• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

E. Faktor Pendukung Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang di Surakarta 1 Aspek-aspek yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya

2. Sikap saat berkomunikas

Keberhasilan komunikasi antarbudaya dapat pula dijelaskan dari

perspektif The 5 Inevitable Laws of Effective Communication (lima hukum

komunikasi efektif). Lima hukum tersebut adalah Respect, Empathy, Audible,

Clarity, dan Humble (REACH).298 a) Respect.

Hukum pertama dalam mengembangkan komunikasi antarbudaya yang efektif adalah sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan. Pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati, maka dapat membangun kerjasama yang sinergi yang akan meningkatkan kualitas hubungan antar manusia.299

Untuk memperlancar komunikasi yang dilakukan, setiap imigran asal Jepang selalu berusaha menghormati orang yang menjadi lawan

       298 Suranto AW. Op. 

Cit. hlm. 194  299 Ibid

commit to user

bicaranya. Hal tersebut mereka tunjukkan dalam berbagai cara misalnya dengan menjaga sikap tubuh serta mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

“Oh itu, saya harus hati-hati itu kan sikapnya gitu kan. Kalau misalnya, kalau misalnya, sama kamu juga ya itu. Walau kamu adik, adikku, tapi aku kalau misalnya ngomong (dengan sikap angkuh) “Yo! gimana?” gitu kan ya, kata-katanya walaupun halus, tapi sikapnya begitu, itu kan orangnya seperti piye gitu kan?”300

“Memilih kata-kata supaya sopan dan untuk menghormati orang lain. Tapi, sekarang sudah terbiasa, jadi otomatis seperti itu.”301

“Saya dengarkan baik-baik.”302

“Kalau cara saya, mendengar lebih secara focus. Tapi yang biasanya yang sedang berkomunikasi tidak mau pakai HP atau apa apa apa, berarti yang secara berkomunikasi saya kan mau focusnya yang mendengar terhadap lawan bicara secara kehormatan. Atau yang dalam satu kelompok, terus kalau lawan bicara ada di belakang, pasti saya menoleh ke arahnya”303

b) Empathy.

Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu persyaratan utama dalam memiliki empati adalah kemampuan untuk mendengarkan atau mengerti lebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Rasa empati akan meningkatkan kemampuan kita dalam menyampaikan pesan dengan cara dan sikap yang akan memudahkan komunikan

       300 

Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden (Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November  2010, jam 15.00‐16.00) 

301 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam  15.00‐16.00) 

302 

Wawancara dengan Yumiko Takenouchi, Responden (YMI: 30 November 2010, jam 17.00‐18.00)  303 Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden (Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam  15.30‐16.30) 

commit to user

menerimanya. Oleh karena itu, memahami perilaku komunikan merupakan keharusan. Sebelum membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita perlu mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan. Sehingga nantinya pesan kita akan dapat tersampaikan tanpa ada halangan psikologis atau penolakan dari penerima.304

Warga Jepang yang tinggal di Surakarta pun selalu berusaha memahami kondisi lawan bicara sehingga komunikasi dapat berjalan dengan lancar.

“Apa ya, punya sifat untuk mengerti. Kalau, saya lihat orangnya, saya bisa bicara atau tidak. Gitu, iya. Boleh saya bicara atau tidak, gitu. Kalau, iya orangnya kira-kira mau menerima atau tidak. Ya, kedudukan kan beda-beda. Kalau orangnya tertutup, ya saya tidak akan berkata sesuatu, tapi kalau terbuka saya bicara. Jadi, melihat orangnya. Iya. “305

“Tapi kalau orangnya terbuka dan tidak kaku, saya baru mau mengkritik. Tapi juga lihat-lihat orangnya. Kalau orang tersebut tidak bisa menerima kritik, saya juga tidak akan mengkritik. Tapi kalau terbuka, saya akan ungkapkan pendapat saya.”306

c) Audible.

Hukum ketiga ini berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh penerima pesan.

Yang selalu menjadi masalah bagi warga Jepang dalam berkomunikasi adalah masih sering ditemukan orang yang menjadi lawan bicara kurang mengerti apa yang hendak disampaikan. Hal tersebut

       304 

Suranto Aw. Loc. Cit.  305 

Wawancara dengan Yumiko Takenouchi, Responden (YMI: 30 November 2010, jam 17.00‐18.00)  306 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam  15.00‐16.00) 

commit to user

dikarenakan penguasaan bahasa Indonesia yang masih kurang oleh warga Jepang serta keterbatasan kosa kata. Untuk menyiasati hal tersebut, mereka biasanya mengulangi pesan yang hendak disampaikan sampai lawan bicara mengerti apa yang mereka maksud.

