• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BELAJAR DAN MENGENAL KITAB AYUB

D. Sikap Ayub Ketika Menghadapi Penderitaan

2. Sikap Ayub dalam Penderitaan

Penderitaan Ayub adalah penderitaan yang dialami oleh orang benar ( Van Der Weiden, 1995: 109), karena Ayub sendiri orang benar; “saleh, jujur, takut

akan Allah, dan menjauhi kejahatan” (Ayb. 1: 1). Sebagai orang benar yang menderita, ternyata Ayub mempunyai kekhasan dalam menyikapi hal tersebut.

a. Kepasrahan Ayub

Dalam prolog jelas terlihat kepasrahan hati Ayub dalam menghadapi penderitaan. Dalam Kitab Ayub dituliskan bagaimana penyerahan dirinya kepada kehendak Allah. Ayub meyakini bahwa apapun yang terjadi pada dirinya, semua itu adalah kehendak Allah. Katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang member, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” (Ayub 1: 21). Menurut penulis, kalimat yang indah ini jelas menunjukan bahwa Ayub adalah seseorang yang beriman mendalam kepada Allah.

Ayub menerima penderitaan yang terjadi pada dirinya, namun bukan berarti bahwa Ayub menerima penderitaan sebagai hukuman karena dosa yang dia perbuat, melainkan atas kesadaran dirinya sebagai makhluk ciptakan Allah, yang percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi adalah kehendak-Nya. Sikap pertama Ayub ini menunjukan jati dirinya sebagai pribadi beriman mendalam, jujur, baik, taat, dan takut pada Allah.

b. Ayub Mengeluh

Ayub bersikerasmenolak hubungan antara dosa pribadi dan penderitaannya. Ayub tidak menyangkal adanya pembalasan di bumi, sebaliknya ia justru mengharapkannya. Namun kenyataan yang terjadi padanya membuat ia ragu akan keadilan Allah.

Sungguh suatu hal wajar bila kita mendengar orang menderita mengeluhkan keadaan dirinya. Itu tidak menutup kemungkinan terjadi pada orang benar dan

saleh seperti Ayub. Keluhannya terungkap dalam Ayb 3. Dalam bab tersebut Ayub terlihat sangat meratapi nasib malang yang menimpa dirinya. Keluhan Ayub terungkap jelas pada ay. 11; “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan?”. Ini jelas ingin menunjukan betapa Ayub menyesali hari kelahirannya. Kita lihat lagi ay. 13; “Jikalau tidak, aku sekarang berbaring dan tenang; aku tertidur dan mendapat istirahat”. Ayai ini menunjukan betapa menderitanya Ayub, lebih-lebih karena penderitaan ini dialaminya tanpa sebab yang pasti, artinya dialami tanpa berbuat dosa.

Ketika kita menderita, baik secara rohani maupun jasmani, seringkali kita menangis. Ini adalah bagian dari kodrat manusia. pada saat kita berhenti menangis, kita mulai bertanya: mengapa? Mengapa penderitaan ini terjadi padaku? Mengapa ya Allah? Namun, tidak ada jawaban (Carretto, 1989: 25).

Kebanyakan orang yang menderita, pada suatu ketika juga akan berkata seperti Ayub: “Biar hilang lenyap hari kelahiranku dan malam yang mengatakan: Seorang anak laki-laki telah ada dalam kandungan” (Ayb 3: 3) (Carretto, 1989: 25). Beban berat penderitaan seringkali membuat kita khilaf, mengeluh, dan men yesali hidup. Kalau sudah seperti ini, manusia sulit untuk menemukan makna hidup, akhirnya melihat penderitaan sebagai sesuatu yang sangat buruk (Carretto, 1989: 25).

c. Kekecewaan dan Kemarahan Ayub

Sama seperti kita, Ayub adalah manusia biasa dan terbatas. Dalam kesadarannya sebagai orang yang takut akan Allah, rupanya penderitaan dapat mengubah sifatnya. Ayub bereaksi terhadap situasi sulit yang menimpa dirinya. Ini adalah hal yg manusiawi. Kemanusiawian Ayub sebagai manusia yang terbatas,

nampak dari sikapnya pada saat kecewa dan marah kepada istri dan sahabat- sahabatnya.

Kemarahan Ayub terhadap istrinya terungkap dalam Ayb 2: 10 : “Engkau berbicara seperti perempuan gila!...” Kata-kata itu sungguh tidak wajar diucapkan oleh seorang suami terhadap isterinya. Namun, hal itu wajar saja, sebab dalam situasi menderita, seharusnya seorang istri menguatkan hati Ayub dalam menghadapi situasi sulit, tetapi malah sebaliknya, istri Ayub menyarankan hal yang tidak mungkin Ayub lakukan. Demikian tertulis:

Maka berkatalah isterinya kepadanya: “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!”. Tetapi jawab Ayub kepadanya: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang jahat?” Dalam kesemuaannya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya (Ayb 2: 9-10).

Seandainya istri Ayub tidak mengucapkan kata-kata seperti itu, Ayub tidak akan mengeluarkan kata-kata kasar dari mulutnya.

