EVALUASI REIMAY:
UNTUK PAPUA YANG SEJAHTERA
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ... IV
SAMBUTAN ... 1
RINGKASAN EKSEKUTIF ... 3
PENDAHULUAN ... 6
Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Perempuan ... 6
Kekerasan di Papua ... 6
Dasar pemikiran untuk intervensi ... 8
METODOLOGI ... 9
Intervensi: Reimay: Untuk Papua yang Sejahtera ... 9
Desain studi ... 12
Diskusi kelompok terarah, wawancara informan kunci dan analisis data ... 12
Kuesioner dan analisis data ... 13
Pertimbangan etika ... 14
Keterbatasan ... 15
HASIL ... 16
Remaja ... 16
Kualitas hubungan dengan pengasuh/ orang tua ... 16
Komunikasi ... 17
Sikap penerimaan terhadap perilaku kekerasan ... 18
Ide dan praktik kesetaraan gender ... 19
Keterlibatan dengan kesukarelawanan ... 21
Pengasuh/Orang Tua ... 22
Kualitas hubungan... 22
Komunikasi ... 23
Hukuman keras/kasar ... 24
Sikap penerimaan terhadap perilaku kekerasan ... 25
Ide dan praktik kesetaraan gender ... 26
Keterlibatan dengan kesukarelaan ... 29
Pebelajaran ... 29
Motivasi peserta dan penilaian ... 29
Konten ... 30
Perekrutan dan partisipasi ... 30
Logistik sesi ... 31
Pelatihan dan dukungan fasilitator ... 31
DISKUSI DAN KESIMPULAN ... 32
Implikasi terhadap intervensi ... 36
Lampiran 1: Skala GEM dan Sikap Kesetaraan Gender ... 39
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Gambar 1. Tingkat kehadiran remaja ...16
Gambar 2. Sikap kesetaraan gender pada pengukuran awal dan pengukuran akhir ...20
Gambar 3. Sikap kesetaraan gender tambahan pada pengukuran awal dan pengukuran akhir ...21
Gambar 4. Tingkat kehadiran pengasuh/ orang tua ...22
Gambar 5. Hasil skala GEM pada pengukuran awal dan pengukuran akhir ...28
Gambar 6. Sikap kesetaraan gender tambahan pada pengukuran awal dan pengukuran akhir ...29
Tabel 1: Faktor risiko, tujuan intervensi dan kelompok sasaran ...10
Tabel 2: Strategi Intervensi ...11
Tabel 3. Jumlah peserta evaluasi, dengan metode pengumpulan data ...13
Tabel 4: Uji Wilcoxon signed-rank ...14
Tabel 5. Hasil uji Wilcoxon signed-rank untuk anak laki-laki dan anak perempuan ...18
Tabel 6. Hasil uji Wilcoxon signed-rank untuk laki-laki dan perempuan ...28
SAMBUTAN
Kami ingin menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak, masyarakat, organisasi masyarakat setempat dan nasional, tokoh/pimpinan masyarakat, serta kementerian dan dinas terkait (pemerintah Indonesia), yang telah terlibat dalam proyek P4P dan mendorong keberhasilan proyek ini. Kami juga mengucapkan selamat kepada semua tim atas hasil yang menarik dan positif yang telah dicapai. Kami mengucapkan terima kasih kepada Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Pemerintah Australia atas dukungan yang sangat besar dan terus menerus dilakukan kepada P4P pada Tahap I dan Tahap Il.
Kami ingin memberi penghargaan kepada Kelompok Penasehat Teknis P4P dan Komite Pengarah P4P atas masukan dan dukungannya selama program P4P yang telah membantu mendorong program ini berhasil dilaksanakan.
Terima kasih khusus disampaikan kepada Grace Agusta Temongmere, Marissa Droste dan Vince Tebay untuk pengumpulan dan analisis data yang dilakukan. Kami mengucapkan terima kasih kepada pengulas dan editor laporan: Anik Gevers, Ingrid Fitzgerald, Jennie Williams, Kathy Taylor dan Michiyo Yamada.
Kami berharap bahwa hasil positif dari proyek P4P ini akan tetap terjaga dan dapat berkembang lebih lanjut lagi sehingga para perempuan dan anak perempuan dapat terpenuhi hak mereka untuk hidup bebas dari kekerasan, dan menjadi laki-laki dan anak laki-laki dengan cara yang sehat, tanpa kekerasan dan menjunjung kesetaraan menjadi bentuk maskulinitas yang umum dan diterima oleh berbagai pihak.. P4P telah menunjukkan bahwa masa depan seperti itu mungkin terjadi dan pelajaran yang dibagikan di sini dapat membantu tim untuk mewujudkan pekerjaan penting ini.
Dr. Jenny Munro
Research Fellow (Gender and Health), The Australian National University Canberra
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan terus menjadi tantangan yang luar biasa terhadap aspek kesehatan, hak asasi manusia dan kerja pembangunan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan mencakup mencakup kekerasan dalam relasi pasangan, kekerasan seksual oleh orang lain (bukan pasangan), kekerasan ekonomi dan psikis/emosional, pelecehan seksual terhadap anak perempuan, perlukaan dan pemotongan genitalia perempuan, perdagangan seksual perempuan, pernikahan anak dan pembunuhan atas nama kehormatan. Kekerasan di Papua dianggap sebaw22gai isu pembangunan. Bila melihat dari kacamata kriteria pembangunan, masyarakat asli Papua berada dalam kondisi yang tidak sebaik yang dialami masyarakat pendatang dan bukan asli papua.1 Ada bukti yang kuat menunjukkan
bahwa kekerasan – gender, struktural dan politik – dapat menghambat pembangunan.
Lebih dari satu dekade yang lalu, penelitian di Indonesia mengungkapkan bahwa Papua memiliki kejadian kekerasan tertinggi terhadap perempuan dan anak-anak di Indonesia.2 Papua selama 6
dekade mengalami konflik politik.3 Konflik kekerasan
berkontribusi terhadap kekerasan berbasis gender di rumah,4 dan penelitian terkini di Papua
mengungkapkan sejauh mana kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak terjadi dan faktor-faktor apa saja yang berkontribusi terhadap kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap pasangannya, termasuk mengenai mengalami kekerasan dan rasa tidak aman pada masa kanak-kanak.5 Penelitian Multi
Negara yang dilakukan oleh Partner for Prevention (P4P) PBB mendokumentasikan penggunaan kekerasan oleh laki-laki dan mengidentifikasi faktor risiko utama untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan dengan fokus khusus pada kekerasan dalam relasi pasangan.6
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa 60 persen laki-laki di Jayapura, (ibu kota provinsi Papua), melakukan beberapa bentuk Kekerasan dalam Relasi Pasangan selama masa hidup mereka. Secara khusus, 38 persen laki-laki mengatakan mereka melakukan kekerasan fisik terhadap pasangan dan 49 persen laki-laki mengatakan bahwa mereka melakukan kekerasan seksual terhadap pasangan sepanjang masa hidup mereka. Di Jayapura, 23 persen laki-laki mengatakan bawha mereka pernah melakukan pemerkosaan terhadap perempuan yang bukan pasangannya dan 7 persen mengatakan terlibat dalam pemerkosaan yang dilakukan oleh banyak pelaku (gank-rape). Lebih dari 60 persen laki-laki yang melakukan kekerasan seksual mengatakan bahwa mereka melakukannya pertama kali sebelum mereka berusia 19 tahun pada pertama kali mereka melakukannya. Sebagian besar laki-laki di Jayapura, 60 persen, mengatakan bahwa mereka memiliki pengalaman kekerasan masa kanak-kanak, dan 74 persen dari laki-laki ini mengatakan bahwa mereka mengalami kekerasan fisik di rumah dan di sekolah, dan 17% mengatakan pernah mengalami kekerasan seksual.7
Dari Oktober 2016 hingga November 2017, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI))
1 Badan Pusat Statistik (BPS). (2012). Multiple Indicator Cluster Survey: Selected Districts of Papua and Papua Barat. Key Preliminary Findings; UNICEF, UNCEN, UNIPA, SMERU & BPS (2012). A study on teacher absenteeism in Papua and West Papua. Research Report. Jakarta: UNICEF. 2 Badan Pusat Statistik (BPS). (2006). Survey Social Ekonomi Nasional 2006. Jakarta.
3 Braithwaite, J., Braithwaite, V., Cookson, M. & Dunn, L. (2010). Anomie and Violence: Non-Truth and Reconciliation in Indonesian Peacebuilding. Canberra: Australian National University Press.
4 Read-Hamilton, S. & Marsh, M. (2016). The Communities Care Programme: Changing Social Norms to End Violence against Women and Girls in Conflict-Affected Communities. Gender & Development, 24(2): 261–276.
5 Hayati, E.N., Kodriati, N., Ag, S.S., Mas’ud, S.I., Warner, X. & Roselli, T. (2015). Men Experiences Of Violence against Women In Indonesia – And How We Can Begin To Prevent It; UNDP (2016). Study on Women’s and Men’s health and Life Experiences in Papua, Indonesia; Komnas Perempuan (2010). Stop sudah! Kesaksian perempuan Papua korban kekerasan dan pelanggaran HAM, 1963–2009. Komnas Perempuan, Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua. Jakarta: International Center for Transitional Justice; Munro, J. (2017). Gender Struggles of Educated Men in the Papuan Highlands. In Martha Macintyre and Ceridwen Spark (eds.), Gender transformations in Melanesia, Canberra: ANU Press: 45–67.
dan LP3AP (Lembaga Pengkajian Dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Papua), , dengan dukungan dari P4P dan UNFPA, merancang dan menjalankan intervensi Reimay: Untuk Papua yang Sejahtera. Program intervensi pencegahan kekerasan primer yang bertujuan untuk melibatkan remaja perempuan dan laki laki pribumi asli Papua (berusia 12-18 tahun) dan pengasuh/orangtua mereka serta tokoh agama dan anggota masyarakat lainnya yang berpengaruh dalam sesi pendidikan kelompok partisipatif. Sesi tersebut dimaksudkan untuk mengubah norma sosial yang meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan seperti ketidaksetaraan gender dan konstruksi maskulinitas yang merugikan ; hubungan social yang buruk, resolusi konflik dan ketrampilan berkomunikasi; penerimaan dan penggunaan normatif terhadap perilaku kekerasan dalam relasi interpersonal; dan keterampilan manajemen stres yang buruk.
