• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta)"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA

(Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta)

Disusun Oleh :

KUSNUL ISTIQOMAH D0206063

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Ilmu Komunikasi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

PENGESAHAN

Telah diuji dan disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi

Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Hari :

Tanggal :

Susunan Panitia Penguji:

Ketua : Prof. Drs. H. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D ( )

NIP. 19490428 197903 1 001

Sekretaris : Nora Nailul Amal, S.Sos, MLMed, Hons ( )

NIP. 19810429 200501 2 002

Penguji : Drs. Adolfo Eko Setyanto, M.Si ( )

NIP. 19580617 198702 1 001

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

(3)
(4)

commit to user

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul:

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA

(Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta)

adalah karya asli saya dan bukan plagiat baik secara utuh atau sebagian serta belum

pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik di institusi lain. Saya bersedia

menerima akibat dari dicabutnya gelar sarjana apabila ternyata dikemudian hari

terdapat bukti-bukti yang kuat, bahwa karya saya tersebut ternyata bukan karya saya

yang asli atau sebenarnya.

Surakarta,

(5)

commit to user

MOTTO

“Hai manusia, sesungguhnya Kami Menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di

antara kamu di Sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”

(Q.S Al-Hujurat: 13)

No matter what they say, I have my own way

(Kusnul)

“Don’t ever let your ambition takes your sanity”

(6)

commit to user

(7)

commit to user

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan rakmat serta hidayah-Nya, karena hanya atas kehendak-Nya, skripsi

dengan judul KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI

WARGA JEPANG DI SURAKARTA (Studi Deskriptif Kualitatif Terhadap Peran

Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta) dapat

diselesaikan dengan baik dan lancar.

Penelitian untuk skripsi ini bermula ketika peneliti melihat kesebelas orang

imigran asal Jepang yang memiliki kebudayaan yang berbeda mampu berakulturasi

dengan masyarakat Surakarta. Hal itu terlihat dari cara hidup para imigran tersebut

yang semakin mirip orang Jawa. Sebagai mahasiswa komunikasi, peneliti ingin

melihat kontribusi apa yang diberikan komunikasi antarbudaya terhadap proses

akulturasi tersebut.

Selain itu, pada umumnya komunikasi antarbudaya itu sulit, tetapi kesebelas

imigran tersebut relatif tidak memiliki masalah dengan masyarakat sekitar. Hal itu

terlihat dari tidak adanya konflik yang terjadi di antara mereka dengan masyarakat

sekitar. Peneliti ingin melihat kompetensi apakah yang dimiliki oleh para imigran

(8)

commit to user

Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Dan

pada kesempatan kali ini penulis hendak menyampaikan ucapan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Drs. Adolfo Eko Setyanto, M.Si selaku pembimbing yang telah

memberikan petunjuk dan ilmu selama penyusunan skripsi ini.

2. Hiromi Kano, Miki Orita, Kaoru Serizawa, Yumiko Takenouchi, Akira

Kawakami, Naomi Kawasaki, Mami Yamamura, Hitomi Matsuda,

Keisuke Isobe, Mika Masui, dan Naoko Ujiie karena telah bersedia

menjadi responden penelitian ini. Serta kepada Bpk Hadi Boediono, Bpk

Mulyono, Bpk Sutiman Abdul Rahman, Ibu Santi Staunislavia, Ibu

Theresia Sri Kurniati, Bpk Budi Kadarto, dan Ibu Sri Yuniati selaku

responden dari masyarakat pribumi.

3. Ayahku (alm) dan Ibu tercinta, atas didikan dan kasih sayangnya sehingga

peneliti bisa sampai sejauh ini. Serta atas doa, kerja keras, kesabaran,

ketabahan, dan dukungannya yang tulus.

4. Mas Pendi dan Mas Imam atas nasehat, motivasi, doa dan dukungannya.

5. Keluarga besar Sepon di Doplang.

6. My best Friends: Eke, Ria, Hasna, Arum, Nissa, Dinda and Genk Gemes:

(9)

commit to user

7. Teman-teman Saku EO, dan Kom ’06 lainnya yang tidak bisa disebutkan

satu persatu.

8. Ai (Deathgaze) atas suaranya yang merdu yang selalu berhasil membuatku

bersemangat.

9. Akito-sama yang selalu mendampingi.

Penulis berharap, semoga karya ini mampu memberikan manfaat dan mampu

memberikan gambaran untuk penelitian-penelitian berikutnya.

Surakarta,

(10)

commit to user

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… i

PERSETUJUAN………. ….. ii

PENGESAHAN……….. ….. iii

PERNYATAAN……… iv

MOTTO……….. v

PERSEMBAHAN……….. vi

KATA PENGANTAR……… vii

DAFTAR ISI………... x

DAFTAR TABEL……… xiv

DAFTAR BAGAN……….. xv

ABSTRAK……….. ……. xvi

ABSTRACT……….……. xviii

(11)

commit to user

A. Latar

Belakang ……….. 1

B. Rumusan

Masalah……….. 7

C. Tujuan

Penelitian……… 7

D. Manfaat

Penelitian……….. 8

E. Telaah

Pustaka……… 9

1. Komunika

si………... 9

a. Pengertian

Komunikasi……… 9

b. Unsur

Komunikasi………... 11

2. Multikultu

(12)

commit to user

3. Komunika

si Antarbudaya………. 19

a. Pengertian

Komunikasi Antarbudaya………. 19

b. Proses

Komunikasi Antarbudaya……… 25

c. Fungsi

Komunikasi Antarbudaya……… 30

d. Kompeten

si Komunikasi Antarbudaya……… 34

e. Komunika

si Antarbudaya yang Efektif……….. 37

f. Peran

Komunikasi Antarbudaya terhadap Akulturasi……. 43

g. Faktor –

Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Komunikasi

Antarbudaya……… 45

4. Akulturasi

(13)

commit to user

a. Pengertian

Akulturasi……….. 51

b. Potensi

Akulturasi……… 60

F. Metodolo

gi Penelitian……….. 62

1. Jenis

Penelitian………... 62

2. Lokasi

Penelitian……… 63

3. Populasi

dan Sensus………... 63

4. Teknik

Pengumpulan Data………. 64

5. Teknik

Analisi Data……… 66

6. Validitas

(14)

commit to user

II. DESKRI

PSI LOKASI PENELITIAN……….. 69

A. Kota

Surakarta………... 69

B. Imigran

Jepang………. 74

C. Profil

Responden……….. 79

III. PENYAJ

IAN DAN ANALISIS DATA………. 82

A. Komuni

kasi Antarbudaya Warga Jepang di Surakarta………. 83

B. Proses

Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang di Surakarta…….. 100

C. Fungsi

Komunikasi Antarbudaya Bagi Warga Jepang di Surakarta. 106

1. Fungsi

(15)

commit to user

2. Fungsi

Sosial……….. 113

D. Peran

Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga

Jepang di Surakarta……….. 117

E. Faktor

Pendukung Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang di

Surakarta……….. 120

1.

Aspek-aspek yang Mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya.. 120

2. Sikap

Saat Berkomunikasi………. 135

3. Intensita

s……… 142

4. Kompete

nsi Komunikasi Antarbudaya………. 144

5. Faktor

(16)

commit to user

IV. PENUTUP

……… 158

A. Kesimpulan

……….. 158

B. Saran……

……… 162

DAFTAR PUSTAKA

(17)

commit to user

[image:17.612.176.444.214.471.2]

DAFTAR TABEL

(18)

commit to user

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Model Komunikasi Antarbudaya……… 31

Bagan 1.2 Fungsi-fungsi Pribadi dan Sosial dari Komunikasi………. 35

Bagan 1.3 Analisis Data Model Miles dan Huberman………. 71

(19)

commit to user

ABSTRAK

Kusnul Istiqomah, D0206063, KOMUNIKASI ANTARBUDAYA ALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Februari 2010

Sekarang ini, banyak orang-orang asing yang datang ke Indonesia dengan berbagai tujuan. Ada yang datang untuk berwisata, belajar bahkan ada yang datang untuk bekerja termasuk warga Jepang. Begitu juga di Surakarta, bermacam-macam warga asing datang dengan berbagai keperluan termasuk orang Jepang. Setiap imigran harus menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya sehingga mereka mampu bertahan di lingkungan baru tersebut. Seorang imigran mempelajari dan mengadopsi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di negara tuan rumah. Dimana proses tersebut dikenal dengan sebutan akulturasi. Peneliti melihat kesebelas orang imigran asal Jepang yang memiliki kebudayaan yang berbeda mampu berakulturasi dengan masyarakat Surakarta. Hal itu terlihat dari cara hidup para imigran tersebut yang semakin mirip orang Jawa. Sebagai mahasiswa komunikasi, peneliti ingin melihat kontribusi apa yang diberikan komunikasi antarbudaya terhadap proses akulturasi tersebut.

