• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terdapat empat dimensi dari hambatan lingkungan (X4), yakni lingkungan fisik (X4A), situasi (X4B), situational norms and rules (X4C), dan lingkungan psikologi (X4D). Berdasarkan hasil uji statistik pada Tabel 8 jika diurutkan dari koefisien terbesar hingga terkecil pada variabel bebas X4A, X4D, dan X4B adalah koefisien variabel X4A (lingkungan fisik) dengan nilai koefisien -0.676, X4D (lingkungan psikologi) dengan nilai koefisien -0.621, kemudian diikuti X4B (situasi) dengan nilai koefisien -0.422. Hal tersebut dapat diartikan bahwa pada hambatan yang terjadi, dimensi lingkungan fisik (X4A) menduduki peringkat pertama dalam tingkat pengaruh hambatan lingkungan terhadap efektivitas komunikasi dengan nilai signifikansi 0.008, kedua adalah dimensi lingkungan psikologi (X4D) dengan nilai signifikansi 0.002 dan kemudian diikuti dimensi situasi (X4B) dengan nilai signifikansi 0.005 pada peringkat ketiga. Dimensi situational norms and rules (X4C) memiliki nilai signifikasi 0.084 lebih besar dari 0.05 sehinggadapat dikatakan variabel X4C ini tidak signifikan/tidak berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi.

Pengaruh keadaan lingkungan terbukti mempengaruhi cara berkomunikasi responden kepada pasangan temannya yang berbeda budaya yakni ketika suku non-Sunda yang berasal dari Sumatera berbicara lantang karena memang terbentuk dari kondisi geografis di tempat awalnya antar satu rumah dengan rumah lain berjauhan, hal tersebut menyebabkan suatu kebiasaan berbicara dengan suara lantang, namun ketika berbicara dengan warga suku Sunda yang tidak terbiasa akan hal itu akan merasa tersinggung, ia akan merasa sedang berada dalam kondisi yang tidak nyaman sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan berujung pada rasa canggung.

Selain itu, rasa canggung juga dirasakan oleh salah satu responden karena pintu rumah pasangan temannya dari suku Madura yang selalu tertutup. Hal ini membuat responden menjadi canggung jika ingin berkunjung ke rumah temannya, karena merasa bahwa temannya memang tidak ingin menerima tamu. Akan tetapi, orang Sunda tersebut memahami bahwa orang Madura memang pulang pada malam hari untuk istirahat, karena esok paginya harus kembali bekerja, sehingga dapat diatasi dengan saling mengerti kondisi masing-masing.

Hal serupa terjadi pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Juariah (2014), hasil penelitiannya menyatakan bahwa hambatan lingkungan psikologi yang terbentuk dari persepsi individu atas kondisi lingkungan dapat mempengaruhi komunikasi antarbudaya yakni ketika mahasiswa asal Bekasi yang merasa tersinggung ketika sedang berbicara dengan mahasiswa asal Madura yang berbicara dengan nada keras seperti orang yang sedang marah, sehingga membuat mahasiswa asal Bekasi merasa kesal dan emosi. Padahal, mahasiswa asal Madura memang sudah terbiasa bersuara lantang akibat kondisi lingkungan di tempat asalnya merupakan wilayah pesisir dan membuat ia harus berbicara dengan volume suara yang keras.

69 Hambatan Budaya, Psikobudaya, dan Hambatan Lingkungan secara

Bersamaan Mempengaruhi Efektivitas Komunikasi

Dari tabel Anova pada Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai F = 101.561 dengan nilai Sig. = 0.000 lebih kecil dari 0.05 yang menunjukkan bahwa hambatan budaya (X1), psikobudaya (X3), dan hambatan lingkungan (X4) secara bersamaan mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya (Y) secara signifikan dan negatif. Hal ini berarti semakin tinggi hambatan budaya, psikobudaya, dan lingkungan maka diikuti dengan rendahnya efektivitas komunikasi antarbudaya.