Sebuah studi evaluasi Reimay: Untuk Papua yang Sejahtera berusaha untuk menggali pengalaman peserta dengan menggunakan studi multi-metode yang juga dapat menginformasikan penguatan lebih lanjut terhadap intervensi . Tujuan keseluruhan dari penelitian ini adalah untuk memahami akseptabilitas, relevansi, kelayakan dan potensi dampak dari intervensi ini. Lebih spesifik, studi ini berusaha untuk mengevaluasi dampak potensial dari intervensi terhadap ide dan praktik kesetaraan gender, sikap penerimaan akan perilaku kekerasan (termasuk hukuman keras), kualitas hubungan, dan keterlibatan dalam kegiatan kesukarelawanan pada remaja dan pengasuh (orang tua).
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dimana data dikumpulkan melalui diskusi kelompok terarah, wawancara dengan informan kunci, dan kuesioner singkat berdasarkan Skala Kesetaraan Gender Laki-Laki (GEM Scale), sebelum dan sesudah intervensi. Sebanyak 131 remaja dan 131 pengasuh/ orang tua berpartisipasi dalam intervensi tersebut, dengan 39 remaja dan 19 pengasuh/ orang tua mengambil bagian dalam diskusi kelompok terarah saat pengukuran awal (baseline), dan 42 remaja dan 24 pengasuh/ orang tua berpartisipasi dalam diskusi kelompok tearah pada saat pengukuran akhir (endline). Sementara 81 remaja dan 71 pengasuh/ orang tua mengisi kuesioner sebelum intervensi dan 40 remaja dan 56 pengasuh/ orang tua mengisi kuesioner sesudah intervensi.
Semua materi diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dimodifikasi untuk konteks lokal, dan dilaksanakan oleh peneliti lokal yang berpengalaman. PKBI Papua dan LP3A Papua merekrut anggota masyarakat dari kampung-kampung di wilayah pelaksanaan intervensi. Jika mereka mau ikut serta dalam intervensi yang akan dilakukan maka mereka dapat ikut serta dalam pengukuran awal. ,Namun hanya peserta yang telah menghadiri minimal sepertiga sesi intervensi yang berhak mengikuti pengukuran akhir atau pasca intervensi. Diskusi dicatat oleh setidaknya dua pencatat dan direkam secara audio dengan alat perekam suara. Rekaman audio ini lalu ditranskrip dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh para peneliti. Catatan dan transkrip dianalisis secara tematik. Perbandingan antara data kuesioner saat pengukuran awal dan pengukuran akhir dilakukan dengan menggunakan uji Wilcoxon signed-rank. Partisipasi dalam penelitian ini bersifat sukarela dimana semua responden memberikan persetujuan tertulis sebelum berpartisipasi. Persetujuan dari pengasuh/ orang tua diperlukan untuk semua anak di bawah umur yang berpartisipasi dalam proyek selain juga tetap dibutuhkan persetujuan dari anak tersebut (yang bersangkutan). Identitas responden dirahasiakan dan tidak terkait dengan respon/ jawaban.
Cakupan dampak terbesar dari intervensi ini berkaitan dengan berkurangnya hukuman kasar dan perilaku kekerasan terhadap remaja oleh pengasuh/ orang tua, yang juga disertaimeningkatnya ketrampilan komunikasi dan resolusi konflik yang berkontribusi terhadap memaiknya kualitas hubungan remaja dan orang tua (pengasuh). Baik remaja dan pengasuh/ orang tua juga menjadi lebih memahami tentang kekerasan, khususnya bahwa kekerasan itu tidak hanya bersifat fisik namun juga emosional/psikologis. Kualitas hubungan yang membaik juga berpengaruh terhadap menurunnya perasaan stress, khususnya di kalangan pengasuh/ orang tua dan meningkatnya perasaan antusiasme, kepercayaan diri dan harapan untuk masa depan di kalangan remaja. Perubahan ini banyak dialami oleh pengasuh/ orang tua perempuan, karena partisipasi laki-laki dalam kegiatan kurang dari yang diharapkan. Para pengasuh/ orang tua perempuan memberikan lingkungan yang memungkinkan bagi para remaja untuk menerapkan pembelajaran baru
terkait dengan komunikasi dan negosiasi.
Cakupan dampak utama lainnya yang terlihat baik dalam temuan kualitatif maupun kuantitatif, adalah pada sikap dan praktik setara gender. Temuan kualitatif menyoroti perubahan ini di kalangan remaja laki-laki dan khususnya berkaitan dengan melakukan pekerjaan rumah tangga. Remaja laki-laki dan perempuan dengan penuh semangat mencoba menjalankan norma gender yang lebih cair dan saling menghargai, terlepas dari norma budaya setempat dan norma Indonesia yang yang menempatkan laki-laki dalam posisi superior dan perempuan dalam peran domestic. Mereka mengatakan bahwa materi intervensi terkait kesetaraan gender adalah yang paling menarik dan penting dari semua sesi. Remaja perempuan mengungkapkan perasaan lebih percaya diri dan merasa setara dengan laki-laki. Pergeseran ini juga terjadi pada kelompok pengasuh/orang tua, walaupun tingkat partisipasi pengasuh/ orang tua laki-laki masih sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Papua yang mendapatkan interensi sangat termotivasi untuk mengurangi tingkat kekerasan, dan mengindikasikan potensi dampak intervensi yang mungkin lebih besar jika laki-laki lebih terlibat lebih jauh dalam intervensi ini.
Kesukarelaan, dalam arti kerja kolektif dan partisipasi dalam kegiatan bersama untuk memajukan masyarakat, sudah terbentuk di masyarakat. Namun pada akhir intervensi peserta program berharap dapat lebih banyak mengelola dan mengarahkan kegiatan kesukarelawanan daripada hanya berpartisipasi di dalamnya. Selain itu mereka juga bicara tentang bagaimana menterjemahkan terjemahkan apa yang telah mereka pelajari ke dalam kegiatan yang akan bermanfaat bagi seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian, pemahaman akan manfaat dari kesukarelawanan pun berkembang.
Tantangan utama dari intervensi ini adalah bagaimana cara mendapatkan dukungan dari laki-laki. Selain itu norma gender yang terkait seksualitas perempuan tampak lebih sulit untui diuah daripada ide tentang kesetaraan gender dalam melakukan pekerjaan rumah tangga dan secara lebih luas dalam peran-peran di masyarakat. Hubungan pacaran dan seksualitas tetap menjadi sumber konflik yang umum terjadi dalam hubungan antara pengasuh/ orang tua dan remaja yang berkontribusi terhadap renggangnya hubungan mereka dengan keluarga
di rumah, yang membuat mereka menjadi rentan mengalami kekerasan lebih lanjut. Dengan sedikit pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan terbatasnya, jika ada, akses terhadap kontrasepsi, para pengasuh/ orang tua khawatir bahwa remaja perempuan mereka akan mengalami kehamilan yang tidak direncanakan dan membuat malu ke keluarga jika mereka tidak mengendalikan pergaulan dan hubungan mereka (remaja).
Partisipasi dari laki-laki dapat ditingkatkan dengan mengadakan sesi untuk laki-laki secara terpisah pada waktu yang sesuai dengan jadwal mereka. Namun secara lebih luas, intervensi ini di masa depan mungkin dapat membahas tentang norma gender yang melekatkan tanggung jawab pengasuhan anak kepada perempuan, karena hal ini tampaknya menjadi alasan utama mengapa lebih sedikit pengasuh/ orang tua laki-laki yang terlibat. Pandangan tentang pengasuhan ini juga berpengaruh di tingkatan rumah tangga dimana menurut para perempuan tidak sejalan dengan ide dan praktik baru yang diperoleh selama intervensi dan juga tidak mendukung atau menerapkannya karena mereka menganggap mengasuh anak sebagai ‘pekerjaan perempuan’.
Secara keseluruhan, intervensi ini memeri hasil yang menjanjikan mengingat bahwa bekerja di Papua seringkali sangat menantang, tingkat kehadiran sesi yang lebih rendah daripada yang diharapkan, dan partisipasi pengasuh/ orang tua laki-laki yang sangat minim. Penelitian ini bersifat eksploratif dan temuannya tidak dapat digeneralisasi untuk populasi yang lebih luas. Ada tantangan dalam merekrut peserta laki-laki yang cukup sehingga perspektif mereka kurang terwakili. Ukuran sampel yang kecil membatasi kesimpulan statistik dan tidak adanya kelompok kontrol menjadikan temuan ini tidak dapat dikaitkan langsung (pasti) hanya dengan intervensi yang dilakukan. Namun, banyak kecenderungan yang menjanjikan dari temuan yang menunjukkan bahwa intervensi ini memiliki dampak penting terhadap sikap dan perilaku yang ditargetkan pada penerima manfaat langsung dan juga pada keluarga serta teman sebaya mereka.