Dari sini penulis dapat mengatakan bahwa kemarahan Ayub adalah kehendak bebasnya. Seperti yang telah disinggung pada bagian pendahuluan, yaitu manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang diberi anugerah kesadaran, akal budi dan kebebasan dalam menentukan pilihan dalam hidupnya. Allah menghormati kebebasan yang telah diberikannya kepada manusia. Hal ini Allah tunjukan dengan membiarkan kemungkinan manusia akan salah pilih (Dicker, 1972: 10).

Selain marah pada istrinya, Ayub juga menunjukan sikap marah terhadap ketiga sahabatnya. Ayb. 13: 4-5: “Sebaliknya kamulah orang yang menutupi dusta, tabib palsulah kamu sekalian. Sekiranya kamu menutup mulut, itu akan dianggap kebijaksanaan dari padamu.” Kalimat bernada kasar itu diungkapkan karena dia merasa mengetahui apa yang ingin disampaikan sahabatnya. Biasanya seorang

sahabat dapat memberi penghiburan dan mampu memberi penguatan kepada sahabat yang sedang kesusahan. Namun, di sini sahabat-sahabat Ayub malah berbalik menvonis Ayub berdosa, dan menganjurkan dia untuk merendahkan diri di hadapan Allah, seperti yang dikatakan oleh salah satu sahabatnya, Zofar:

Jikalau engkau ini menyediakan hatimu, dan menadahkan tanganmu kepada- Nya; jikalau engkau menjauhkan kejahatan dalam tanganmu, dan tidak membiarkan kecurangan ada dalam kemahmu, maka sesungguhnya engkau dapat mengangkat mukamu tanpa cela, dan engkau akan berdiri teguh dan tidak akan takut, bahkan engkau akan melupakan kesusahanmu, hanya teringat kepadanya seperti kepada air yang telah mengalir lalu (Ayb. 11: 13- 16).

Bagaimana mungkin Ayub mengaku bersalah jika kenyataannya dia tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak dikehendak Allah seperti yang dituduhkan sahabat-sahabat Ayub kepada dirinya. Di sini Ayub sangat ingin berbicara secara langsung kepada Allah, seperti dikatakannya : “Apa yang kamu tahu, aku juga tahu, aku tidak kalah dengan kamu. Tetapi aku hendak berbicara dengan Yang Mahakuasa, aku ingin membela perkaraku di hadapan Allah” (Ayb. 13: 2-3). Apakah Allah akan menjawab Ayub?

Jika kita berada pada posisi Ayub, mungkin pertanyaan yang muncul adalah; mengapa semua penderitaan ini ada? Mengapa saya menderita, sedangkan saya tidak melanggar kehendak Allah? Pada saat itu juga kegalauan menyelimuti hati kita sebagai makhluk yang terbatas. Di dalam keterbatasan kita sebagai manusia, karena merasa benar dan tidak bersalah, kita sering memberontak dan membela diri karena memang tidak bersalah dan tidak pantas mendapat hukuman/siksaan ataupun penderitaan. Begitu juga dengan Ayub, dia melakukan hal yang sama seperti kita yang hidup pada masa kini. Apakah Allah mau berbicara pada Ayub? Bagaimana Allah menjawab Ayub?

d. Tantangan dan Pemberontakan dari Ayub

Sikap Ayub yang lebih keras dari kemarahannya terhadap isteri dan sahabatnya adalah sikap Ayub yang menantang. Tantangan ini terjadi karena amarah Ayub yang memuncak. Seperti ada tekanan yang dahsyat terhadap diri Ayub, membuat dia untuk seakan ingin meledak . Hanya saja, yang penulis maksudkan di sini adalah tantagan dari Ayub diarahkan langsung pada Allah Allah sendiri. Maksudnya, Ayub menantang Allah untuk membuktikan bahwa Ayub tidak bersalah, dan bukan tantangan kepada para sahabat yang memvonisnya sebagai bersalah. Seperti yang dinyatakan oleh Ayub, Ayub berbicara pada Allah:

Aku dinyatakan bersalah (oleh para sahabatnya), apa gunanya aku menyusahkan diri dengan sia-sia? Walaupun aku membasuh diriku dengan salju dan mencuci tanganku dengan sabun, namun Engkau akan membenamkan aku dalam lumpur, sehingga pakaianku merasa jijik terhadap aku (Ayb. 9: 29).

Dari ucapan ini, kita dapat mengatakan bahwa daripada tenggelam dalam derita yang tidak jelas bagaimana asal-usulnya, lebih baik berusaha untuk membebaskan diri dari belenggu yang tidak jelad sebabnya, meski hasilnya tidak pasti. Selain itu, dalam ayat yang agak panjang, Ayub berkata pula:

Karena Dia (Allah) bukan manusia seperti aku, sehingga aku dapat menjawab-Nya: Mari bersama-sama menghadap pengadilan. Tidak ada wasit di antara kami, yang dapat memegang kami berdua! Biarlah Ia menyingkirkan pentung-Nya daripadaku, jangan aku ditimpa kegentaran terhadap Dia, maka aku akan berbicara tanpa rasa takut terhadap Dia, karena aku tidak menyadari kesalahanku (Ayb. 9: 29-35).