Dari ketiga hambatan komunikasi yang terjadi, secara berurutan yang memberikan pengaruh paling signifikan adalah hambatan psikobudaya, hambatan budaya, dan hambatan lingkungan. Hambatan psikobudaya yang berpengaruh paling signifikan adalah stereotype. Hal tersebut dapat terjadi karena masing- masing suku memiliki ciri khas sukunya, sedangkan stereotype merupakan kognisi seseorang terhadap ciri negatif yang melekat suatu kelompok yang digeneralisasikan kepada seluruh anggota dari kelompok tersebut dapat dengan mudah menyinggung orang tersebut dan memicu munculnya konflik. Hal ini didukung oleh pernyataan Darmastuti (2013) mengenai stereotype, yakni suatu pandangan negatif yang seringkali ditempelkan kepada suatu masyarakat sebagai stempel yang harus melekat tanpa melihat perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu. Bahkan tidak jarang stempel negatif ini juga dilekatkan kepada semua anggota yang ada dari suatu masyarakat atau komunitas tanpa pandang bulu yang akan mempengaruhi proses komunikasi, bahkan memicu konflik.

Samovar et al. (2010) juga menyatakan bahwa stereotype dapat menjadi masalah ketika menempatkan orang di tempat yang salah. Stereotype dapat mengganggu kelancaran komunikasi antarbudaya. Contohnya seperti adanya stereotype mengenai orang Padang, bahwa orang Padang itu pelit. Melalui stereotype itu maka indvidu akan memperlakukan semua orang Padang seperti orang yang pelit tanpa memandang pribadi dan keunikan masing-masing individu. Orang Padang yang merasa diperlakukan sebagai orang yang pelit mungkin akan merasa tersinggung dan memunculkan konflik. Contoh lain adalah stereotype pada orang Batak bahwa mereka kasar. Oleh karena itu, individu yang tidak menyukai orang yang kasar akan merasa canggung dan berusaha menghindari komunikasi dengan semua orang Batak, sehingga tidak dapat mencapai komunikasi yang efektif dengan orang Batak. Hal tersebut menjadikan stereotype berpengaruh paling signifikan terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya.

71

PENUTUP

Simpulan

Efektivitas komunikasi antabudaya yang terjadi antara suku Sunda dan non- Sunda (Jawa, Madura, Batak, Minangkabau, Betawi) dalam kehidupan bertetangga di Desa Tanjungbaru sudah cukup tinggi walaupun belum maksimum karena masih terdapat hambatan komunikasi antarbudaya. Tingginya efektivitas komunikasi menunjukkan bahwa dampak negatif keberagaman tidak terjadi karena keberagaman budaya yang dimiliki masing-masing suku sudah dapat terorganisir dengan baik. Hal tersebut dapat terjadi karena hambatan komunikasi antarbudaya yang terjadi masih dapat diatasi, terlebih kesadaran para suku non- Sunda sebagai pendatang yang memang harus beradaptasi di tempat dimana mereka berada. Rasa toleransi, hormat, dan menghargai satu sama lain juga sudah mulai terjalin pada proses interaksi mereka sehari-hari untuk menghindari perasaan canggung dan tersinggung, sehingga dampak negatif keberagaman budaya seperti konflik antarsuku tidak terjadi di Desa Tanjungbaru. Hal tersebut didukung oleh pernyataan beberapa informan bahwa selama ini tidak pernah terjadi konflik antarsuku di Desa Tanjungbaru.

Merujuk pada klasifikasi hambatan komunikasi antarbudaya Gudykunst dan Kim (1997) yang melengkapi hambatan komunikasi antarbudaya yang diteliti pada penelitian-penelitian sebelumnya, menghasilkan suatu kesimpulan bahwa di Desa Tanjungbaru hambatan komunikasi antarbudaya pada kasus pasangan pertemanan berbeda budaya antara suku Sunda dan non-Sunda yang paling tinggi adalah hambatan budaya (individualistik). Hal ini terjadi karena karena baik warga suku Sunda atau non-Sunda yang merupakan pendatang (memiliki kepentingan dan orientasi masing-masing, sesuai dengan tujuan awal datang yakni untuk mencari pekerjaan. Hal tersebut menjadikan intensitas pertemuan mereka yang tidak dapat setiap hari berinteraksi untuk menghabiskan waktu bersama dalam menjalin kedekatan. Kedekatan yang belum terjalin lama juga menjadi salah satu alasan mengapa terkadang rasa canggung untuk menyapa, memulai pembicaraan, atau bahkan bertukar pendapat dapat muncul. Akan tetapi, kondisi kepadatan penduduk di desa tersebut sangat memungkinkan mereka berinteraksi, terlebih jarak dari satu rumah ke rumah/kontrakan lain tidak terlampau jauh.

