• Tidak ada hasil yang ditemukan

Six Sigma, pertama kali dikembangkan oleh Bill Smith, Vice President Motorola Inc.. (Harry, Mikel J., 1988). Six Sigma, yang dikenal luas sebagai teknik yang memungkinkan suatu perusahaan mencapai kesempurnaan dalam mutu produk yang dihasilkan, pertama kali dikembangkan sebagai desain praktis

untuk peningkatan proses manufaktur dan mengeliminasi kerusakan (defect),

namun akhirnya diaplikasikan secara luas dalam berbagai tipe perusahaan. Dalam

Six Sigma, defect diartikan sebagai segala keluaran dari proses yang tidak memenuhi spesifikasi pelanggan atau segala hal yang dapat mengakibatkan keluaran (produk) yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan.

T

- 1,5 sigma +1,5 sigma

mean

LSL USL

- 6sigma - 3sigma - 2sigma - 1sigma + 1sigma + 2sigma + 3sigma + 6 sigma

Gambar 2.1 Konsep Six sigma Motorola dengan Distribusi Normal bergeser 1,5–Sigma.

Doktrin utama dari Six Sigma, adalah :

Usaha yang terus-menerus untuk mencapai hasil proses yang secara stabil dan

terprediksi (yaitu pengurangan variasi dalam proses) merupakan hal terpenting dalam kesuksesan bisnis

Manufaktur (proses produksi) dan proses bisnis harus memiliki karakteristik

yang dapat diukur, dianalisis, ditingkatkan dan dikontrol

Pencapaian peningkatan kualitas yang berkelanjutan membutuhkan komitmen

dari seluruh organisasi, utamanya dari Top Manajemen.

Dalam Six Sigma dikenal istilah DPMO (Defect Per Million Opportunities),

yaitu besarnya kemungkinan terjadinya kerusakan (defect) dalam setiap sejuta

kesempatan. Jadi, misalnya suatu perusahaan, seperti Motorola Inc., telah mencapai level 3,4 DPMO maka dalam setiap 1 juta proses/produk kemungkinan

terjadi 3,4 proses/produk yang cacat. Sehingga jika dibuat rejection rate-nya

sebesar 0,00034% (bandingkan dengan rejection rate industri farmasi rata-rata 5 –

10%). Motorola Inc., mengklaim bahwa dengan melaksakan jurus ini, mereka bisa

menghemat lebih dari US$ 17 juta (About Motorola University.

http://motorola.com/content).

Six Sigma , terbagi menjadi 2 metode, yaitu DMAIC dan DMADV. DMAIC digunakan untuk proyek-proyek yang ditujukan untuk peningkatan pada

perusahaan yang telah exist, dan DMADV digunakan untuk produk baru atau

proses desain.

Define, yaitu penetapan masalah yang juga bisa merupakan keluhan dari pelanggan, tujuan dari suatu proyek, atau spesifikasi yang diinginkan

Measure, yaitu pengukuran aspek-aspek kunci dari proses yang ada saat ini dan proses pengumpulan data-data yang relevan

Analysis, yaitu melakukan analisa terhadap data-data yang telah dikumpulkan untuk dilakukan penyelidikan dan memverifikasi hubungan sebab-akibat (akar permasalahan).

Improve, yaitu perbaikan atau optimalisasi dari proses yang ada saat ini

berdasarkan analisis data menggunakan teknik-teknik misalnya design

experiment, poka yoke atau pembuktian kesalahan yang selanjutnya menciptakan atau menetapkan standar baru

Control, yaitu pengendalian atau pemantauan terhadap proses atau standar baru yang telah ditetapkan untuk memastikan bahwa setiap penyimpangan

harus telah dikoreksi sebelum terjadi defect (kerusakan).

Sedangkan DMADV (juga dikenal dengan nama DFSS – Define For Six Sigma)

adalah singkatan dari:

Define, yaitu pemastian bahwa hasil akhir dari desain akan konsisten dengan keinginan/kebutuhan pelanggan dan strategi perusahaan

Measure, yaitu ukur dan identifikasi hal-hal kritis yang berpengaruh terhadap kualitas, kapabilitas produk, kapabilitas proses produksi dan resiko

Analysis, yaitu Analisis untuk pengembangan dan desain alternatif, ciptakan desain dengan level yang tinggi dan evaluasi kapabilitas desain untuk mendapatkan desain yang terbaik

Design, yaitu detail dari desain, optimasi dan rencanakan verifikasi dari desain.

