• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Amerika Serikat terhadap Taliban

Awalnya, Amerika Serikat ikut menyambut positif lahirnya Taliban dan

memberikan dukungan atas kekuasaan milisi tersebut di Kota Kabul. Amerika Serikat punya kepentingan politik dari lahirnya Taliban yang menganut madzhab Sunni, yaitu dalam upaya meredam pengaruh Iran yang menganut madzhab

Syi’ah di Afganistan.50 Kecurigaan AS semakin kuat, setelah Iran juga turut mendukung koalisi

anti Taliban yang berbasis di Afganistan Utara. Hal ini membuat Amerika Serikat menuding Iran telah melampaui garis merah permainan di Afganistan. Gelagat

49

Akmam, “Kebangkitan Gerakan Taliban di Afganistan tahun 1994,” h. 76-77.

50

AS menganggap dukungan penuh Iran atas milisi Syi’ah pimpinan Abdul Karim

Khalili yang menguasai wilayah Afghanistan Tengah, sebagai bagian dari upaya Teheran ikut nimbrung menanamkan pengaruh di Afghanistan. Lihat Mushafa Abdurrahman, Afghanistan di Tengah Arus Perubahan: Laporan dari Lapangan(Jakarta: Kompas, 2002.), h.28.

Iran tersebut sudah dianggap mengancam kepentingan Amerika Serikat di Afganistan. Seperti dimaklumi, hubungan AS-Iran sangat buruk pasca revolusi Iran tahun 1979. Dalam konteks tersebut, AS memilih berkoalisi dengan Taliban meskipun diketahui sangat puritan dan konservatif dalam pemahaman agama,

sebagai bagian dari strategi Washington mengepung musuh lamanya, Iran.51 AS juga melihat milisi Taliban yang notabene berasal dari etnik Pashtun,

sebagai penyanggah yang efektif bagi kemungkinan meluasnya pengaruh Rusia di Afghanistan. Rusia dicurigai main mata dengan etnik-etnik minoritas di Afghanistan seperti etnik Uzbek dan Tajik. Dua etnik minoritas Afghanistan tersebut menjalani hubungan khusus dengan Uzbekistan dan Tajikistan yang berada di bawah atmosfir pengaruh Rusia. Faktor ekonomi juga berada di balik dukungan AS atas Taliban. Sebuah

perusahaan minyak AS, Delta Oil saat itu berniat membangun pipa untuk menyalurkan gas alam dari Turkmenistan ke pesisir Pakistan melalui Afghanistan. Panjang pipa tersebut sekitar 1000 mil dengan menelan biaya 2,5 juta dollar Amerika Serikat. Tentu saja pihak Delta Oil sangat mendukung kekuasaan Taliban yang telah mengeluarkan fatwa agama bahwa mendorong investasi asing

bagian ajaran agama. 52 Afghanistan juga merupakan bagian dari suatu mata-rantai yang dikenal dengan nama ‘Cekungan Kaspia’ (Caspian Basin) yang merentang dari Turkmenistan, Azerbaijan, Uzbekistan, Afghanistan, Tajikistan, dan Kirgystan dengan deposit minyak Cekungan Kaspia yang ditaksir tidak kurang dari 30

51

Musthafa Abdurrahman, Afghanistan di Tengah Arus Perubahan, h.29.

52

trilyun barrel, suatu jumlah yang mampu memasok paling tidak untuk 80-100 tahun kebutuhan minyak Amerika Serikat. Selama itu rezim Taliban yang ada di Afganistan merupakan kekuatan satu-