Berdasarkan uji statistik yang dilakukan, hambatan komunikasi yang dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya adalah hambatan budaya (individualistik), hambatan psikobudaya (stereotype, etnosentrisme, prasangka), hambatan lingkungan (lingkungan fisik, situasi, situational norm and rules, lingkungan psikologi). Selain tiga hambatan tersebut, terdapat pula hambatan sosiobudaya yang dilakukan secara kualitatif dengan didukung oleh wawancara mendalam, dan terindikasi memiliki pengaruh terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya. Berdasarkan seluruh hambatan komunikasi yang dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya, didapatkan bahwa yang memiliki hasil paling signifikan secara berurutan adalah hambatan psikobudaya, hambatan budaya, dan hambatan lingkungan. Dimensi dari hambatan psikobudaya yang mempengaruhi paling signifikan adalah stereotype. Hal tersebut dapat terjadi karena kognisi seseorang terhadap ciri negatif yang melekat pada suatu kelompok,

72

yang kemudian digeneralisasikan kepada seluruh anggota dari kelompok tersebut dapat memunculkan rasa canggung, bahkan menyinggung seluruh anggota dari kelompok tersebut. Selain itu, stereotype juga merupakan sejenis penyaring, menyediakan informasi yang konsisten dengan informasi yang dipercayai oleh seseorang, dengan begitu suatu hal yang benar tidak akan memiliki kesempatan untuk diketahui.

Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, efektivitas komunikasi antarbudaya dapat dikatakan sudah cukup efektif, namun belum maksimal, mengingat masih ada hambatan yang berpengaruh secara signifikan. Hambatan yang memiliki pengaruh paling signifikan secara berurutan adalah hambatan psikobudaya, budaya dan lingkungan. Oleh karena itu, beberapa saran yang dapat penulis sampaikan antara lain:

1. Berdasarkan kesimpulan terkait dengan hambatan komunikasi antarbudaya yang masih terjadi, maka saran yang diajukan untuk akademisi adalah mengkaji lebih dalam terkait dengan masing-masing subvariabel hambatan. Mengkaji hambatan sosiobudaya secara kuantitatif, karena terindikasi memiliki pengaruh terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya.

2. Berdasarkan kesimpulan terkait dengan pengaruh hambatan komunikasi antarbudaya, maka saran yang diajukan untuk masyarakat yakni membuat suatu agenda yang memfasilitasi warga dengan berbagai suku agar dapat berinteraksi dan mengenal lebih dekat agar hambatan-hambatan komunikasi antarbudaya dapat diminimalisasi karena memiliki kesadaran mengenai pentingnya komunikasi antarbudaya

3. Berdasarkan kesimpulan terkait dengan stereotype sebagai hambatan paling berpengaruh, maka saran yang diajukan untuk masyarakat adalah bersikap mindful (kesadaran dalam berkomunikasi terkait siapa teman bicaranya), saling mendekatkan diri dan bergaul, aktif berpartisipasi kegiatan kampung, gunakan bahasa dan istilah yang dimengerti satu sama lain, bersikap terbuka, saling menghormati dan hindari berpikir negatif untuk meningkatkan kepercayaan.

73

DAFTAR PUSTAKA

Aksan EE. 2009. Komunikasi antarbudaya etnik Jawa dan etnik keturunan Cina. J Komunikasi [Internet]. [dikutip 2 Maret 2014]; 7(1): 1-15. Dapat diunduh dari: http://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewFile/6/34 Anugrah D, Kresnowati W. 2008. Komunikasi Antar Budaya: Konsep dan

Aplikasinya. Jakarta (ID): Jala Permata. 188 hal.

Astagini N. 2009. Hambatan komunikasi dalam komunikasi keorganisasian: kasus penggabungan lembaga pendidikan bahasa dengan orientasi berbeda [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. 108 hal.

