• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Hambatan Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dengan Non-Sunda terhadap Efektivitas Komunikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Hambatan Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dengan Non-Sunda terhadap Efektivitas Komunikasi"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

x

PENGARUH HAMBATAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

SUKU SUNDA DENGAN NON-SUNDA TERHADAP

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI

LINGGA DETIA ANANDA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Hambatan Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dengan Non-Sunda terhadap Efektivitas Komunikasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

(3)

iii

ABSTRAK

LINGGA DETIA ANANDA. Pengaruh Hambatan Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dengan Non-Sunda terhadap Efektivitas Komunikasi. Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO.

Keberagaman budaya di Indonesia memiliki dampak positif dan negatif. Secara umum, dampak positifnya yakni menjadi suatu kekayaan bangsa yang dapat menjadi modal untuk mempersatukan bangsa. Di sisi lain, dampak negatif yang dapat timbul adalah jika keberagaman budaya ini tidak dapat terintegrasi dan terorganisir dengan baik, akan memunculkan kesalahpahaman yang akhirnya dapat memicu konflik yang menyebabkan perpecahan bangsa. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis efektivitas komunikasi, 2) menganalisis hambatan komunikasi antarbudaya suku Sunda dan non-Sunda yang terjadi, 3) menganalisis pengaruh hambatan komunikasi antarbudaya suku Sunda dan non-Sunda terhadap efektivitas komunikasi. Lokasi penelitian terletak di Desa Tanjungbaru, Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi dengan pertimbangan banyaknya penduduk pendatang dengan suku yang beragam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian survei jenis explanatory (penjelasan), dengan instrumen penelitian berupa kuesioner yang diberikan kepada responden, dan didukung oleh data kualitatif yang didapatkan melalui wawancara mendalam kepada informan. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah simple random sampling dengan jumlah 40 pasang pertemanan berbeda budaya. Analisis statistik yang digunakan adalah uji regresi linier berganda yang bertujuan melihat bagaimana pengaruh antara dua variabel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan pada hambatan komunikasi antarbudaya terhadap efektivitas komunikasi. Hambatan komunikasi antarbudaya yang memberikan pengaruh paling signifikan terhadap efektivitas komunikasi secara berurutan yakni hambatan psikobudaya, hambatan budaya dan hambatan lingkungan.

(4)

x

ABSTRACT

LINGGA DETIA ANANDA. The influence of intercultural communication barriers between Sundanese and non-Sundanese on communication effectiveness. Supervised by SARWITITI SARWOPRASODJO.

Cultural diversity in Indonesia has positive and negative impacts. Generally, the positive impact is becoming a nation's wealth that could be a capital to unite the nation. In the other hand, the negative impact which occurred if this cultural diversity can not be integrated and well-organized so it will make misinterpret which is ultimately can lead to conflict and discord nation. This study aims to 1) analyze the communication effectiveness, 2) analyze intercultural communication barriers which occurred between Sundanese and non-Sundanese, 3) analyze the influence of intercultural communication barriers on the communication effectiveness between Sundanese and non-Sundanese. The research is located in Tanjungbaru village, Cikarang Timur district, Bekasi Regency considering the number of migrants with diverse ethnics. The methodology of this research was survey research method (explanatory), with the questionnaire as a research instrument was given to the respondents, and supported by qualitative data that obtained through in-depth interviews to the informants. The sampling technique that used was simple random sampling with 40 pairs of friends that have different cultures. The statistical analysis in this research was multiple linear regression test that aimed to see how the influences between the two variables. The result showed that there is a significant influence in intercultural communication barriers on communication effectiveness. The most significant influence on the effectiveness communication of the sequential is psychocultural barriers, cultural barriers and environmental barriers.

(5)

ivi

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan masyarakat

PENGARUH HAMBATAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

SUKU SUNDA DENGAN NON-SUNDA TERHADAP

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI

LINGGA DETIA ANANDA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

x

Judul Skripsi : Pengaruh Hambatan Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dengan Non-Sunda terhadap Efektivitas Komunikasi

Nama : Lingga Detia Ananda NIM : I34110114

Disetujui oleh

Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(7)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Hambatan Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dengan Non-Sunda terhadap Efektivitas Komunikasi”. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan banyak saran serta masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Kepada orangtua tercinta Ibu Sri Wahyuni atas semangat, masukan, bantuan, dan doa yang tiada hentinya, kepada Bapak Andrianto Wijiasmoro yang selalu memberikan dukungan dan semangat. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Tara, Kak Habibi, Kak Aliyyan, Kak Amri, Indah, Riri yang telah membantu dan memberi saran dalam penyusunan skripsi ini. Kepada seluruh teman-teman akselerasi SKPM 48, teman-teman SKPM 48, sahabat Amel, Novia, Pingkan, Dhira, Wenny, Ami, Hafid, Kiki, Cynda, Gina, Silpa, Mirfa, Anita, teman sebimbingan yang selalu memberikan dukungan dan semangat yang positif kepada penulis. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak Desa Tanjungbaru, responden dan informan yang telah bekerja sama dalam penelitian ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Februari 2015

(8)

x

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka 5

Kerangka Pemikiran Penelitian 25

Hipotesis 27

Definisi Operasional 27

PENDEKATAN LAPANGAN 33

Metode Penelitian 33

Lokasi dan Waktu Penelitian 33

Teknik Penarikan Sampel dan Informan 33

Teknik Pengumpulan Data 34

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 34

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 37

Kondisi Geografis 37

Kondisi Demografis 37

Sejarah Masuknya Pendatang 41

ANALISIS EFEKTIVITAS KOMUNIKASI DAN HAMBATAN

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA 45

Efektivitas Komunikasi 45

Hambatan Komunikasi Antarbudaya 50

ANALISIS PENGARUH HAMBATAN KOMUNIKASI TERHADAP

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI 61

(9)

viiii

Hambatan Budaya, Sosiobudaya, Psikobudaya, dan Lingkungan secara Bersamaan Mempengaruhi Efektivitas Komunikasi

69

PENUTUP 71

Simpulan 71

Saran 72

DAFTAR PUSTAKA 73

LAMPIRAN 77

(10)

x

DAFTAR TABEL

1 Sebaran jumlah penduduk Desa Tanjungbaru menurut wilayah dan

jenis kelamin, Tahun 2013-2014 38

2 Persentase penduduk menurut etnis di Desa Tanjungbaru, Tahun

2013-2014 38

3 Jumlah dan persentase penduduk menurut penganut agama di Desa

Tanjungbaru, Tahun 2013-2014 39

4 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Tanjungbaru,

Tahun 2013-2014 40

5 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Desa Tanjungbaru,

Tahun 2013-2014 40

6 Sebaran nilai rata-rata, skor total minimal, skor total maksimal, dan persentase variabel pengaruh (hambatan budaya, psikobudaya,

lingkungan) terhadap variabel terpengaruh (efektivitas komunikasi) 45 7 Nilai signifikansi, nilai koefisien dan arah pengaruh variabel pengaruh

terhadap variabel terpengaruh berdasarkan hasil uji statistik analisis

regresi linier berganda 61

8 Nilai koefisien, nilai signifikansi, dan arah pengaruh berdasarkan hasil uji statistik variabel pengaruh (individualistik, stereotype, etnosetrisme, prasangka, lingkungan fisik, situasi, situasional norms and rules, dan lingkungan psikologi) terhadap variabel terpengaruh

(efektivitas komunikasi) 69

DAFTAR GAMBAR

1 Model Communication with Stranger Gudykunst dan Kim 7

2 Kerangka Pemikiran Penelitian 27

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Desa Tanjungbaru, Kecamatan Cikarang Timur, Kabupaten

Bekasi, Provinsi Jawa Barat 77

2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2014-2015 78

3 Kerangka Sampling Penelitian 79

4 Hasil Uji Statistik 81

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia yang saat ini berpenduduk 238 juta, memiliki masyarakat dengan keanekaragaman budaya yang sangat majemuk. Menurut Darmastuti (2013) ciri yang menandakan kemajemukan tersebut adalah adanya keberagaman budaya yang tercermin dari perbedaan adat istiadat, bahasa, suku, etnik (bangsa), keyakinan agama, dan lain-lain. Keberagaman budaya ini memiliki dampak positif dan negatif. Secara umum, dampak positifnya yakni keragaman budaya merupakan suatu kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia yang sangat bernilai, dan dapat menjadi modal untuk memajukan serta mempersatukan bangsa, jika dapat terintegrasi dan terorganisir dengan baik. Dampak negatifnya, keberagaman budaya dapat memicu konflik dan terjadi perpecahan bangsa. Contoh kasus konflik di Sampit yaitu konflik antara suku Madura dan Dayak pada Tahun 2001. Kasus ini berawal dari pembunuhan empat anggota keluarga Madura oleh Dayak, karena terjadi kesalahpahaman akibat perbedaan latar belakang budaya. Oleh karena itu, mempelajari budaya masyarakat lain dan belajar berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda budaya menjadi suatu kebutuhan dalam proses komunikasi.

