• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

5.2. Faktor Intenal

5.2.2. Sikap Petugas

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan mengenai sikap petugas

terhadap selama melakukan VCT, keseluruhan informan mengatakan petugas

bersikap ramah, baik, sopan dan lembut, seperti yang di ungkapkan oleh salah

seorang informan berikut :

“,,,baik ,,, ramah,,,lebut sabar,,,bisa cepat dia melakukannya,,, lebih enak lebih nyaman,,,”

”,,,ramah bagus ,,, pemberitahuan lah tentang penyakit apa-apa aja,,, cara pencegahannya,,, apa obatnya,,, bagus,,,”

Menurut asumsi peneliti bahwa konselor harus mampu membina rapport

dengan informan agar lebih merasa nyaman dengan yang akan dikakukannya, dan

hasil yang diharapkan akan tercapai sehingga informan akan memberikan informasi

dengan lengkap kegiatan yang beresiko HIV/AIDS seperti aktivitas seksual terakhir,

menggunakan narkoba suntik, pernah menerima produk darah atau organ, dan

Informan juga mengatakan dalam pelaksanaan VCT yang telah mereka

lakukan cara konselor dalam melakukan pelayanan yang didapatkan informan selama

disana hampir keseluruhannya sama yaitu mereka sebelumnya bercerita-cerita

terlebih dahulu sebelum akhirnya dilakukan tes darah, seperti yang di ungkapkan oleh

salah seorang informan berikut :

“,,,kayaknya kemaren itu gak ngeluh Cuma disuruh datang aja datang terus diajak ngobrol-ngobrol sama merekanya ya baik si petugasnya tapi ya gimana dibilang baik pun Karena Cuma diajak ngobrol-ngobrol doang kok,,,ramah mau ngajak kita ngomong walaupun mereka tau profesi kita itu apa kerjanya apa ,,, tapi kalo kita ngomong tetap ditenggepin kok,,,”

Petugas lebih mengutamakan agar klien merasa nyaman dan bisa terbuka akan

keadaannya. Konselor memang harus bisa menghadapi pasien yang datang untuk

berkonsultasi kepada mereka bagaimanapun kondisinya. karenanya tugas menjadi

seorang konselor memerlukan kecakapan dalam berkomunikasi dan mampu

beradaptasi dengan pasien yang datang kepada mereka.

Informan mengatakan bahwa sebaiknya dilakukan sosialiasi kepada masyarakat

sekitar mengenai HIV, seperti yang di ungkapkan oleh salah seorang informan

berikut :

“,,,kalopun boleh ngasi saran ya maunya eee semua semua lah gitu kan supaya tau juga bisa kena apa nggak jadi ya kita-kita pun tau,,,”

VCT sangat diharapkan untuk dapat merubah stigma yang ada dalam pikiran

masyarakat, dimulai dari perorangan. Sehingga akan terjadi perubahan pola fikir

masyarakat dalam menanggapi masalah HIV/AIDS. Selain itu VCT mengutamakan

Dalam tahapan VCT, konseling dilakukan dua kali yaitu sebelum dan sesudah

tes HIV. Pada tahap pre konseling dilakukan pemberian informasi tentang HIV dan

AIDS, cara penularan, cara pencegahan dan periode jendela. Kemudian konselor

melakukan penilaian klinis. Pada saat ini klien harus jujur menceritakan kegiatan

yang beresiko HIV/AIDS seperti aktivitas seksual terakhir, menggunakan narkoba

suntik, pernah menerima produk darah atau organ, dan sebagainya.

Konseling pra testing memberikan pengetahuan tentang manfaat testing,

pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan atas issue HIV yang dihadapi.

Setelah tahap pre konseling, klien akan melakukan tes HIV. Pada saat melakukan tes,

darah akan diambil secukupnya dan pemeriksaan darah ini bisa memakan waktu

antara setengah jam sampai satu minggu tergantung metode tes darahnya.