satunya di kawasan itu yang bebal dan menentang kehendak Amerika Serikat yang ingin menguasai minyak di kawasan tersebut. Ketakukan Taliban kepada hegemoni Amerika Serikat di kawasan Asia Tengah itu membuat Taliban mempertimbangkannya untuk memberikan konsesi kepada sebuah negara Amerika Latin. Resikonya lebih kecil, tetapi hal itu membuat Amerika Serikat murka sekali. Sebuah delegasi presiden Amerika Serikat menemui Mullah Muhammad Omar, pimpinan Taliban, bekas sekutu Amerika Serikat ketika memerangi Uni Soviet. Utusan itu kesal sekali ketika pihak Taliban tetap bersikeras dengan kebijakan mereka. Kesabaran delegasi Amerika Serikat habis dan ditutup dengan pernyataan, “If you agree with us, we will provide you with golden carpet; but if you don’t agree with us, we will pump you with carpet bombing!” Taliban tetap menolak. Kesimpulannya, Taliban harus dihabisi!53 Selain itu, ada empat faktor khusus yang menyebabkan ketidakpuasan Amerika Serikat terhadap Taliban: pertama, Taliban dianggap tidak mampu untuk mengontrol Afghanistan akibat ekspansinya yang terlalu cepat. Washington mengharap bahwa dengan menangnya Taliban, bisa tercipta rasa damai di seluruh kawasan Afghanistan. Namun harapan itu tidak menjadi kenyataan. Pengambilalihan Kabul oleh Taliban malah melahirkan “negara polisi” di ibukota, pembersihan etnis di wilayah utara, dan banyaknya kerusuhan di wilayah-wilayah yang sebelumnya malah relatif aman. Pendapat yang menyatakan bahwa Taliban 53

akan menyebar stabilitas dalam negeri sama sekali tidak terbukti. Kedua, harapan Taliban akan segera menghentikan penanaman ganja dan opium, seperti banyak diramalkan akhirnya hanyalah sebuah ilusi. Bukannya Taliban menjadi partner dalam memerangi beredarnya obat-obat terlarang, namun sebaliknya malah mereka mengambil untung yang sebesar-besarnya. Di akhir 1997, 7,5% dari keseluruhan hasil panen opium yang berjumlah 2.500 ton dilaporkan berasal dari Kandahar, tempat Taliban bermarkas. Dan 90% dari hasil panen opium itu berada di bawah kontrol Taliban. Ketiga, Taliban sama sekali tidak sensitif terhadap kebijakan politik AS, tidak seperti yang diharapkan oleh Washington, contoh paling jelas adalah perlindungan yang diberikan Taliban pada Osama bin Laden, seorang milliyuner asal Arab Saudi, yang dituduh Amerika Serikat telah mendanai orang-orang yang anti terhadap Amerika seperti pengeboman barak militer di Arab Saudi di mana beberapa personil tentara Amerika mati terbunuh. Keempat, perlakuan Taliban terhadap wanita, yang secara luas disebarkan lewat media massa menyusul jatuhnya Kabul, dianggap sebagai penghinaan terhadap nilai-

nilai HAM dan Amerika menyatakan diri sebagai pembelanya. Dan itu menjadikan harapan Taliban untuk diakui oleh Amerika Serikat setelah setahun penaklukan kota Kabul adalah sia-sia. Amerika Serikat beranggapan lebih baik menutup kedutaan Afghanistan di Washington, ketimbang

memberikannya kepada orang-orang Taliban.54

54

BAB III

PENGARUH INVASI MILITER AMERIKA SERIKAT TERHADAP PROSES DEMOKRASI DI AFGHANISTAN

A. Invasi Militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan tahun 2001: Akhir Pemerintahan Taliban

Amerika Serikat melakukan invasi militer sebagai bagian dari pendirian

ideologi, di mana tujuan akhir invasi militer yang dilakukannya adalah untuk mengubah struktur negara agar sesuai dengan sistem demokrasi yang dianutnya. Satu hal yang dapat menyebabkan invasi militer ini menjadi sah adalah apabila alasan penyelenggaraan berdasarkan self-defence, yang didefinisikan sebagai tindakan untuk melawan kekerasan dengan kekerasan juga. Alasan inilah yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menyerang Afghanistan, dengan tujuan untuk menggulingkan rezim otoriter yang dianggap tidak kooperatif dan

menggantikannya dengan rezim demokratis seperti negaranya. Menurut John J. Hamre dan Gordon R. Sullivan, 55 Amerika Serikat sering

kali memiliki peran dalam upaya-upaya rekonstruksi pasca konflik internasional serta memimpin invasi militer ke berbagai negara. Namun, bagi Amerika Serikat, keputusan untuk terlibat atau tidak dalam proses semacam itu tergantung pada seberapa besar kepentingan Amerika Serikat. Ketika kepentingan vital nasionalnya dipertaruhkan, Amerika Serikat berinisiatif untuk mengambil peran

utama. 55

John J. Hamre dan Gordon R. Sullivan, “Toward Postconflict Raconstruction,” dalam