Verify, yaitu pemastian desain, set-up, implementasi dari proses produksi dan

sampaikan rancangan tersebut kepada pemilik proses.( Pande, 02)

2.3 DMAIC (Define, measure, analyze, improve, control)

DMAIC merupakan proses untuk peningkatan terus–menerus menuju

target Six Sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu

pengetahuan dan fakta. Proses ini menghilangkan langkah–langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pengukuran–pengukuran baru, dan

menetapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma. (

Gaspersz, 2002).

2.3.1 Define

Define merupakan langkah operasional pertama dalam program

peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, yang paling penting untuk

dilakukan adalah identifikasi produk dan/atau proses yang akan diperbaiki. Kita harus menetapkan prioritas utama tentang masalah-masalah dan/atau kesempatan

peningkatan kualitas mana yang akan ditangani terlebih dahulu. Pemilihan proyek terbaik adalah berdasarkan pada identifikasi proyek yang sesuai dengan kebutuhan, kapabilitas dan tujuan organisasi. Langkah kedua yaitu pernyataan

tujuan proyek harus ditetapkan untuk setiap proyek Six Sigma yang terpilih.

Pernyataan tujuan yang benar adalah apabila mengikuti prinsip SMART sebagai berikut :

Specific Tujuan proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus bersifat spesifik yang dinyatakan dengan tegas. Tim peningkatan

kualitas Six Sigma harus menghindari pernyataan-pernyataan

tujuan yang bersifat umum dan tidak spesifik. Pernyataan tujuan seyogianya menggunakan kata kerja, seperti : menaikkan, menurunkan, menghilangkan, dll.

Measurable Tujuan proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus dapat diukur menggunakan indikator pengukuran yang tepat guna mengevaluasi keberhasilan, peninjauan-ulang, dan tindakan perbaikan diwaktu mendatang. Pengukuran harus mampu memunculkan fakta-fakta yang di-nyatakan secara kuantitatif menggunakan angka-angka.

Achievable Tujuan program peningkatan kualitas Six Sigma harus dapat

dicapai melalui usaha-usaha yang menantang

(challenging effort).

Result-oriented Tujuan program peningkatan kualitas Six Sigma harus berfokus pada hasil-hasil berupa pencapaian target-target kualitas yang

per million opportunities), peningkatan kapabilitas proses (cpm;cpmk), dll.

Time-bound Tujuan program peningkatan kualitas Six Sigma harus menetapkan batas waktu pencapaian tujuan itu dan harus dicapai

secara tepat waktu. (Pande,2002)

2.3.2 Measure

Tahap ini merupakan langkah operasional kedua dalam program

peningkatan kualitas Six Sigma. Terdapat 3 hal pokok yang harus dilakukan dalam

tahap Measure, yaitu :

1. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas (CTQ) kunci yang

berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan.

2. Melakukan pengumpulan data melalui pengukuran yang dapat dilakukan pada

tingkat proses, output dan outcome.

Sebelum melakukan pengukuran, terlebih dahulu kita harus membedakan apakah data yang diukur itu merupakan data variabel atau data atribut. Data variabel merupakan data kuantitatif yang diukur menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel

bersifat continue. Contoh data variabel karakteristik kualitas adalah : diameter

pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, konsentrasi elektrolit dalam persen, dll. Ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tinggi,

diameter, volume.Data atribut merupakan data kualitatif yang dihitung

menggunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data atribut bersifat diskrit. Contoh data atribut karakteristik kualitas

adalah : ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan proses administrasi buku tabungan nasabah, banyaknya jenis cacat pada produk, banyaknya produk kayu lapis yang cacat karena corelap, dan lain-lain.

3. Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses, output,

dan outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja (performance baseline)

pada awal proyek Six Sigma. Baseline kinerja dalam proyek Six Sigma

biasanya diterapkan menggunakan satuan pengukuran DPMO dan tingkat

kapabilitas sigma (sigma level). Sesuai dengan konsep pengukuran yang

biasanya diterapkan pada tingkat proses, output dan outcome, maka baseline

kinerja juga dapat ditetapkan pada tingkat proses, output dan outcome.