PENDAHULUAN
Kekerasan terhadap Perempuan
dan Anak Perempuan
Secara global, kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan terus menjadi tantangan yang luar biasa bagi aspek kesehatan, hak asasi manusia dan kerja pembangunan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan mencakup kekerasan dalam relasi pasangan, kekerasan seksual orang lain (bukan pasangan), kekerasan ekonomi dan emosi, pelecehan seksual terhadap anak perempuan, perlukaan dan pemotongan genitalia perempuan, perdagangan seksual perempuan, perkawinan anak dan pembunuhan atas nama kehormatan. Di seluruh dunia, hampir sepertiga perempuan berusia 15 dan lebih mengalami kekerasan Pasangan fisik dana tau oleh pasangannya.8 Sebuah studi multi-negara
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengenai kesehatan perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga menemukan bahwa prevalensi seumur hidup kekerasan fisik dana tau seksual yang dialami oleh perempuan yang pernah/memiliki pasangan berkisar antara 15 persen dan 71 persen.9
Dampak kesehatan, sosial dan ekonomi dari kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan sangat signifikan dan saling terkait. Perempuan yang mengalami kekerasan oleh
pasangan 16 persen lebih besar kemungkinannya untuk memiliki bayi dengan berat badan lahir rendah, hampir dua kali kemungkinan mengalami depresi, dan di beberapa daerah, 1.5 kali lebih kemungkinannya untuk terinfeksi HIV dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengalami kekerasan dari pasangan.10 Perkosaan dan perdagangan orang
menyumbang terhadap terjadinya penyalahgunaan napza, depresi, kecemasan dan bunuh diri di kalangan perempuan.11 Secara umum kekerasan
juga menghalangi peluang ekonomi perempuan dan pembangunan ekonomi mereka secara lebih umum.12
Anak-anak yang mengalami kekerasan secara fisik dan atau seksual memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi, bunuh diri, gangguan stres pasca-trauma, kehamilan yang tidak diinginkan, ketergantungan alkohol dan infeksi menular seksual.13 Keterpaparan
terhadap kekerasan (perlakuan salah) dan pengabaian juga meningkatkan risiko terentuknya perilaku anti-sosial dan perilaku kekerasan, termasuk pemerkosaan.14
Kekerasan di Papua
Kekerasan di Papua dianggap sebagai isu pembangunan. Meskipun 16 tahun upaya
8 Devries, K.M., Mak, J.Y., Garcia-Moreno, C., Petzold, M., Child, J.C., Falder, G., Lim, S., Bacchus, L.J., Engell, R.E., Rosenfeld, L., Pallitto, C., Vos, T., Abrahams, N. & Watts, C.H. (2013). Global Health. The Global Prevalence of Intimate Partner Violence against Women. Science, 340: 1527–1528. 9 Garcia-Moreno, C., Jansen, H.A.F.M., Ellsberg, M. & Watts, C. (2005). WHO Multi-country Study on Women’s Health and Domestic Violence Against
Women: Initial Results on Prevalence, Health Outcomes and Women’s Responses. Geneva, Switzerland: World Health Organization.
10 Jewkes, R, Dunkle, K, Nduna, M & Shai, N (2010). Intimate Partner Violence, Relationship Gender Power Inequity, and Incidence of HIV Infection in Young Women in South Africa: a Cohort Study. The Lancet, 367: 41–48.
11 Filipas, H. & Ullman, S.E. (2006). Child Sexual Abuse, Coping Responses, Self-blame, Posttraumatic Stress Disorder, and Adult Sexual Revictimization. Journal of Interpersonal Violence, 21 (5): 652–672; Kilpatrick, D.G., Acierno, R., Resnick, H.S., Saunders, B.E. & Best, C.L. (1997). A 2-year Longitudinal Analysis of the Relationships between Violent Assault and Substance Abuse in Women. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 65 (5): 834–847; Abrahams, N., Jewkes, R. & Mathews, S. (2013). Depressive Symptoms after a Sexual Assault among Women: Understanding Victim-Perpetrator Relationships and the Role of Social Perceptions. African Journal of Psychiatry, 16(4): 288–293. Seedat, S., Stein, D.J. & Carey, P.D. (2005). Post-traumatic Stress Disorder in Women: Epidemiological and Treatment Issues. CNS Drugs, 19 (5): 411–27.
12 Duvvury, N., Callan, A., Carney, P. & Raghavendra, S. (2013). Intimate Partner Violence: Economic Costs and Implications for Growth and Development. World Bank, Washington, DC.
13 Turner, H. A., Finkelhor, D. & Ormrod, R. (2006). The Effect of Lifetime Victimization on the Mental Health of Children and Adolescents. Social Science & Medicine, 62(1): 13–27; Felitti, V.J., Anda, R.F., Nordenberg, D., Williamson, D.F., Spitz, A.M., Edwards, V., Koss, M.P. & Marks, J.S. (1998). Relationship of Childhood Abuse and Household Dysfunction to Many of the Leading Causes of Death in Adults: The Adverse Childhood Experiences (ACE) Study. AmericanJjournal of Preventive Medicine, 14(4): 245–258; Jewkes, R., Dunkle, K., Nduna, M. & Shai, N. (2010). Intimate Partner Violence, Relationship Gender Power Inequity, and Incidence of HIV Infection in Young Women in South Africa: a Cohort Study. The Lancet, 367: 41–48.
14 .Jewkes, R., Sikweyiya, Y., Morrell, R. & Dunkle, K. (2011). Gender Inequitable Masculinity and Sexual Entitlement in Rape Perpetration South Africa: Findings of a Cross-sectional Study. PloS one, 6(12), e29590.
desentralisasi dan pencairan dana Otonomi Khusus, peringkat Indeks Pembangunan Manusia Papua tetap terendah di Indonesia.15 Bila melihat dari
kacamata kriteria pemangunan, masyarakat asli Papua berada dalam kondisi yang tidak sebaik yang dialami masyarakat pendatang dan bukan asli Papua.16 Ada bukti yang kuat menunjukkan bahwa
kekerasan - gender, struktural dan politik - dapat menghambat pembangunan.
Lebih dari satu dekade yang lalu, penelitian di Indonesia mengungkapkan bahwa Papua memiliki kejadian kekerasan tertinggi terhadap perempuan dan anak-anak di Indonesia.17 Dikatakan bahwa
bahwa untuk mencegah kekerasan di dalam masyarakat, perlu untuk menangani kekerasan terhadap masyarakat.18 Papua berada dalam
6 dekade mengalami konflik politik.19 Konflik
berkekerasan berkontribusi terhadap kekerasan berbasis gender di rumah,20 dan kecenderungan
angka kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di Papua sama dengan tempat yang mengalami konflik bersenjata yang berkepanjangan, seperti Daerah Otonomi Bougainville, di Papua Nugini.21 Kekerasan terhadap perempuan dan anak
perempuan berkontribusi terhadap epidemi HIV yang terutama mempengaruhi remaja Papua.22
Penelitian terkini di Papua mengungkapkan sejauh mana kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi dan faktor-faktor apa saja yang berkontribusi terhadap kekerasan dalam relasi pasangan,
termasuk mengalami kekerasan dan rasa tidak aman pada masa kanak-kanak.23 Penelitian Multi Negara
yang dilakukan oleh Partner for Prevention (P4P) PBB tentang Laki-Laki dan Kekerasan (selanjutnya disebut, SMN PBB) yang dilakukan di Indonesia (dan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik), mendokumentasikan penggunaan kekerasan oleh laki-laki dan mengidentifikasi faktor risiko utama untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan dengan fokus khusus pada kekerasan dalam relasi pasangan.24 Laki-laki di
Jayapura menunjukkan penerimaan yang lebih besar terhadap perilaku kekerasan dibandingkan dua lokasi lainnya (Jakarta dan Purworejo, Jawa Tengah).25 Laki-laki di Jayapura juga memiliki angka
terendah dalam skala kesetaraan gender. Mereka memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi dan lebih dari seperempatnya dilaporkan memiliki masalah minum-minuman keras. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa 60 persen laki-laki di Jayapura melakukan beberapa bentuk Kekerasan dalam Relasi Pasangan selama masa hidup mereka. Secara khusus, 38 persen laki-laki di Jayapura mengatakan melakukan kekerasan fisik terhadap pasangannya dan 49 persen laki-laki mengatakan bahwa mereka melakukan kekerasan seksual terhadap pasangannya seumur hidup mereka. Di Jayapura, 23 persen laki-laki mengatakan bahwa mereka pernah melakukan pemerkosaan terhadap perempuan yang bukan pasangannya dan 7 persennya mengatakan terlibat dalam pemerkosaan
15 .Badan Pusat Statistik (BPS). 2016. Indeks Pembangunan Manusia Menurut Provinsi, 2010–2016 (Metode Baru). Tersedia di: https://www.bps. go.id/linkTableDinamis/view/id/1211.
16 Badan Pusat Statistik (BPS). (2012). Multiple Indicator Cluster Survey: Selected Districts of Papua and Papua Barat. Key Preliminary Findings; UNICEF, UNCEN, UNIPA, SMERU & BPS (2012). A study on teacher absenteeism in Papua and West Papua. Research Report. Jakarta: UNICEF. 17 Badan Pusat Statistik (BPS). Survey Sosial Ekonomi Nasional 2006. Jakarta.
18 Rankine, J., Percival, T., Finau, E., Hope, L.T., Kingi, P., Peteru, M.C., Powell, E., Robati-Mani, R. & Selu, E., (2015). Pacific Peoples,Violence, and the Power and Control Wheel. Journal of interpersonal violence 32(18): 2777–2803.