Selain itu, pada umumnya komunikasi antarbudaya itu sulit, tetapi kesebelas imigran tersebut relatif tidak memiliki masalah dengan masyarakat sekitar. Hal itu terlihat dari tidak adanya konflik yang terjadi di antara mereka dengan masyarakat sekitar. Peneliti ingin melihat kompetensi apakah yang dimiliki oleh para imigran tersebut sehingga mampu melakukan komunikasi seperti itu.

Penelitian ini mengambil tempat di wilayah Surakarta dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggunakan sensus yaitu mengambil seluruh populasi menjadi objek penelitian. Menurut data dari kantor Imigrasi, di wilayah Surakarta terdapat 15 orang Jepang, namun peneliti hanya mampu menemukan 11 dari jumlah keseluruhan. Untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan model analisis data Miles dan Huberman. Untuk memastikan validitas data, peneliti menggunakan teknik triangulasi data.

(20)

commit to user

lingkungan dan berhubungan dengan lingkungan serta mendapatkan keanggotaan dan rasa memiliki dalam berbagai kelompok sosial yang mempengaruhi mereka. Selayaknya orang-orang pribumi, para imigran Jepang juga memperoleh pola-pola budaya pribumi dari kegiatan komunikasi antarbudaya. Melalui komunikasi massa seorang imigran mengetahui lebih jauh lagi tentang berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya pribumi.

Proses komunikasi antarbudaya tidak bisa lepas dari faktor-faktor pendukung. Aspek-aspek yang mempengaruhi komunikasi antar budaya yang terdiri dari persepsi, proses verbal, proses non-verbal dan konteks komunikasi. Sikap seorang imigran

ketika berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya yang meliputi respect,

empathy, audible, clarity, humble, adaptability, acceptance, cultural awareness,dan

knowledge discovery; intensitas komunikasi, dan kompetensi komunikasi

antarbudaya yang dimiliki oleh tiap imigran Jepang juga ikut andil dalam

memperlancar komunikasi antarbudaya. Selain komunikasi antarbudaya, potensi

akulturasi yang dimiliki seorang individu juga menentukan lancarnya proses akulturasi individu tersebut.

(21)

commit to user

ABSTRACT

Kusnul Istiqomah, D0206063, COMMUNICATION BETWEEN CULTURES IN JAPANESE ACCLUTURATION PROCESS IN SURAKARTA (Descriptive Qualitative Study of Roles of Communication between Cultures in Japanese Acculturation Process in Surakarta). Bachelor Thesis, Department of Communication Science, Faculty of Social and Political Science, Sebelas Maret University, Surakarta, February 2010.

Nowadays, a lot of people come to Indonesia with various kinds of purposes. Some of them come to enjoy the vacation resorts in Indonesia, to study, even work. Various people from all over the world come to Indonesia as well as from Japan. In Surakarta, there are also various kinds of foreign people who came to vacation, study, work, and even marry with host people. Every immigrant has to adapt with host culture so that can survive in the new environment. An immigrant learns and adopts norms and values of host culture which process is known as acculturation. From the observation, it could be said that the acculturation of Japanese people in Surakarta succeed. Therefore, researcher wanted to know the role of communication between cultures toward that acculturation process. And factors that influence the success of those communication between cultures and acculturation.

This research took place in Surakarta region with descriptive qualitative research method. It used census which took every Japanese people who live in Surakarta as research object. According to data from Immigration Department, there are 15 Japanese persons who live in Surakarta, but researcher could find only 11 persons of them. To analyze research data, researcher used Miles and Huberman data analysis model and to validate data, researcher used data triangulation.

(22)

commit to user

(23)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Disadari ataupun tidak, kebudayaan Jepang telah berpengaruh pada kehidupan

warga Indonesia. Selama 3,5 tahun Indonesia pernah dijajah oleh Jepang, dan pada

masa penjajahan tersebut Jepang terbukti lebih intens dalam melakukan aksi

akulturasi yakni di bidang politik. Jepang menunjukkan betapa unggulnya budaya

militer mereka sehingga bisa mengalahkan tentara Barat. Pada kenyataanya, memang

banyak pemuda Indonesia yang terpesona dan meleburkan diri menjadi tentara PETA.

Untuk tingkat tertentu dengan politik akulturasinya, Jepang telah menguasai dan

mengendalikan para pemuda untuk loyal dan membela penjajah ini.1

Kita wajib bersyukur karena kebudayaan Indonesia terutama kebudayaan

Jawa adalah kebudayaan dengan jati diri yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh

kebudayaan asing.2 Namun, sisa-sisa pengaruh Negara Jepang masih tampak pada

kehidupan sehari-hari. Misalnya saja penggunaan seragam untuk anak-anak sekolah

       1 

Beni Belvy, “Akulturasi Menjamin Kehidupan yang Harmonis?” 

http://www.overseasthinktankforindonesia.com/tag/akulturasi/. 6/7/2010/09.00.  2 

(24)

commit to user

dimana kebiasaan penggunaan seragam tersebut adalah warisan atau pengaruh dari

Jepang. Sekarang Indonesia merupakan Negara yang merdeka.

Di Surakarta, bermacam-macam warga asing datang berkunjung baik untuk

keperluan wisata, pendidikan maupun pekerjaaan, termasuk warga Jepang. Sekarang

bukan lagi penduduk Indonesia (Jawa) yang harus menyesuaikan diri dengan

penduduk Jepang, tetapi sebaliknya, para pendatanglah yang harus menyesuaikan diri

dengan tuan rumah.

Di Amerika maupun Eropa banyak orang disebut imigran yang pada

kenyataannya adalah sojourner dan ekspatriat. Sojourner biasanya tinggal di sebuah

negara baru dengan batas waktu tertentu yaitu dari enam bulan dan paling lama lima

tahun dengan tujuan tinggal yang lebih spesifik, misalnya untuk pendidikan.

Sedangkan ekspatriat lebih sering digunakan untuk menyebut pekerja asing yang

tinggal di sebuah negara dengan batasan waktu yang tak terhingga.3 Imigran yang ada

di Surakarta pun ada yang sebagai sojourner dan expatriate. Menurut data dari

Kantor Imigrasi Wilayah Jawa Tengah 2010, tercatat 15 orang warga Jepang yang

tinggal di Surakarta. Namun, peneliti hanya mampu menemukan 11 orang imigran

asal Jepang. Dari kesebelas orang tersebut tujuh orang merupakan soujourner dan

empat orang merupakan expatriate. Tujuan mereka tinggal di Surakarta

bermacam-macam, tujuh orang Imigran tinggal di Surakarta untuk keperluan pendidikan, tiga

orang untuk bekerja, dan satu orang untuk berumah tangga.

      

(25)

commit to user

Setiap orang ingin kehidupannya berhasil. Oleh sebab itu, di lingkungan baru

tersebut mereka perlu melakukan akulturasi sehingga bisa membaur dengan

masyarakat sekitar dan tujuan mereka tercapai.

Setiap imigran harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya

sehingga mereka mampu bertahan di lingkungan baru tersebut. Seorang imigran

mempelajari dan mengadopsi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di negara

tuan rumah di mana proses tersebut dikenal dengan sebutan akulturasi.4

Berry, Kim, & Boski (1987) telah menjelaskan akulturasi ke dalam dua

dimensi.

“…the value placed on maintaining one’s original cultural identity and the value given to maintaining relationship with other group in one’s new culture…”5

(…nilainya yang terletak pada merawat identitas budaya asli seseorang dan nilai yang diberikan untuk menjaga hubungan dengan kelompok dalam kebudayaan baru orang tersebut…)

Akulturasi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh imigran untuk

menyesuaikan diri dengan dan memperoleh kebudayaan pribumi.6 Akulturasi terjadi

melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang

signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-pola budaya pribumi

lewat komunikasi, para imigran pun melakukan hal serupa melalui komunikasi.