Apabila klien mempunyai faktor resiko terkena HIV maka dianjurkan untuk

melakukan tes kembali tiga bulan setelahnya. Selain itu, bersama dengan klien,

konselor akan membantu merencanakan program perubahan perilaku. Apabila

pemeriksaan pertama hasil tesnya positif (reaktif) maka dilakukan pemeriksaan kedua

dan ketiga dengan ketentuan beda sensitifitas dan spesifisitas pada reagen yang

digunakan. Apabila tetap reaktif klien bebas mendiskusikan perasaannya dengan

konselor.

Memulai menjalani VCT tidaklah perlu merasa takut karena konseling dalam

VCT dijamin kerahasiaannya dan tes ini merupakan suatu dialog antara klien dengan

petugas kesehatan yang bertujuan agar orang tersebut mampu untuk menghadapi

stress dan membuat keputusan sendiri sehubungan dengan HIV/AIDS.

Menurut informan mengenai kemampuan dari konselor selama proses

konseling berlangsung biasa saja, dan diharapkan lebih memaksimalkan kegiatan

sosialisasi mengenai HIV/AIDS dilingkungan mereka, seperti ungkapan dari salah

satu informan berikut :

“,,,kalo itu ramah-ramah kok,,, bagus ,,, e,,, kemampuan petugas kalo bisa apa namanya kalo bisa petugas VCT beramai-ramai lah datang ke KKP biar masyrakatnya tau tentang penyakit HIV dan mau datang maklum lah daerah kita ini daerah pesisir pantai kurang perpendidikan,,,”

Konselor VCT yang berasal dari tenaga kesehatan atau non kesehatan yang

telah mengikuti pelatihan VCT. Tenaga konselor VCT minimal dua orang dan tingkat

pendidikan konselor VCT adalah SLTA. Seorang konselor sebaiknya menangani

untuk 5-8 orang klien perhari terbagi antara klien konseling pra testing dan klien

konseling pasca testing.

Tugas Konselor VCT :

1. Mengisi kelengkapan pengisian formulir klien, pendokumentasian dan

pencatatan konseling klien dan menyimpannya agar terjaga kerahasiaannya.

2. Pembaruan data dan pengetahuan HIV/AIDS.

3. Membuat jejaring eksternal dengan layanan pencegahan dan dukungan di

masyarakat dan jejaring internal dengan berbagai bagian rumah sakit yang

terkait.

4. Memberikan informasi HIV/AIDS yang relevan dan akurat, sehingga klien

merasa berdaya untuk membuat pilihan untuk melaksanakan testing atau

Menurut asumsi peneliti bahwa seorang konselor harus mampu dalam

pembinaan dan pemantapan hubungan baik (rapport), pengumpulan dan pemberian

informasi, pemecahan masalah, pengambilan keputusan dan perencanaan perubahan

perilaku.

Sikap responden tersebut dapat mempengaruhi dalam tindakan penggunaan

VCT. Anderson (1974) menggambarkan model system kesehatan (health system

model) berupa model kepercayaan kesehatan yang terdiri dari 3 kategori utama dalam pelayanan kesehatan yakni karakteristik predisposisi, karakteristik pendukung,

karakteristik kebutuhan. Karakteristik predisposisi (Predisposing Characteristic)

karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu

mempunyai kecendrungan untuk menggunakan pelayanan kesehatan berbeda-beda

hal ini karena adanya cirri-ciri individu. Karakteristik pendukung (Enabling

characteristic) karakteristik ini mencerminkan bahwa meskipun mempunyai predisposing untuk menggunakan pelayanan kesehatan ia tidak akan bertindak untuk

menggunakannya kecuali bila ia mampu menggunakannya, penggunaan pelayanan

kesehatan yang ada tergantung kepada kemampuan konsumen untuk membayar.

Karakteristik kebutuhaan (Need Characteristic) faktor predisposisi dan faktor yang

memungkinkan untuk mencari pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan apabila

itu dirasakan sebagai kebutuhan, dengan kata lain kebutuhan merupakan dasar dan

stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan.