19 Braithwaite, J., Braithwaite, V., Cookson, M. & Dunn, L (2010). Anomie and Violence: Non-Truth and Reconciliation in Indonesian Peacebuilding. Canberra: Australian National University Press.
20 Read-Hamilton, S. & Marsh, M. (2016). The Communities Care Programme: Changing Social Norms to End Violence against Women and Girls in Conflict-Affected Communities. Gender & Development, 24(2): 261–276.
21 Fulu, E., Warner, X., Miedema, S., Jewkes, R., Roselli, T. & Lang, J. (2013). Why Do Some Men Use Violence against Women and How Can We Prevent It. Quantitative Findings from the United Nations Multi-Country Study on Men and Violence in Asia and the Pacific. Bangkok: United Nations Development Programme, United Nations Population Fund, United Nations Women and United Nations Volunteers.
22 Butt, L. (2012). Young Female Sex Workers’ Experiences of HIV/AIDS Testing and Treatment in Conditions of Political Violence in Highlands Papua, Indonesia. Western Humanities Review 66 (3): 35–54; Munro, J. & McIntyre, L. (2016). (Not) Getting Political:Indigenous Women and Preventing Mother-to-Child Transmission of HIV in West Papua. Culture, health & sexuality, 18(2): 156–170.
23 Hayati, E.N., Kodriati, N., Ag, S. S., Mas’ud, S.I., Warner, X. & Roselli, T. (2015). Men Experiences Of Violence against Women In Indonesia and How We Can Begin To Prevent It; UNDP (2016) Study on Women’s and Men’s Health and Life Experiences in Papua, Indonesia; Komnas Perempuan (2010). Stop sudah! Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM, 1963–2009. Komnas Perempuan, Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua. Jakarta: International Center for Transitional Justice; Munro, J. (2017). Gender Struggles of Educated Men in the Papuan Highlands, in Martha Macintyre and Ceridwen Spark (eds.), Gender Transformations in Melanesia, Canberra: ANU Press: 45–67.
yang dilakukan oleh banyak pelaku (gank-rape). Lebih dari 60 persen laki-laki yang melakukan kekerasan seksual mengatakan bahwa mereka melakukannya pertama kali sebelum berusia 19 tahun. Tingkat pemerkosaan yang dilakukan oleh non-pasangan jauh lebih tinggi di Jayapura daripada di dua lokasi penelitian lainnya. Kebanyakan laki-laki tidak mendapat konsekuensi hukum yang menjerakan ketika melakukan perkosaan.
Sebagian besar laki-laki di Jayapura, sekitar 60 persen (tertinggi diandingkan 3 lokasi penelitian), mengatakan memiliki pengalaman kekerasan dimasa kanak-kanak, dan 74 persen dari laki-laki ini mengatakan mengalami kekerasan fisik di rumah dan di sekolah; 56 persen mengaku dilecehkan secara fisik oleh seorang guru di sekolah, 43 persen pernah dipukuli di rumah, dan 17 persen mengatakan mengalami kekerasan seksual.26
Analisis yang membandingkan laki-laki pelaku Kekerasan dalam Relasi Pasangan dengan mereka yang tidak melakukan kekerasan menjelaskan ada beberapa faktor risiko spesifik yang terkait dengan melakukan Kekerasan dalam Relasi Pasangan. Faktor risiko ini meliputi:
• Sikap setara gender yang rendah
• Keterampilan membangun hubungan dengan orang lain yang buruk (sering bertengkar dengan pasangan)
• Mengalami masalah kesehatan mental (depresi, alkohol)
• Kesulitan masa kecil (mengalami pelecehan fisik, emosi atau seksual selama masa kanak-kanak; menyaksikan kekerasan yang dialami ibunya saat mereka masa kecil)
• Keterlibatan dalam perilaku berisiko tinggi lainnya (keterlibatan dalam geng, terlibat dalam perkelahian dengan senjata, terlibat dalam jasa layanan seks erbayar (prostitusi), memiliki dua atau lebih pasangan seksual)
• Ketidakamanan pangan (kebutuhan pokok). Mayoritas laki-laki menganut norma gender tradisional, hierarkis dan tidak adil/setara yang memberi hak istimewa kepada laki-laki diandingkan perempuan dan memberlakukan peran dan sifat/ciri yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan dalam kaitannya dengan tugas rumah tangga, hubungan/
relasi dan seksualitas. Laki-laki yang menganut norma ketidakadilan gender ini cenderung melakukan kekerasan terhadap perempuan. Norma dan praktik budaya yang bias gender ini diperburuk oleh kondisi konflik, kemiskinan dan kurangnya kesempatan untuk pemberdayaan ekonomi. Akibatnya, kekerasan menjadi perilaku yang dipelajarai dan sering dikaitkan dengan pengalaman pribadi tentang kekerasan, rasa ketidakamanan dan penyalahgunaan napza.
Dasar pemikiran untuk intervensi
Temuan ini menunjukkan perlunya intervensi pencegahan primer yang efektif yang dapat mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan tersebut. UNFPA bekerja sama dengan UN Women dan UNV bersama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan didukung oleh Partner for Prevention (P4P) PBB mengembangkan dan mengujicoa intervensi berbasis masyarakat yang melibatkan remaja dan pengasuh/ orang tua remaja (termasuk orang tua, anggota keluarga lain di rumah, guru dan penyedia layanan pemuda lainnya di masyarakat).
Bekerja dengan remaja adalah hal yang penting karena berdasar temuan SMN PBB, pada kelompok usia tersebutlah perilaku kekerasan (terhadap perempuan) pertama kali muncul . Selain itu masa remaja merupakan tahap perkembangan yang kritis dimana individu mulai tertarik dan terlibat dalam berbagai bentuk hubungan intim atau pacaran dengan orang lain, serta mulai banyak mengetahui dan tersosialisasikan tentang gender. Pengalaman dan norma yang terbentuk pada tahap perkembangan ini kemudian akan termanifestasi (diyakini dan dipraktekkan) saat mereka dewasa hingga sepanjang hidup mereka. Ini adalah periode kunci untuk mempromosikan norma dan perilaku yang setara dan sehat, terutama terkait dengan keterampilan berhubungan dengan orang lain dan identitas gender. Penting kiranya untuk melibatkan anak laki-laki dan perempuan agar dapat mempengaruhi norma teman sebaya serta membangun kondisi ideal kesetaraan gender yang saling melengkapi dan norma serta keterampilan hubungan social yang saling menghargai dengan teman sebaya mereka yang sering berhubungan dengan mereka melalui kegiatan sekolah dan masyarakat.
METODOLOGI
Intervensi: Reimay:
Untuk Papua yang Sejahtera
Tujuan dari proyek ini adalah untuk menyesuaikan dan menguji intervensi yang berfokus pada pencegahan primer kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, yang menyasar pada faktor risiko yang dapat dimodifikasi dengan mudah, seperti yang diidentifikasi dalam SMN PBB, dan secara khusus berfokus pada temuan dari Jayapura, mengacu pada bentuk intervensi yang telah berhasil dilakukan di tempat lain (misalnya Stepping Stones, SASA!, PREPARE, the Good Schools Toolkit, Skhokho Supporting Success, dan intervensi dari mitra jaringan Men Enggage). Intervensi ini bertujuan untuk melibatkan remaja perempuan dan laki-laki (usia 12-15 tahun), dan orang tua (pengasuh) mereka termasuk tokoh agama dan anggota masyarakat yang berpengaruh dalam sesi pendidikan kelompok partisipatif. Intervensi ini dimaksudkan untuk mengubah norma sosial yang dianggap memperbesar risiko terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan seperti ketidaksetaraan gender dan konstruksi maskulin yang merugikan; hubungan dengan orang lain yang buruk, resolusi konflik, dan keterampilan komunikasi; penerimaan dan penggunaan normatif terhadap perilaku kekerasan dalam relasi interpersonal; dan keterampilan manajemen stres yang buruk.
Bukti global menunjukkan bahwa apabila hanya melibatkan remaja dalam program pencegahan primer maka hal ini tidak efektif. Oleh karena itu, praktik terbaik saat ini mengadopsi kerangka ekologis (misalnya model ekologi sosial Bronfenbrenner) ke dalam rancangan dan implementasi intervensi. Kerangka kerja ini menekankan bahwa menciptakan lingkungan yang mendukung dan melibatkan orang dewasa yang berpengaruh dalam kehidupan remaja (misalnya orang tua atau pengasuh, guru, tokoh agama dan penyedia layanan bagi pemuda) merupakan hal yang penting untuk mempromosikan dan mempertahankan perubahan sosial yang efektif dan pencegahan primer terhadap kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
Oleh karena itu, proyek ini dilakukan pada model Kampung Bebas Kekerasan yang dikembangkan di beberapa wilayah dan berfokus pada advokasi, layanan dukungan seperti mekanisme adat, layanan kesehatan, layanan hukum, konseling dan penyadaran masyarakat akan isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Selain itu, intervensi paralel juga diterapkan dengan melibatkan orang dewasa yang berpengaruh dalam kehidupan remaja termasuk orang tua/pengasuh, tokoh agama dan berbagai pemangku kepentingan lainnya di masyarakat seperti guru, anggota komite Kampung Bebas Kekerasan, dan penyedia layanan bagi pemuda. Intervensi ini bertujuan untuk membangun sikap dan perilaku yang mendukung transformasi norma sosial melalui intervensi pada kelompok remaja, serta meningkatkan hubungan saling peduli dan mendukung antara orang dewasa dan remaja.