Keberagaman budaya memiliki implikasi terhadap proses komunikasi. Jika dilihat dari aspek komunikasi, eberagaman budaya memiliki keuntungan dan tantangan. Keuntungannya yakni dapat menjadi sarana dalam proses peningkatan wawasan dan cara pandang seseorang di luar budaya dan lingkungannya. Di sisi lain, tantangan yang dihadapi adalah perlunya upaya lebih untuk melakukan komunikasi antarbudaya, karena kadang-kadang makna pesan yang diterima oleh komunikan tidak sesuai atau tidak sama dengan makna pesan yang dikirim oleh komunikator yang memiliki perbedaan latar belakang budaya. Perbedaan makna pesan menyebabkan kesalahpahaman karena adanya perbedaan cara pandang, bahasa, norma, kebiasaan, persepsi dari masing-masing budaya yang dimiliki. Hasil penelitian Sanjaya (2013) menyatakan bahwa kesalahpahaman yang terjadi karena perbedaan kebiasaan, ketika orang Korea Selatan mengajak orang Indonesia untuk meminum kopi dengan maksud sebagai bentuk pertemanan, orang Indonesia tersebut justru membuatkan secangkir kopi untuk orang Korea Selatan itu. Kesalahpahaman terjadi ketika orang Korea Selatan ingin mengajaknya pergi keluar untuk meminum kopi sambil berbincang-bincang sebagai bentuk pendekatan pertemanan, namun dimaknai oleh orang Indonesia bahwa orang Korea Selatan ingin disajikan secangkir kopi. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan kebiasaan pada budaya masing-masing, oleh karena itu untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman serta mencapai keberhasilan komunikasi antara komunikator dan komunikan, dibutuhkan komunikasi yang efektif di dalamnya.

(12)

2

industri yang berada di Kecamatan Cikarang Timur. Dari sini lah [roses komunikasi antarbudaya suku Sunda yang merupakan pribumi dan suku non-Sunda yang merupakan pendatang terjalin. Penulis mendapat informasi dari salah seorang warga yang menyatakan bahwa di Desa Tanjungbaru kadang-kadang terjadi kesalahpahaman dalam proses komunikasi mereka sehari-hari. Contohnya adalah ketika mereka menggunakan bahasa daerahnya, padahal sedang berbicara dengan pasangan temannya yang berbeda budaya.

Pada penelitian-penelitian sebelumnya mengenai hambatan komunikasi antarbudaya (Sanjaya 2013, Christy 2013, Iswari dan Pawito 2012, Aksan 2009, Juariyah 2014, Wijaya 2013, Lubis 2012), ditemukan hambatan komunikasi antarbudaya yang beragam dan tidak diklasifikasikan (hambatan fisik, budaya, kebiasaan, motivasi, pengalaman, emosi, bahasa, nonverbal, kompetisi fikiran, low-high konteks, perbedaan nilai, sikap, kompetensi vebal, penggunaan bahasa, logat, stereotype, keterasingan dan ketidakpastian) seperti yang dinyatakan oleh Gudykunst dan Kim (1997). Gudykunst dan Kim (1997) menyatakan terdapat empat filter konseptual yang dapat mempengaruhi proses komunikasi dengan orang lain dan dikategorikan ke dalam: Pertama, faktor-faktor budaya (cultural influences on the process) yang menjelaskan mengenai kemiripan dan perbedaan suatu budaya dengan budaya lainnya; Kedua, faktor-faktor sosiobudaya (sosiocultural influences on the process) yaitu merupakan faktor-faktor yang berpengaruh pada proses penataan sosial, dan berkembang berdasarkan interaksi dengan orang lain ketika pola-pola perilaku menjadi konsisten dengan berjalannya waktu; Ketiga, faktor-faktor psikobudaya (psychocultural influences on the process) yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi proses penataan pribadi; Keempat, faktor-faktor lingkungan (environmental influences on the process) faktor-faktor yang berasal dari lingkungan yang dapat mempengaruhi persepsi, emosi, sikap, tingkah laku, dan perasaan kita.

(13)

3 Perumusan Masalah

Masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana efektivitas komunikasi yang terjadi?

2. Apa saja hambatan komunikasi yang terjadi pada masyarakat yang memiliki perbedaan latar belakang budaya?

3. Bagaimana pengaruh hambatan komunikasi antarbudaya terhadap efektivitas komunikasi?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis efektivitas komunikasi antarbudaya yang terjadi

2. Menganalisis hambatan komunikasi yang terjadi pada masyarakat yang memiliki perbedaan latar belakang budaya

3. Menganalisis pengaruh hambatan komunikasi antarbudaya terhadap efektivitas komunikasi

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi akademisi, pemerintah dan masyarakat pada umumya mengenai kajian hambatan komunikasi terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya. Secara spesifik dan terperinci manfaat yang didapatkan oleh berbagai pihak adalah sebagai berikut:

1. Bagi akademisi

Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian mengenai ilmu komunikasi khususnya mengenai hambatan komunikasi dan pengaruhnya terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya, serta dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi para akademisi yang ingin meneliti lebih mendalam dan spesifik terkait hambatan komunikasi pada komunikasi antarbudaya

2. Bagi masyarakat

(14)
(15)

5

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya menjadi sesuatu yang penting mengingat beragamnya budaya yang terdapat di Indonesia. Mulyana (2008) menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya pada dasarnya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, oleh karena itu perlu mengetahui pengertian dari kata “komunikasi” dan “budaya”.

Menurut Sihabudin (2013) komunikasi merupakan proses dinamik transaksional yang mempengaruhi perilaku sumber dan penerimanya dengan sengaja menyadari perilaku mereka untuk menghasilkan pesan yang mereka salurkan lewat suatu saluran guna merangsang atau memperoleh sikap atau perilaku tertentu. Martin dan Nakayama (2014) mengatakan komunikasi adalah sebuah proses simbolik dimana makna atau arti pesan dibagikan dan dinegosiasikan. Dengan kata lain, komunikasi terjadi setiap kali seseorang mengartikan kata-kata atau tindakan orang lain.

Menurut Sihabudin (2013), budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal, budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, dan diwariskan dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Gudykunst dan Kim (1997) mengatakan budaya adalah sebuah bentuk yang menunjukkan bahwa terdapat banyak perbedaan hal pada orang yang berbeda. Devito (2009) mengungkapkan budaya ditularkan dari satu generasi ke generasi lain melalui enkulturasi, yaitu proses dimana seseorang belajar budaya di tempat seseorang tersebut dilahirkan. Unsur-unsur budaya terdiri dari nilai, kepercayaan, dan bahasa yang dapat membentuk perilaku individu dalam cara seseorang berkomunikasi dengan budaya lain. Nilai merupakan suatu konsep yang sangat abstrak yang dimiliki oleh setiap individu dalam memandang dunia ini. Kepercayaan dipahami sebagai suatu konsep yang dimiliki setiap individu tentang bagaimana mereka melihat kondisi sekelilingnya. Bahasa dipahami sebagai satu unsur penting yang sangat diperlukan untuk berkomunikasi di antara anggota-anggota masyarakat tempat budaya itu berada. Budaya yang dimiliki masing-masing individu yang berbeda etnik akan mempengaruhi bagaimana kelompok atau individu itu menyampaikan simbol atau lambang yang berisi pesan ketika mereka melakukan interaksi sosial di dalam kelompok itu dengan masyarakat sekitarnya (Darmastuti 2013).

(16)

6

budaya. Darmastuti (2013) mengungkapkan komunikasi antarbudaya merupakan proses pengalihan pesan yang dilakukan seseorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu.

Terdapat empat tujuan komunikasi antarbudaya, yaitu 1) komunikasi antarbudaya digunakan untuk memahami perbedaan budaya yang mempengaruhi praktik komunikasi antara individu yang memiliki perbedaan latar belakang budaya, 2) agar dapat terjalinnya komunikasi antara orang yang berbeda budaya, 3) mengidentifikasikan kesulitan-kesulitan yang muncul dalam komunikasi antara orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya, 3) membantu mengatasi masalah komunikasi yang disebabkan oleh perbedaan budaya. Darmastuti (2013) mengemukakan beberapa asumsi yang mendasari komunikasi antarbudaya antara lain, sebagai makhluk sosial setiap individu akan berkomunikasi dengan individu lainnya. Latar belakang budaya yang dimiliki setiap individu akan mempengaruhi individu tersebut dalam berkomunikasi. Perbedaan latar belakang budaya ini akan mempengaruhi perbedaan antara komunikator dan komunikan. Perbedaan latar belakang budaya juga akan menimbulkan ketidakpastian dalam proses komunikasi antara komunikator dengan komunikan, sehingga pemahaman terhadap budaya lain menjadi satu hal yang penting dalam membangun komunikasi yang efektif.