A.1. Pelaksanaan Invasi Militer Amerika Serikat

Tekad Amerika Serikat untuk menggulingkan rezim Taliban semakin

terlihat ketika dalam waktu empat hari pada November 2001, kota-kota kunci Afganistan berhasil direbut pasukan anti-Taliban. Pada 9 November, Mazar-i- Syarif jatuh ke tangan pasukan yang dipimpin Dostum, pemimpin Syiah Ustad Mohaqqeq, dan Komando Atta Muhammad. Sehari berikutnya, pasukan Front Persatuan melancarkan serangan-serangan simultan ke bagian utara Afganistan, di Khwajaghar, Eshkamesh, Baghlan, Pul-e Khumri, Nahrin, Aibak, dan Bamiyan. Semua kota tersebut berhasil direbut, bersamaan dengan kota Hairatan dan Shibarghan ke tangan pasukan Dostum. Kota Maimana berhasil direbut pada 11 November, disusul oleh Herat pada 12 November. Pada 13 November, Taliban melarikan diri dari Kabul, dengan merampok pusat penukaran mata uang asing dan bank nasional Afganistan, yaitu Da Afghanistan Bank. Front Persatuan kemudian berhasil menguasai ibukota Kabul tanpa perlawanan. Pada 11 Desember, pasukan bin Laden melarikan diri ke pegunungan di sekitar Gua Tora Bora yang terletak di Afganistan bagian timur. Amerika Serikat kemudian melancarkan bom terhadap gua-gua yang diduga sebagai tempat persembunyian

bin Laden dan pasukannya.56 Setelah dibombardir habis-habisan oleh Amerika Serikat, kekuatan pertahanan Taliban akhirnya ambruk. Kabul pun jatuh dan pasukan Aliansi Utara hampir tanpa perlawanan berhasil mamasuki ibukota Afghanistan yang selama 56

Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://www.infoplease.com/sport/taliban-time. html.

lima tahun terakhir ini dikuasai rezim Taliban. Dengan hengkangnya pemimpin dan pasukan Taliban dari Kabul, harapan akan berakhirnya konflik dan peperangan tampak dirasakan oleh penduduk setempat.57 Sebuah koran Jakarta berbahasa Inggris menulis judul dengan huruf yang besar “Kabul Falls, Taliban Flee” Kabul jatuh, Taliban Melarikan Diri.58

A.2. Di Balik Invasi Militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan

Terdapat beberapa prinsip yang dapat mendasari suatu aktor eksternal

untuk melakukan invasi militer dengan tujuan melakukan transisi rezim, di antaranya: kediktatoran pemimpin, profilerasi senjata pemusnah massal, dan genosida.59 Dalam kasus Afghanistan, alasan yang digunakan Amerika Serikat adalah kediktatoran rezim. Pemerintahan negara dunia ketiga yang otoriter atau totaliter dinilai sangat potensial mendukung kelompok pemberontak, bahkan kelompok teroris untuk melawan negara-negara maju yang dianggap menindas seperti Amerika Serikat. Oleh sebab itu, negara dengan pemerintahan totaliter seperti Afghanistan sangat dicurigai menampung al-Qaeda yang menyebabkan Amerika Serikat menyerang Afghanistan. Dalam rangka mencapai kepentingan nasionalnya, Amerika Serikat

memang memiliki kepentingan untuk melindungi kemerdekaan, harkat dan martabat manusia, kebebasan, kesejahteraan, dan perdamaian, baik di dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, Amerika Serikat seringkali memutuskan untuk melakukan invasi militer ke suatu negara dengan misi “membebaskan” 57

T. Yulianti, “Rekonstruksi Afghanistan Pasca – Taliban,” Suara Pembaharuan, 21 November 2001, h.1.

58

The Jakarta Post, 14 November 2001.