Untuk mempromosikan kesinambungan dan berkelanjutan, intervensi ini juga memasukkan komponen kesukarelawanan agar program dapat terus berkembang (berjalan) meskipun masa proyek telah resmi berakhir. Kesukarelawanan dibangun berdasarkan tradisi gotong royong (kerja komunal) di Indonesia dan nilai budaya lokal terkait saling bekerjasama, dan kesukarelawanan mendorong kepemilikan masyarakat atas program pencegahan primer ini dan penyebaran lebih luas terkait ide-ide utama dari pencegahan primer. Komite Kampung Bebas Kekerasan dijalankan oleh anggota masyarakat secara sukarela yang berkomitmen terhadap pelaksanaan kebijakan dan praktik Kampung Bebas Kekerasan, yang mana hal ini, yang menunjukkan motivasi untuk menjalankan kesukarelawanan dan kemungkinan komponen tersebut dilakukan.
Sejak bulan Oktober 2016 hingga November 2017, cabang Papua dari Parenthood Federation Indonesia PlannedPKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) daerah Papua) bekerja sama dengan LP3AP (Lembaga Pengkajian Dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Papua), atau Lembaga Studi dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak menjalankan
proyek yang berjudul “ Reimay “ (bahasa masyarakat Sentani yang berarti “Sejahteraan” yang diusulkan dan dipilih saat dilakukan konsultasi dengan masyarakat dan lokakarya pengembangan manual).
Reimay: Untuk Papua yang Sejahtera dijalankan di dua komunitas. Tabel 1 meringkaskan tujuan intervensi yang terkait dengan masing-masing faktor risiko.
Tabel 1: Faktor risiko, tujuan intervensi dan kelompok sasaran
Faktor risiko Tujuan intervensi Kelompok sasaran
Norma ketidaksetaraan gender dan konstruksi maskulinitas yang merugikan
• Mempromosikan sikap dan perilaku setara gender
• Mempromosikan maskulinitas alternatif yang tidak agresif, saling menghargai, dan peduli
• Mempromosikan pendekatan keperempuanan alternatif yang bersifat asertif dan aktif
• Remaja laki-laki dan perempuan
• Orang dewasa yang berpengaruh di lingkungan remaja
Keterampilan dalam memangun rekasi/ hubungan yang tidak baik dan sering bertengkar dengan pasangan
• Membangun komunikasi yang terbuka dan saling menghargai, tanpa kekerasan serta
keterampilan resolusi konflik
• Mempromosikan huungan yang sehat yang diidealkan bagi remaja
• Mempromosikan hubungan yang saling mendukung antara orang dewasa yang berpengaruh dengan remaja
• Remaja laki-laki dan perempuan
• Orang dewasa yang berpengaruh di lingkungan remaja
Persoalan terkait kesehatan mental • Mempromosikan kemampuan manajemen stres yang sehat dan keterampilan coping (mengatasi kesulitan hidup) yang baik
• Mempromosikan perilaku yang menguatkan kesehatan mental
• Mempromosikan perilaku mencari bantuan
• Mempromosikan dukungan orang dewasa terhadap remaja
• Remaja laki-laki dan perempuan
• Orang dewasa yang berpengaruh di lingkungan remaja
Terpapar akan pengalaman
kekerasan di lingkungan sekitar • Membangun keterampilan disiplin yang positif
• Membangun keterampilan hubungan social yang bersifat mendukung dan mengayomi
• Membangun kesadaran akan dampak terpapar kekerasan
• Orang dewasa yang berpengaruh di lingkungan remaja
Intervensi tersebut dipandu oleh komite pengarah yang terdiri badan PBB anggota P4P di tingkat nasional, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sementara itu, kelompok kerja konsultatif di tingkat
lokal terdiri atas badan PBB yang terlibat dalam P4P, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Jayapura Papua. Tugas Komite Pengarah dan kelompok kerja konsultatif lokal adalah untuk mengambil peran proaktif dalam memberikan
arahan dan petunjuk terhadap pelaksanaan proyek serta bekerja sama secara kolektif dan konstruktif setiap saat dengan semua anggota Komite Pengarah lainnya dan dengan Badan-badan PBB yang terlibat dalam P4P.
Untuk pelaksanaan proyek ini, mitra utama yang terlibat adalah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Jayapura, masyarakat adat dan organisasi berbasis agama setempat (OBA), organisasi non-pemerintah (ONP) dan organisasi masyarakat sipil (OMS) yang bekerja untuk mencegah kekerasan terhadap Perempuan dan anak perempuan. Strategi intervensi yang bersifat multi-aspek diringkaskan dalam Tabel 2.
Tabel 2: Strategi Intervensi
KOMPONEN REMAJA KOMPONEN DEWASA/KOMUNITAS
Intervensi 20-22 sesi yang dilakukan setiap 1-2
minggu sekali (dengan durasi sekitar 2 jam untuk tiap sesi) dilakukan setelah pulang sekolah atau akhir pekan
8-10 sesi yang dilakukan setiap dua minggu sekali atau setiap bulan
(dengan durasi sekitar 3 jam untuk tiap sesi) dilakukan pada akhir pekan atau pada malam hari di hari kerja
Peserta 4 kelompok 20-25 remaja yang
berusia 13-15 tahun 2 kelompok 25-30 peserta dari• Orang tua/pengasuh remaja
• Tokoh agama, terutama tokoh pemuda/ remaja
• Anggota komite Kampung Bebas Kekerasan
• Guru
• Penyedia Layanan untuk Remaja
Materi Utama Sesuai Tabel 1 di atas Sesuai Tabel 1 di atas
Kesukarelawanan • Relawan Fasilitator akan dilatih dan didukung untuk menerapkan intervensi dengan
mengacu pada panduan manual
• Proyek kesukarelawanan pengembangan masyarakat didorong untuk melibatkan orang dewasa dan remaja
Menghubungkan
ke layanan
• Fasilitator dilatih untuk memberikan rujukan kepada tiap peserta yang dapat membantu mereka yang meminta saran tambahan kepada fasilitator. • Sistem rujukan yang telah dikembangkan dengan Satuan Tugas di masyarakat
untuk Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak menjadi penghuing (focal point) yang menghubungkan masyarakat dengan layanan rujukan lainnya seperti P2TP2A (Pusat Layanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak yang menjadi korban Kekerasan untuk pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender yang para anggotanya terdiri atas pemerintah,organisasi non pemerintah dan masyarakat, polisi dan penyedia layanan kesehatan).
• Selama pelaksanaan proyek melibatkan dan berkonsultasi dengan penyedia layanan yang memiliki layanan terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
Desain studi
Penelitian ini berusaha untuk mengevaluasi intervensi ujicoba ini dengan (a) mengumpulkan data kualitatif dari diskusi kelompok terarah dengan peserta remaja dan pengasuh/ orang tua sebelum dan sesudah intervensi termasuk menggali refleksi dan umpan balik mengenai pengalaman mereka selama mengikuti intervensi, serta mendokumentasikan berbagai cerita perubahan; dan (b) mendokumentasikan secara kualitatif umpan balik yang diperoleh dari diskusi kelompok terarah setelah intervensi yang dilakukan dengan para pemangku kepentingan utama/informan termasuk fasilitator yang terlibat dalam dan juga supervisor. Selain data kualitatif yang kaya dikumpulkan, penelitian ini juga menggunakan kuesioner singkat sebelum dan sesudah intervensi untuk memberikan data tambahan mengenai dampak intervensi terhadap sikap gender yang setara.
Data kualitatif ini memungkinkan kita untuk mendapatkan pemahaman awal tentang akseptabilitas (penerimaan), relevansi, kelayakan dan potensi dampak dari proyek percontohan ini yang tidak memungkinkan untuk melakukan randomized control trial (penelitian social yang melakukan control ketat terhadap variable penelitian) yang utuh atau quasi-experimental evaluation (penelitian social yang menggunakan metode semi eksperimen).
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1) Menokumentasikan potensi dampak intervensi Reimay pada area hasil keluaran sebagai berikut: a) Anak laki-laki dan perempuan remaja
(kelompok sasaran utama):
i) Gagasan dan praktik setara gender yang setara
ii) Sikap penerimaan terhadap perilaku kekerasan
iii) Kualitas hubungan orang tua/pengasuh iv) Keterlibatan dalam kesukarelawanan b) Pengasuh dewasa/orang tua remaja
(kelompok sasaran sekunder):
i) Gagasan dan praktik setara gender
ii) Sikap penerimaan terhadap perilaku kekerasan
iii) Sikap terhadap hukuman keras dalam masyarakat
iv) Kualitas hubungan dengan remaja v) Keterlibatan dalam kesukarelawanan 2) Menggali pengalaman peserta remaja dan
orang dewasa berkaitan dengan intervensi yang dilakukan dan cerita perubahan mereka terkait dengan pengalaman ini dalam konteks kehidupan sehari-hari mereka untuk memahami akseptabilitas, relevansi dan dampak pribadi dari intervensi ini.
3) Untuk menggunakan temuan evaluasi kualitatif formatif termasuk wawancara dengan informan kunci dan umpan balik dari fasilitator untuk memberikan informasi bagi penguatan intervensi dan pengujian yang lebih luas
Diskusi kelompok terarah, wawancara
informan kunci dan analisis data
Evaluasi pengukuran awal (baseline) untuk intervensi Reimay dilakukan pada tanggal 3-6 Desember 2016 di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Metode utamanya adalah diskusi kelompok terarah (FGD), selain itu beberapa wawancara mendalam juga dilakukan dengan pengasuh (orang tua). Diskusi kelompok terarah dilakukan dalam Bahasa Indonesia oleh peneliti utama dan mitra peneliti yangmerupakan orang Papua. Diskusi dilakukan terpisah antara pengasuh (orang tua) laki-laki dan Perempuan dengan remaja laki-laki dan perempuan. Selama pengukuran awal, diskusi kelompak terarah menanyakan pada pengasuh (orang tua) dan remaja pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan: 1) Kualitas hubungan (dengan orang tua/pengasuh
ketika ditanyakan pada remaja ATAU dengan remaja ketika ditanyakan pada pengasuh/ orang tua)
2) Perilaku dalam berkomunikasi dan resolusi konflik 3) Keterlibatan dalam kesukarelawanan
4) Kontrol/kendali saat menjalin hubungan (hanya ditanyakan remaja)
5) Hukuman keras (hanya ditanyakan pada pengasuh/ orang tua)
Hasil keluaraan dari pertanyaan tersebut merupakan hal yang teridentifikasi dalam teori intervensi perubahan dan merupakan hal-hal yang akan disasar dalam intervensi yang direncanakan untuk membawa efek perubahan.
