• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap penerimaan terhadap perilaku kekerasan

Dalam dokumen EVALUASI REIMAY: UNTUK PAPUA YANG SEJAHTERA (Halaman 29-33)

Cakupan utama perubahan berkaitan dengan penerimaan terhadap perilaku kekerasan tampaknya telah bergeser setelah intervensi berlangsung dan ini berkaitan dengan penggunaan hukuman fisik dan kekerasan terhadap remaja. Setelah intervensi, ada juga penambahan pemahaman mengenai kekerasan, khususnya “bahwa itu tidak hanya fisik.” Seorang pengasuh/ orang tua dan fasilitator perempuan berkata, “Berteriak, membentak dan menghina anak-anak juga merupakan bentuk kekerasan.”

Ada muncul lebih banyak kesadaran akan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, peserta pengukuran akhir, sebagian besar di antaranya adalah perempuan, mengatakan bahwa kekerasan tersebut mengalami sudah berkurang. Seorang perempuan menggambarkan betapa saat ini jarang ada kekerasan dalam keluarganya antara dia, suaminya dan anak-anaknya. “Suami saya jarang memukul saya sekarang dan anak yang paling sulit diatur ... lebih mudah bergaul sekarang.” Dahulu dia hanya membentak dan berteriak tanpa mendengarkan siapapun, dan mengatakan bahwa saat ini dia tahu dirinya perlu menenangkan diri terlebih dahulu sebelum berbicara. Bahkan, anaknya membuatnya sadar akan kekerasan ini dengan mengatakan dirinya

melakukan “kekerasan dalam rumah tangga “. Meskipun intervensi tersebut tidak menggunakan istilah KDRT, namun frase tersebut lebih umum dan lebih dikenal untuk membahasakan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak-Perempuan. Pengasuh/ orang tua lebih jauh menjelaskan bahwa anak laki-lakinya mengetahui tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan melalui intervensi ini, dan dirinya juga telah memperluas pemahamannya tentang KDRT dan memasukkan kekerasan emosional terhadap anak-anak, yang juga dapat dilakukan oleh perempuan.

Pandangan pengasuh/ orang tua tentang bagaimana kekerasan mempengaruhi remaja dan bagaimana mendukung perilaku tanpa kekerasan berubah setelah mengikuti intervensi ini. Selama pengukuran awal, beberapa laki-laki mengatakan bahwa kekerasan itu normal (biasa saja) dan, menurut pandangan mereka, tidak berdampak pada remaja yang juga menggap kekerasan adalah hal yang biasa. Beberapa laki-laki mengatakan bahwa tidak ada kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di kampung mereka. Pada pengukuran akhirnya, laki laki lebih cenderung mengakui bahwa kekerasan ini adalah rahasia umum. Artinya, semua orang tahu hal itu terjadi dan terus terjadi. Beberapa perempuan bercerita tentang kekerasan yang dilakukan oleh suami mereka dan berusaha untuk menghindarinya. Mereka tidak merasa bahwa kekerasan itu sesuatu yang lumrah diterima namun mereka merasa tidak bisa berbuat banyak untuk mengubah perilaku suami mereka.

Pada diskusi pengukuran akhir, ‘Melihat ke masa depan’, mereka mengungkapkan bagaiman mereka mencoba untuk mengajarkan pada remaja bahwa mereka seharusnya tidak menggunakan kekerasan. dengan cara memberikan contoh pola pengasuhan yang positif, ketrampilan komunikasi dan resolusi konflik. “Anak-anak ini akan tumbuh dewasa, menikah, dan sebagai orang tua kita perlu mengajari mereka untuk mandiri, bukan dengan perilaku kasar atau kekerasan tapi seperti seorang guru.” Hal serupa juga disampaikan, “Nanti, kamu akan menjadi ayah, kepala keluarga. Ini adalah pekerjaan kamu dan jangan bereaksi berlebihan. Bersabarlah, Oma [Nenek] dulu sangat marah, tapi Oma sedang mengajarimu sesuatu yang berbeda, karena dia adalah cintamu, istrimu.” Para perempuan mengatakan bahwa mereka mengajarkan cara-cara ini meskipun hubungan

mereka sendiri dengan suami mereka terus menjadi tegang dan suami mereka tidak berpartisipasi dalam intervensi tersebut. “Saya bisa berkomunikasi dengan cucu saya tapi tidak dengan suami saya ... dia keras kepala (keras) ... [Hubungan saya] dengan anak-anak cukup terbuka tetapi dengan suami saya itu seperti kita adalah musuh.” Pengasuh/ orang tua perempuan sangat bangga dengan perubahan yang bisa mendukung pada remaja, apalagi mereka menganggap ini bagian dari tugas mereka untuk mempersiapkan anak laki-laki untuk hidup mandiri sebagai orang yang sukses dan tidak melakukan kekerasan.