“Mungkin “Tolong bicara lebih pelan-pelan”. Kalau masih bingung, saya mau jelaskan gitu, “tolong tulis”. Jadi, komunikasi aja tidak ada masalah. Jadi, teman-teman saya sering bantu. “Oh. Mungkin gini jadi harusnya gini.”307

“Ya memilih kata-kata yang tepat, dan kalau masih ada yang kurang mengerti, diulangi lagi sampai mengerti.”308

“Kadang-kadang masih ada orang yang kurang mengerti maksud saya. Mungkin karena bahasa Indonesia saya masih kurang. Kalau begitu, saya ulangi sampai orang itu mengerti.”309

“Kadang-kadang masih ada yang tidak mengerti, soalnya ya wajahnya kan sangat aneh. “Maksudnya apa?”. Beberapa kali sampaikan, tapi tetap tidak bisa, juga ada, atau yang menyambung juga ada. Kalau seperti itu, ya saya yang diberi waktu sebentar dulu nanti sampaikan lagi. Saya susun pikiran saya dulu, nanti coba menyampaikannya lagi.”310

d) Clarity.

Selain pesan harus dapat dimengerti, makna pesan itu sendiri harus jelas sehingga tidak menimbulkan multi intepretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan

      

307 Wawancara dengan Hitomi Matsuda, Responden (Gedung H ISI Surakarta: Senin, 29 November  2010, jam 11.00‐12.00) 

308 

Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam  15.00‐16.00) 

309 

Wawancara dengan Keisuke Isobe, Responden (Kantin KPRI UNS: Senin, 22 November 2010, jam  13.00‐14.00) 

310 Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden (Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam  15.30‐16.30) 

commit to user

transparansi. Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan sikap terbuka (tidak ada yang ditutupi atau terbuka), sehingga dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan.311

Semua responden mengaku jika memang membutuhkan untuk menyampaikan informasi secara lengkap, maka mereka akan memberikan informasi secara lengkap pula. Namun, hal tersebut juga tergantung pada tema apa yang sedang dibicarakan serta siapa yang menjadi lawan bicara.

“Ya, tergantung tema dan orangnya. Kalau memang membutuhkan informasi yang lengkap ya saya berikan secara lengkap.”312

“Ya, tergantung tema dan orangnya. Ada yang bisa semua ada yang harus ditutupi.”313

“Ya, itu tergantung dengan siapa saya bicara dan apa yang dibicarakan. Kalau soal kesenian, tidak ada yang saya tutupi. Tapi juga lihat-lihat orangnya. Kalau orang tersebut tidak bisa menerima kritik, saya juga tidak akan mengkritik. Tapi kalau terbuka, saya akan ungkapkan pendapat saya. Kalau hal-hal pribadi, tidak kepada semua orang, hanya kepada sahabat-sahabat saya.”314

“Kadang lengkap, kadang disembunyikan. Sebenarnya mau menyampaikan, tapi capek. Karena bahasanya masih kurang. Jadi susah kalau mau ngomong.”315

       311 Ibid

. hlm. 196 

312 Wawancara dengan Akira Kawakami, responden (Food Court SGM: Minggu 21 November 2010,  jam 15.00‐16.00) 

313 

Wawancara dengan Keisuke Isobe, Responden (Kantin KPRI UNS: Senin, 22 November 2010, jam  13.00‐14.00) 

314 

Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam  15.00‐16.00) 

315 Wawancara dengan Naoko Ujiie, Responden (Tempat tinggal Naoko Ujiie: rabu, 15 desember  2010, jam 16.00‐16.30) 

commit to user

e) Humble.

Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki.316

Setiap warga Jepang tersebut juga mengaku selalu berusaha untuk bersikap rendah hati, sehingga tidak menyinggung perasaan lawan bicara sehingga komunikasi berjalan lancar. Hal tersebut diakui sebagai sesuatu yang otomatis dilakukan.

“Iya, itu juga otomatis ya.”317

Selain kelima hukum di atas, peneliti menemukan beberapa sikap yang dimiliki oleh warga Jepang yang tinggal di Solo yang mendukung komunikasi antarbudaya. Sikap tersebut antara lain:

a) Adaptability, yaitu seberapa cepat seseorang untuk terbiasa dalam lingkungan asing atau norma yang berbeda.318

Penduduk pribumi yang sering berinteraksi dengan warga Jepang di Solo mengatakan bahwa warga Jepang tersebut memiliki kemampuan adaptasi yang cepat. Mereka menilai warga Jepang tersebut sudah terbiasa dengan lingkungan di Solo.