Astuti P. 2014 Komunikasi sebagai sarana akulturasi antara kaum urban dengan masyarakat urban dengan masyarakat lokal di Pasar Segiri. E-J Komunikasi [Internet]. [dikutip 9 Maret 2014]; 2(1): 305-320. Dapat diunduh dari: http://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/wp-

content/uploads/2014/02/ejournal%20puji%20(02-25-14-06-33-03).pdf Azis M. 2010. Efektivitas komunikasi antar etnis: kasus etnis Arab dan etnis

Sunda di Kelurahan Empang, Bogor Selatan) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 72 hal.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010. Jakarta (ID): BPS

Cahyana YY, Suyanto B. 1996. Kajian Komunikasi dan Seluk-Beluknya.Surabaya (ID): Airlangga University Press. 215 hal.

Christy MP. 2013. Hambatan komunikasi antarbudaya antara dosen native asal China dengan mahasiswa Indonesia program studi Satra Tionghoa Universitas Kristen Petra. J E-Komunikasi [Internet]. [dikutip 20 Februari

2014]; 1(2): 37-48. Dapat diunduh dari:

http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/view/891 Darmastuti R. 2013. Mindfullnessdalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta

(ID): Mata Padi Pressindo. 296 hal.

Devito JA. 2009. Human Communication: The Basic Course. Edisi ke-11. New York (US): Pearson Education

________. 2011. Komunikasi Antar Manusia. Edisi ke-5. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Maulana A). Pamulang (ID): Karisma Publishing Group. 600 hal.

Gudykunst WB, Kim YY. 1997. Communicating with Strangers: An Approach to Interculture Communication. Edisi ke-3. New York (US): McGraw-Hill. 444 hal.

Iswari AN, Pawito. 2012. Komunikasi antarbudaya di kalangan mahasiswa (Studi tentang komunikasi antarbudaya di kalangan mahasiswa etnis Batak dengan mahasiswa etnis Jawa di Universitas Sebelas Maret Surakarta). J Komunikasi Massa [Internet]. [dikutip 5 Maret 2014]; 1: 1-13. Dapat diunduh dari: http://jurnal- kommas.com/index.php?target=isi&jurnal=Komunikasi%20Antar%20Buday a%20di%20Kalangan%20Mahasiswa%20(%20Studi%20tentang%20Komuni kasi%20Antar%20Budaya%20%20di%20Kalangan%20Mahasiswa%20Etnis %20Batak%20dengan%20Mahasiswa%20etnis%20%20Jawa%20di%20Univ ersitas%20Sebelas%20%20Maret%20Surakarta%20

74

Juariyah. 2014. Miskomunikasi antarbudaya mahasiswa pendatang di Jember. J Ilmu Komunikasi [Internet]. [dikutip 9 Maret 2014]; 10(3): 251-261. Dapat

diunduh dari:

http://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/komunikasi/article/view/45/49

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta (ID): Balai Pustaka. 556 hal. _____________. 2010. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta (ID):

Djambatan. 395 hal.

Lubis LA. 2012. Komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan pribumi di Kota Medan. J Komunikasi [Internet]. [dikutip 2 Maret 2014]; 10(1): 13-27. Dapat diunduhdari:

http://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewFile/83/87

_______. 2012. Komunikasi antarbudaya Tionghoa dalam penggunaan bahasa. J Ilmu Komunikasi [Internet]. [dikutip 2 Maret 2014]; 10(3): 285-294. Dapat

diunduh dari:

http://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewFile/46/50

Martin JN, Nakayama TK. 2013.Intercultural Communication in Contexts. Edisi ke-6. New York (US): McGraw-Hill. 504 hal.

____________________. 2014. Experiencing Intercultural Communication: An introduction. Edisi ke-5. New York (US): McGraw-Hill. 576 hal.

Muhidin SA, Abdurahman M. 2007. Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur dalam Penelitian. Bandung (ID): CV Pustaka Setia. 280 hal.

Mulyana D. 2008. Komunikasi Efektif: Suatu Pendekatan Lintas Budaya. Bandung (ID): Rosda. 249 hal.

Munawaroh S. 2009. Interaksi suku Jawa dan Madura di Surabaya. Patrawidya. 10(4):1001-1031

Nuraeni HG, Alfan M. 2012. Studi Budaya di Indonesia. Bandung (ID): CV Pustaka Setia. 276 hal.