Karena orang belajar komunikasi dengan komunikasi.

       4 Ibid. hlm.315 

5 

Pernyataan  Berry, Kim dan Boski seperti dikutip oleh Fred E. Jandt dalam “Intercultural 

(26)

commit to user

Proses trial and error selama akulturasi sering mengecewakan dan

menyakitkan. Ada masalah krusial yang sering menghambat proses akulturasi

tersebut. Masalah tersebut adalah komunikasi antarbudaya baik secara verbal maupun

non verbal. Masalah dalam komunikasi verbal sering disebabkan oleh perbedaan

bahasa asli imigran dengan bahasa asli pribumi. Seperti misalnya penggunaan Bahasa

Jepang dan Bahasa Indonesia. Sedangkan masalah komunikasi nonverbal meliputi

perbedan penggunaan dan pengaturan ruang, jarak antarpribadi, ekpresi wajah, gerak

mata, gerakan tubuh lainnya, dan persepsi tentang penting tidaknya perilaku

nonverbal.7

Hal tersebut juga dialami oleh imigran Jepang di Surakarta. Pada awalnya

mereka memiliki kesulitan dalam memahami makna baik secara verbal maupun

nonverbal ketika berkomunikasi dengan penduduk pribumi karena pengetahuan

tentang bahasa Indonesia dan kebudayaan Jawa yang masih sedikit. Namun, dalam

waktu singkat mereka mampu mengatasinya.

Seperti misalnya yang pernah dialami seorang responden, Kaoru Serizawa.

Ketika Kaoru dan rombongan wayang akan pulang setelah pentas, ia ditawari oleh

seorang sinden “monggo, mampir wonten gubug kulo!”, karena mengira sinden

tersebut mengundangnya untuk mampir, Kaoru pun mampir ke rumah sinden

tersebut, padahal ungkapan semacam itu biasa digunakan oleh orang Jawa untuk

berbasa-basi. Kaoru pun turun dari mobil dan ikut masuk ke rumah sinden itu. Dia

melihat ekspresi terkejut di wajah sinden itu, tapi dia tidak mengerti maksud dari

       7 Ibid

(27)

commit to user

ekspresi tersebut. Setelah bertanya kepada seorang teman, Kaoru pun mengerti

maksud dari ajakan tersebut. Dari pengalaman yang mereka dapat ketika baru tinggal

di Surakarta, mereka belajar lebih banyak tentang kebudayaan Jawa sehingga

membantu mereka dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Saya melihat secara sepintas kesebelas orang tersebut berhasil di dalam

akulturasi. Hal tersebut terlihat dari cara mereka hidup di Surakarta yang semakin

mirip dengan orang Jawa dari segi komunikasi, cara berpakaian, makanan, gerak

tubuh, tutur kata, dan kebiasaan sehari-hari. Dari segi komunikasi, para imigran

tersebut lebih sering berbasa-basi serta aktif untuk berkomunikasi dengan masyarakat

sekitar meskipun baru pertama kali bertemu yang mana hal tersebut tidak pernah

mereka lakukan ketika di Jepang.

Dari segi berpakaian, mereka pun menyesuaikan dengan gaya berpakaian di

Jawa, mereka juga suka mengenakan batik dan kebaya. Ketika akan pergi kuliah,

mereka mengenakan kemeja dan bersepatu. Mereka juga menerima makanan Jawa

dengan mudah bahkan cenderung menyukainya. Makanan favorit mereka adalah

gado-gado, lotek, nasi goreng, sayur asam, dan ayam goreng.

Selain itu ketika lewat di depan orang yang lebih tua mereka membungkukkan

badan dan ketika mempersilakan tamu masuk ke dalam rumah mereka mengucapkan

monggo” sambil menunjuk dengan ibu jari. Selain “monggo”, kata-kata dalam

bahasa Jawa yang sering mereka gunakan adalah “maturnuwun” dan “nuwunsewu”.

Selain itu, mereka juga sudah terbiasa dengan cara mandi dan buang air di

(28)

commit to user

dengan di Jepang. Di Jepang, mereka terbiasa mandi satu kali dalam sehari ketika

akan pergi tidur. Mereka juga terbiasa dengan jam karet yang berlaku di lingkungan

sekitar mereka. Bahkan ada yang mengikuti kebiasaan jam karet tersebut. Lalu, bagi

imigran Jepang yang menikah dengan penduduk pribumi, mereka juga mengikuti

serangkaian kegiatan yang sudah menjadi kebiasaan di daerah baru mereka. Misalnya

jagong, PKK, dan Dharmawanita.

Mereka juga sudah bisa menerima kondisi lalu lintas di Surakarta yang ramai

dan banyak motor. Menurut mereka, alur lalu lintas di Surakarta sangat ramai dan

berbahaya karena banyak motor, banyak orang yang suka mengendarai motor atau

mobilnya dengan kencang dan salip-menyalip. Bagi imigran yang memiliki

kendaraan sendiri misalnya sepedamotor, mereka juga mengikuti kebiasaan

membunyikan klakson sesuka hati mereka yang berbeda dengan Jepang. Di Jepang,

pengendara akan membunyikan klakson jika keadaannya betul-betul berbahaya.

Sebagai seorang imigran mereka juga menyadari bahwa harus bisa

menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berusaha menerima nilai-nilai yang

berlaku di masyarakat sehingga mereka bisa diterima di lingkungan baru tersebut.

Terkadang terdapat perlakuan dari masyarakat sekitar yang tidak sesuai

dengan pengharapan para warga Jepang, misalnya ketika seseorang menanyakan hal

yang menurut orang Jepang sangat pribadi seperti menanyakan “Kenapa belum

memiliki anak?” dan “Siapa ayah anak ini?”. Reaksi yang timbul dari pertanyaan

semacam itu biasanya adalah rasa tersinggung dan terganggu. Reaksi tersebut sesuai

(29)

commit to user

ketika seseorang mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan

bermacam-macam antara lain merasa berbeda hingga kemarahan.

“The collected data show that the reactions are numerous and range from indifference, surprise, sadness, irritation, frustration to anger.”8

(data yang terkumpul menunjukkan reaksi yang bermacam-macam mulai dari merasa berbeda, terkejut, sedih, terganggu, frustasi, dan marah)

Namun, reaksi yang mereka rasakan itu tidak menggangu proses akulturasi

yang sedang berlangsung. Karena mereka menyadari perbedaan budaya yang ada

sehingga bisa memaklumi pertanyaan semacam itu.

Pada umumnya, komunikasi antarbudaya itu sulit dilakukan. Tetapi, kesebelas

orang Jepang yang tinggal di Surakarta itu sekalipun memiliki budaya yang berbeda,

mereka relatif tidak memiliki masalah dengan masyarakat. Hal itu terlihat dari tidak

adanya konflik yang pernah terjadi di antara mereka dengan penduduk pribumi.

Mereka mampu hidup berdampingan dan saling memaklumi. Kompetensi apakah

yang dimiliki oleh para imigran tersebut sehingga mampu melakukan komunikasi

seperti itu? Serta, apakah peran yang disumbangkan komunikasi itu terhadap proses

akulturasi yang mereka alami?

Selain kedua masalah tersebut, peneliti tertarik dengan tema ini karena

memiliki ketertarikan tersendiri dengan Jepang baik kebudayaan, cara hidup maupun

bahasa yang mereka miliki. Terlebih lagi, Jepang dan Indonesia sama-sama negara

budaya konteks tinggi.

      

(30)

commit to user

B. RUMUSAN MASALAH

Di Surakarta peneliti menemukan 11 orang imigran asal Jepang. Meskipun

memiliki latar belakang budaya yang berbeda, imigran-imigran tersebut mampu

membaur dengan masyarakat Surakarta dan mengikuti cara hidup masyarakat

Surakarta. Jika dikaji dari sudut ilmu komunikasi, peran apakah yang disumbangkan

oleh komunikasi antarbudaya dalam memperlancar akulturasi tersebut?

Umumnya komunikasi antarbudaya sering mengalami kegagalan, tetapi tidak

dengan imigran asal Jepang yang ada di Surakarta. Kompetensi apakah yang mereka

miliki sehingga mampu melakukan komunikasi seperti itu?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang bisa diambil dari penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui peran Komunikasi Antarbudaya dalam mendukung

kelancaran proses akulturasi warga Jepang di Surakarta.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mendukung Komunikasi

Antarbudaya dalam proses akulturasi warga Jepang di Surakarta.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritik: hasil peneltian ini diharapkan bisa menambah khasanah

pengetahuan terutama di bidang ilmu komunikasi antarbudaya.