Ide dan praktik kesetaraan gender

Pada pengukuran awal , kelompok laki-laki tersebut mengatakan bahwa mereka sering jauh dari rumah untuk pekerjaan dan menyerahkan urusan pengasuhan anak kepada para perempuan. Mereka mengatakan sebagai hasilnya anak-anak mungkin lebih dekat dengan ibu mereka. Peserta pada pengukuran akhir menjelaskan bahwa sebagai ibu mereka merasa paling bertanggung jawab untuk mengasuh dan membesarkan anak mereka dengan baik. “Sebagai seorang ibu, perkembangan dan pertumbuhan anak bergantung pada kami, bukan pada ayah. Mama adalah dasar bagi anak ini untuk berkembang dan tumbuh dewasa ke masa depan. Mama adalah kuncinya. Jika Mama kasar, anak itu akan hancur, tapi dengan apa yang telah kami pelajari dari program ini, kami belajar bagaimana mendekati anak-anak kami, mengerti keinginan mereka.” Konstruksi gender yang menempatkan tugas pengasuhan dan perawatan anak sehari-hari kepada ibu, dan kepemimpinan keluarga kepada ayah, tidak banyak bergeser. Para perempuan telah mengambil tanggung jawab untuk belajar dan mencoba menerapkan pelajaran dari intervensi ini tapi kebanyakan laki-laki tidak melakukan hal yang sama. Para perempuan telah mengatakan bahwa mereka merasa diberdayakan dan berhak untuk terus maju dengan mempraktikkan apa yang telah mereka pelajari. Mereka telah mengubah perilaku mereka secara signifikan, dan sangat yakin bahwa mereka dapat mendukung dan mendidik remaja mereka dengan cara yang positif. Sebagaimana fasilitator/ pengasuh perempuan menyimpulkan: “Jika kita ingin membentuk anak orang lain, kita harus membentuk anak kita sendiri terlebih dahulu. Kita harus menyortir diri kita sendiri terlebih dahulu, dan

ada hal baru bagi kita yang harus benar-benar kita pahami untuk diri kita sendiri.”

Sebelum intervensi , beberapa peserta mengatakan bahwa mereka ingin anak laki-laki dan perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga yang sama dan saling bekerja sama, dengan mengatakan bahwa mereka tidak memiliki pandangan yang kuat tentang apa itu ‘pekerjaan laki-laki’ dan ‘pekerjaan perempuan’. Tapi pada pengukuran akhir, mereka juga mengakui bahwa mereka telah mempelajari peran gender yang kaku selama bertahun-tahun. Mereka merasa telah pandangan mereka telah berubah. “Kami belajar di sekolah bahwa wanita itu melakukan semua pekerjaan rumah tangga sementara laki-laki itu hanya bersantai saja. Tapi kami merasa yakin sekarang bahwa ini bukan cara untuk dipertahankan untuk seterusnya, dan kami membuat anak-anak kami memasak, membersihkan rumah dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya.” Para peserta mengakui, bahwa para ibulah yang terutama menetapkan harapan ini untuk anak laki-laki mereka, bukan ayahnya. Para perempuan mengatakan bahwa suami mereka menerima harapan ini namun tidak secara aktif mendorong anak laki-laki untuk menerapkan sikap kesetaraan gender dalam kaitannya dengan pekerjaan rumah tangga. Para perempuan bahkan tidak berusaha membuat suami mereka melakukan pekerjaan rumah tangga, dan mengatakan bahwa mereka lebih tertarik membentuk generasi laki-laki berikutnya. Tetap saja andaikan laki-laki lebih aktif berpartisipasi dan mencontohkan norma kesetaraan gender, termasuk kaitannya dengan berbagi tanggung jawab pengasuhan dengan perempuan maka dampak dari intervensi ini akan menjadi lebih besar lagi.