59

Pascal Boniface, “What Justifies Regime Change”, dalam The Washington Quarterly,

negara yang bersangkutan, dengan tujuan meninggalkan negara tersebut dalam keadaan yang lebih baik, dalam hal ini artinya lebih bebas dan demokratis dibandingkan dengan keadaan sebelum invasi militer Amerika Serikat. Hal ini antara lain dilakukan dengan secara aktif melibatkan diri di seluruh dunia dalam mendukung negara-negara lain untuk mengkonsolidasikan lembaga-lembaga pemerintahan yang demokratis, menyokong demokrasi baru, serta memberikan pencerahan kepada pemerintah yang menginginkan masyarakatnya akan

kebebasan dan kemerdekaan.60 Presiden Bush dalam pidatonya di depan sidang gabungan Kongres

Amerika Serikat pada 20 September 2001, menyatakan dimulainya perang Amerika Serikat melawan teror atau war on terror. Dalam kesempatan ini Presiden Bush meminta kepada Taliban untuk menyerahkan seluruh pemimpin kelompok (teroris) al-Qaeda yang bermarkas di Afghanistan, menutup seluruh kamp pelatihan teroris, menyerahkan seluruh anggota kelompok teroris kepada aparat yang berwajib, dan memberikan akses penuh terhadap kamp pelatihan teroris kepada Amerika Serikat. Presiden Bush juga menyatakan bahwa perang melawan terorisme dimulai dengan perang melawan al-Qaeda, namun Amerika Serikat tidak berhenti sampai di situ saja. Amerika Serikat memang menghormati seluruh rakyat Afghanistan, namun mengutuk rezim Taliban yang dianggap oleh pemerintah Amerika Serikat menindas rakyatnya sendiri dan mengancam orang di belahan dunia dengan mendukung dan menampung kelompok-kelompok teroris. Lebih lanjut, secara spesifik Presiden Bush mengatakan bahwa musuh Amerika Serikat bukanlah kaum muslimin ataupun bangsa Arab, tetapi jaringan teroris 60

Paula J. Dobriansky, “Shining a ligh: US Efforts to Strengthen Democracy Worldwide “ (Jurnal US Foreign Policy Agenda: 2003), hal. 25.Vol. 8 No. 1.

radikal dan semua pemerintah di dunia yang mendukung mereka.61 Terdapat pernyataan penting dalam pidato Bush di atas yang sangat menggambarkan motivasi dan tujuan Amerika Serikat melakukan invasi militer terhadap

Afghanistan :

“In Afghanistan, we see al-Qaeda’s vision for the World. Afghanistan’s people have been brutalized – many are starving and many have fled. Women are not allowed to attend school. You can be jailed for owning a television. Religion can be practiced only as their leaders dictate. A man can be jailed in Afghanistan if his beard is not long enought… Americans are asking : why do they hate us? They Hate what we see right here in this chamber – a democratically elected government. Their leaders are self-appointed. They hate our freedoms – our freedoms of religion, our freedom of speech, our freedom to vote and assemble and disagree with each other….. these terrorist kill not merely to end lives, but to disrupt and end a way of life. With every atrocity, they hope that America grows fearful, retreating from the world and forsaking our friend. They stand against us, because we stand in their way. We are not deceived by their pretenses to piety. We have seen their kind before. They are the heirs of all the murderous ideologies of the twentieth century. By sacrificing human life to serve their radical visions – by abandoning every value except the will to power – they follow in the path of fascism, and Nazism, and totalitarianism. And they will follow that path all the way, to where it ends: in history’s unmarked grave of discarded lies… This is not, however, just America’s fight. And what is at stake is not just America’s freedom. This is the world’s fight. This is civilization’s fight. This is the fight of all who believe in progress and pluralism, tolerance and freedom.”

Dari retorika ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Amerika Serikat

ingin mengubah total kehidupan di Afghanistan menjadi kehidupan seperti yang dianut Amerika Serikat, yaitu kehidupan yang demokratis – sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia serta perlindungan bagi hak-hak (rakyat) sipil.62 Salah satu alasan paling kuat bagi Amerika Serikat untuk melakukan hal ini adalah karena tren ancaman keamanan baru bagi Amerika Serikat adalah anarchy

61

Text: Bush Announces Start of a “War on Terror” Distributed by the office of International Information Programs, US Departmen of State,” Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov.