Berdasarkan informasi yang diberikan oleh konselor apabila informan

mempunyai faktor resiko terkena HIV maka dianjurkan untuk melakukan tes kembali

kembali lagi karena mareka sudah mendapatkan hasil dari laboratorium yang

mengatakan bahwa hasilnya negatif, hal tersebut yang membuat informan merasa

aman dan tidak mau lagi untuk kembali pada waktu tiga bulan setelahnya, seperti

yang di ungkapkan oleh beberapa informan berikut:

“,,,mereka bilangnya saya gak HIV ya udah ngapai balek,,,”

“,,,ya pokoknya diperiksa aku nggak katanya kan,,,mbak negatif kata negatif itu nggak kan mas kan,,, terus ,,,toh aku ngak ngelakuin yang dilarang dia kok aku ngerasa gak kena juga ngapai lagi aku datang,,,”

“,,,ada tapi aku gak sempat,,, banyak kerjaan,,, kan tau sendiri kalo malam itu kerjanya lembur,,, jadi abis itu ya istirahat,,, kan mana sempat,,, kalo gak istirahat ya mana kuat ntar kerjanya,,, kalo gak mana bisa cari duit untuk makan,,,”

Berdasarkan pemaparan oleh informan diatas, asumsi peneliti bahwa informan

sudah merasa puas terhadap hasil pemeriksaan laboratorium, informan tidak

merasakan efek atau perubahan setelah melakukan VCT. Padahal setelah mengambil

hasil tesnya, maka informan akan menjalani tahapan post konseling. Apabila hasil tes

adalah negatif (tidak reaktif) klien belum tentu tidak memiliki HIV karena bisa saja

informan masih dalam periode jendela, yaitu periode dimana orang yang

bersangkutan sudah tertular HIV tapi antibodinya belum membentuk sistem

kekebalan terhadap HIV. Informan dengan periode jendela ini sudah bisa menularkan

HIV. Kewaspadaan akan periode jendela itu tergantung pada penilaian resiko pada

pre konseling. Apabila informan mempunyai faktor resiko terkena HIV maka

dianjurkan untuk melakukan tes kembali tiga bulan setelahnya. Selain itu, bersama

Petugas memaparkan Tahapan-tahapan konseling juga cukup menjadi

perhatian dimana pasien dengan hasil negatif jarang yang kembali lagi pada masa

window period terlihat dalam petikan:

“...yang hasilnya negatif jarang yang datang lagi ya...”

Hal ini menjadi perhatian, diharapkan konselor memberikan pemahaman dan

sugesti yang baik kepada pasien agar pasien mau untuk kembali lagi untuk tes darah

selanjutnya, karena konseling merupakan proses yang berkesinambungan. Pasien

yang mendapatkan hasil negatif pada tes awal dimana biasanya digunakan teknik

analisis ELISA mungkin saja dinyatakan positif pada tes selanjutnya. Tes darah yang

dilakukan biasanya menggunakan tes ELISA (enzyme linked immunosorbent assay)

yang memiliki sensitivitas tinggi namum spesifikasinya rendah. Bila pada saat tes

ELISA hasilnya positif, maka harus dikonfirmasi dengan tes Western Blot yaitu tes

yang mempunyai spesifikasi tinggi namun sensitivitasnya rendah. Karena sifat kedua

tes ini berbeda, maka biasanya harus dipadukan untuk mendapatkan hasil yang

akurat. Selain kedua jenis tes tadi, ada juga jenis tes lain yang mampu mendeteksi

antigen (bagian dari virus) yaitu NAT (nucleic acid amplication technologies) dan

PCR (polymerase chain reaction) (KPA Nasional, 2006).

Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam sikap

positif, kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek

tertentu. Sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecendrungan untuk menjauhi,

menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu (Purwanto, 1999).

Sikap dibedakan atas beberapa tingkatan :

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulasi yang

diberikan (objek).

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas

yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah

suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko

Dokumen terkait