Memahami budaya masyarakat lain merupakan satu hal yang sangat penting dalam membangun komunikasi yang efektif, hal ini yang menjadikan komunikasi antarbudaya memiliki fungsi yang penting. Menurut Darmastuti (2013), fungsi komunikasi antarbudaya ada dua. Fungsi pertama adalah fungsi pribadi yang didapatkan seseorang dalam berkomunikasi dengan orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Fungsi tersebut digunakan untuk menyatakan identitas sosial, menyatakan integrasi sosial, menambah pengetahuan, dan melepaskan diri sebagai jalan keluar. Fungsi kedua adalah sebagai fungsi sosial yang didapatkan oleh seseorang sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan orang lain dalam kaitannya dengan komunikasi antarbudaya. Fungsi tersebut digunakan sebagai fungsi pengawasan, menjembatani perbedaan budaya, sosialisasi nilai, dan fungsi menghibur.

Hal yang serupa dijelaskan oleh Pakpahan (2013) dalam penelitiannya terkait komunikasi antarbudaya pasangan suami istri berbeda suku, yakni terdapat tiga fungsi komunikasi antarbudaya, dan masing-masing fungsi ini terjadi pada keempat pasangan tersebut. Fungsi pertama, untuk menyatakan identitas sosial yang dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik secara verbal dan nonverbal, dari perilaku berbahasa itulah dapat diketahui identitas diri, maupun sosial. Fungsi ini sangat membantu proses pernikahan adat yang akan mereka lakukan. Contohnya karakteristik suku Batak yang cenderung low context menjadi patokan pasangan berbeda etnis untuk berbicara dan bertingkah laku terhadap pasangannya, sehingga mengetahui bagaimana cara berkomunikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara mereka.

Hambatan komunikasi antarbudaya

(17)

7 Chaney dan Martin seperti dikutip oleh Sanjaya (2013) mengungkapkan bahwa hambatan komunikasi adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif karena adanya perbedaan budaya antara komunikator dan komunikan. Menurut Anugrah dan Kresnowati (2008), hambatan komunikasi adalah hal-hal yang menyebabkan terdistorsinya pesan yang disampaikan sehingga komunikan tidak dapat menerima pesan yang disampaikan oleh komunikator secara utuh.

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Astagini (2009), hambatan komunikasi yang terjadi pada anggota yang memiliki perbedaan latar belakang budaya di suatu lingkungan interaksi yang sama, dapat menyebabkan perbedaan persepsi satu sama lain. Perbedaan persepsi inilah yang mengakibatkan munculnya beberapa faktor yang menghambat terjadinya proses komunikasi yang efektif. Merujuk pada buku Communicating with Strangers: An Approach to Intercultural Communication yang ditulis oleh Gudykunst dan Kim (1997), penyandian pesan dan penyandian balik pesan merupakan proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter-filter konseptual yang dikategorikan ke dalam faktor-faktor budaya (cultural influences on the process), sosiobudaya (sosiocultural influences on the process), psikobudaya (psychocultural influences on the process) dan faktor lingkungan (environtmental influences on the process).

Pada Gambar 1 terlihat bahwa lingkaran pusat yang terdiri dari interaksi antara proses transmisi dan interpretasi pesan dikelilingi oleh tiga lingkaran lain yang terdiri dari cultural, sociocultural, dan psychocultural influences. Garis putus-putus mengindikasi bahwa satu elemen tersebut dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh elemen lain. Pada Gambar 1, kedudukan sender/decoder dengan receiver/decoder adalah sama. Individu A dan individu B dapat berperan sebagai pengirim sekaligus penerima pesan. Pesan dari individu A dapat menjadi umpan

Environmental

T = Transmitting; I = Interpreting I

Person A Person B

(18)

8

balik bagi individu B, dan sebaliknya pesan dari individu B dapat pula menjadi umpan balik bagi individu A. Dalam penyampaian pesan, terdapat faktor berupa filter-filter konseptual yang dapat mempengaruhi komunikan dalam menginterpretasikan pesan dari komunikator. Pengaruh lingkungan yang digambarkan dengan kotak yang mengelilingi seluruh elemen model juga menjadi salah satu unsur yang melengkapi model tersebut, garis putus-putus menggambarkan bahwa lingkungan yang dimaksud ketika terjadinya proses komunikasi bukanlah lingkungan yang tertutup atau terisolasi, melainkan dalam lingkungan sosial. Hal tersebut berarti keadaan lingkungan dapat mempengaruhi partisipan komunikasi dalam menyandi dan menyandi balik pesan, seperti lokasi geografis, iklim, situasi arsitektual (lingkungan fisik). Di samping itu, persepsi partisipan komunikasi atas lingkungan tersebut mempengaruhi cara penafsiran dan prediksi mengenai perilaku orang lain, yang dipengaruhi oleh empat faktor konseptual. Faktor yang yang diasumsikan sebagai suatu hambatan yang mempengaruhi proses komunikasi tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Hambatan budaya (cultural)

Terdapat dua pendekatan dalam menilai proses budaya. Pertama yaitu memahami perilaku orang dalam suatu budaya dari sudut pandang mereka. Kedua adalah dengan membandingkan satu budaya dengan yang lain. Persamaan dan perbedaan dapat dijelaskan dan diprediksi secara teoritis melalui penggunaan dimensi variabilitas budaya (misalnya, individualistitik-kolektivistik). Dimensi budaya variabilitas yang memungkinkan untuk memahami mengapa pola komunikasi sama atau berbeda di seluruh budaya.

Menurut Gudykunst dan Kim (1997), hambatan budaya dalam proses komunikasi dengan orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya dapat dijelaskan dengan menggunakan dimensi individualistik-kolektivistik. Individualistik-kolektivistik merupakan dimensi utama dari beragam budaya yang digunakan untuk menjelaskan perbedaan antar budaya dan persamaan berkomunikasi antar budaya. Akan tetapi pada dasarnya, seorang individu tidak akan pernah dapat 100 persen digolongkan dalam orang yang memiliki karakteristik individual ataupun kolektif, namun kedua sifat tersebut tidak akan pernah terpisah. Seorang individu selalu akan berada di antara keduanya. Terkadang akan muncul sisi individualnya yang tinggi, dan terkadang pula sisi kolektivitasnya yang tinggi akan muncul juga.

Menurut Mulyana (2008), seorang individualis cenderung lebih mandiri daripada seorang kolektivis, walaupun sebenarnya sifat kemandirian ini tidak selalu menguntungkan dalam setiap situasi. Individualistik adalah suatu sikap seorang individu yang cenderung hanya melihat dan mendahului kepentingan dirinya sendiri dan keluarga terdekat mereka saja. Budaya-budaya individualis menekankan hak pribadi, kebebasan, inovasi, dan ekspresi diri.

(19)

9 Titik berat orang-orang kolektivistik ini berada dalam kelompok. Seorang individu yang cenderung memiliki karakteristik kolektivistik akan lebih tertarik pada tradisi yaitu nilai-nilai yang sudah seharusnya dan biasanya terjadi, conformity (masa tenang dan aman), benevolence (berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan), serta cenderung menghindari hal-hal baru karena tidak mau meninggalkan zona aman. Dalam hal berkomunikasi, orang-orang kolektif biasanya tidak langsung dalam mengungkapkan pendapatnya (masih banyak basa-basi), ambigu, tidak dinyatakan secara langsung seperti individualistik (cenderung tersirat), menggunakan banyak simbol, dan dengan pembicaraan mereka lebih menangkap tetapi dengan penolakan dia lebih sensitif. Kebanyakan orang-orang kolektif akan menganggap orang-orang atau grup lain berbeda dengan kelompoknya (Mulyana 2008).

Individualistik-kolektivistik diharapkan dapat berpengaruh dalam berkomunikasi melalui pengaruhnya dalam identitas kelompok dan perbedaan antara kelompok inti dengan kelompok luar. Budaya cenderung lebih mengutamakan individual atau kolektif, baik individual maupun kolektif ada di tiap-tiap budaya, untuk menjelaskan mengenai konsep individualistik dan kolektivistik, dapat dilakukan dengan membandingkan nilai-nilai yang mendominasi budaya individualistik pada orang-orang Amerika Serikat dan budaya kolektivistik pada budaya Arab. Menurut Vander Zanden seperti dikutip oleh Gudykunst dan Kim (1997), perilaku orang-orang Amerika Serikat, antara lain materialisme, sukses, kerja dan beraktivitas, kemajuan, rasionalitas, demokrasi, dan humanis. Berbeda dengan budaya individualistik, pada budaya kolektivistik pada orang-orang Arab cenderung bersikap ramah, murah hati, berani, menghormati, dan menjaga kehormatan diri.

Terdapat beberapa faktor individual yang mempengaruhi budaya individualistik-kolektivistik pada proses komunikasi dengan orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya antara lain orientasi pribadi, nilai-nilai individu, dan self construal. Pertama adalah orientasi pribadi, efek budaya komunikasi individualistik-kolektivistik dipengaruhi oleh kepribadian. Kedua yakni nilai-nilai individu, menurut Schwartz seperti dikutip oleh Gudykunst dan Kim (1997) terdapat 11 hal mengenai nilai-nilai motivasi yang mempengaruhi budaya individualistik-kolektivistik yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu nilai yang mempengaruhi perilaku individualistik (hedonisme, prestasi, self direction, kekuatan sosial, dan stimulasi) dan nilai yang mempengaruhi perilaku kolektivistik (prososial, konformitas, kesejahteraan, dan tradisi).