62

abroad—kekacauan lain yang terjadi di belahan dunia lain.63 Hal ini dikarenakan anarki yang terjadi di negara lain memiliki karakteristik di mana pemegang kekuasaan adalah pihak yang memenangkan peperangan terakhir dan di mana orang asing dapat bebas untuk keluar masuk perbatasan negara tersebut tanpa ada catatan apapun, membuat negara tersebut menjadi tempat yang sangat nyaman bagi kelompok-kelompok teroris untuk mengembangkan rencana mereka. Untuk mencegah hal ini, maka pemerintah baru di negara-negara semacam ini memerlukan bantuan dari pihak eksternal hal inilah yang dilakukan oleh Amerika

Serikat terhadap Afghanistan. Mendukung pernyataan Presiden Bush, wakil Menteri Pertahanan Amerika

Serikat, Donald Rumsfeld dalam pernyataannya mengenai invasi militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan kepada wartawan di Pentagon pada 7 oktober 2001, mengatakan bahwa serangan tersebut tidak ditujukan kepada rakyat Afghanistan, tetapi kepada kaum teroris yang mendapatkan perlindungan di Afghanistan, yang tindakan-tindakannya mengancam bukan hanya Amerika Serikat tetapi juga pemerintah-pemerintah lain di seluruh dunia. Dampak yang diharapkan oleh Amerika Serikat melalui invasi militernya, menurut Rumsfeld, adalah untuk menciptakan kondisi-kondisi yang kondusif bagi operasi-operasi militer yang dilaksanakan pada akhir 2001 dan 2002 memiliki tujuan untuk memperjelas kepada para pemimpin Taliban dan pendukungnya bahwa memberikan perlindungan kepada kelompok teroris tidak dapat diterima dan menimbulkan konsekuensi sanksi tertentu, mendapatkan informasi intelijen untuk memfasilitasi operasi-operasi di masa depan dengan kelompok-kelompok di Afghanistan yang 63

Kimberly Zisk Marten, “Defending against Anarchy: From War to Peacekeeping in Afghanistan:, dalam The Washington Quarterly, Vol. 26 No. 1, 2002-2003, hal. 35.

menentang rezim Taliban dan kelompok teroris asing yang didukung oleh Taliban menciptakan kondisi yang sangat sulit bagi para teroris untuk memanfaatkan Afghanistan secara bebas sebagai markas besar operasi, dan menyediakan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Afghanistan yang menderita dari kondisi kehidupan

serba tertindas dibawah rezim Taliban.64 Dalam kesempatan lain, Rumsfeld mengungkapkan kepada pasukan

Amerika Serikat di Afghanistan bahwa tugas mereka adalah untuk membela keamanan negara dengan cara menegaskan hukuman terhadap pelaku serangan terorisme 11 September 2001. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat saat itu, Colin Powell, menyatakan sejak awal bahwa pasukan Amerika Serikat akan tetap berada di Afghanistan hingga mereka menuntaskan misi mereka, yaitu

mengalahkan Taliban untuk adanya pemerintahan baru.65 Keberadaan pasukan Amerika Serikat, menurut wakil Presiden Amerika

Serikat Dick Cheney, merupakan sebuah kesempatan untuk mengingatkan rakyat Afghanistan bahwa Amerika Serikat senantiasa mendampingi mereka dalam membangun negara agar menjadi demokratis. Amerika Serikat semakin menyadari keberadaan musuh yang memiliki kebencian tidak terbatas terhadap Amerika Serikat. Dengan demikian, pemerintah Amerika Serikat memutuskan bahwa musuh semacam ini bukanlah musuh yang dapat diajak bernegosiasi atau berkompromi. Singkatnya, teroris merupakan musuh yang harus dikalahkan dan dimusnahkan.

64

Transcript “Rumsfield, Myers Brief on Military Operation in Afghanistan , Distributed by the Office of International Information Programs, US Department of state.” Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov.

65

Untuk memenangkan perang melawan musuh tersebut, Amerika Serikat

menerapkan sebuah doktrin, bahwa “setiap orang, kelompok, atau rezim yang memberikan perlindungan atau dukungan bagi aksi-aksi teror sama bersalahnya dalam tindak kriminal terorisme, dan akan dimintai pertanggungjawabannya”. Invasi terhadap Afghanistan yang ditujukan untuk mengalahkan Taliban yang dianggap memberikan perlindungan kepada dalang aksi teror 11 September 2001, Osama bin Laden, sebagai salah satu bentuk implementasi dari doktrin tersebut. Amerika Serikat meyakini bahwa ketika manusia diberikan hak-hak dan kesempatan untuk hidup dalam masyarakat yang bebas, mereka akan menggunakan energi mereka untuk mewujudkan perdamaian. Tindakan invasi militer terhadap Afghanistan dipercaya oleh Amerika Serikat dapat mewujudkan perdamaian di Afghanistan, karena invasi itu ditujukan untuk menjatuhkan rezim diktator yang dianggap melindungi jaringan teror sehingga dapat membantu