Sebanyak 19 pengasuh/ orang tua (8 laki-laki dan 11 perempuan) dan 39 remaja (23 perempuan dan 16 laki-laki) berpartisipasi dalam kelompok terarah pada pengukuran awal ini (lihat Tabel 3).
Selama diskusi kelompok terarah di pengukuran akhir, yang dilakukan pada bulan November 2017, para
peserta diminta untuk merefleksikan (membahas) topik yang sama seperti pada FGD Pengukuran awal,terkait pengalaman mereka terhadap program ini, setiap perubahan yang mereka sadari dirasakan pada diri mereka atau orang lain, dan tantangan yang dirasakan. Sebanyak 26 pengasuh/ orang tua (24 perempuan dan 2 laki-laki) dan 42 remaja (36 perempuan dan 6 laki-laki) berpartisipasi dalam diskusi kelompok terarah pengukuran akhir. Peserta yang ikut serta dalam studi pengukuran akhir paling tidak telah menghadiri minimal sepertiga sesi intervensi yang dilakukan.
Tabel 3. Jumlah peserta evaluasi, dengan metode pengumpulan data
FGD
Pengukuran awal Pengukuran FGD akhir
Kuesioner
Pengukuran awal Pengukuran Kuesioner akhir Remaja Perempuan 23 36 38 21 Laki-laki 16 6 43 19 Pengasuh/ orang tua
Perempuan
11 24 37 43Laki-laki
8 2 34 13Selain itu, wawancara dengan informan kunci dilakukan dengan tiga fasilitator (dua laki-laki dan satu perempuan) pada akhir intervensi. Para peneliti juga memperoleh refleksi dari supervisor intervensi yang beasal dari organisasi mitra pelaksana setempat.
Diskusi ini dicatat oleh setidaknya dua pencatat dan juga direkam secara audio dengan alat perekam suara. Rekaman suara ini kemudian ditranskrip dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh para peneliti. Catatan dan transkrip dianalisis secara tematik. Karena diskusi kelompok terarah adalah
dilakukan secara terpisah laki-laki dan perempuan (gender), maka dimungkinkan a untuk menganalisis perspektif perempuan dan laki-laki secara terpisah dan mendapatkan pengetahuan yang dalam tentang dampak dari intervensi tersebut dalam sudut pandang gender.
Kuesioner dan analisis data
Kuesioner dikembangkan dengan mengacu pada pada Skala Kesetaraan Gender Laki-laki (GEM)27
dan juga memasukkan beberapa pengukuaran kesetaraan gender tambahan yang sebelumnya
27 Skala GEM dikembangkan oleh Population Council dan Instituto Promundo dan telah digunakan di berbagai negara, baik sebagai bagian dari survei multi-negara PBB dan Organisasi Kesehatan Dunia dan dalam penelitian lain. Pertanyaan tentang sikap ini telah digunakan dalam berbagai persekitaran yang berbeda dan secara konsisten menunjukkan tingkat reliabilitas internal yang tinggi (lihat Pulerwitz, J. & Barker, G. (2008). Measuring Attitudes Toward Gender Norms among Young Men in Brazil: Development and Psychometric Evaluation of the GEM Scale. Men and Masculinities, 10(3): 322–338.)
telah digunakan oleh UNFPA Indonesia dan dalam studi serupa di dunia internasional.28
Selain mengukur sikap gender, kuisioner tersebut juga mengumpulkan informasi latar belakang termasuk seks, usia, pendidikan, status hubungan, status sosial ekonomi keluarga, dan pengalaman sulit di masa kecil. Ada 7 item skala GEM yang digunakan untuk perempuan, 8 item untuk laki-laki, dan 10 pertanyaan tambahan tentang Sikap Kesetaraan Gender untuk laki-laki dan perempuan (lihat Lampiran 1). Pertanyaan-pertanyaan itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan dimodifikasi untuk mencerminkan pemahaman dan terminologi budaya masyarakat setempat. Kuesioner dibagikan dan dibantukan mengisi oleh asisten penelitian Papua berpengalaman yang sebelumnya telah dilatih oleh peneliti utama dalam pengumpulan data dan kode etik penelitian.
Data informasi latar belakang dianalisis secara deskriptif menggunakan Excel sedangkan skala GEM dan pertanyaan kesetaraan gender tambahan dianalisis dengan menggunakan SPSS. Perbandingan antara data kuesioner pengukuran awal dan pengukuran akhir dilakukan dengan menggunakan uji Wilcoxon signed-rank, uji statistik non-parametrik dengan membandingkan nilai rata-rata dari dua sampel terkait yang diukur pada skala ordinal (skala 1-4) (lihat Tabel 4).
Sebanyak 81 remaja dan 71 pengasuh/ orang tua berpartisipasi dalam mengisi kuisioner pengukuran awal, sementara 40 remaja dan 56 pengasuh/ orang tua ikut dalam survey yang menggunakan kuesioner pengukuran akhir (lihat Tabel 4).29 Seperti pada
diskusi kelompok terarah, peserta harus mengikuti setidaknya sepertiga sesi intervensi untuk dapat ikut serta dalam pengukuran akhir.
Pertimbangan etika
Penelitian ini dilakukan sesuai dengan kode etik dan praktik terbaik termasuk mengacu pada pedoman Sexual Violence Research Initiative (Inisiatif dalam penelitian tentang kekerasan seksual) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).30
Semua yang terlibat dalam penelitian ini diberi pelatihan tentang instrumen penelitian, protokol dan kode etik penelitian a, terutama mengenai penelitian yang melibatkan anak-anak,31 yang mengutamakan
azas menghargai , manfaat dan keadilan.
Partisipasi dalam berbagai kegiatan dalam proyek ini, termasuk sesi intervensi kelompok di masyarakat dan kegiatan pemantauan dan evaluasi, bersifat sukarela. Semua peserta sepenuhnya menyadari prosedur (tahapan) kegiatan dalam proyek ini melalui informasi yang diberikan dan dan pernyataan persetujuan yang mereka berikan. Persetujuan dari pengasuh (orang tua) diperlukan untuk semua anak
Tabel 4: Uji Wilcoxon signed-rank
Variabel Label Skala
GEM
8 item untuk anak laki-laki, 7 untuk anak perempuan
Skor yang lebih tinggi menunjukkan sikap
kesetaraan gender yang lebih kuat 1-4
Sikap Kesetaraan Gender
10 item Skor yang lebih tinggi menunjukkan sikap kesetaraan gender yang lebih kuat 1-4
28 Hayati et al. 2015; Fleming, P.J., McCleary-Sills, J., Morton, M., Levtov, R., Heilman, B. & Barker, G. (2015). Risk Factors for Men’s Lifetime Perpetration of Physical Violence against Intimate Partners: Results from the International Men and Gender Equality Survey (IMAGES) in Eight countries. PLoS One, 10(3), e0118639.
29 Lihat Lampiran 2 - Deskripsi Peserta Kuesioner
30 Jewkes, R., Dartnall, E. & Sikweyiya, Y. (2012). Ethical and Safety Recommendations for Research on Perpetration of Sexual violence. Pretoria: Sexual Violence Research Initiative; Ellsberg, M.C., Heise, L. & World Health Organization (2005). Researching Violence against Women: Practical Guidelines for Researchers and Activists.
31 Graham, A., Powell, M., Taylor, N., Anderson, D. & Fitzgerald, R. (2013). Ethical Research Involving Children. Florence: UNICEF Office of Research – Innocenti; International Charter for Ethical Research Involving Children, tersedia di http://childethics.com/charter/.
di bawah umur yang berpartisipasi dalam aspek proyek ini selain juga persetujuan dari anak tersebut. Identitas semua peserta dijaga kerahasiaannya dan data yang dikumpulkan dari peserta selama proyek ini berlangsung disamarkan (dirahasiakan) dan disajikan secara anonim dalam laporan proyek. Organisasi mitra pelaksana menyusun daftar layanan kesehatan dan kesejahteraan sosial yang tersedia di lokasi intervensi dan wilayah sekitarnya untuk diberikan kepada semua peserta. Daftar ini mengikuti panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk memberikan informasi layanan rujukan dan juga layanan untuk penanganan terhadap korban kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Fasilitator juga dilatih untuk dapat memberikan informasi rujukan yang mendukung kepada masing-masing peserta apabila mereka secara langsung menanyakan saran atau membutuhkannya. Fasilitator dilatih mengenai kode etik bekerja untuk isu kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan dan didukung oleh organisasi mitra pelaksana berkaitan dengan pendampingan potensi dampak trauma yang umum terjadi pada mereka yang bekerja untuk isu kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
Keterbatasan
Karena sampel dalam studi ini diambil dari peserta intervensi, maka peneliti tidak dapat melakukan kontrol terhadap pemilihan sampel. Selain itu ada situasi dimana terjadi penurunan peserta laki-laki dan peningkatan peserta perempuan selama intervensi berlangsung.