(20)

10

adalah tujuan diri sendiri. Perilaku ini cenderung terjadi di budaya individualistik seperti di negara-negara bagian Barat, seperti Amerika dan Eropa. Sementara itu, interdependent self construal ditandai dengan individu yang memandang dirinya tidak terpisah dari konteks sosial. bersifat fleksibel dan dapat berubah-ubah. Keterikatan dengan orang lain dan hubungan sosial merupakan hal utama. Dalam hal pengambilan keputusan, hubungan sosial, peran diri, dan konteks menjadi pertimbangan yang penting. Individu dengan tipe ini memaknai hidupnya melalui hubungan dengan orang lain. Atribut internal diri sendiri ditempatkan setelah relasi. Perilaku ini cenderung terjadi pada budaya kolektivistik seperti di negara-negara di Asia.

2. Hambatan Sosiobudaya

Hambatan sosiobudaya dapat berpengaruh pada proses penataan sosial, dan berkembang berdasarkan interaksi dengan orang lain ketika pola-pola perilaku menjadi konsisten dengan berjalannya waktu yang dapat dilihat dari keanggotaan dalam kelompok sosial (membership dan reference group, ingroup dan outgroup), identitas sosial (identitas etnik, asimilasi dan pluralisme, perilaku identitas etnik, simbol etnik, bahasa identitas etnik, label etnik), dan role relationship. Contohnya yakni jika menjadi ketua dalam suatu organisasi, tentunya konsep diri dan ekspektasi diri menjadi sangat tinggi.

Melakukan proses komunikasi dengan orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya akan dipengaruhi oleh budaya dari keanggotaan seseorang dalam kelompok budayanya. Keanggotaan seseorang dalam kelompok sosial dapat dilihat dari membership dan reference group. Gudykunst dan Kim (1997) menyatakan bahwa seorang individu merupakan anggota dari banyak kelompok yang berbeda, seperti keluarga, kelas sosial, kelompok ras, kelompok etnik, jenis kelamin, kelompok kerja dan bangsa. Individu dapat dikatakan anggota dari membership group ketika individu tersebut menyadari bahwa mereka memiliki sebuah kelompok sosial dan mendapatkan penghargaan positif dari keanggotaannya dalam kelompok tersebut, termasuk afeksi dan pertemanan. Contohnya salah satu membership group terbesar adalah bangsa. Hal ini berbeda dengan reference group yang berarti kelompok sosial yang menjadi acuan bagi individu (bukan merupakan anggota kelompok) untuk membentuk pribadi dan perilakunya. Semakin dekat dan tepat nilai-nilai yang ada pada suatu kelompok tersebut, semakin besar kemungkinan seseorang akan melihat kelompok tersebut sebagai kelompok referensi (reference group).

(21)

11 anggota kelompok memiliki prediksi akurat mengenai perilaku ingroup dibandingkan outgroup.

Selain keanggotaan seseorang yang dilihat dari membership dan reference group serta ingroup dan outgroup, secara umum semua orang merupakan anggota kelompok mayoritas dan minoritas. Schafaer seperti dikutip oleh Gudykunst dan Kim (1997) membagi lima karakteristik dari keanggotaan kelompok minoritas. Pertama anggota kelompok minoritas diperlakukan berbeda oleh kelompok mayoritas yang juga memperlakukan kelompok mayoritas lain. Kedua, kelompok minoritas memiliki karakteristik fisik dan budaya sendiri yang menonjol membedakan mereka dengan kelompok mayoritas. Ketiga, karena mereka menonjol, keanggotaan di dalamnya tidak dalam keadaan suka rela. Keempat, anggota kelompok minoritas cenderung berasosiasi dan menikah dengan anggota lain kelompok minoritas itu pula. Kelima, anggota minoritas menyadari bahwa mereka merupakan kelompok subordinat yang membuat mereka semakin kuat dan solid. Contohnya kelompok ras dan kelompok etnik. kelompok ras memiliki ciri atau tanda yang paling telihat dan permanen. Perbedaannya, kelompok etnik memiliki karakteristik bahasa, agama, budaya, maupun bangsa yang khas. Menyubstitusi istilah kelompok etnik untuk kelompok ras akan membantu menghindari konotasi negatif yang terkait dengan istilah rasial.

Hal terpenting dari konsep diri yang mempengaruhi seseorang adalah berkomunikasi dengan orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya adalah identitas sosial. Samovar et al. (2010) menyatakan bahwa identitas sosial merupakan perwakilan dari kelompok ketika seseorang tergabung dalam suatu kelompok tertentu seperti ras, etnisitas, pekerjaan, umur, kampung halaman dan lain-lain. Identitas sosial yang dapat mempengaruhi komunikasi seseorang dengan orang lain yang memiliki perbedaan latar belakang budaya dapat dilihat dari identitas budaya, identitas etnik, gender, ketidakmampuan, kelompok umur, kelas sosial, dan peran sosial.

(22)

12

cara tampak cacat, mereka cenderung pada pengalaman ketidakpastian dan kecemasan, dan ketika mungkin menghindari interaksi (ada sebuah prasangka dalam kelompok). Orang yang tidak cacat berkomunikasi dengan seorang yang di kursi roda, misalnya, memprediksi hasil lebih negatif dan semakin tidak peduli pada seseorang di kursi roda daripada mereka yang berkomunikasi dengan seorang individu yang tidak cacat (Grove & Werkman seperti dikutip oleh Gudykunst dan Kim 1997). Kelima adalah identitas usia, konsep diri yang terbentuk adalah hasil dari usianya dibandingkan dengan lawan bicaranya. Keenam adalah identitas kelas sosial yang menyangkut kepuasan antara posisi seseorang di dalam suatu masyarakat. Ketujuh adalah identitas peran yakni suatu kecenderungan dari penerimaan yang menjadi aturan di suatu masyarakat dapat menjadikan hal tersebut menjadi peran yang dimilikinya.

3. Hambatan psikobudaya

Hambatan psikobudaya dapat mempengaruhi proses penataan pribadi, penataan pribadi ini adalah proses yang memberi stabilitas pada proses psikologis yaitu kita dapat melihat faktor psikologi dapat mempengaruhi ekspektasi, tafsiran dan prediksi yang kita atas perilaku orang lain dalam berkomunikasi dengan orang lain yang dapat dilihat dari stereotype, etnosentrisme, prasangka etnik.

a. Stereotype

Menurut Gudykunst dan Kim (1997), stereotype adalah representasi kognitif dari suatu kelompok yang mempengaruhi perasaan terhadap anggota kelompok tersebut. Stereotype merupakan bagian dari pengkategorian sosial. Stereotype dapat mengurangi ketidakpastian (uncertainty) dan meningkatkan rasa percaya diri dalam memahami perilaku orang asing. Stereotype cenderung akan muncul saat seorang individu mengkategorikan orang asing dan tidak melakukan komunikasi dengan cara mindful. Stereotype juga mengharapkan bagaimana anggota suatu kelompok akan bertingkah laku sesuai dengan pengetahuan kita terhadap kelompok tersebut. Ketidaktepatan atau stereotype negatif akan menyebabkan pengertian yang kurang tepat terhadap orang yang berbeda budaya dan menimbulkan kesalahpahaman. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas dalam berkomunikasi dengan strangers, maka perlu meningkatkan kompleksitas dari suatu stereotype. Misalnya dengan membedakan ke dalam subkelompok dalam suatu kelompok yang telah disamaratakan dalam suatu stereotype tertentu.

(23)

13 Kelly seperti dikutip oleh Rumondor et al. (2014), pengalaman diciptakan oleh cara kita menafsirkan peristiwa dan setiap orang berbeda-beda satu sama lain dalam menginstruksi peristiwa. Pengalaman terdiri dari penafsiran peristiwa secara terus-menerus. Faktor yang ketiga adalah faktor kontak pribadi yang lebih intim. Trust atau percaya dapat meningkatkan komunikasi interpersonal karena membuka saluran komunikasi, memperjelas pengiriman dan penerimaan informasi, serta memperluas peluang komunikan untuk mencapai maksudnya. Tanpa percaya maka tidak akan ada pengertian dan tanpa pengertian maka akan terjadi kegagalan komunikasi primer.