Pengukuran biasanya dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana output dari

proses dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. (Pzydek, 2002)

2.3.3 Analyze

Tahap ini merupakan langkah operasional ketiga dalam program

peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah

beberapa hal sebagai berikut :

1. Menentukan kapabilitas/kemampuan dari proses.

Process capability merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.

Keberhasilan implementasi program peningkatan kualitas Six Sigma

produk menuju tingkat kegagalan nol. Kemampuan proses didefinisikan sebagai “ukuran statistik dari variansi yang inheren pada suatu peristiwa tertentu dalam proses yang stabil.”

Cpm =

 

2 2 6 x T s LSL USL   

Dimana : Cpm = indeks kapabilitas proses (Process Capability Indeks)

USL = batas spesifikasi atas (Upper Specification Limit)

LSL = batas spesifikasi bawah (Lower Specification Limit)

T = target

s = standart deviasi

x = arithmetic mean

Kriteria penilaian indeks kapabilitas proses sebagai berikut : Cpm > 2,00 : maka proses dianggap mampu (capable)

Cpm = 1,00 – 1,99 : maka proses dianggap mampu namun perlu upaya upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target perusahaan berkelas dunia.

Cpm < 1,00 : maka proses dianggap tidak mampu (not capable)

Semakin tinggi Cpm menunjukkan bahwa output proses itu semakin mendekati nilai spesifikasi target kualitas yang diinginkan pelanggan.

Menurut (Gasperz, 2002) bahwa analisis kapabilitas proses Cpm dan

Cpk tidak dapat diterapkan pada data atribut karena data tersebut

mengikuti pola distribusi binomium. Data atribut sering berbentuk kategori

2. Mengidentifikasi sumber–sumber dan akar penyebab kecacatan atau kegagalan. Untuk mengidentifikasi sumber-sumber penyebab kegagalan,

dapat menggunakan Fishbone diagram (cause andeffect diagram). Dengan

analisa cause and effect, manajemen dapat memulai dengan akibat sebuah

masalah, atau dalam beberapa kasus, merupakan akibat atau hasil yang diinginkan dan membuat daftar terstruktur dari penyebab potensial.

Setelah akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan, dimasukkan ke

dalam cause and effect diagram yang telah mengkategorikan

sumber-sumber penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu : 1) Manpower ( tenaga kerja ).

2) Machines ( mesin-mesin ). 3) Methods ( metode kerja ).

4) Material ( bahan baku dan bahan penolong ).

5) Media (surat kabar). 6) Motivation ( motivasi ). 7) Money ( keuangan ).

( Pzydek, 2002 )

2.3.4 Improve

Tahap Improve merupakan langkah operasional keempat dalam program

peningkatan kualitas Six Sigma. Langkah ini dilakukan setelah sumber–sumber

dan akar penyebab dari masalah kualitas teridentifikasi. Pada tahap ini ditetapkan

Sigma. Tool yang digunakan untuk tahap improve ini adalah FMEA (Failure Mode and Effect Analysis).

Pada tahap ini tim peningkatan kualitas Six Sigma harus memutuskan apa

yang harus dicapai serta alasan kegunaan rencana tindakan itu harus dilakukan, dimana rencana tindakan itu akan dilakukan, bilamana rencana tindakan itu akan dilakukan, siapa yang akan menjadi penanggung jawab dari rencana tindakan itu, bagaimana melaksanakan, dan berapa besar biaya untuk melaksanakan serta

manfaat positif yang diterima dari implementasi rencana tindakan itu.(Gasper,

2002)

2.3.5 Control

Tahap ini merupakan langkah operasional kelima dalam program

peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini hasil–hasil peningkatan kualitas di

dokumentasikan dan disebarluaskan, praktek–praktek terbaik yang sukses dalam peningkatan proses standardisasikan dan disebarluaskan, prosedur–prosedur didokumentasikan dan dijadikan pedoman kerja standard, serta kepemilikan atau

tanggung jawab ditransfer dari tim Six Sigma kepada pemilik atau penanggung

jawab, yang berarti proyek Six Sigma berakhir pada tahap ini.

Tujuan dari standardisasi adalah menstandardisasikan sistem kualitas

Six Sigma yang telah terbukti menjadi terbaik dalam bisnis kelas dunia.