Karena merasa tidak melakukan kesalahan, dengan berani dan sedikit lantang Ayub berbicara pada Allah. Ayub menuntut keadilan. Siapapun itu, tanpa terkecuali Ayub, jika berhadapan pada situasi yang tidak semestinya, pasti akan mencari tahu penyebab dari sesuatu yang terjadi, berharap keadilan dapat dirasakan.

Keberanian Ayub untuk berperkara dengan Tuhan Allah dinyatakannya dengan mengatakan: “Ketahuilah, aku [telah] menyiapkan perkaraku, aku yakin, bahwa aku benar” (Ayb. 13: 18). Namun, Ayub tetap menaruh rasa takut terhadap Tuhan Allah dengan mengatakan: “…Hanya janganlah Kaulakukan terhadap aku dua hal ini, maka aku tidak akan bersembunyi terhadap Engkau: jauhkanlah kiranya tangan-Mu dari padaku, dan kegentaran terhadap Engkau janganlah menimpa aku!” (Ayb. 13: 20-21).

Timbulnya rasa pemberontakan Ayub terungkap dalam Ayb. 23: 2-4, begini: “Sekarang ini keluh kesahku menjadi pemberontakan, tangan-Nya menekan aku, sehingga aku mengaduh. Ah, semoga aku tahu mendapatkan Dia, dan boleh datang ke tempat Ia bersemayam. Maka akan kupaparkan perkaraku di hadapan-Nya, dan kepenuhi mulutku dengan kata-kata pembelaan”. Di sini sangat jelas bahwa Ayub terang-terangan menantang kepada Tuhan Allah, siapa yang benar dan siapa yang salah: dalam hal ini tentu saja Ayub tidak menyalahkan Allah sendiri. Ayub hanya ingin tahu apakah dirinya benar atau salah dimata Allah. Jadi, bagi penulis, tantangan Ayub terhadap Allah tidak sebagai wujud kontranya, namun lebih ingin membuktikan kebenaran pendapatnya dan sekaligus kebenaran dirinya di hadapan sahabat-sahabatnya. Ayub hanya ingin menuntut keadilan pada Allah, dan dia berharap kiranya Allah menunjukan suatu kebenaran atas perkara penderitaannya.

Ayub memiliki konsepsi terhadap Allah bahwa orang benar harus menerima pahala, orang lemah mendapat perlindungan, dan orang jahat mendapat hukuman. Setelah melihat kenyataan yang terjadi pada dirinya, Ayub merasa bahwa Allah tidaklah adil pada dirinya. Ayub merasa tidak pantas menderita (Robini, 1998 : 19).

e. Tuduhan Ayub kepada Allah

Dalam perdebatannya dengan para sahabat, Ayub akhirnya mengucapkan kalimat yang digolongkan sebagai tuduhan terhadap Allah bahwa penderitaan yang menimpa dirinya adalah kehendak Tuhan Allah sendiri. Seperti dikatakannya: “Tetapi inilah yang Kausembunyikan di dalam hati-Mu [kehendak supaya Ayub menderita]; aku tahu, bahwa inilah maksud-Mu [penderitaan Ayub]” (Ayb. 10: 13). Di sini Ayub seperti mempersalahkan situasinya yang penuh dengan penderitaan itu kepada Tuhan Allah sebagai penyelenggara segala sesuatu. Sangat manusiawi bila Ayub mengarahkan tuduhannya terhadap Allah, apalagi dengan kesadarannya bahwa Allah adalah penyelenggara segala sesuatu yang terjadi di bumi termasuk penderitaan yang dia alami. Menurut penulis, hal ini terjadi dikarenakan semua yang terlibat dalam perdebatan itu, terutama Ayub sendiri, tidak mengetahui mengapa dan dari mana penderitaannya itu. Maka arah pandangan pun ditujukan kepada Sang Mahakuasa itu, Tuhan Allah sendiri. Ini adalah salah satu contoh dari keterbatasan manusia.

f. Pengharapan Ayub

Ketika seseorang mengalami musibah atau masalah yang berat sekalipun, tidak menutup kemungkinan bahwa disaat sulit seperti itu manusia masih mempunyai pengharapan untuk mendapatkan keringanan atas beban, atau hukuman/sanksi yang dia terima dari seseorang at aupun Allah sendiri yang mempunyai hidup ini. Begitu pula dengan Ayub orang benar yang menderita oleh perbuatan iblis atas seizin Allah, mengalami masa-masa yang begitu sulit, meski Ayub berkali-kali menyesali kelahirannya, namun Ayub tetap mempunyai

pengharapan terhadap Allah. Akhirnya jauh dii bawah lembah timbul sebercak harapan kecil (Carretto, 1989: 25).

Dalam dialog Ayub dengan teman-temannya, beberapakali muncul tema pengharapan. Dalam pembahasan akan disinggung terlebih dahulu beberapa ayat atau perikop pendek yang mengemukakan pengharapan secara implicit, untuk kemudian kedua bab yang memuat perikop pengharapan yang eksplisit juga akan dibahas, yakni bab 16 dan 19.