Gudykunst dan Kim (1997) menyatakan ketepatan prediksi berdasarkan stereotype tergantung pada kesesuaian antara pengetahuan informasi yang kita miliki tentang orang dalam kelompok tertentu, sama dengan pengetahuan informasi orang-orang yang ada dalam kelompok tersebut. Prediksi berdasarkan kelompok etnis akan mungkin tepat hanya untuk strangers yang benar-benar kuat dengan identitas kelompok etnisnya dan tidak mengidentifikasi diri dengan budaya mereka. Ketidaktepatan disebabkan oleh adanya suatu batas antara berbagai kelompok yang tidak jelas. Misalnya warna kulit yang sama antara etnis yang berbeda akan mempengaruhi ketepatan dalam memprediksi orang berdasarkan warna kulit. Selain itu dapat juga karena anggota kelompok yang kita gunakan untuk mengkategorikan kelompok tersebut tidak mempengaruhi perilaku mereka dalam situasi tertentu. Ketika berkomunikasi dengan strangers, maka terdapat kemungkinan akan mengategorikan mereka berdasarkan suatu kenggotaannya dalam kelompok tertentu (misal etnis) dan menganggap bahwa identitas sosial kelompok mereka akan mempengaruhi mereka dalam berperilaku. Meningkatkan ketepatan dalam membuat prediksi dapat dilakukan dengan memahami identitas sosial yang mengarahkan perilaku strangers dalam situasi.

(24)

14

b. Etnosentrisme

Gudykunst dan Kim (1997) mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan anggapan dari kelompok ingroup yang menganggap dirinya sebagai pusat di dunia. Semua orang di dunia ini dapat digolongkan kedalam etnosentrisme, maka dari itu seseorang melakukan segala sesuatu sesuai dengan nilai budaya yang ada pada budaya kelompok ingroup individu tersebut, dan menganggap apa yang dilakukan olehnya adalah benar. Konsekuensi dari sikap ini adalah nilai-nilai yang ada pada ingroup dianggap lebih hebat dibandingkan dengan nilai yang ada pada outgroup. Konsekuensi lainnya adalah memberikan kecemasan kepada anggota ingroup untuk berinteraksi dengan orang asing.

Menurut Tubbs dan Moss (1996) etnosentrisme adalah suatu kecenderungan menghakimi nilai, adat istiadat, perilaku atau aspek budaya lain dengan menggunakan kelompok pribadi dan adat istiadat kelompok sosialnya sebagai suatu standar bagi semua penilaian. Hal ini menyebabkan tidak terhindarkannya anggapan bahwa kelompok sendiri, negeri sendiri, budaya sendiri sebagai yang terbaik dan paling bermoral. Menurut Devito (2011) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk mengevaluasi nilai, kepercayaan, dan perilaku dalam budaya sendiri sebagai lebih baik, lebih logis, dan lebih wajar daripada budaya yang lainnya.

Etnosentrisme dapat dilihat dalam tiga tingkatan yakni tingkatan positif, negatif, dan sangat negatif. Tingkatan pertama adalah positif, yakni merupakan kepercayaan bahwa paling tidak bagi seorang individu, budayanya lebih baik dari yang lain. Hal ini merupakan hal yang alami dan kepercayaan individu tersebut berasal dari budaya aslinya. Pada tingkat negatif, seorang individu akan mengevaluasi secara sebagian. Individu percaya bahwa budayanya merupakan pusat dari segalanya dan budaya lain harus dinilai dan diukur berdasarkan standar budayanya. Pada tingkat terakhir yaitu tingkat sangat negatif yakni bagi seorang individu tidak cukup hanya menganggap budayanya sebagai yang paling benar dan bermanfaat, ia juga menganggap budayanya sebagai budaya yang paling berkuasa dan mempercayai bahwa nilai dan kepercayaan individu tersebut harus diadopsi oleh orang lain (Samovar et al. 2010).

(25)

15 c. Prasangka

Prasangka adalah istilah yang berasal dari kata praejudicium bahasa Latin yang berarti "preseden," atau "penilaian berdasarkan pada keputusan dan pengalaman sebelumnya. Prasangka dapat berupa positif atau negatif, ada kecenderungan bagi kebanyakan dari kita untuk menganggapnya sebagai negatif. Prasangka dapat dilihat sebagai emosi yang diwujudkan dengan rasa takut, jijik, penghinaan (rasa tidak suka), kemarahan, dan kecemburuan. Sebagian besar penelitian tentang prasangka memandangnya yakni sebagai suatu sikap. Setiap orang pasti memiliki sebuah prasangka, namun hanya berbeda dari segi derajat continuum, seberapa besar dia berprasangka pasti akan berbeda antara satu orang dengan lainnya (Gudykunst dan Kim 1997).

Seperti halnya dengan etnosentrisme, prasangka adalah suatu hal yang terjadi secara alami dan tidak dapat dihindari. Hal ini merupakan hasil dari keanggotaan seorang individu dalam suatu grup yang mendapatkan sosialisasi atau informasi terhadap suatu orang atau grup di luar grupnya sendiri. Setiap derajat continuum prasangka seseorang akan berbeda, terutama saat dia berhubungan dengan orang di luar grup, semakin jauh jarak hubungan di luar grup, maka semakin berprasangka negatif, begitu pula sebaliknya ketika seorang individu akan semakin mengenal atau dekat hubungannya atau sesama grup maka akan semakin positif prasangkanya. Seseorang yang berprasangka cenderung berprasangka positif terhadap ingroup (kelompoknya sendiri) dan negatif berprasangka terhadap outgroup (kelompok luar). Hal ini berarti bahwa orang-orang yang sangat berprasangka cenderung lebih mengabaikan informasi yang tidak konsisten dengan generalisasi yang salah dan tidak mereka tidak fleksibel dengan informasi yang mereka dapat dari kelompok luar. Oleh karena itu, sangat penting bagi seseorang untuk mengubah keyakinan mereka untuk membenarkan sikap mereka ketika dihadapkan dengan informasi yang kontradiktif dengan informasi dalam kelompoknya (Gudykunst dan Kim 1997).

Samovar et al. (2010) memberikan pengertian tentang prasangka sebagai generalisasi kaku dan menyakitkan mengenai sekelompok orang. Menyakitkan dalam hal ini berarti suatu sikap yang tidak fleksibel muncul pada seorang individu yang didasarkan atas sedikit atau tidak ada bukti sama sekali. Orang-orang dari kelas sosial, jenis kelamin, orientasi seks, usia, partai politik, ras atau etnis tertentu dapat menjadi target dari prasangka. Generalisasi kaku yang diberikan kepada sekelompok orang atau anggota masyarakat seringkali justru menjadi pemicu munculnya kesalahpahaman antar partisipan komunikasi. Hal tersebut dapat terjadi karena prasangka yang diberikan kepada sekelompok orang atau sekelompok masyarakat itu lebih didasarkan pada suatu keyakinan yang tidak pas atau bahkan seringkali didasarkan pada keyakinan yang keliru (Darmastuti 2013).

(26)

16

menjelaskan seperti apakah sebuat kelompok tersebut, prasangka (buruk) menjelaskan bagaimana perasaan yang dirasakan terhadap kelompok tersebut).

Prasangka seperti halnya stereotype memiliki beberapa fungsi, yakni fungsi pertahanan ego, fungsi ini memungkinkan orang untuk memiliki prasangka tanpa harus mengakui bahwa mereka memiliki suatu kepercayaan mengenai suatu kelompok luar dari kelompok sosialnya. Kedua adalah fungsi utilitarian yang memungkinkan orang untuk berfikir bahwa mereka mendapatkan penghargaan dengan mempertahankan prasangka yang mereka miliki. Ketiga adalah fungsi menyatakan nilai, yakni ketika oran-orang percaya bahwa perilaku mereka menunjukkan nilai tertinggi dan paling bermoral dari semua budaya. Hal ini biasanya berputar-putar pada nilai-nilai yang berhubungan dengan agama, pemerintah, dan politik. Yang terakhir adalah fungsi pengetahuan, melalui fungsi pengetahuan orang dapat mengelompokkan, mengatur, dan membentuk persepsi mereka terhadap oranglain dalam cara yang masuk akal bagi mereka, bahkan jika hal itu tidak akurat (Samovar et al. 2010).

Pernyataan prasangka dapat dinyatakan dalam berbagai cara (kadang secara halus dan tidak langsung, namun terkadang juga dapat dinyatakan secara terang-terangan dan langsung). Menurut Allport seperti dikutip oleh Samovar et al. (2010) dalam penelitiannya prasangka disebut dengan sebutan antilokusi, yaitu istilah negatif atau stereotype mengenai anggota dari kelompok target. Contohnya seperti “jangan berikan gaji yang tinggi pada imigran itu. Mereka hanya berpendidikan rendah, jadi hanya akan menghambur-hamburkan uangmu saja”. Kedua, prasangka dapat dinyatakan ketika mereka menghindari dan/atau menarik diri untuk berhubungan dengan kelompok yang tidak ia sukai. Ketiga, prasangka dapat menghasilkan diskriminasi, orang yang menjadi target prasangka akan berusaha untuk keluar dari kelompoknya ketika pekerjaan, tempat tinggal, hal politk, kesempatan pendidikan dan rekreasi, gereja, rumah sakit, atau institusi sosial lainnya dipermasalahkan. Kadang dalam kasus diskriminasi, terlihat bahwa etnosentrisme, stereotype, dan prasangka datang dalam bentuk fanatisme yang jelas-jelas akan menghalangi seseorang dalam melakukan komunikasi antarbudaya. Keempat, ketika prasangka berpindah ke level berikutnya, yaitu ekspresi berupa serangan fisik. Bentuk prasangka ini akan meningkatkan permusuhan jika dibiarkan. Misalnya penyerangan terhadap kaum gay, tindakan fisik terjadi jika kaum minoritas menjadi target prasangka. Kelima adalah bentuk nyata prasangka yang paling mengkhawatirkan yakni extermination atau pembasmian. Prasangka seperti ini mengarah pada tindakan kekerasan fisik terhadap kelompok luar. Contohnya pembunuhan massal, pembantaian, dan program pemusnahan suatu suku bangsa (Samovar et al. 2010).