meningkatkan keamanan Amerika Serikat dan bangsanya.66 Selanjutnya, menurut beberapa analis, Amerika Serikat melakukan invasi

ke Afghanistan dalam rangka mencapai tujuan utamanya. Pertama, menghancurkan kekuatan pasukan al-Qaeda yang diduga kuat berada di Afghanistan sebagai bagian dari kampanye global Amerika Serikat untuk memberantas kelompok tersebut hingga tuntas. Kedua, menangkap atau membunuh Osama bin Laden, walaupun Amerika Serikat menganggap bahwa keberhasilan invasi militer ke Afghanistan tidak tergantung akan hal ini. Ketiga,

66

“Komentar oleh Wakil Presiden Amerika Serikat dalam sarapan pagi bersama pasukan tentara A.S. di lapangan udara Bagram, Kabul, Afghanistan, 7 Desember 2001,“ diakses pada 18 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov./mena/Archive/2004/Dec/09-572457.html.

melumpuhkan serta menjatuhkan rezim pemerintahan Taliban yang menurut banyak sumber terkait dengan al-Qaeda.67 Setelah Amerika Serikat berhasil menggulingkan rezim Taliban, masih

terdapat banyak hal yang harus dilakukan untuk mengembalikan keadaan aman di Afghanistan, yaitu pertama, membantu Afghanistan menciptakan situasi dan kondisi yang sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi kelompok teroris untuk kembali ke Afghanistan dan kedua, mendukung pembentukan kembali struktur politik, ekonomi, sosial, dan keamanan yang memungkinkan rakyat Afghanistan untuk membangun masa depan yang lebih baik.68 Pendapat dari pihak yang kontra mengenai tujuan dan motivasi Amerika

Serikat dalam melakukan invasi ke Afghanistan antara lain datang dari Noam Chomsky, analis yang seringkali mengambil posisi berseberangan dengan kebijakan–kebikajakan Amerika Serikat. Chomsky menyatakan bahwa jelas terjadi perbaikan-perbaikan yang dihasilkan sejak dijatuhkannya rezim Taliban. Apalagi sejak lama, sebagian besar pihak sangat mendukung digulingkannya rezim Taliban, kecuali pemerintah Amerika Serikat. Chomsky berupaya mengingatkan bahwa pada awalnya, penggulingan rezim Taliban bukanlah tujuan utama dari invasi militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan. Tujuan perang, yang diumumkan pada 12 Oktober 2001 atau lima hari setelah pemboman terhadap Afghanistan dimulai, adalah agar Taliban mau menyerahkan orang-orang yang dinyatakan sebagai tersangka yang terlibat dalam aksi teror terhadap Amerika Serikat. Dalam kesempatan tersebut, Amerika Serikat tidak memberikan bukti yang cukup bagi Taliban untuk melakukan penyerahan itu. Lebih dari dua 67

Frederick W. Kagan, “Did We Fall in Afghanistan?”, dalam commentary Vol. 115 No. 3 March 2003, hal. 40.

68

minggu setelahnya, ketika perang hampir mencapai akhir, tujuan perang baru ditambahkan, yaitu untuk menggulingkan rezim Taliban. Bahkan, seorang komandan Inggris mengumumkan bahwa rakyat Afghanistan akan terus diserang kecuali jika mereka melakukan perubahan rezim pemerintahan. Pada akhirnya, Amerika Serikat setuju untuk bergabung dalam menentang rezim Taliban.69 Dikatakan pula bahwa momen tersebut sebenarnya dimanfaatkan oleh

pemerintahan Bush untuk mencapai tujuan-tujuan politik luar dan dalam negeri. Saat itu, penasihat keamanan gedung putih Condolezza Rice misalnya, mengatakan bahwa ia telah “memanggil staf senior dari Dewan Keamanan nasional (National Security Council-NSC) dan meminta mereka untuk memikirkan secara serius bagaimana menggunakan kesempatan ini untuk secara fundamental mengubah doktrin Amerika Serikat serta bentuk tatanan dunia,

terutama pasca 11 september 2001. Pendapat lain datang dari kepala Staf Kantor Wakil Presiden, Lewis

Dokumen terkait