Pengasuh/ orang tua mengungkapkan hasil yang menarik dan mengejutkan terutama berkaitan dengan perubahan dramatis dalam sikap dan perilaku anak laki-laki. Anak laki-laki dikatakan lebih memperlakukan perempuan dengan lebih baik, melakukan pekerjaan rumah tangga, dan bergaul akrab dengan saudara mereka. “Saya memiliki pengalaman dengan salah seorang remaja yang ikut dalam program ini. Dia sudah 14 tahun sekarang, ibunya berangkat ke [kota lain] [selama satu minggu], dan remaja ini, menunjukkan tanggungjawanya, dia menjaga adik-adiknya, mencuci pakaian, memasak, membersihkan rumah dan halaman rumah ... ibunya tidak ada di sana, dia melakukan atas keinginannya

sendiri, dia bahkan mencuci seragam kerja ayahnya.” Hal ini menggembirakan, terutama dalam konteks partisipasi terbatas dari pengasuh/ orang tua laki-laki. Pada pengukuran awal, jelas bahwa pengasuh/ orang tua lebih peduli untuk membatasi perilaku anak perempuan daripada anak laki-laki. “Biasanya saya memberi tahu anak perempuan saya bahwa mereka sudah dewasa sekarang, mereka tidak kecil lagi, mereka harus menjaga pergaulan mereka dan tidak diizinkan untuk keluar sembarangan karena sudah mencapaimasa pubertas. Saya memberi mereka contoh anak perempuan yang saya kenal yang hamil di sekolah.” Kelompok perempuan tersebut mengatakan bahwa mereka lebih protektif terhadap anak perempuan untuk mencegah mereka melakukan hubungan seksual. Misalnya, “Karena anak perempuan tumbuh dewasa lebih cepat, pada usia 10 tahun tubuh mereka sudah berubah, perasaan mereka berubah, ditambah lagi dengan adanya televisi dan internet. Orang tua tidak boleh terlambat menasehati mereka. Kami lambat, mereka cepat. Itulah kenyataan. Untuk anak laki-laki, mungkin di usia 12 tahun mereka masih belum berubah. Jika kita pengasuh/ orang tua telah mengikuti pelatihan, kita dapat mendorong remaja kita untuk lebih berhati-hati dalam bagaimana mereka bergaul, baik anak perempuan maupun anak laki-laki.” Pada awalnya, pengasuh umumnya setuju bahwa “jika orang tua bertanya tentang hubungan pacaran, maka remaja hanya tertawa dan tidak mau bicara, mereka takut untuk memberi tahu kami, jadi kami biasanya mengancam mereka dan mengatakan dengan hati-hati kalau kami melihat kamu pacaran, kamu masih terlalu muda, ketika kamu sudah kuliah di universitas maka kamu boleh pacaran.”

Pengasuh/ orang tua tidak mengatakan bahwa anak laki-laki dianggap lebih penting secara kultural, walaupun disebutkan bahwa laki-laki diharapkan menjadi pemimpin keluarga. Pengasuh/ orang tua laki-laki memang menganggap dirinya lebih memberikan perlakuan lebih pada anak perempuannya dikarenakan ketika mereka dewasa nanti mereka akan akan meninggalkan keluarga untuk bergabung dengan suami mereka. Seorang peserta laki-laki berbagi, “Kami memperlakukan anak laki-laki dan perempuan sama tapi jika anak perempuan saya meminta sesuatu, maka saya biasanya akan memenuhinya. Sementara kalau anak laki-laki saya meminta sesuatu, saya baru akan

memenuhi permintaan tersebut setelah berkali-kali dia memintanya. Ini tradisi kami, bagian dari budaya kami ... karena anak perempuan akan tumbuh dewasa dan meninggalkan kami untuk tinggal bersama suami mereka. Anak laki-laki akan selalu ada di sekitar kami. Jadi anak-anak perempuan ini menjadi istimewa dengan cara itu.” Pertimbangan ‘khusus’ terhadap anak perempuan ini berkontribusi pada perilaku waspada dan kontrol berlebihan pada anak perempuan sebagaimana yang telah didiskusikan oleh pengasuh/ orang tua perempuan yang dikuatkan kuatkan oleh pengasuh/orang tua laki-laki.