4. Hambatan lingkungan

(27)

17 menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang kita buat mengenai perilaku orang lain karena orang lain mungkin mempunyai presepsi dan orientasi yang berbeda terhadap lingkungan, mereka mungkin menafsirkan perilaku dengan cara yang berbeda dalam situasi yang sama. Contohnya yakni perbedaan antara cara berbicara orang Sumatera berbeda dengan orang Jawa. Orang Sumatera cenderung berbicara dengan volume suara yang lebih keras dibanding orang Jawa, sehingga terkadang dipersepsikan bahwa orang Sumatera suka marah. Suara orang Sumatera ini terbentuk karena letak rumah di Pulau Sumatera relatif tidak terlalu padat seperti di Pulau Jawa (Gudykunst dan Kim 1997).

a. Lingkungan fisik

Lingkungan fisik ketika komunikasi sedang berlangsung akan mempengaruhi bagaimana cara seseorang untuk berkomunikasi. Lingkungan fisik yang dimaksud dapat berupa kondisi geografis, iklim, arsitektur dan lanskap. Sikap ini dapat dilihat dari sikap seseorang ketika keadaan letak geografis membentuk budaya masing-masing, sikap seseorang yang terbentuk akibat adanya iklim yang terjadi saat proses komunikasi berlangsung, sikap seseorang yang terbentuk karena pandangan terhadap arsitektur lanskap seperti dekorasi, furniture yang digunakan, fungsi ruangan (Gudykunst dan Kim 1997).

(28)

18

b. Situasi

Memprediksi bagaimana orang berperilaku dalam situasi tertentu adalah dengan melihat bagaimana mereka memandang situasi. Tempat terjadinya interaksi menjelaskan latar dan tujuan interaksi. Latar mencakup interaksi lokal, waktu interaksi, dan pelaku interaksi. Tujuan dari interaksi berfokus pada jenis kegiatan dimana individu yang terlibat dan pengaruh dari percakapan. Pelaku interaksi harus dapat mempersepsikan situasi secara kritis untuk memahami perliaku di setiap situasi. Tempat untuk berkomunikasi melibatkan interaksi dengan orang lain. Ruang komunikasi yang besar memberikan peluang untuk komunikasi yang berbeda. Komunikasi yang terjadi menawarkan sejumlah isyarat yang memberitahu bagaimana orang menyesuaikan diri. Isyarat yang ada memudahkan koordinasi perilaku kita dan memungkinkan untuk interaksi yang lebih baik, tanpa isyarat kita harus mencari tahu bagaimana seseorang untuk bertindak dalam situasi tertentu. Seseorang yang ada dalam situasi mempengaruhi komunikasi, dimana kita cenderung lebih prihatin dengan bagaimana kita menampilkan diri pada seorang yang mempunyai status tinggi dari pada yang mempunyai status rendah. Tingkat keakraban dengan seseorang juga mempengaruhi bagaimana kita menampilkan diri khususnya situasi. Semakin akrab, maka semakin besar kemungkinan untuk memberikan pembenaran atas perilaku kita.

c. Situational norms and rules

Gudykunst dan Kim (1997) menyatakan bahwa norma-norma dan aturan-aturan yang terdapat pada suatu budaya dapat mengarahkan seorang individu untuk berperilaku pada situasi tertentu, karena ketika berkomunikasi dengan orang asing/yang memiliki perbedaan latar belakang budaya, maka norma dan aturan-aturan tersebut memiliki kecenderung yang lebih besar untuk dilanggar dibandingkan ketika sedang berkomunikasi dengan kelompok sosialnya. Ketika seseorang mengetahui norma dan aturan yang bersifat situasional pada kelompok sosial lain, maka hal tersebut akan dapat membimbing seorang individu untuk berperilaku sebagaimana mestinya agar dapat tercapai suatu komunikasi antarbudaya yang efektif. d. Lingkungan psikologi

(29)

19 tiga aspek di dalamnya, yakni persepsi pribadi, penggunaan waktu, dan potensi interaksi dalam lingkungan (Gudykunst dan Kim 1997).

Persepsi pribadi menurut Anugrah dan Kresnowati (2008) adalah suatu pemahaman terhadap suatu objek, peristiwa, yang bergantung kepada pengamatan dan penafsiran kita sendiri. Penggunaan waktu menurut Mulyana (2008) adalah waktu monokronik yakni individu melakukan satu aktivitas dalam satu waktu, konsep ini diidentikkan dengan konsep waktu linier (seperti garis lurus dan tidak akan pernah kembali), sedangkan waktu polikronik adalah individu cenderung melakukan beberapa aktivitas dalam waktu yang bersamaan, konsep ini diidentikkan dengan konsep waktu daur-ulang (dianggap seperti waktu yang dapat didapatkan secara berdaur-ulang seperti musim yang setiap tahun selalu datang). Potensi interaksi merupakan suatu kesempatan terkait waktu dan tempat para komunikan dan komunikator dapat bertemu untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi. Efektivitas Komunikasi Antarbudaya

Manusia berkomunikasi dalam kesehariannya dengan cara menyandi dan menyandi balik pesan. Dalam proses komunikasi, hal yang mutlak diperhatikan adalah tingkat keefektifan komunikasi. Komunikasi dikatakan efektif apabila makna yang ada pada sumber pesan sama dengan makna yang ditangkap oleh penerima pesan. Devito (2009) mengatakan bahwa tidak mungkin untuk dapat berkomunikasi secara efektif tanpa menyadari bagaimana budaya mempengaruhi komunikasi manusia. Selain itu pernyataan Devito diperkuat oleh Gudykunst dan Kim (1997) yang mengatakan bahwa komunikasi yang efektif akan terjadi apabila kesalahpahaman dapat diminimalisasi. Menurut Triandis dalam Gudykunst dan Kim (1997) komunikasi antarbudaya akan efektif apabila dalam komunikasi tersebut dapat menciptakan apa yang disebut dengan isomorphic attribution, yaitu penetapan kualitas atau karakteristik terhadap sesuatu supaya menjadi sama. Menurut Cahyana dan Suyanto (1996), komunikasi dapat dikatakan efektif ketika penerima melakukan tindakan sesuai dengan makna yang diinginkan oleh pengirim. Menurut Suranto (2011) komunikasi dikatakan efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan secara sukarela oleh penerima pesan dan meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi dan tidak ada hambatan dalam hal itu.

(30)

20

Berkomunikasi dengan orang asing/orang yang memiliki perbedaan latar belakang budaya dapat menimbulkan suatu rasa ketidakpastian dan kecemasan atas proses penyampaian pesan yang disampaikan antara pelaku komunikasi. Saat pertemuan pertama kali dengan orang belum pernah dikenal sebelumnya, terutama orang yang berbeda budaya, rasa kecemasan tersebut berada di atas ambang batas maksimum, tetapi setelah saling berkomunikasi dan menjalin suatu hubungan yang lebih dekat maka rasa kecemasan itu semakin lama akan semakin berkurang, bahkan akan jatuh dibawah ambang batas kecemasan yang paling rendah ketika seorang individu telah merasa sangat nyaman dengan orang yang berbeda budaya tersebut (Gudykunst dan Kim 1997). Seorang individu itupun akan mungkin merasa takut kehilangan harga diri, dan merasa bahwa identitas sosialnya terancam, pada akhirnya akan merasa tidak nyaman jika berperilaku menyinggung orang asing.

Berdasarkan penelitian Azis (2010), rasa ketidaknyamanan dapat terjadi karena adanya suatu rasa ketidakpastian (uncertainty) yang kita miliki terkait perilaku, perasaan, kepercayaan, nilai dan kebiasaan orang lain berbeda etnik dan akhirnya menimbulkan perasaan tersinggung (offend) di antara peserta komunikasi. Rasa cemas (anxiety) dan khawatir dapat timbul ketika seseorang tidak dapat memahami pesan yang disampaikan oleh komunikator dari etnik lain karena kurangnya pengetahuan mengenai bahasa, cara bicara dan budaya etnik lain. Hal ini dapat membuat seseorang merasa canggung ketika berkomunikasi karena tidak mengetahui apa yang harus dilakukan ketika ingin berkomunikasi lawan bicaranya, dengan demikian kesalahpahaman diukur berdasarkan perasaan tersinggung yang timbul ketika berkomunikasi, sedangkan rasa cemas dan khawatir diukur berdasarkan perasaan canggung yang terjadi ketika proses komunikasi berlangsung.