2. Manfaat Praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

(31)

commit to user

E. TELAAH PUSTAKA

1. Komunikasi

Sejak dilahirkan, manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu yang

menjadi wadah kehidupannya. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Mereka memerlukan

bantuan dari orang lain di sekitarnya. Untuk itu ia melakukan komunikasi. Sebagai

makhluk sosial, manusia akan selalu berkeinginan untuk berbicara, saling tukar

gagasan, mengirim dan menerima informasi, membagi pengalaman, bekerja sama

dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan, dan sebagainya.9

a. Pengertian Komunikasi

Meskipun komunikasi merupakan kegiatan yang sangat dominan dalam

kehidupan sehari-hari, namun tidaklah mudah memberikan definisi yang dapat

diterima semua pihak. Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare yang

artinya memberitahukan. Kata tersebut kemudian berkembang dalam bahasa Inggris

communication yang artinya proses pertukaran informasi, konsep, ide, gagasan,

perasaan, dan lain-lain antara dua orang atau lebih.10

Beberapa definisi dari komunikasi yang diungkapkan beberapa ahli adalah

sebagai berikut:

      

9 Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010) hlm. 1  10 Ibid

(32)

commit to user

Wilbur Scramm (1955) menjelaskan, “Communication as an act of

establishing contact between a sender and receiver, with the help of message; the

sender and receiver some common experience which meaning to message encode and

sent by the sender; and received and decoded by the receiver”.11 (Komunikasi

merupakan tindakan melaksanakan kontak antara pengirim dan penerima, dengan

bantuan pesan; pengirim dan penerima memiliki beberapa pengalaman bersama yang

memberi arti pada pesan dan simbol yang dikirim oleh pengirim, dan diterima serta

ditafsirkan oleh penerima).

Definisi komunikasi menurut Everett M. Rogers (1955) yaitu

“Communication is the process by which an idea is transferred from a source to

receiver with the intention of changing his or her behavior”.12 (Komunikasi ialah

proses yang di dalamnya terdapat suatu gagasan yang dikirimkan dari sumber kepada

penerima dengan tujuan untuk mengubah perilakunya).

Sedangkan Raymond S. Ross (1974) mengungkapkan “Communication is a

transactional process involving cognitive sorting, selecting, and sharing of symbol in

such a way as to help another elicit from his own experience a meaning or responses

similar to that intended by source”.13 (Komunikasi ialah proses transaksional yang

meliputi pemisahan, dan pemilahan bersama lambang secara kognitif, begitu rupa

sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari pengalamannya sendiri arti

atau respon yang sama dengan yang dimaksud oleh sumber).

       11 Ibid

.  12 Ibid. hlm. 3  13 Ibid

(33)

commit to user

Definisi komunikasi menurut Theodore Herbert (1981) “Communication is

the process by which meaning a knowledge is transferred from one person to another,

usually for the purpose of obtaining some specific goals”.14 (Komunikasi adalah

proses di dalamnya menunjukkan arti pengetahuan dipindahkan dari seorang kepada

orang lain, biasanya dengan maksud mencapai beberapa tujuan khusus).

Edward Depari (1990) menyebutkan komunikasi adalah proses penyampaian

gagasan, harapan, dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu,

mengandung arti, dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima

pesan.15

Berdasarkan definisi komunikasi yang telah diuraikan sebelumnya, maka

dapat disimpulkan komunikasi adalah proses transaksi pesan atau informasi yang

mengandung arti, dari pengirim (komunikator) kepada penerima (komunikan) untuk

mencapai tujuan tertentu.16

b. Unsur Komunikasi

Komunikasi merupakan sebuah proses, aktivitas, atau kegiatan terbentuk oleh

karena adanya unsur-unsur komunikasi. Dari komponen-komponen ini selanjutnya

terbentuk proses komunikasi. Karena proses komunikasi yang dilakukan adalah

komunikasi antarbudaya, maka kebudayaan merupakan dinamisator atau “penghidup”

       14 Ibid

.  15 Ibid.  16 Ibid

(34)

commit to user

bagi proses komunikasi tersebut.17 Komponen atau unsur komunikasi tersebut dapat

diidentifikasi sebagai berikut:

1) Komunikator, sumber informasi (source), adalah individu atau orang yang

mengirim pesan. Pesan tersebut diproses melalui pertimbangan dan

perencanan dalam pikiran. Proses mempertimbangkan dan merencanakan

tersebut berlanjut kepada proses penciptaan pesan. Komunikator dalam

komunikasi antarbudaya adalah pihak yang memprakarsai komunikasi dan

berasal dari latar belakang kebudayaan tertentu. Beberapa studi tentang

karakteristik komunikator yang pernah dilakukan oleh Giles dan Arlenen

Franklyn-Stokes menunjukkan bahwa karakteristik itu di tentukan antara lain

oleh latar belakang etnis dan ras, faktor demografis seperti umur dan jenis

kelamin, hingga ke latar belakang sistem politik. William Gudykunts dan

Young Yun Kim (1995) mengatakan bahwa secara makro perbedaan

karakteristik antarbudaya itu ditentukan oleh faktor nilai dan norma hingga ke

arah mikro yang mudah dilihat dalam wujud kepercayaan, minat dan

kebiasaan. Selain itu faktor-faktor yang berkaitan dengan kemampuan

berbahasa sebagai pendukung komunikasi misalnya kemampuan berbicara

dan menulis secara baik dan benar (memilih kata, membuat kalimat),

      

(35)

commit to user

kemampuan menyatakan simbol non verbal (bahasa isyarat tubuh),

bentuk-bentuk dialek dan aksen, dan lain-lain.18

2) Pesan (message). Pesan atau informasi, ada pula yang menyebut sebagai

gagasan, ide, simbol, stimuli pada hakikatnya merupakan sebuah komponen

yang menjadi isi komunikasi. Pesan ini dapat berupa pesan verbal maupun

non-verbal. Dalam model komunikasi antarbudaya, pesan adalah apa yang

ditekankan atau yang dialihkan oleh komunikator kepada komunikan. Setiap

pesan sekurang-kurangnya mempunyai dua aspek utama: content dan

treatment, yaitu isi dan perlakuan. Pilihan isi dan perlakuan atas pesan

tergantung dari ketrampilan komunikasi, sikap, tingkat pengetahuan, posisi

dalam sistem sosial dan kebudayaan.19

3) Saluran, media (channel), merupakan suatu sarana yang digunakan untuk

menyampaikan pesan dari seorang komunikator kepada komunikan. Dalam

proses komunikasi antarbudaya, media merupakan tempat, saluran yang

dilalui oleh pesan atau simbol yang dikirim melalui media tertulis, media

massa cetak dan media massa elektronik. Akan tetapi kadang-kadang

pesan-pesan itu dikirim tidak melalui media, terutama dalam komunikasi

antarbudaya tatap muka. Ada dua tipe saluran; (1) sensory channel, yakni

saluran yang memindahkan pesan sehingga akan ditangkap oleh lima indra,

yaitu mata, telinga, tangan, hidung dan lidah. Lima saluran sensoris itu adalah

       18 Ibid. hlm. 2526 

19 Ibid

(36)

commit to user

cahaya, bunyi, perabaan, pembauan dan rasa. (2) institutionalized means, atau

saluran yang sudah sangat dikenal dan digunakan manusia, misalnya

percakapan tatap muka, material cetakan dan media elektronik.20

4) Komunikan, penerima informasi (receiver), merupakan pihak yang menerima

pesan. Sebenarnya komunikan tidak sekedar menerima pesan, melainkan juga

menganalisis dan menafsirkannya sehingga dapat memahami makna pesan

tersebut. Komunikan dalam komunikasi antarbudaya juga berasal dari suatu

kebudayaan tertentu yang berbeda dengan komunikator. Tujuan Komunikasi

akan tercapai jika komunikan “menerima” (memahami makna) pesan dari

komunikator, dan memperhatikan (attention) serta menerima pesan secara

menyeluruh (comprehension).21 Seringkali seorang komunikan, saat

memperhatikan atau memahami isi pesan sangat tergantung pada tiga bentuk

pemahaman, yaitu: (a) kognitif, komunikan menerima isi pesan sebagai suatu

yang benar; (b) afektif, komunikan percaya bahwa pesan itu tidak hanya benar

tetapi baik dan disukai, dan (c) overt action atau tindakan nyata, di mana

seorang komunikan percaya atas pesan yang benar dan baik sehingga

mendorong tindakan yang tepat.22

5) Umpan balik (feedback), merupakan respon atau tanggapan seorang

komunikan setelah mendapatkan terpaan pesan. Dapat pula dikatakan sebagai

       20 Ibid

. hlm. 28‐29  21 Ibid. hlm.27  22 Ibid

(37)