Pakpahan FB. 2013. Fungsi komunikasi antarbudaya dalam prosesipernikahan adat Batak di Kota Samarinda (Studi kasus empat pasanganberbeda etnis antara etnis Batak dengan etnis Jawa, Toraja, dan Dayak). E-J Ilmu Komunikasi [Internet]. [dikutip 21 Februari 2014]; 1(3): 234-248. Dapat diunduh dari: http://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/wp- content/uploads/2013/08/jurnal%20jadi%20(08-26-13-03-35-36).pdf

Rofiah. 2012. Efektivitas komunikasi antarbudaya suku Sunda dan suku Madura: kasus manajemen konflik di kelurahan Kebon Kelapa KecamatanBogor Tengah, Kota Bogor) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 139 hal. Rosyadi dan Sucipto T. 2006. Profil Budaya Betawi. Bandung (ID): Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. 323 hal.

Rumondor FH, Paputungan R, Tangkudung P. 2014. Stereotip suku Minahasa terhadap etnis Papua (Studi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa fakultas ilmu sosial dan politik Universitas Sam Ratulangi). J Acta Diurna [Internet]. [dikutip 2 Januari 2012]; 3(2): 1-6. Dapat diunduh dari: http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/actadiurna/article/view/5038/4555

75 Sanjaya A. 2013. Hambatan komunikasi antarbudaya antara staf marketing dengan penghuni berkewarganegaraan Australia dan Korea Selatan di Apartemen X. J E-Komunikasi [Internet]. [dikutip 20 Februari 2014]; 1(3):

252-263. Dapat diunduh dari:

http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmu- komunikasi/article/view/939/839

Samovar LA, Porter RE, McDaniel ER. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Edisi ke-7. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Sidabalok IM). Jakarta (ID): Salemba Humanika. 493 hal. [Judul asli: Communication Between Cultures] Sihabudin A. 2013. Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif Multidimensi.

Jakarta (ID): Bumi Aksara. 162 hal.

Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): LP3ES Supardi. 2014. Aplikasi Statistika dalam Penelitian: Konsep Statistika yang Lebih

Komprehensif. Jakarta (ID): Change Publication. 436 hal.

Suranto. 2011. Komunikasi Interpersonal.Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. 174 hal. Wijaya R. 2013. Anxienty uncertaintymanagement mahasiswi InHolland program

studi Manajemen Bisnis Internasional. J E-Komunikasi [Internet]. [dikutip 15 Maret 2014]; 1(1): 1-10. Dapat diunduh dari: http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/view/127 Tinambunan WE. 2012. Dampak migrasi terhadap komunikasi lintas budaya.

JIlmuKom. [Internet]. [dikutip 21 Februari 2014]; 1(1): 43-49. Dapat diunduh dari: http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JKMS/article/view/609

Tubbs SL, Moss S. 1996. Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Mulyana D). Bandung (ID): Rosda. 316 hal.

77

LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta Desa Tanjungbaru, Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat

78

Lampiran 2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2014-2015

Kegiatan Juni Sep Okt Nov Des Jan

Penyusunan Proposal Skripsi Kolokium Perbaikan Proposal Skripsi Pengambilan Data Lapang Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Uji Petik Sidang Skripsi Perbaikan Laporan Skripsi