Menurut Gudykunst dan Kim seperti dikutip oleh Azis (2010) menyatakan bahwa kesalahpahaman yang terjadi di antara orang berbeda etnik yang berkomunikasi yakni karena masing-masing etnik memiliki latar belakang budaya, bahasa, dan nilai yang berbeda. Hal tersebut membuktikan bahwa para peserta komunikasi harus dapat mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi antarbudaya secara efektif. Gudykunst dan Kim (1997) juga menyatakan bahwa komunikasi yang efektif memiliki tujuan untuk mengurangi kesalahpahaman, rasa cemas, dan khawatir dari individu yang berkomunikasi. Keefektifan komunikasi akan tercapai ketika tingkat frekuensi perasaan tersinggung dan perasaan canggung ketika proses komunikasi menunjukkan tingkat yang rendah agar terciptanya situasi yang mindful yakni merupakan situasi kesalahpahaman yang minimal karena partisipan komunikasi dapat mereduksi hambatan yang timbul karena perbedaan latar belakang budaya dan kedua belah pihak dapat mengelola kecemasan dan ketidakpastian yang terjadi.

(31)

21 terjadi pada mahasiswa InHolland ketika berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia dalam satu kelompok mereka menimbulkan anxiety dan uncertainty dalam menjalani kerja kelompok. Ketika seseorang berpindah ke budaya baru, seseorang membawa nilai, kepercayaan, kebiasaan, dan perilaku dari budaya lama mereka, yang dapat bertubrukan dengan budaya baru. Hal ini dapat menyebabkan disorientasi, kesalahpahaman, konflik, stres, dan kecemasan (anxiety).

Karakteristik Suku Sunda, Batak, Madura, Jawa, Minangkabau, dan Betawi

1. Suku Sunda

Menurut Koentjaraningrat (2010), secara antropologi budaya dapat dikatakan, bahwa yang disebut suku bangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. Di daerah pedesaan pada umumnya bahasa pengantar menggunakan bahasa Sunda, sedang di kota-kota bahasa Sunda terutama digunakan dalam lingkungan keluarga, dalam percakapan antar kawan dan kenalan yang akrab, dan juga tempat-tempat umum dan resmi di antara orang-orang yang saling mengetahui bahwa mereka itu menguasai bahasa Sunda.

Rofiah (2012) menyatakan bahwa dalam tatanan berbahasa, orang Sunda di desa ini cenderung tidak menggunakan strata penggunaan bahasa (undak usuk basa) yang dalam bahasa Sunda tingkatan pertama adalah basa alus yang biasanya digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, basa loma sebagai tingkatan kedua yang diigunakan untuk berbicara dengan teman sebaya, dan yang paling bawah adalah basa kasar. Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat parental, garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu secara bersama. Dalam kehidupan orang Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam sangat mempengaruhi suku Sunda. Kehidupan suku Sunda biasanya satu keluarga besar dapat tinggal berdekatan. Di satu area yang sama, tetangga yang berada di sekitarnya bisa jadi merupakan sanak saudara sendiri, seperti kakak, mertua, keponakan, paman, bahkan sampai cucunya. Selain itu memang kebanyakan orang tua dari orang Sunda yang tidak menganjurkan anaknya untuk merantau keluar Jawa Barat, maka mereka lebih memilih untuk hidup bersama dibandingkan merantau.

(32)

22

2. Suku Batak

Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa bahasa, yakni bahasa Karo yang digunakan oleh orang Karo, bahasa Pakpak yang digunakan oleh orang Pakpak, bahasa Simalungun yang diguanakan oleh orang Simalungun, dan bahasa Toba yang digunakan oleh orang Toba, Angkola, dan Mandailing. (Koentjaraningrat 2010).

Menurut Nuraeni dan Alfan (2012) sikap mental masyarakat Batak tidak lepas dari kebudayaannya karena menyangkut keseluruhan pola berpikir dan pola bertindak yang diatur oleh tata kelakuan yang harus dipegang teguh di dalam kehidupan. Mayoritas orang Batak berbicara dengan volume suara yang keras, hal ini karena pemukiman asli orang Batak yang tinggal di daerah pegunungan, rumah berjauhan dan banyak dilalui oleh angin yang kencang, sehingga orang Batak harus berbicara keras-keras agar terdengar oleh lawan bicaranya. Orang Batak, mungkin hampir mirip dengan orang Jawa, yaitu apabila berbicara bahasa Indonesia, pasti terlihat dengan jelas dialek kentalnya. Hal tersebut pula yang memberikan kesan bahwa orang Batak cenderung kasar, padahal mungkin karena suara keras dan ceplas-ceplos. Berbeda dengan suku Sunda ataupun Jawa yang dalam kesehariannya sangat menghormati orang yang lebih tua dengan misalnya selalu bersalaman atau jalan bungkuk, dalam adat Batak memang tidak dianjurkan untuk memberi hormat yang berlebihan seperti itu. Bagi orang Batak dengan tidak menghina atau melecehkan orang lain, adalah penghargaan terhadap orang lain yang paling baik.

3. Suku Madura

Kehidupan sehari-hari sifat orang Madura cenderung lebih egaliter dan terbuka dibandingkan dengan orang Jawa. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Rifai seperti dikutip oleh Rofiah (2012) bahwa keunikan budaya Madura pada dasarnya banyak dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi geografis dan topografis hidraulis dan lahan pertanian tadah hujan yang cenderung tandus. Mereka pun dibentuk oleh kehidupan bahari yang penuh tantangan resiko sehingga memunculkan keberanian mental dan fisik yang tinggi, berjiwa keras dan ulet, penuh percaya diri, defensif dalam berbagai situasi bahaya dan genting, bersikap terbuka, lugas dalam bertutur, serta menjunjung martabat dan harga diri.

(33)

23 dihormati kedatangannya. Orang Madura berani berkorban untuk menjamu sang tamu, meski hanya dengan secangkir air atau bahkan berusaha memuaskan dengan jamuan yang lebih, bahkan berani mencari hutang untuk menghormati tamu jauh tersebut. Sebaliknya, jika penghargaan itu ditolak atau meski sedikit tidak mau mencicipi suguhannya, maka tamu tersebut dianggap menginjak penghargaan tuan rumah, dan kemungkinan semacam ini akan tumbuh benih-benih rasa benci dan dendam. Disamping itu, watak suku Madura terkenal dengan orang yang pekerja keras, ulet dan rajin.

4. Suku Jawa

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh (2009), ciri khas suku Jawa yakni memiliki sifat sopan, tekun, ramah dan kurang gesit. Selain itu hasil penelitiannya juga menyatakan bahwa dalam kesehariannya, suku Jawa cenderung ulet, menghormati, rajin, jujur, rapi, teliti, sederhana, dan mengalah.

Suatu rumah tangga orang Jawa, harus berusaha menjalin suatu hubungan yang baik dengan para tetangga, kemudian dengan keluarga-keluarga lain sekampung, lalu keluarga-keluarga-keluarga-keluarga lain sedukuh, dan baru kemudian dengan keluarga-keluarga yang tinggal di dukuh-dukuh lain. Dalam adat sopan santun Jawa, merupakan kewajiban yang harus ditaati oleh setiap kepala keluarga. Seseorang yang mungkin tidak terlalu banyak bergaul dan mengenal baik suatu tetangga tertentu, misalnya, tetap harus mengundang dan mengirimkan makanan apabila mengadakan slametan (Koentjaraningrat 1984).

Jaringan kekerabatan orang Jawa terbatas pada azas kegunaan yang nyata dalam pergaulan, pengenalan dan daya ingat seseorang dan biasanya tidak tergantung pada sistem normatif atau konsepsi, dan karena itu bagi tiap orang jawa wujud jaringan kekerabatan itu berlainan, tergantung keadaan masing-masing. Hubungan kekerabatan itu terutama berfungsi dalam sektor-sektor kehidupan sekitar berbagai aktivitas rumah tangga. Sistem kekerabatan Jawa memberikan identitas kapada warganya, yang dapat meninggikan kedudukan sosial serta gengsinya yang menentukan hak warisan nenek moyangnya, serta pembagian warisan kepada keturunannya (Koentjaraningrat 1984).