commit to user

reaksi yang timbul. Tanpa umpan balik atas pesan-pesan dalam komunikasi

antarbudaya maka komunikator dan komunikan tidak bisa memahami ide,

pikiran dan perasaan yang terkandung dalam pesan tersebut.23

6) Gangguan (noise/barier). Gangguan komunikasi seringkali terjadi, baik

gangguan bersifat teknis maupun semantik. Adanya gangguan komunikasi ini

dapat menyebabkan penurunan efektivitas proses komunikasi.24 Gangguan

dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu yang menjadi

penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan,

atau paling fatal adalah mengurangi makna pesan antarbudaya. De Vito

(1997) menggolongkan tiga macam gangguan yaitu:25

(a) Gangguan Fisik yang berupa interfensi dengan transmisi fisik isyarat atau

pesan lain, misalnya desingan mobil yang lewat, dengungan komputer,

kaca mata, dll.

(b) Gangguan Psikologis yang berupa interfensi kognitif atau mental,

misalnya prasangka dan bias pada sumber, penerima, pikiran yang sempit.

(c) Gangguan Semantik yang berupa pembicara dan pendengar memberi arti

yang berlainan, misalnya orang berbicara dengan bahasa yang berbeda,

menggunakan jargon atau istilah yang terlalu rumit untuk dipahami oleh

pendengar.26

       23 Ibid

. hlm.30  24 

Suranto Aw. Op.Cit. Hlm. 7  25 Alo Liliweri. Op.Cit. hlm. 30  26 

(38)

commit to user

2. Multikulturalisme

Kebudayaan yang homogen relatif langka sekarang ini. Etnik homogen seperti

Italia, Jepang, Norwegia, dan beberapa negara lain telah berdiri berabad-abad lalu.

Nasionalitas yang turun temurun adalah hal yang benar untuk negara Jerman dan

Israel, keduanya adalah negara modern yang menganugerahi hak-hak kepada

rakyatnya berdasarkan darah. Era 1990an melihat etnisitas diproklamirkan sebagai

pondasi yang layak bagi negara-negara Balkan dan di bagian mantan Uni Soviet.

Negara-negara tersebut adalah negara minoritas. Lebih dari 95% dari Negara-negara

di dunia yang heterogen secara etnik.27

Multikulturalisme bukan sekedar berarti lain ras dan nasionalitas tetapi

memiliki pemahaman yang lebih dalam.

“Multiculturalism does not simply mean other races and nationalities but virtually every conceivable human grouping that separates from the norm, develope a separate identity as well as its normative identity. Indeed each person is of many cultures simultaneously. One has a sexual identity; a racial identity; a religious identity; a class/work identity; a school identity; an identity from the friends one keeps; a family identity; several geographic identities; neighborhood; city; state; country; hemisphere; etc. human tendency to be relatively unconscious of other cultures is dysfunctional in our society as well as in any association, and it is clear that much hostility is created by ignorance of other cultures and the failure to recognize their existence”28

(multikulturalisme bukan secara sederhana diartikan sebagai lain ras dan bangsa tetapi pada hakikatnya setiap kelompok manusia yang bisa digambarkan terpisah dari norma, mengembangkan identitas tersendiri begitu

      

27 Fred E. Jandt, Intercultural Communication: An Introduction 2nd (Thousand Oaks, Sage Publication,  1998) hlm. 419 

28 

(39)

commit to user

juga identitas normatifnya. Tentu saja begitu juga dengan setiap manusia dalam banyak kebudayaan. Seseorang memiliki sebuah identitas seksual; identitas ras; identitas agama; identitas kelas/pekerjaan; identitas sekolah; identitas dari teman-temannya; identitas keluarga; beberapa identitas geografi: lingkungan sekitar, kota, negara bagian, desa, belahan dunia, dll. Kecenderungan manusia yang relatif tidak sadar akan kebudayaan lain tidak berfungsi dalam masyarakat kita begitu juga di asosiasi manapun, dan jelas, permusuhan seperti itu diciptakan oleh ketidakpedulian terhadap kebudayaan lain dan kegagalan untuk mengenali keberadaan mereka).

Multikulturalisme adalah sebuah kata yang digunakan untuk menjelaskan

situasi di dalam suatu masyarakat di mana kelompok-kelompok yang berbeda

didukung untuk menjaga perbedaan etnik mereka, dan untuk berpartisipasi di dalam

kehidupan sehari-hari dengan masyarakat yang lebih luas. Hal ini berlawanan dengan

perbedaan etnik yang dikurangi dan keberagaman diharmonisasikan seperti “melting

pot”, atau di mana perbedaan etnik diijinkan tetapi tidak terlibat kehidupan di

masyarakat yang lebih luas (segregasi).29

Dalam garis pemikiran ini, sebuah masyarakat multikultur mungkin tidak

memiliki sebuah kebudayaan yang berlaku untuk semua kelompok dan tidak ada satu

pun budaya yang boleh mendahului yang lain.30

Studi sosiologi dan antropologi tentang masyarakat majemuk selalu

menggambarkan bahwa multikulturalisme merupakan ideologi dari sebuah

       29 

David L. Sam  dan  John W. Berry (ed), The Cambridge Handbook of Acculturation Psychology (New  York: Cambridge University Press, 2006) hlm. 20 

(40)

commit to user

masyarakat multikultur yaitu masyarakat yang tersusun oleh keragaman etnik karena

dukungan keragaman etnik atau kebudayaan dalam arti luas.31

Ada beberapa pengertian mengenai multikulturalisme, pertama,

multikulturalisme adalah konsep yang menjelaskan dua perbedaan dengan makna

yang berkaitan. (a) Multikulturalisme sebagai kondisi kemajemukan kebudayaan atau

pluralisme budaya dari suatu masyarakat. Kondisi ini diasumsikan dapat membentuk

sikap toleransi. (b) Multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan pemerintah

pusat yang yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat dapat

memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku

bangsa.32

Kedua, multikulturalisme merupakan konsep sosial yang diintroduksi ke

dalam pemerintahan agar pemerintah dapat menjadikannya sebagai kebijakan

pemerintah.33

Ketiga, jika dikaitkan dengan pendidikan multikultural, multikulturalisme

merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keragaman latar belakang

kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk

sikap multikulturalisme.34

      

31 Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur cet. II  (Yogyakarta, LKiS, 2009) hlm. 68 

32 Ibid .  33 Ibid.  34 Ibid

(41)

commit to user

Keempat, multikulturalisme sebagai sebuah ideologi dapat dikatakan sebagai

gagasan bertukar pengetahuan dan keyakinan yang dilakukan melalui pertukaran

kebudayaan atau perilaku budaya setiap hari.35

3. Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi berhubungan erat dengan kebudayaan. Komunikasi yang terjadi

antara orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda mendasari

adanya komunikasi antarbudaya.

Kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku

komunikasi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap

tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda.36

Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif

dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya adalah perbendaharan budaya

yang satu dengan yang lain juga berbeda dan dapat menimbulkan bermacam-macam

kesulitan.37

a. Pengertian Komunikasi Antarbudaya

       35 Ibid

.   36 

(42)

commit to user

Fred E. Jandt menuliskan definisi komunikasi antarbudaya sebagai interaksi

tatap muka di antara orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda

(intercultural communication generally refers to face-to-face interaction among

people of diverse cultures).

Collier dan Thomas (1988) mendefinisikan komunikasi antarbudaya as

communication between people ‘who identify themselves as distinct from’ others in a

cultural sense. (Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang yang

menganggap dirinya sebagai orang yang berbeda dengan yang lain dalam sebuah

kebudayaan).

Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa menyebutkan bahwa komunikasi

antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan,

misalnya suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial.38

Sedangkan Carley H. Dodd menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya

mengarah pada pengaruh variabel-variabel dan perbedaan budaya dalam hasil

komunikasi interpersonal. Perbedaan dalam gaya komunikasi dan sosial, pendangan

terhadap dunia, adat, harapan, aturan, peran, dan mitos menggambarkan sedikit

elemen yang menjelaskan bagaimana kebudayaan membentuk proses komunikasi.39

Beberapa teori komunikasi telah diterapkan pada situasi antarbudaya. Salah

satunya adalah yang berdasar pada teori Uncertainty Reduction oleh Berger dan

Calabrese (1975). Teori tersebut berasumsi bahwa pada fase inisiasi dari interaksi

       38 

(43)

commit to user

dengan orang lain, yang menjadi tujuan utama adalah untuk mengurangi keraguan

terhadap orang itu. Saat itu, kita sedang berusaha untuk mengetahui informasi

mengenai lawan bicara dan untuk membagi informasi mengenai diri kita.40

Yang kedua adalah teori Coordinated Management of Meaning (Cronen,

Pearce, & Harris, 1982). Teori ini menjelaskan mengenai alam sosial dari

komunikasi: konteks dimana komunikasi terjadi, aturan untuk interpretasi kata-kata

dan aksi digunakan, dan aturan untuk menentukan bagaimana harus bersikap saat

seseorang berbicara.41

Kedua teori tersebut pada dasarnya menerangkan bagaimana tingkah laku

dipengaruhi oleh norma dan aturan sosial. Teori Uncertainty Reduction berasumsi

bahwa aturan-aturan dibentuk oleh budaya. Teori Coordinated Management of

Meaning menekankan pada persepsi individu mengenai aturan budaya.42

Karena merupakan salah satu bidang studi ilmu komunikasi, komunikasi

antarbudaya mempunyai obyek formal, yakni mempelajari komunikasi antarpribadi

yang dilakukan oleh seorang komunikator dan komunikan yang berbeda budaya.

Secara umum terdapat dua dimensi studi ilmu komunikasi antarbudaya, yakni

studi yang dikaitkan dengan: (1) komunikasi yang bersifat interaktif-perbandingan

(sumbu X); dan (2) komunikasi yang bersifat antarpribadi-penggunaan media (sumbu

       40 

Fred Edmund Jandt, Intercultural Communication: An Introduction (London: Sage Publication,  1998) hlm. 38 

41 Ibid.  42 Ibid

(44)

commit to user

Y). Kemudian, rincian bidang studi ilmu komunikasi dapat dikategorikan

berdasarkan:

Kuadran I: mempelajari komunikasi antarbudaya dengan pokok bahasan proses

komunikasi antarpribadi dan komunikasi antarbudaya termasuk di dalamnya

komunikasi di antara komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan, suku

bangsa, ras dan etnik.

Kuadran II: komunikasi lintasbudaya dengan pokok bahasan perbandingan pola-pola

komunikasi antarpribadi lintasbudaya.

Kuadran III: komunikasi melalui media di antara komunikator dengan komunikan

yang berbeda kebudayaan namun menggunakan media, seperti komunikasi

internasional.

Kuadran IV: mempelajari perbandingan komunikasi massa, misalnya

membandingkan sistem media massa antarbudaya, perbandingan komunikassi massa,

dampak media massa, tatanan informasi dunia baru 43.

Komunikasi antarbudaya memiliki bagian yang disebut unsur-unsur

sosio-budaya yang meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Misalnya unsur yang

berhubungan dengan persepsi, proses verbal, dan proses nonverbal. Unsur-unsur

tersebut membentuk suatu matriks yang kompleks mengenai unsur-unsur yang

sedang berinteraksi bersama-sama, yang merupakan suatu fenomena kompleks yang

disebut komunikasi antarbudaya44.

      

43 Alo Liliweri, GatraGatra Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) hlm. 128  44

(45)

commit to user

Komunikasi antarbudaya akan mudah dipahami sebagai perbedaan budaya

dalam mempersepsi obyek-obyek sosial dan kejadian-kejadian. Suatu prinsip penting

dalam pendapat ini adalah bahwa masalah-masalah kecil dalam komunikasi sering

diperumit oleh perbedaan-perbedaan persepsi tersebut.

Edward T. Hall membagi kebudayaan ke dalam dua konteks yaitu

High-Context Culture dan Low-Context Culture. High-context culture menunjuk pada

penggunaan pesan konteks tinggi dimana sering diimplikasikan melalui bentuk fisik

atau dianggap sebagai bagian dari kepercayaan pribadi, nilai-nilai, dan norma-norma.

Sangat sedikit yang tersedia dalam bentuk pesan kode, pesan yang eksplisit.

Sedangkan Low-context culture merujuk pada pesan konteks rendah dimana

informasi disebarkan dalam bentuk kode yang eksplisit45.

High-context Asia

Arab

Southern European

Africa

South American

Other Northern European

Low-Context Australian

American

Scandinavia

German

Swiss

      

(46)
[image:46.612.111.536.222.462.2]

commit to user

Tabel 1. High Context Culture-Low Context Culture46

Konteks kebudayaan dalam berbeda cara mempengaruhi arti dari sebuah

pesan. Ciri konteks kebudayaan terdiri dari pesan verbal dan nonverbal yang kita

gunakan untuk memberikan pemahaman saat berinteraksi dengan orang lain47.

Menurut Hall, dalam high-context culture, isyarat nonverbal sangatlah

penting. Komunikator sangat bergantung pada informasi yang lebih halus atau samar

seperti isyarat ekspresi wajah, suara, dan diam untuk menafsirkan pesan.

Sedangkan low-context culture, lebih mengandalkan pada kejelasan bahasa

dan arti dari setiap kata-kata serta menggunakan lebih sedikit konteks tersirat untuk

mengirim dan menafsirkan pesan.48

Geert Hofstede mengidentifikasi lima dimensi sejalan dengan pola dominan

dari sebuah budaya yaitu power distance (PDI), uncertainty avoidance (UAI),

individualism versus collectivism (IDV), masculinity versus femininity (MAS), dan

long-term versus short-term orientation of time.49

Dimensi-dimensi Hofstede menjelaskan harapan cultural untuk sebuah jenjang

perilaku-perilaku sosial, power distance merujuk pada hubungan dengan orang yang

berkedudukan lebih tinggi atau lebih rendah. Uncertainty avoidance merujuk pada

pencarian seseorang pada kebenaran dan kepastian. Individualism-collectivism

merujuk pada perilaku terhadap kelompok. Masculinity-femininity merujuk pada

       46 Beebe. Loc. 

Cit.  47 

Beebe. Loc. Cit.  48 Ibid

(47)

commit to user

pengharapan terhadap prestasi dan perbedaan gender, dan time orientation merujuk

pada pencarian seseorang terhadap kebaikan dan idealisme yang tahan lama.50

b. Proses Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi bukan dipandang sebagai sebuah kegiatan yang menghubungkan

manusia dalam keadaan pasif, tetapi komunikasi harus dipandang sebagai sebuah

proses yang menghubungkan manusia melalui sekumpulan tindakan yang terus

menerus diperbaharui. Komunikasi disebut sebagai suatu proses karena komunikasi

itu dinamik. Sebuah proses yang terdiri dari beberapa sekuen yang dapat dibedakan

namun tidak dapat dipisahkan. Semua sekuen berkaitan satu sama lain meskipun

selalu berubah-ubah. Pada hakikatnya proses komunikasi antarbudaya sama dengan

proses komunikasi lain, yaitu proses yang interaktif dan transaksional serta dinamis.51

Wahlstrom (1992) menjelaskan bahwa komunikasi antarbudaya yang interaktif

adalah komunikasi yang dilakukan oleh komunikator dengan komunikan dalam dua

arah/ timbal balik namun masih berada pada tahap rendah. Apabila ada proses

pertukaran pesan itu memasuki tahap tinggi, misalnya saling mengerti, memahami

perasaan dan tindakan bersama maka komunikasi tersebut telah memasuki tahap

transaksional seperti yang diungkapkan oleh Hybels dan Sandra (1992).52

Komunikasi transaksional meliputi tiga unsur penting yaitu (1) keterlibatan

emosional yang tinggi, yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan atas

       50 

Myron W. Lustig. Op. Cit hlm. 132  51 

Alo Liliweri, Dasar‐Dasar Komunikasi Antarbudaya, Cet.III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm.  24 