Berkaitan dengan studi kualitatif, temuan dari studi ini tidak dimaksudkan untuk mewakili atau menggenaralisir populasi umum, bahkan di Jayapura, dikarenakan adanya keberagaman norma dan pengalaman masyarakat lain. Ada beberapa tantangan berkaitan dengan mengajak peserta terlibat dalam penelitian ini pada diskusi kelompok terarah, terutama peserta laki-laki, sehingga pengalaman laki-laki kurang dapat terwakili sepenuhnya.
Berkaitan dengan studi kuantitatif, dikarenakan tidak adanya kelompok kontrol yang digunakan, maka tidak secara pasti menghubungkan perubahan yang terjadi murni hanya dikaitkan dengan intervensi. Penimpulan statistik penelitian dibatasi oleh ukuran sampel yang kecil. Dikarena jumlah kasus yang sangat kecil yang cocok antara pengasuh/ orang tua dan remaja, maka perbandingan sampel pengukuran awal dengan pengukuran akhir yang sesuai menjadi kurang berarti.
HASIL
Remaja
Sebanyak 131 remaja (71 anak perempuan dan 58 laki-laki) berpartisipasi dalam intervensi tersebut, dengan rentang usia 12 sampai 16 tahun. Anak perempuan menghadiri lebih banyak sesi daripada anak laki-laki (lihat Gambar 1). Sekitar 20 persen
anak perempuan dan anak laki-laki menghadiri 13-16 sesi. Hampir semua peserta adalah masyarakat asli Papua, dan tinggal di salah satu dari dua wilayah yang diintervensi.
Mayoritas dari 43 anak laki-laki, 58 persen, yang menjawab kuesioner pada awal intervensi berusia 13-14 tahun sementara 33 persen berusia 15-16 tahun (Lihat Lampiran 2). Mayoritas dari anak perempuan, 53 persen, yang menjawab kuesioner pada awal intervensi (n=38) berusia 15-16 tahun sementara 37 persen berusia 13-14 tahun. Berdasarkan data kuesioner pengukuran awal, 37 persen anak laki-laki dan 21 persen anak perempuan telah mengulang kelas di sekolah, tapi 93 persen anak laki-laki dan 91 persen anak perempuan mengatakan bahwa mereka merasa
“yakin”
dapat menyelesaikan sekolah menengah atas. 35 persen anak laki-laki dan 45 persen anak perempuan menganggap mereka adalah siswa“di bawah
rata-rata”
. Sementara 23 persen anak laki-laki berpikir bahwa mereka adalah siswa yang“lebih baik dari
rata-rata”
, 0 persen anak perempuan menganggap bahwa mereka adalah siswa“lebih baik dari
rata-rata”
pada kuesioner pengukuran awal. Sekitar 70 persen anak laki-laki dan 64 persen anak perempuanmengatakan bahwa di rumah mereka
“jarang”
atau“tidak pernah ada makanan yang”
mencukupi untuk keluarga. Meskipun sebagian kecil peserta mengatakan bahwa mereka sering tidur kelaparan, dimana jumlah anak laki-laki tiga kali lebih banyak dari anak perempuan yang mengatakan bahwa mereka sering tidur kelaparan, dan jumlah anak laki-laki yang mengatakan bahwa mereka sering pergi ke sekolah tanpa makan jumlahnya lebih dari dua kali daripada anak perempuan.Bagian berikut lebih menjelaskan temuan kualitatif dari diskusi kelompok terarah.
Kualitas hubungan dengan pengasuh/
orang tua
Remaja melaporkan bahwa setelah intervensi, pengasuh (orang tua) mereka lebih bersikap tenang, lebih banyak mendengarkan, dan lebih memberikan dukung mereka daripada memarahi.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 A few
(1–4) Several (5–9) About half (10–12) (13–16)Many Almost all (17–20) All of them (21–22)
% o f a do le sc en ts th at a tte nd ed se ss io ns Boys
Number of attended sessions
Girls
Pada pengukuran awal, seorang peserta laki-laki berkata, “Orang tua (pengasuh) itu biasanya bersikap keras (kasar) dan suka marah-marah, mereka ingin mengubah karakter/sikap anak mereka (Sifat)”. Anak laki-laki mengatakan bahwa orang tua mereka tidak memahami mereka dan kurang memiliki kesabaran. Misalnya, “Mereka tidak mempercayai penjelasan kami tentang berbagai hal, misalnya mengenai pelajaran di sekolah. Kami berusaha menjelaskannya kepada orang tua kami tapi mereka terus menyalahkan kami karena harus “mengulang” atau mendapat nilai buruk, jadi kami kesal/marah dan enggan tidak ingin cerita lagi dengan orang tua kami.” Demikian pula, “Ketika kami sedang mengerjakan sesuatu namun belum menyelesaikannya, orang tua kami justru menambah lebih banyak pekerjaan untuk kami lakukan sehingga kami kesal/marah kepada mereka dan mereka pun kemudian jadi kesal/ marah kepada kami.”
Dari uraian para remaja, sebagai akibat dari intervensi tersebut, orang dewasa mengubah perilaku dan gaya komunikasi mereka dan ini membantu remaja untuk mempraktikkan keterampilan komunikasi dan negosiasi yang mereka pelajari sebelumnya. “Saya tidak terlalu akrab dengan dengan ibu saya dan kalau dia menyuruh saya melakukan sesuatu, saya tidak kerjakan ... terkadang saya tidak ingin berbicara dengannya, saya kesal/marah, tapi setelah ikut serta dalam kegiatan ini, saya berusaha meminta izin dari ibu saya untuk mencuci piring nanti dan dia berkata, ‘Ya, selama kamu ingat’. Jadi ada sedikit perubahan.” Demikian pula, “Sebelum ini, jika mama meminta kami melakukan sesuatu, kami akan menunggu sampai dia marah sebelum kami melakukannya. Tapi sejak pergi ke sesi, biarpun kita tidak mengerjakannya, mama tidak marah. Dia hanya mengatakan ‘Anda tumbuh dewasa jadi kita harus saling mengerti. Tidak mungkin satu orang bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sendirian’. “ Fasilitator yang bekerja dengan remaja juga menyebutkan bahwa hasil utama yang diamati adalah adanya keterampilan negosiasi dengan pengasuh (orang tua) berkaitan dengan urusan pekerjaan rumah tangga.
Intervensi ini menekankan pada pemberian penghargaan/pujian oleh pengasuh/orang tua sebagai cara untuk mendorong dan menguatkan perilaku remaja dengan cara positif. Pada pengukuran
awal, remaja mengatakan bahwa mereka tidak mendapat banyak pujian dari pengasuh/ orang tua mereka dan mengatakan bahwa sulit bagi orang tua mereka untuk memuji mereka “karena mereka tidak ingin remaja berpikir bahwa mereka lebih baik dari orang tua/pengasuh” (peserta laki-laki ). Menurut para peserta, Orangtua biasanya tidak mengucapkan terima kasih atas pekerjaan yang dilakukan remaja terhadap mereka,. Setelah sesi berlangsung, “Orang tua saya sekarang sudah mengucapkan terima kasih, dan kami pun berbagi pekerjaan rumah bersama, jadinya lebih baik” (peserta perempuan).
Komunikasi
Sebelum intervensi, pada diskusi kelompok fokus remaja perempuan, mereka mengatakan bahwa jika mereka merasa “buruk” (tidak enak ) tentang sesuatu maka mereka akan diam saja. Jika mereka ingin membicarakan perasaan mereka, mereka merasa “lebih percaya diri untuk memberi tahu guru kami ... jika kita pergi ke orang tua kami, maka kami akan disalahkan sehingga kami menjadi takut bercerita, tapi kami tidak takut pada guru kami sehingga kami merasa lebih percaya diri berbicara dengan guru “(peserta remaja perempuan). Setelah intervensi, peserta menjelaskan baha mulai ada komunikasi yang lebih terbuka dengan pengasuh/ orang tua mengenai masalah yang mereka hadapi, beberapa mengatakan, misalnya, “Saya merasa lebih mampu berdiskusi dengan keluarga saya sekarang, terutama saudara perempuan saya yang lebih tua (kakak Perempuan).”
Remaja juga mengatakan bahwa mereka masih belum merasa nyaman untuk memberi tahu pengasuh/orang tua mereka tentang pengalaman diperlakukan buruk oleh orang lain, termasuk diejek/dikata-katai atau mendapatkan perundungan (bullying) di sekolah karena khawatir pengasuh/ orang tua tersebut mungkin marah atau berlaku kasar (melakukan kekerasan) terhadap pelaku. Salah satu remaja perempuan memberikan contoh pengalamannya tentang anak laki-laki yang mengganggunya di sekolah dan meminta uang pada dirinya. Dia takut memberi tahukan ini pada ayahnya karena khawatir ayahnya bereaksi keras (melakukan kekekerasan). “Saya masih takut jika saya memberitahu orang tua saya [tentang dirinya yang diejek/dikata-katai], mereka mungkin akan marah kepada saya atau memukul orang yang
mengirim pesan teks tersebut.”