Setelah intervensi, berkenaan dengan peran gender, jelas bahwa para pengasuh/ orang tua telah mengubah sikap mereka terkait dengan pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan serta telah mendorong praktik baru di rumah. Meski mereka sudah merasa dapat berkomunikasi dengan lebih baik dengan remaja tentang hubungan pacaran dan pergaulan, bukan hanya melarang pacaran, , masih ada kekhawatiran tentang perilaku anak perempuan dan aturan yang berbeda untuk anak perempuan. Intervensi ini memberikan pelajaran tentang bagaimana pengasuh/ orang tua dapat berkomunikasi dengan remaja tentang seks. Sesi tersebut menggunakan studi kasus hipotetis dimana seorang remaja laki-laki mencoba untuk memaksa pacarnya untuk berhubungan seks dan menanyakan pada pengasuh/ orang tua bagaimana mereka akan merespon remaja laki-laki dan perempuan tersebut. Setelah intervensi tersebut, beberapa pengasuh/ orang tua menyadari perlunya untuk membentuk perilaku remaja laki-laki , namun sebagian besar pengasuh/orang tua berfokus pada bagaimana cara ‘melindungi’ remaja perempuan dengan mengendalikan pergaulan mereka dan berapa banyak kontak yang mereka lakukan dengan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa sesi tersebut mungkin tidak secara efektif menggagli asumsi gender tentang seksualitas laki-laki dan perempuan, atau sesi tersebut tidak memiliki banyak dampak.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, topik hubungan pacaran dan seks tetap menjadi topik yang sensitif. Seorang pengasuh/ orang tua menceritakan bagaimana dia mengetahui anak perempuannya tetap membaca informasi tentang menstruasi di internet setelah dia mendapatkan haid pertamanya, meskipun dari sudut pandang pengasuh/ orang tua,

Tabel 6. Hasil uji Wilcoxon signed-rank untuk laki-laki dan perempuan

Laki-laki Perempuan

Rata-rata (sd) Rata-rata (sd)

Pengukuran awal

N=34 Pengukuran akhir N=13 p Pengukuran awal N=37 Pengukuran akhirN=43 p

GEM 2.49 (.33) 3.35 (.33) =.001 2.57 (.33) 3.35 (.31) <.001

Sikap Kesetaraan

Gender 2.50 (.21) 3.20 (.30) =.001 2.49 (.19) 3.33 (.18) <.001

Gambar 5. Hasil skala GEM pada pengukuran awal dan pengukuran akhir

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Men Women Baseline Endline

dia telah mendiskusikan tentang menstruasi dengan anak perempuannya dan terbuka untuk menjawab pertanyaan. Kelompok pengasuh/ orang tua lainnya mengatakan bahwa mereka merasa tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk menjelaskan hal-hal yang lebih kompleks terkait dengan persoalan reproduksi dan kesehatan reproduksi. Sementara sesi kelompok untuk remaja termasuk sesi kesehatan seksual dan reproduksi yang tidak diberikan di sesi kelompok untuk pengasuh/ orang tua.

Data kuesioner kuantitatif (lihat Tabel 6, Gambar 5 dan Gambar 6) mengkonfirmasi perubahan yang signifikan dalam sikap kesetaraan gender di antara para pengasuh/ orang tua setelah intervensi. Meskipun data kualitatif menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki pandangan yang berbeda mengenai isu-isu terkait kesetaraan gender, perempuan lebih kritis terhadap kekerasan dan mendukung kesetaraan gender yang lebih kuat, terutama pada saat pengukuran akhir, data

kuantitatif menunjukkan bahwa sikap kesetaraan gender perempuan baik laki-laki bertambah baik, dan ini hal yang menggembirakan.

Gambar 6. Sikap kesetaraan gender tambahan pada pengukuran awal dan pengukuran akhir 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Men Women Baseline Endline

Dalam dokumen EVALUASI REIMAY: UNTUK PAPUA YANG SEJAHTERA (Halaman 29-33)

Dokumen terkait