(48)

commit to user

pertukaran pesan; (2) peristiwa komunikasi meliputi seri waktu, artinya berkaitan

dengan masa lalu, kini dan yang akan datang; dan (3) partisipan dalam komunikasi

antarbudaya menjalankan peran tertentu.53

Baik komunikasi interaktif maupun transaksional mengalami proses yang

bersifat dinamis, karena proses tersebut berlangsung dalam konteks sosial yang

hidup, berkembang dan bahkan berubah-ubah berdasarkan waktu, situasi dan kondisi

tertentu. Karena proses komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi antarbudaya

maka kebudayaan merupakan dinamisator bagi proses komunikasi tersebut.54

       53 Ibid. hlm. 2425 

54 Ibid

(49)

commit to user

Di bawah ini adalah model komunikasi antarbudaya:

Bagan 1. Model Komunikasi Antarbudaya55

Model komunikasi antarbudaya tersebut menampilkan pengembangan dari

definisi Perceived Cultural Differences (PCD) atau yang bisa diartikan sebagai

      

55 Carley H. Dodd, Dynamics of Intercultural Communication 5th edition (Boston: McGraw Hill, 1998)  hlm. 7 

Uncertainty/ anxiety motivate intercultural adaptive communication strategies by forming an  arena of potentially positive adaption, Cultural C: 

Culture C 

Is an invented third culture in  which A & B experience positive  climate, commonality and trust  leading to adaptation 

Functional strategies utilizing intercultural  knowledge and skills involving rules, roles,  customs, beliefs, social style, affirmation,  approachability and adaptability 

Intercultural Communicatin  Effectiveness Outcome: Task,  Positive Relationships, Cultural  Adjustment 

Uncertainty Anxiety Dysfunctional strategis such  as relying on stereotypes,  withdrawal denial, hostily 

Interpersonal  relationship 

Personality 

Culture 

Perceived Cultural Difference

Interpersonal  relationship 

Personality 

(50)

commit to user

mengenali perbedaan cultural. William Gudykunst dan Young Kim menerapkan

metafora dari orang asing menjadi orang-orang yang dikenal sebagai “berbeda

denganku”.

Dari tampilan gambar model komunikasi antarbudaya di atas terdapat

keterangan-keterangan: (1) mengindikasi bahwa budaya adalah satu-satunya sumber

yang menerangkan kenapa orang-orang mengenali perbedaan; (2) menjelaskan

dinamika PCD sebagai motivasi yang mengarahkan pada pengurangan ketidakpastian

dan kecemasan; (3) menggambarkan bagaimana kita bisa memajukan pendekatan

yang fungsional maupun tidak fungsional untuk memutuskan dalam perbedaan yang

ada; (4) menunjukkan bahwa membuat budaya ketiga C menyediakan landasan

umum untuk memajukan strategi membangun hubungan; (5) menggarisbawahi

bagaimana kita bisa menggunakan beberapa kemampuan dan insight antarbudaya

yang sederhana namun kuat; dan (6) mengungkapkan hasil antarbudaya positif yang

diinginkan. Singkatnya, model ini adalah model komunikasi antarbudaya yang

adaptive, yang membutuhkan pertisipan-partisipan untuk menunda penilaian dan bias

ketika mereka bertemu dalam budaya ketiga yang dibuat oleh partisipan-partisipan

antarbudaya untuk menemukan tujuan dan ketertarikan bersama. Dengan kata lain, di

luar pandangan ketidaksamaan, partisipan A dan B bisa membagi kebudayaan ketiga

di antara mereka, budaya tentang kesamaan.56

Untuk membuat kebudayaan baru menjadi arena yang adaptif secara

fungsional bukanlah hal yang otomatis. Beberapa konsep dan keahlian membantu kita

       56 Ibid

(51)

commit to user

memahami bagaimana caranya membuat kebudayaan C berhasil. Ada tiga prinsip

yang penting dalam mengembangkan sebuah interaksi yang sukses di dalam budaya

C antara A dan B.57

Pertama, harus ada perasaan positif terhadap orang atau kelompok lain, seperti

kepercayaan, kenyamanan, keamanan, kepastian, atau kecemasan yang kecil. Tanpa

perasaan ini, seseorang mungkin kurang mampu berkomunikasi dengan baik dengan

orang lain yang berbeda. Lebih jauh lagi, penilaian dan efektivitas dalam sebuah

kebudayaan baru mungkin diperkecil atau diperpanjang atau bahkan tidak pernah

terjadi sama sekali.58

Area kedua yang dibutuhkan untuk membuat iklim budaya ketiga yang sukses

melibatkan pengenalan kepercayaan-kepercayaan yang kita bawa pada interaksi

antarbudaya. Kepercayaan tersebut meliputi harapan, ketidakyakinan, salah mengerti

terhadap peraturan atau prosedur, kurangnya strategi yang layak untuk melatih

kompetensi akulturasi, aktifasi tanda yang memicu pemikiran sosial yang negatif

maupun positif seperti stereotip dan atribut. Tanpa mengerti seseorang secara akurat,

kecil kemungkinan untuk bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang lain yang

berbeda.59

Area ketiga yang dibutuhkan adalah aksi komunikasi antarbudaya. Ini berarti

mengembangkan kemampuan dan aksi seperti penampilan komunikasi verbal dan

       57 Ibid

. hlm. 11  58 Ibid.  59 Ibid

(52)

commit to user

nonverbal, keahlian untuk bertahan, dan menghadapi sistem dan institusi dalam

budaya yang baru.60

c. Fungsi Komunikasi Antarbudaya

Manusia berkomunikasi, termasuk komunikasi antarbudaya, karena ada tujuan

dan fungsi untuk memenuhi “panggilan” relasi melalui cara menyatakan isi. Secara

umum ada empat kategori fungsi utama komunikasi, yaitu: (1) fungsi informasi; (2)

fungsi instruksi; (3) persuasive; dan (4) fungsi menghibur. Apabila empat fungsi

tersebut diperluas maka akan ditemukan dua fungsi lain, yakni: (1) fungsi pribadi;

dan (2) fungsi sosial. Fungsi pribadi komunikasi dirinci ke dalam fungsi; (1)

menyatakan identitas sosial; (2) integrasi sosial; (3) kognitif; dan (4) fungsi

melepaskan diri/jalan keluar. Sedangkan fungsi sosial terinci atas fungsi: (1) fungsi

pengawasan; (2) menghubungkan/ menjembatani; (3) sosial; dan (4) menghibur.

       60 Ibid

(53)

commit to user

Bagan 1.2 Fungsi-Fungsi Pribadi Dan Sosial Dari Komunikasi61

1) Fungsi Pribadi

Fungsi Pribadi adalah fungsi-sungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui

perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang individu. Fungsi pribadi

terdiri dari beberapa fungsi yaitu:

(a) Menyatakan Identitas Sosial. Dalam proses komunikasi antarbudaya

terdapat beberapa perilaku komunikasi individu yang digunakan untuk

menyatakan identitas diri maupun identitas sosial. Perilaku itu dinyatakan

melalui tindakan berbahasa baik verbal maupun nonverbal. Perilaku

tersebut berfungsi menyatakan asal-usul atau latar belakang kehidupan

       61 

(54)

commit to user

sosial budaya, misalnya suku bangsa, agama, pendidikan dan

pengetahuan.62

(b) Menyatakan Integrasi Sosial. Inti konsep integrasi sosial adalah menerima

kesatuan dan persatuan antarpribadi, antarkelompok namun tetap mengakui

perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur. Dalam kasus

komunikasi antarbudaya yang melibatkan perbedaan budaya antara

komunikator dengan komunikan maka integrasi sosial merupakan tujuan

utama komunikasi. Prinsip utama dalam proses pertukaran pesan

komunikasi antarbudaya adalah “saya memperlakukan anda sebagaimana

kebudayaan anda memperlakukan anda dan bukan sebagaimana yang saya

kehendaki”. Dengan demikian komunikator dan komunikan dapat

meningkatkan integrasi sosial atas relasi mereka.63

(c) Menambah Pengetahuan (Kognitif). Komunikasi antarbudaya juga dapat

menambah pengetahuan baik bagi komunikator maupun komunikan.