Ada tantangan dalam komunikasi yang berkaitan dengan isu berpacaran dan ketidaksepakatan dengan pengasuh/ orang tua mengenai kebebasan dan keleluasaan gerak, karena para pengasuh/ orang tua khawatir bahwa bila mereka mengizinkan anak perempuan mereka, khususnya, untuk pergi jalan-jalan dan bergaul tanpa pengawasan mereka maka hal itu dapat mengarah pada terjadinya hubungan romantis/seksual atau dapat merusak reputasi. Pada pengukuran awal, ada banyak topik dimana remaja laki-laki dan perempuan mengatakan bahwa mereka lebih suka berdiskusi dengan orang dewasa “pihak ketiga”, terutama tentang hubungan pacaran dan tentang pacar laki/pacar perempuan. Anak laki-laki mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah berbicara dengan orang tua mereka tentang memiliki pacar perempuan atau pacar laki-laki (bagi anak perempuan) karena orang tua mereka akan marah kepada mereka, sehingga mereka menyembunyikan hubungan mereka. Kelompok remaja perempuan mengatakan bahwa jika mereka mencoba berbicara dengan orang tua mereka tentang hubungan pacaran, maka orang tua mereka akan mengatakan bahwa mereka belum diijinkan untuk berpacaran. Intervensi ini memberikan pendidikan kepada remaja tentang kesehatan seksual dan reproduksi, namun, seperti yang dibahas di bawah ini, pendidikan tersebut tidak diberikan pada kepada pengasuh/ orang tua. Pada diskusi pengukuran akhir, remaja perempuan mengatakan bahwa mereka masih berusaha mendapatkan izin untuk melakukan sesuatu dan pergi ke tempat-tempat tertentu - “Jika saya meminta izin, tidak mungkin saya mendapatkannya.” - dan kadang ini mengakibatkan mereka melakukan apa yang mereka inginkan tanpa izin dan memilih menghadapi konsekuensinya di rumah nanti. “Jika kami meminta izin dengan sangat baik dan tetap tidak mendapatkannya maka terkadang kami tetap melakukannya dan kemudian bermasalah nanti.”
Para peserta secara jelas telah mengubah praktik ‘memberontak’ mereka terhadap orang tua dengan mencoba untuk lebih dapat dipahami dan berusaha bersikap dewasa. “Sejak mengikuti program tersebut saya mulai berubah, jadi sekarang saya melakukan apa yang ibu saya katakan, saya melakukan pekerjaan itu.” Demikian pula, “Saya dulu memberontak terhadap apa pun yang orang
tua saya katakan.” Perubahan ini dikaitkan dengan rasa tanggung jawab dan tujuan baru yang mereka rasakan. Misalnya, “Saya dulu marah jika orang tua saya berbicara dengan saya tentang sekolah tapi sekarang saya mengerti sekolah adalah tentang masa depan saya, bukan punya mereka.”
Sikap penerimaan terhadap perilaku
kekerasan
Sebelum melakukan intervensi, para remaja mengatakan cara yang paling umum yang dilakukan para pengasuh/orang tua dalam menghukum atau mendisiplinkan mereka adalah dengan tidak memberi mereka uang saku, mengambil ponsel mereka, tidak memberi mereka makanan, menyuruh mereka untuk tinggal di luar rumah atau mengirim mereka jauh dari rumah. Hukuman fisik juga disebutkan, dan digambarkan lebih buruk bagi remaja laki-laki. Beberapa anak laki-laki mengatakan bahwa pengasuh (ayah) mereka telah memukul mereka sampai mereka berdarah dan membuat mereka lari dari rumah. Mereka akan tinggal bersama kerabat sampai masalah itu bisa diselesaikan, mungkin dua minggu atau satu bulan, sampai mereka berbicara lagi dengan pengasuh (orang tua) mereka. Remaja laki-laki mengatakan bahwa mereka dipukul dengan benda-benda seperti sapu atau rotan. Remaja perempuan mengatakan bahwa orang tua mereka juga akan memukul mereka, kemungkinan besar jika mereka melakukan sesuatu yang dianggap sangat buruk, misalnya jika mereka harus menjaga saudara laki-laki atau perempuan yang masih bayi atau dan bayi tersebut jatuh dan terluka atau menangis, remaja perempuan itu mengatakan bahwa mereka pasti akan mendapatkan pukulan atau tamparan Seorang peserta perempuan berkata, “Jika kami berbicara kembali kepada orang tua kami saat kami tidak setuju dengan mereka maka kami mungkin akan dipukul.” Kelompok remaja perempuan tersebut juga menyebutkan orang tua mereka mengancam akan memukul mereka. Sementara sebagian besar remaja tidak menyetujui hukuman fisik, salah satu remaja dari kelompok remaja laki-laki mengatakan bahwa hukuman fisik adalah “baik untuk orang tua tapi buruk bagi anak-anak.” Implikasinya adalah bahwa orang tua mendapatkan ketaatan dari remaja tapi remaja yang menerima hukuman fisik merasakan sakit kerena dipukul. Ketika ditanya apakah mereka akan memukul anak-anak mereka saat mereka menjadi orang tua, kelompok remaja
laki-laki dengan semangat menyepakati bahwa mereka akan, “mengajari mereka (anak mereka) berperilaku dengan benar.”
Pada pengukuran akhir, remaja telah belajar lebih banyak tentang apakah itu kekerasan, terutama, “kita mengetahui bahwa marah-marah dan membentak adalah bentuk kekerasan juga.” Mereka belum sepenuhnya menerima (belajar) mengenai kekerasan emosi. Seorang remaja perempuan bercerita, “Di rumah saya, kekerasan fisik telah berhenti. Kekerasan mental masih berlangsung, tapi berkurang dari sebelumnya.” Yang lain setuju bahwa pengasuh (orang tua) mereka menggunakan lebih sedikit perilaku kekerasan sebagai bentuk hukuman fisik. Seorang peserta remaja perempuan mengatakan bahwa dia mengapresiasi mendapatkan pembelajaran tentang “penyerangan seksual, yang sering terjadi pada remaja perempuan , dan bagaimana menjaga diri saya untuk melindungi diri sendiri” dari orang-orang yang mungkin ingin menyakitinya. Ini adalah indikasi lain pergeseran perspektif kekerasan dari sesuatu yang diterima atau dianggap normal terhadap sesuatu yang tidak dapat diterima dan dianggap tidak normal. Meskipun ide untuk melindungi diri perempuan dari kekerasan seksual mungkin mencerminkan sikap umum yang cenderung menyalahkan korban (misal pandangan bahwa tanggung jawab peristiwa kekerasan seksual ada pada korbannya) dan sikap ini yang coba disasar intervensi ini .Meski demikian pernyataan ini mencerminkan adanya rasa yakin mampu mencari bantuan berkaitan dengan kejadian penyerangan seksual yang terjadi.
Ide dan praktik kesetaraan gender
Selama pengukuran awal, remaja menggambarkan ketidaksetaraan yang signifikan berkaitan dengan bagaimana remaja laki-laki dan remaja perempuan dihargaidan diperlakukan, serta harapan terhadap mereka. Secara keseluruhan, remaja laki-laki dan remaja perempuan setuju bahwa laki-laki dianggap lebih penting baik dalam hal membawa nama keluarga dan mengambil peran kepemimpinan dalam keluarga dan masyarakat. Menurut kelompok remaja perempuan, remaja laki-laki lebih sering diajak duduk bersama orang tua atau para tetua daripada remaja perempuan karena anggapan suatu hari nanti mereka akan ikut serta dalam kegiatan adat dan duduk di rumah adat Sentani, jadi “kami
anak perempuan dianggap kurang penting di masyarakat. “ Remaja perempuan juga mengatakan bahwa “anak laki-laki mengatakan pada kami bahwa kami hanya perempuan dan tidak dapat membuat keputusan di masyarakat maka kami sebaiknya tinggal di rumah saja.” Remaja perempuan mengatakan bahwa hal ini membuat mereka merasa marah dan mereka mempertanyakan mengapa mereka diperlakukan seperti ini. Remaja laki-laki juga mengakui bahwa hanya anak laki-laki yang benar-benar “diperhitungkan” . Pada pengukuran akhir, seorang fasilitator juga menyebutkan bahwa menurutnya remaja perempuan lebih antusias menjadi peserta kegiatan kemungkinan dikarenakan anak perempuan biasanya merasa diabaikan di rumah mereka dan kelompok ini menjadi tempat di mana mereka merasa didengar dan dihormati. Anak laki-laki mengatakan bahwa mereka mengira anak perempuan mendapat perlakuan khusus karena anggapan merekalah yang akan membawa harta benda dari pernikahan (mas kawin) ke dalam keluarga saat menikah, sehingga orang tua lebih memperhatikan anak perempuan dan membelikan banyak barang pada mereka. Hal ini kemungkinan besar bukan mencerminkan pilih kasih terhadap anak perempuan, seperti yang dibayangkan oleh anak laki-laki, tapi lebih merupakan efek pembatasan orang tua terhadap anak perempuan dan perhatian yang berlebihan untuk mengendalikan perilaku anak perempuan. Hal ini ditegaskan oleh remaja perempuam yang menganggap bahwa mereka lebih dibatasi daripada anak laki-laki, dan melihat anak laki-laki “bebas” (leluasa) melakukan apa yang mereka inginkan dan bisa pulang terlambat. Selama pengukuran awal, para remaja perempuan jelas menganggap mereka diharapkan untuk mengurus urusan rumah tangga, sementara anak laki-laki dibebaskan dari tugas ini. Remaja perempuan mengatakan bahwa mereka diberi lebih banyak pekerjaan rumah dan jika saudara laki-laki mereka harus melakukan pekerjaan semacam itu, maka saudara laki-laki tersebutakan mengeluh bahwa itu adalah pekerjaan perempuan. Anak perempuan merasa tidak dihargai dan juga terlalu dibatasi. Remaja mengalami perubahan signifikan terkait pemahaman mereka tentang norma gender, nilai anak perempuan dan anak laki-laki, dan apa itu ‘pekerjaan perempuan’ atau ‘pekerjaan laki-laki’. “Kami belajar tentang kesetaraan gender, dan