79 Lampiran 3 Kerangka Sampling Penelitian

No

Nama

Pendatang Asal suku Usia

Nama

teman suku Usia

1 ABW Madura Madura 38

2 BRH Pemalang Jawa 32 WAK Sunda 35

3 ARF Pamekasan Madura 20 ASH Sunda 20

4 ADR Karawang Sunda 27 JJN Sunda 32

5 AJS Madura Madura 28 DVA Sunda 25

6 AJF Karawang Sunda 24 CWH Sunda 26

7 ANM Pamulang Betawi 20 AMS Sunda 20

8 ASJ Subang Sunda 43

9 AAM Nganjuk Jawa 23 ADT Sunda 20

10 ANF Karawang Sunda 28 AJS Sunda 31

11 AHS Sampang Madura 35

12 ANG Pangkalan Madura 38

13 ADY Bantul Jawa 22 WWN Sunda 25

14 ABM Madura Madura 37

15 DRS Purbalingga Jawa 35

16 DNS Medan Batak 26

17 DSM Tebing Padang 27 IPT Sunda 31

18 EMT Sragen Jawa 25 ABA Sunda 27

19 EGW Jakarta Betawi 38

20 FUM Pamekasan Madura 23

21 HMD Pamekasan Madura 33

22 HRY Yogyakarta Jawa 41

23 HKS Jakarta Betawi 44 HDR Sunda 39

24 IWD Jakarta Betawi 21 ASN Sunda 22

25 IIR Tasikmalaya Sunda 30 HDY Sunda 34

26 JLN Medan Batak 43

27 JTM Medan Batak 32

28 KRM Madura Madura 18 AKS Sunda 18

29 KNT Semarang Jawa 44

30 MRW Cilacap Jawa 32 YNH Sunda 37

31 LQD Pamekasan Madura 23

32 LSY Padang Padang 44

33 LSM Sukoharjo Jawa 36 MNS Sunda 41

34 PSD Kebumen Jawa 34 KWA Sunda 36

35 MLH Kebumen Jawa 39

36 SPR Sleman Jawa 36 MST Sunda 35

37 MSK Cilacap Jawa 37 HDY Sunda 41

38 MTR Medan Batak 35

39 NHR Jakarta Betawi 37 IKR Sunda 43

80

No

Nama

Pendatang Asal suku Usia

Nama

teman suku Usia

41 NRC Kulon Progo Jawa 20

42 NHS Jakarta Betawi 34

43 SSH Sampang Madura 39

44 SSL Madura Madura 27

45 NRM Padang Padang 41 SPY Sunda 37 46 RYN Bojonegoro Jawa 24 DAS Sunda 27 47 RFL Jakarta Betawi 24 AGS Sunda 26 48 RSP Karawang Sunda 22 ELR Sunda 19 49 RDM Padang Padang 24 ACS Sunda 25 50 SRR Medan Batak 33 KRS Sunda 30 51 SRD Subang Sunda 29 TAS Sunda 31 52 SDJ Medan Batak 29 KML Sunda 26 53 NHY Sibolga Batak 35 ESG Sunda 40 54 NJR Medan Batak 27

55 SUK Brebes Jawa- 34 YYS Sunda 30 56 SML Boyolali Jawa 36 DAM Sunda 34 57 SHR Wonogiri Jawa 33 HUY Sunda 30 58 SBR Jakarta Betawi 40 KSY Sunda 38 59 SDY Purworejo Jawa 33 ISN Sunda 36 60 SGY Jakarta Betawi 43

61 SHY Purworejo Jawa 27

62 SPR Pamekasan Madura 20

63 STH Pamekasan Madura 36

64 SDN Padang Padang 41 AMS Sunda 44 65 THR Wonogiri Jawa 28 KRN Sunda 26 66 WST Jakarta Betawi 24

67 WNS Jakarta Betawi 20

68 YEF Sijunjung Padang 38

69 YES Sijunjung Padang 32 CCS Sunda 32

70 YAD Temanggung Jawa 31 KNG Sunda 29

81 Lampiran 4 Hasil Uji Statistik Analisis Regresi Linier Berganda SPSS 21.00

82

83 Lampiran 5 Dokumentasi

87

RIWAYAT HIDUP

Lingga Detia Ananda dilahirkan di Bandung pada tanggal 13 Agustus 1994. Pendidikan formal yang telah ditempuh adalah SDN Jatiasih IX Bekasi pada tahun 1999-2005, SMPN 12 Bekasi pada tahun 2005-2008, SMAN 3 Bekasi pada tahun 2008-2011. Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Tulis, dan pada tahun 2012 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Selain aktif dalam aktivitas perkuliahan, penulis juga aktif dalam organisasi dan unit kegiatan mahasiswa, seperti anggota PSM IPB AgriaSwara sekaligus Sekretaris pada Konser Angkatan „Spectaforia‟ periode 2011-2012, Sekretaris Departemen Pengembangan Budaya Olahraga dan Seni Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (PBOS BEM FEMA) periode 2012-2013. Disamping itu, penulis juga aktif diberbagai kepanitiaan dan perlombaan yang diselenggarakan oleh Lembaga Kemahasiswaan dan Lembaga Struktural yang ada di Institut Pertanian Bogor, dan pernah menjadi volunteer kegiatan di luar kampus.

Dokumen terkait