Mereka mendapat pengetahuan baru tentang kebudayaan lawan bicara

dengan saling mempelajari kebudayaan.64

(d) Melepaskan Diri/Jalan Keluar. Kadang-kadang kita melakukan komunikasi

untuk melepaskan diri atau mencari jalan keluar atas masalah yang sedang

dihadapi.65

       62 Ibid

. hlm. 37  63 Ibid

.  64 Ibid. hlm. 38  65 Ibid

(55)

commit to user

2) Fungsi Sosial

Selain fungsi pribadi, komunikasi juga memiliki fungsi sosial yang terdiri

beberapa fungsi yaitu:

(a) Pengawasan. Praktek komunikasi antarbudaya di antara komunikator dan

komunikan yang berbeda kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam

setiap komunikasi antarbudaya fungsi ini bermanfaat untuk

menginformasikan “perkembangan” tentang lingkungan. Akibatnya adalah

kita turut mawas diri seandainya peristiwa itu terjadi pula dalam

lingkungan kita.66

(b) Menjembatani. Dalam proses komunikasi antarpribadi, termasuk

komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara

dua orang yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan di

antara mereka. Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui

pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan

tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama.67

(c) Sosialisasi Nilai. Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk mengajarkan

dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada

masyarakat lain. Dalam komunikasi antarbudaya seringkali muncul

perilaku non verbal yang kurang dipahami namun yang lebih penting

daripada itu adalah bagaimana kita menangkap nilai yang terkandung

       66 Ibid. hlm. 40 

(56)

commit to user

dalam gerakan tubuh, gerakan imajiner dalam perilaku non verbal

tersebut.68

(d) Menghibur. Fungsi menghibur juga sering tampil dalam proses komunikasi

antarbudaya.69

d. Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

Spitzberg mengatakan bahwa kompetensi komunikasi antarbudaya adalah

perilaku yang pantas dan efektif dalam suatu konteks tertentu. Kim memberikan

definisi yang lebih detil ketika dia menuliskan bahwa kompetensi antarbudaya

merupakan kemampuan internal suatu individu untuk mengatur fitur utama dari

komunikasi antarbudaya: yakni, perbedaan budaya dan ketidakbiasaan, postur

inter-group, dan pengalaman stress. Apa yang dinyatakan dua definisi itu adalah bahwa

menjadi komunikator yang kompeten berarti memiliki kemampuan untuk berinteraksi

secar efektif dan sesuai dengan anggota dari budaya yang memiliki latar belakang

linguistik-kultural.70

Banyak penelitian dalam kompetensi komunikasi antarbudaya

mengungkapkan lima komponen kompetensi yang mempengaruhi kemampuan

seseorang untuk berinteraksi secara efektif dan pantas dalam budaya yang lain.71

Kelima komponen tersebut adalah:

       68 Ibid. 41 

69 Ibid .   L 

Larry A. Samovar, dkk, Komunikasi Lintas Budaya: Communication Between Cultures, edisi 7  (Jakarta: Salemba Humanika, 2010) hlm. 460 

(57)

commit to user

1) Motivasi untuk berkomunikasi

Merupakan hal yang logis dan alami untuk mengasumsikan

seseorang termotivasi untuk berinteraksi dengan orang yang dekat dengan

orang tersebut baik secara fisik maupun emosional. Walaupun hal ini

merupakan reaksi yang normal, hal ini kadang menjauhkan seseorang dari

dari usaha untuk memahami pengalaman orang-orang. Pittinsky,

Rosenthal, dan Montoya mengungkapkan bahwa motivasi dalam

hubungannya dengan kompetensi komunikasi antarbudaya berarti

seseorang memiliki keingian pribadi untuk meningkatkan kemampuan

komunikasi.72

Sebagai komunikator yang penuh motivasi, seseorang

menunjukkan ketertarikannya, berusaha untuk berbicara serta mengerti,

dan menawarkan bantuan. Selanjutnya, orang tersebut menunjukkan bahwa

dia ingin berhubungan dengan orang lain dalam level personal dan

memiliki perspektif internasional ketika berinteraksi dengan orang-orang

dari kebudayaan yang berbeda.73

2) Pengetahuan yang cukup mengenai budaya

Komponen pengetahuan dalam kompetensi komunikasi

antarbudaya berarti bahwa seseorang menyadari dan memahami peraturan,

       72 Ibid. hlm. 461 

(58)

commit to user

norma, dan harapan yang diasosiasikan dengan budaya orang-orang yang

berhubungan dengan orang tersebut.74

3) Kemampuan komunikasi yang sesuai

Sebagai seorang komunikator yang kompeten seseorang harus

mampu mendengar, mengamati, menganalisis dan menginterpretasikan

serta mengaplikasikan perilaku khusus ini dalam cara yang memungkinkan

orang tersebut untuk mencapai tujuannya.75

4) Sensitivitas

Kompetensi komunikasi membutuhkan partisipan suatu interaksi

yang sensitive satu sama lainnya dan terhadap budaya yang ditampilkan

dalam suatu interaksi. Sensitivitas, menurut Pittinsky, Rosenthal, dan

Montoya, meliputi sifat fleksibel, sabar, empati, keingintahuan mengenai

budaya yang lain, terbuka pada perbedaan, dan merasa nyaman dengan

yang lain.76

Spencer-Roberts dan McGovern menambahkan bahwa

komunikator yang sensitif memiliki rasa toleransi terhadap ambiguitas. Hal

tersebut berarti, saat seseorang melihat suatu kebiasaan dan perilaku yang

aneh dan tidak biasa, orang itu tidak akan bingung karena tidak mengerti

apa yang sedang terjadi atau menentang perilaku dan kebiasaan tersebut.

Hal ini mengarah pada pemikiran lain oleh Pittinsky, Rosenthal, dan

       74 Ibid

75 Ibid. hlm. 462  76 Ibid

(59)

commit to user

Montoya yang percaya bahwa komunikator yang sensitif harus lebih

toleran terhadap orang lain dan budaya lain serta menegmbangkan perasaan

allophilia, yaitu menyukai yang lain dan perilaku yang menginspirasi.77

5) Karakter

Seorang filsuf dan guru dari Amerika P.B. Fitzwater mengatakan

karakter merupakan keseluruhan dari pilihan seseorang. Intinya adalah

bagaimana seseorang melaksanakan pilihan tersebut ketika berinteraksi

dengan orang yang berbeda budayanya. Mungkin salah satu sifat yang

paling penting yang diasosiasikan dengan karakter adalah apakah mereka

dapat dipercaya atau tidak. Sifat yang kadang diasosiasikan dengan orang

yang terpercaya adalah kejujuran, peghargaan, kewajaran, dan kemampuan

untuk melakukan pilihan yang tepat, dan juga kehormatan, mementingkan

kepentingan orang lain, ketulusan, dan niat baik.78

e. Komunikasi Antarbudaya yang Efektif

Komunikasi antarbudaya yang efektif melibatkan lebih dari sekedar

memahami norma salah satu kelompok. Telah banyak usaha untuk mengetahui

keahlian yang dibutuhkan untuk lebih efektif dalam komunikasi antarbudaya.

Misalnya dengan menggunkan

Gambar

Tabel 1   High Context Culture-Low Context Culture…………………………..
Tabel 1. High Context Culture-Low Context Culture46
Gambar 1.3 Model Komunikasi Antarbudaya213

Referensi

Dokumen terkait

Disini penulis akan mengupas secara mendalam tentang peran identitas budaya dari suku Jawa dalam komunikasi antarbudaya yang terjadi antarsantriwati Pondok Modern.. Darussalam

Penelitian ini dibuat bertujuan mengetahui komunikasi antarbudaya dalam peran identitas suku Jawa, berdasarkan pengalaman para Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Putri

Pertimbangan pengambilan informan tentu saja dilakukan peneliti dengan melihat bahwa orang tua siswa anak berkebutuhan khusus (Inklusi) yang nantinya menerima

“Mediasi adalah suatu proses dimana para pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa orang, secara sistematis menyelesaikan masalah yang di sengketakan untuk

Manusia merupakan makhluk sosial yang menjalankan seluruh aktivitasnya sebagai individu dalam kelompok sosial, komunitas, organisasi ataupun dalam masyarakat. Dalam

Sianita Arighi, D0213087, Komunikasi Organisasi Dinas Kebudayaan Kota Surakarta dalam Melakukan Promosi Kesenian Wayang Orang, Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dapat disimpulkan bahwa (1) Mengatasi gesekan pada komunikasi antarbudaya santriwati suku Jawa lebih menganut pada

maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi antar pribadi adalah suatu proses.. pengiriman pesan dari seseorang kepada orang lain, baik secara