Suku Jawa berdasarkan persepsi masyarakat, dianggap memiliki sifat yang lembut. Selaras dengan suku Sunda, suku Jawa pun memiliki tingkatan penggunaan bahasa dalm kehidupan sehari-hari. Menurut Koentjaraningrat (2010) tingkatannya terdiri atas bahasa Jawa Ngoko dan Kromo. Bahasa Jawa Ngoko adalah bahasa Jawa yang digunakan oleh orang yang sudah akrab, orang dengan usia yang sama atau seseorang kepada orang lain yang status sosialnya lebih rendah. Bahasa Jawa Kromo biasanya digunakan kepada orang yang belum akrab, dari orang muda kepada orang tua atau dengan orang yang status sosialnya lebih tinggi. Pada bahasa Kromo dibagi atas Kromo Madya yang digunakan sebagai bahasa pergaulan yang lebih sopan daripada bahasa Ngoko, sedangkan Kromo Inggil digunakan kepada orang yang lebih tua atau memiliki jabatan dan status sosial yang jauh lebih tinggi dibandingkan yang berbicara.

(34)

24

pejabat, orang yang lebih muda, ayah, ibu dan sebagainya. Setiap suku pasti memiliki karakter dominan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Suku Jawa dikenal sebagai suku yang memiliki ciri-ciri seperti bertutur kata halus, ramah tamah, sopan santun, rajin, penakut, tekun, sederhana menghormati adat dan memiliki sifat atau ciri mengalah. Suku Jawa juga memiliki kecenderungan tertutup dan tidak berterus terang adalah salah satu watak yang paling terkenal pada suku Jawa. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan orang Jawa yang menghindari konflik dan ingin memelihara hubungan yang harmonis. Suku Jawa tidak menyukai pertikaian, namun seringkali menjadi negatif karena terkadang menyimpan dendam sesama saudara atau orang lain. Selain itu, masyarakat Jawa hidup berkumpul dengan sanak saudara dan hidup berdampingan dengan tetangga dari suku lain dirasakan tentram dan menyenangkan. Mereka beranggapan serta menyadari karena tidak mungkin hidup sendiri (Munawaroh 2009).

5. Suku Minangkabau

Koentjaraningrat (2010) menyatakan bahwa penyebaran orang-orang Minangkabau jauh dari daerah asalnya disebabkan oleh adanya dorongan pada diri mereka untuk merantau dengan dua alasan. Pertama ialah keinginan mereka untuk mendapatkan kekayaan tanpa mempergunakan tanah-tanah yang telah ada. Hal ini sebenarnya dapat dihubungkan dengan keadaan bahwa seorang lelaki tidak mempunyai hak menggunakan tanah warisan bagi kepentingan dirinya sendiri. Ia mungkin menggunakan tanah itu untuk kepentingan keluarga matrilinealnya. Kedua, ialah perselisihan-perselisihan yang menyebabkan bahwa orang yang merasa dikalahkan akan meninggalkan kampung dan keluarga untuk menetap di tempat lain. Dalam penggunaan bahasa, orang Minangkabau menggunakan suatu bahasa yang sama yang disebut sebagai bahasa Minangkabau, sebuah bahasa yang erat dengan bahasa Melayu. Garis keturunan dalam masyarakat Minangkabau diperhitungkan menurut garis matrilineal. Seorang termasuk keluarga ibunya dan bukan keluarga ayahnya. Seorang ayah berada di luar keluarga anak dan istrinya. Hal ini menjadi salah satu lagi keunikan dari masyarakat Minangkabau yang mungkin di Indonesia hanya terdapat di Minangkabau. Dari segi agama, suku Minangkabau dikenal sebagai suatu masyarakat yang sangat religius. Ada pepatah yang mengatakan, dimanapun kita berdiri diranah Minangkabau, dapat dipastikan kita akan mendengar kumandang adzan, panggilan untuk beribadah lima waktu. Kearah manapun kita menengok, hampir dipastikan kita akan melihat kubah sebuah masjid, minimal sebuah surau dengan arsitektur Minangkabau yang khas. Bahkan jika ada yang keluar dari agama islam, maka orang tersebut akan dikucilkan dari lingkungannya bahkan ia akan dianggap keluar dari masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang demokratis dan egaliter, jadi semua masalah yang menyanggkut keseluruhan masyarakatnya wajib dimusyawarahkan secara mufakat.

6. Suku Betawi

(35)

25 disebut orang Betawi, Melayu Betawi, atau orang Jakarta. Orang Betawi yang berdiam di Jakarta memiliki latar belakang sejarah yang telah melewati rentang waktu yang cukup panjang. Sejak lebih dari 400 tahun yang lalu, masyarakat Betawi yang kemudian menjadi masyarakat seperti yang dikenal sekarang merupakan hasil dari suatu proses asimilasi. Masyarakat itu dengan budayanya merupakan hasil pembauran berbagai unsur budaya berbagai bangsa dari suku-suku yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia (Rosyadi dan Sucipto 2006).

Berdasarkan sistem kekerabatan, dalam menarik garis keturunan, mereka mengutip prinsip bilineal. Hal ini berasrti menarik garis keturunan dari pihak ayah dan pihak ibu. Adat menetap setelah menikah bergantung kepada perjanjian kedua belah pihak. Pada kehidupan sehari-hari, suku Betawi memiliki sifat yang tidak berdendam dan tidak suka bermusuhan turut menjadi faktor pendukung kenapa orang-orang Cina lebih senang bersahabat dengan orang Betawi. Kebanyakan orang Betawi adalah mereka dengan sifat apa adanya, terutama soal apa yang mereka katakan. Jika ada yang mereka tidak sukai, biasanya mereka akan berusaha terus terang dengan maksud agar orang tersebut dapat memperbaiki diri. Orang Betawi juga dikenal dengan prinsipnya yang teguh. Jadi, jika Anda ingin dekat dengan keluarganya, janganlah terlihat seperti orang yang plin-plan atau ragu. Orang Betawi hampir seluruhnya memeluk agama islam. Mereka pada umumnya merupakan pemeluk-pemeluk agama yang taat. Kehidupan mereka banyak dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai-nilai agama Islam, sejak kecil sangat diutamakan bagi mereka untuk belajar mengaji Qur’an (Rosyadi dan Sucipto 2006).

Kerangka Pemikiran

Hambatan komunikasi merujuk pada empat filter konseptual Gudykunst dan Kim (1997) yang terdiri dari hambatan budaya (tingkat individualistik-kolektivistik), hambatan sosiobudaya (keanggotaan dalam kelompok sosial dan identitas sosial), hambatan psikobudaya (stereotype, etnosentrisme, prasangka), hambatan lingkungan yang dilihat dari sikap terhadap lingkungan fisik, sikap terhadap situasi, sikap terhadap situational norms and rules, dan sikap terhadap lingkungan psikologi. Keempat filter konseptual tersebut dapat mempengaruhi proses komunikasi antarbudaya untuk mencapai efektivitas komunikasi. Gudykunst dan Kim (1997) menyatakan bahwa komunikasi yang efektif memiliki tujuan untuk mengurangi kesalahpahaman, rasa cemas, dan khawatir dari individu yang berkomunikasi.

(36)

26

Keterangan:

mempengaruhi (diuji secara statistik) mempengaruhi (tidak diuji secara statistik)

Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian dilakukan ketika ingin berkomunikasi lawan bicaranya. Kesalahpahaman diukur berdasarkan perasaan tersinggung, sedangkan rasa cemas dan khawatir diukur berdasarkan perasaan canggung yang ditunjukkan ketika berkomunikasi. Semakin rendah tingkat perasaaan tersinggung dan canggung yang muncul pada saat proses komunikasi antara dua orang berbeda budaya, maka semakin efektif komunikasi di antara mereka, begitupun sebaliknya.

Berikut penulis menyajikan gambaran kerangka analisis yang telah dirumuskan pada Gambar 2 di bawah ini:

Gambar

Gambar 1  Model
Gambar 2   Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 1 Sebaran jumlah penduduk Desa Tanjungbaru menurut wilayah dan jenis kelamin, Tahun 2013-2014
Tabel 6 Sebaran nilai rata-rata, skor total minimal, skor total maksimal, dan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Deddy dan Jalaluddin, Komunikasi Antarbudaya , …, h.. terlibat dalam sistem komunikasi masyarakat setempat. Pengetahuan yang telah didapat orang-orang Tionghoa kemudian

Dalam kaitannya dengan pemahaman mengenai komunikasi antarbudaya dan bagaimana komunikasi dapat dilakukan oleh orang yang berasal dari budaya yang berbeda dari tempat yang

Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari komunikasi antarbudaya yang dilakukan dengan adanya

Adapun arti yang lainnya dari komunikasi verbal yaitu sebuah proses penyampaian pikiran, pesan ataupun perasaan seseorang kepada orang lain dengan

Hasil penelitian dari hambatan komunikasi antarbudaya mahasiswa suku Banjar dengan mahasiswa suku Jawa, beberapa faktor pendorong yang dialami oleh setiap mahasiswa atau

Seperti menurut (Chaniago, 2013) proses komunikasi merupakan penyampaian pesan/informasi dari seseorang (pengirim) ke orang yang lain (penerima). Ini berarti komunikasi

Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara

Dari hasil analisis observasi dan wawancara ditemukan bahwa untuk mencapai pemahaman yang sama dalam komunikasi antarbudaya yang terjadi memerlukan frekuensi pengulangan kata dengan