       316 Ibid 

317 

Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam  15.00‐16.00) 

318 

commit to user

“Kehebatan orang Jepang itu paling cepat menyesuaikan dengan kondisi lingkungan, adaptasinya dia cepet, makanya sampai sekarang pun meskipun dulu Jepang pernah menjajah negara kita, paling mudah untuk beradaptasi dan kita paling mudah menerima.”319

b) Acceptance, yaitu toleransi atau kemauan untuk menerima hal-hal yang

menyimpang dari hal-hal yang biasa bagi seseorang.320

Dalam penelitian ini, hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana warga Jepang yang sudah terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan orang Jawa. Misalnya makanan, cara menggunakan kamar mandi, menyapa orang walaupun belum dikenal, transportasi yang berbeda, serta keadaan lalu lintas yang berbeda.

c) Cultural Awareness, yaitu pemahaman seseorang terhadap adat dan sistem

sosial dari kebudayaan tuan rumah. Memahami bagaimana orang berpikir dan bertingkah laku sangatlah penting untung berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat budaya tersebut.321

d) Knowledge Discovery, yaitu kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan

baru pada waktu berkomunikasi.322

Dalam penelitian ini, hal itu terlihat dari pengetahuan-pengetahuan baru yang mereka dapat dari komunikasi. Sehingga mereka bisa menggunakan

      

319 Wawncara dengan Mulyono, Responden (Fujiyama Gakkou: Rabu, 19 januari 2011, jam 16.30 16.45) 

320 

Fred E. Jandt. Loc. Cit.  321 Ibid. hlm. 44 

322 

commit to user

pengetahuan tersebut sebagai modal berinteraksi dengan masyarakat pribumi dan beradaptasi.

3. Intensitas

Tingkat keseringan berkomunikasi juga mempengaruhi tingkat keberhasilan akulturasi seseorang di daerah baru. Semakin sering mereka berkomunikasi, semakin banyak pengetahuan mereka tentang daerah baru itu sehingga memudahkan untuk bersikap dan beradaptasi.

Bila kita memandang akulturasi sebagai proses mengembangkan kecakapan berkomunikasi dalam sistem sosio-budaya pribumi, perlulah diletakkan fakta bahwa kecakapan berkomunikasi sedemikian diperoleh melalui pengalaman-pengalaman berkomunikasi. Orang belajar berkomunikasi dengan berkomunikasi. Melalui pengalaman-pengalaman berkomunikasi yang terus- menerus dan beraneka ragam, seorang imigran secara bertahap memperoleh mekanisme komunikasi yang ia butuhkan untuk menghadapi lingkungannya. Kecakapan berkomunikasi yang telah diperoleh imigran lebih lanjut menentukan seluruh akulturasinya.323

Dari hasil penelitian, warga Jepang yang ada di Solo bisa dibilang sangat sering berkomuniaksi dengan lingkungan sekitarnya. Walaupun hanya sekedar menyapa. Namun hal tersebut telah menunjukkan kesungguhan mereka untuk menyatu dengan lingkungan baru mereka.

       323 

commit to user

“Ya, sering. Karena kuliah saya kan pribadi jadi dengan dosen ya sering. Sekarang kan saya ada kebiasan menjadi penghubung antara pihak Japan dengan pihak Indonesia, jadi ya harus komunikasi. Pada awalnya, saya tinggal langsung di rumah teman saya. Itu artinya, tidak ada orang asing di tempat saya. Makanya, harus diajak berbicara atau harus berkomunikasi untuk kehidupan. Jadi, makanya sebenarnya itu kan sudah ada keperluan untuk hidup.”324

“Sering sekali ya. Dengan lingkungan sekitar rumah maupun sesama teman seniman. Kalau ada keperluan juga.”325

“Berapa kali? Ga bisa dihitung. Kalau aku disini, terus ada yang lewat, menegur gitu kan? Ya, ya, jadi seperti itu kalau aku tidak sakit. Kalau sakit, di kamar terus jadi ga da komunikasi sama orang. Tapi kalau ga sakit, sepanjang hari buka mulut. Lebih, lebih, 20 kali aja lebih. Melebihi daripada burung og, iya.”326

“Kan, di sini kan toko. Jadi, ya setiap hari.”327

Sebagai inti akulturasi interaktif adalah proses komunikasi yang menghubungkan individu-individu imigran dengan lingkungan sosio-budaya mereka. Pentingnya komunikasi bagi akulturasi tidak perlu diragukan lagi.328