Hasil–hasil yang memuaskan dari proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus

distandardisasikan, dan selanjutnya dilakukan peningkatan terus–menerus pada

jenis masalah yang lain melalui proyek–proyek Six Sigma yang lain mengikuti

2.4 CTQ (critical to quality)

CTQ merupakan karakteristik kualitas yang mempengaruhi kepuasan pelanggan terhadap suatu produk. CTQ dapat diklasifikasi kedalam tiga kategori, seperti yang disarankan oleh professor dari jepang, Noriaki Kano:

1. Penyebab ketidak puasan : sesuatu yang diharapkan didalam suatu produk atau

jasa. Pada sebuah mobil, radio, pemanas, dan fitur-fitur keselamatan yang penting merupakan beberapa contoh yang tidak diminta langsung oleh pelanggan tetapi diharapkan ada di dalam produk tersebut. Jika fitur-fitur ini tidak ada, maka pelanggan akan merasa tidak puas.

2. Penyebab kepuasan : sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan. Banyak

pembeli mobil menginginkan atap mobil, jendela otomatis, atau rem antikunci. Meskipun kebutuhan-kebutuhan ini tidak diminta oleh pelanggan. Memenuhi kebutuhan ini akan menciptakan kepuasan.

3. Pembuat senang : fitur baru atau otomatis yang tidak diharapkan pelanggan.

Adanya fitur yang tidak diharapkan, seperti tombol prakiraan cuaca di radio atau kontrol audio khusus di kursi belakang yang terpisah yang memberi kesempatan pada anak-anak untuk mendengarkan music yang berbeda dari

orang tua mereka, menghasilkan persepsi kualitas yang lebih tinggi. (Pzydek,

2002).

Defect adalah kegagalan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh

pelanggan. Sedangkan Defects per Opportunity (DPO) merupakan ukuran

kegagalan yang dihitung dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang

menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan per satu kesempatan. Dihitung menggunakan formula DPO = banyaknya cacat atau kegagalan yang ditemukan dibagi dengan (banyaknya unit yang diperiksa dikalikan banyaknya CTQ potensial yang menyebabkan cacat atau kegagalan itu). Besaran DPO ini, apabila

dikalikan dengan konstanta 1.000.000, akan menjadi ukuran Defect Per Million

Opportunities (DPMO).

Defects Per Million Opportunities (DPMO) merupakan ukuran kegagalan

dalam program peningkatan Six Sigma , yang menunjukkan kegagalan per satu

juta kesempatan. Target dari pengendalian kualitas Six Sigma Motorola, sebesar

3,4 DPMO seharusnya tidak diinterpretasikan sebagai 3,4 unit output yang cacat

dari sejuta unit output yang diproduksi, tetapi diinterpretasikan sebagai dalam satu

unit produk tunggal terdapat rata–rata kesempatan untuk gagal dari suatu karakteristik CTQ adalah hanya 3,4 kegagalan per satu juta kesempatan.

Saat ini pihak Motorola telah membuat gambaran kapabilitas sebuah proses dalam perbandingan antara sigma dan DPMO yang ditunjukkan di tabel 2.1

Tabel 2.1 Tabel konversi Sigma Motorola

Presentase yang

memenuhi spesifikasi DPMO Sigma

30,9 % 69,2 % 93,3 % 99,4 % 690.000 308.000 66.800 6.210 1 2 3 4

99,98 % 99,9997 % 320 3,4 5 6 (Sumber : Gasperz, V., 2002) Keterangan :

- Pada nilai DPMO sebesar 690.000 unit maka level sigmanya dikategorikan

berada pada 1 sigma dengan prosentase sebesar 30,9 %

- Pada nilai DPMO sebesar 308.000 unit maka level sigmanya dikategorikan

berada pada 2 sigma dengan prosentase sebesar 69,2 %

- Pada nilai DPMO sebesar 66.800 unit maka level sigmanya dikategorikan

berada pada 3 sigma dengan prosentase sebesar 93,3 %

- Pada nilai DPMO sebesar 6.210 unit maka level sigmanya dikategorikan

berada pada 4 sigma dengan prosentase sebesar 99,4 %

- Pada nilai DPMO sebesar 320 unit maka level sigmanya dikategorikan

berada pada 5 sigma dengan prosentase sebesar 99,98 %

- Pada nilai DPMO sebesar 3,4 unit maka level sigmanya dikategorikan

berada pada 6 sigma dengan prosentase sebesar 99,9997 %

Dokumen terkait