendahnya partisipasi rakyat adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secaramandiri melertarikan dan
mengembangkan hasil proyek itu sendiri.
Lebih lanjut Soetrisno (1995:222) dalam Abu Huraerah
menjelaskan, definisi yang akan digunakan akan sangat menentukan keberhasilan dalam mengembangkan dan memasyarakatkan sistem pembangunan wilayah yang pertisipatif
Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers dalam Susetiawan (1991:154-155) tang dikutip oleh Abu Huraerah adalah
sebagai berikut: pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program
pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program
pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek
tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka
Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat
baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan untuk jangka yang
lebih panjang. Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan
Partisipatif yang disusun oleh Department for International Development (DFID) yang dikutip Monique Sumampouw
(2004:106-107) adalah :
a) Cakupan
Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena
dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan.
b) Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership)
Pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk
c) Transparansi
Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi dan
iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog.
d) Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership)
Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari
terjadinya dominasi.
e) Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility)
Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam
setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan
dan langkah-langkah selanjutnya. f) Pemberdayaan (Empowerment)
Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu
proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain. g) Kerjasama
Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk
saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber
2.2.4.2Pengelompokan Partisipasi Masyarakat
Gaventa dan Valderman yang dikutip oleh Suhiorman (2003)
dalam abu huraerah bahwa terdapat tiga tradisi konsep partisipasi terutama jika dikaitkan dengan praktik pembangunan masyarakat yang demokratis, yaitu :
a. Partisipasi politik : representasi dalam demokrasi. Tujuannya untuk mempengaruhi dan mendudukan wakil rakyat dalam
lembaga pemerintahan daripada melibatkan langsung masyarakat dalam proses-proses pemerintahan.
b. Partisipasi social : masyarakat dipandang sebagai “beneficiary”
pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangnan dari penilaian
kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pemantauan dan evaluasi program. Dengan demikian, pertisipasi berada di luar lembaga formal pemerintahan seperti forum warga.
c. Partsisipasi warga : warga berpartisipasi secara langsung dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses pemerintahan
Sementara itu, menurut Najib (2005) dalam Abu Huraerah , jika dilihat dari penggunaanya partisipasi dapat dikelompokan manjadi :
a. Partisipasi sebagai alat
Melalui partisipasi , pemerintah diharapkan mampu menyusun
kepentingan warga, serta mampu mendorong pengelolaan pemerintahan yang transparan, efektif, bertanggungjawab, dan
efisien
b. Partisipasi sebagai tujuan
Setiap warga Negara memiliki hak untuk terlibat dalam
penyusunan berbagai kebijakan yang diharapkan berdampak pada kehidupannya. Partisipasi merupakan salah satu aspek dari
kehidupan bernegara, dimana warga memiliki hak untuk terlibat dalam proses penyusunan serta pengambilan keputusan berbagai kebijakan.
2.2.4.3Tingkatan Partisipasi Masyarakat
Karena konsep partisipasi dalam perkembangannya memiliki
makna luas dan memiliki arti yang berbeda-beda, maka untuk memudahkan memaknainya dapat digunakan tingkatan partisipasi. Menurut Asia Development bank (ADB) seperti yang dikutip
Soegijoko (2005) dalam Abu Huraerah, tingkatan partisipasi ( dari yang terendah sampai tertinggi) sebagai berikut :
1. Berbagi informasi bersama ( sosialisasi)
Pemerintah hanya menyebarluaskan informasi mengenai program yang akan direncanakan atau sekadar memberikan informasi
2. Konsultasi/ mendapatkan umpan balik
Pemerintah meminta saran dan kritik dari masyarakat sebelum
suatu keputusan ditetapkan
3. Kolaborasi/ pembuatan keputusan bersama
Masyarakat dilibatkan untuk merancang dan mengambil
keputusan bersama, sehingga peran masyarakat secara signifikan dapat mempengaruhi hasil/ keputusan.
4. Pemberdayaan/ kendali
Masyarakat memiliki kekuasaab dalam mengawasi secara langsung keputusan yang telah diambil dan menolak pelaksanaan
keputusan yang bertentangan dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Hoofstede seperti dikutip Khairudin (1992:125) dalam Abu huraerah membagi partisipasi menjadi tiga tingkatan, yaitu :
a. Partisipasi inisiasi adalah partisipasi yang mengandung inisiatif
dari pemimpin desa, baik formal maupun informal, ataupun dari anggota masyarakat mengenai suatu ptoyek yang nantinya proyek
tersebut merupakan kebutuhan-kebutuhan bagi masyarakat. b. Partisipasi legitimasi adalah partisipasi pada tingkat pembicaraan
atau pembuatan keputusan tentang proyek tersebut.
2.2.4.4Bentuk dan Tipe Partisipasi
Ada beberapa bentuk partisipasi yang dapat diberikan
masyarakat dalam suatu program pembangunan, yaitu partisipasi uang, partisipasi harta benda, partisipasi tenaga, partisipasi keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, partisipasi
dalam proses pengambilan keputusan, dan partisipasi representatif. Bentuk partisipasi dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu
bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata misalnya uang, harta
benda, tenaga dan keterampilan sedangkan bentuk partisipasi yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial,
pengambilan keputusan dan partisipasi representatif. Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan
Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas. Partisipasi
tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program. Sedangkan partisipasi keterampilan, yaitu memberikan
tersebut dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya.
Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program maup