• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Simplisia dan Ekstrak

Tumbuhan yang diteliti telah diidentifikasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Biologi Bogor. Hasil identifikasi tumbuhan, yaitu Parkia speciosa Hassk. (Fabaceae). Surat hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 51.

Hasil pemeriksaan makroskopik, biji petai berwarna hijau muda dan panjang kira-kira 2 - 2,5 cm dan rasanya agak pahit. Simplisia biji petai berwarna hijau kecoklatan dan berbau khas.

Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia biji petai adalah terdapat parenkim, amylum, berkas pembuluh (xylem) dan fragmen perisperm. Gambar hasil pemeriksaan mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 57.

Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia biji petai yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Karakteristik Simplisia dan Ekstrak Biji Petai

No. Parameter Hasil (%)

Simplisia Ekstrak

1. Kadar air 5,38 4,98

2. Kadar sari larut dalam air 21,48 25,61

3. Kadar sari larut dalam etanol 10,33 34,25

4. Kadar abu total 0,94 0,87

Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan bahwa kadar air dari simplisia biji petai sudah memenuhi persyaratan secara umum tidak lebih dari 10% (Depkes RI, 1978). Kadar air simplisia biji petai yaitu 5,38% sedangkan kadar air ekstrak biji petai 4,98%. Dengan kadar air tersebut, simplisia dan ekstrak dalam penyimpanannya sebagian sampel sudah terbebas dari mikroorganisme yang terdapat dalam lingkungannya yang mengandung air lebih dari 10%.

Kadar sari yang terlarut dalam air atau etanol untuk mengetahui adanya zat berkhasiat yang dapat terlarut dalam pelarut yang digunakan. Semakin tinggi kadar yang dihasilkan berarti semakin tinggi pula kadar zat berkhasiatnya (Gaman dan Sherrington, 1992). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kandungan zat berkhasiat, terutama faktor agronomis seperti ketinggian tempat, kelembaban, suhu dan jenis tanah (Gupta, 1999). Nilai kadar sari larut dalam air simplisia yaitu sebesar 21,48%, sedangkan kadar sari larut dalam etanol simplisia yaitu sebesar 10,33%, meskipun belum ada standarisasi mengenai karakterisasi tumbuhan petai (Parkia speciosa Hassk.).

Hal ini menunjukkan bahwa nilai kadar sari larut dalam air yang lebih besar dibandingkan dengan kadar sari larut dalam etanol, karena zat-zat berkhasiat yang berada di dalam biji petai dapat larut dengan baik di dalam air daripada etanol. Air sebagai pelarut dapat menarik lendir, amina, vitamin, asam organik, asam anorganik, ataupun bahan pengotor.

Abu secara umum didefinisikan sebagai residu anorganik dari pembakaran bahan-bahan organik. Komponen-komponen yang umum terdapat pada senyawa anorganik alami adalah silikat, kalium, natrium, kalsium, magnesium, mangan, besi, dan lain-lain. Kadar abu merupakan parameter yang menunjukkan banyaknya bahan anorganik yang ada di dalam produk (Apriyantono, 1989). Abu

yang terbakar sempurna adalah abu yang sudah berwarna putih keabuan. Dari hasil analisis diketahui bahwa kadar abu dari simplisia biji petai yaitu sebesar 0,94%. Berarti sedikit kandungan bahan anorganik seperti kandungan mineral pada lahan tanam atau karena proses pemupukan pada petai.

Pengujian kadar abu tidak larut dalam asam dilakukan untuk melihat adanya kandungan mineral yang tidak larut dalam asam kuat (HCl). Dari hasil pengujian diketahui bahwa kadar abu tidak larut asam simplisia yaitu sebesar 0,74%. Nilai ini relatif kecil, menunjukkan bahwa pada proses pencucian dengan air pada simplisia tersebut sehingga mineral menjadi berkurang. Menurut Voight (1994) proses pendahuluan seperti pencucian dengan air secara berulang-ulang pada suatu bahan akan menyebabkan terlarutnya kandungan mineral dalam bahan tersebut oleh air pencuci sehingga kandungan mineralnya menjadi berkurang. Menurut Kamisah, dkk., (2013) kandungan mineral pada biji petai antara lain besi, kalsium, kalium, magnesium, mangan, tembaga dan zink.

Hasil pemeriksaan skrining fitokimia pada simplisia dan ekstrak biji petai dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini.

Tabel 4.2. Hasil Pemeriksaan Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia dan Ekstrak Etanol Biji Petai

No. Golongan Senyawa Hasil

Simplisia Ekstrak 1. Alkaloida + + 2. Flavonoida + + 3. Tanin - - 4. Steroida/Triterpenoida + + 5. Saponin + + 6. Glikosida + +

Keterangan: ( + ) = Positif, (-) = Negatif

Berdasarkan hasil pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa golongan senyawa yang terdapat pada serbuk simplisia dan ekstrak biji petai yaitu golongan senyawa alkaloida, flavonoida, saponin, glikosida dan steroida-triterpenoida kecuali tanin.

Menurut penelitian Kamisah, dkk., (2013), hasil skrining fitokimia biji petai yang positif golongan senyawanya yaitu alkaloid, terpenoid, fenol dan flavonoid, kecuali saponin dan tanin.

Adanya senyawa flavonoida, senyawa polifenol, lupeol, vitamin C dan tokoferol yang terkandung dalam biji petai menunjukkan bahwa biji petai memiliki aktivitas antioksidan yang dapat digunakan sebagai antimutagenik

4.2 Pengujian Efek Antimutagenik

Pengujian efek antimutagenik dari biji petai dilakukan secara invivo menggunakan mencit jantan (Mus musculus) dengan metode mikronukleus. Metode mikronukleus yang digunakan untuk melihat pengaruh ekstrak etanol biji petai terhadap penghambatan pembentukan sel mikronukleus. Sel mikronukleus merupakan hasil mutasi dari kromosom utuh yang patah dan kemudian tampak sebagai nukleus berukuran kecil di dalam suatu sel (Schmid, 1975).

Adanya peningkatan jumlah sel mikronukleus menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan kromosom yang disebabkan oleh agen penginduksi (siklofosfamid) (Krishna dan Makoto, 2000). Dosis siklofosfamid yang diberikan 50 mg/kg bb yang diberikan secara intraperitonial sebagai penginduksi genotoksik/mutagen. Berdasarkan hasil orientasi yang dilakukan dengan menggunakan dosis ekstrak secara oral dari 50, 100, 200, 400, dan 800 mg/kg bb. Semua dosis memberikan efek sebagai antimutagenik. Dosis efektif yang menurunkan sel eritrosit polikromatik bermikronukleus adalah dosis 200, 400, dan 800 mg/kg bb. Hasil pengamatan apusan mikronukleus menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40x dapat dilihat pada Gambar 4.2 sel-sel yang tampak pada apusan sumsum tulang mencit.

1 2 3

Gambar 4.1 Hasil Pengamatan Apusan Mikronukleus Menggunakan Mikroskop perbesaran 40x.

Keterangan:

1 : sel eritrosit polikromatik tidak bermikronukleus 2 : sel eritrosit polikromatik bermikronukleus 3 : sel eritrosit dewasa

Perhitungan jumlah sel mikronukleus dilakukan sebanyak 2 kali pada tiap apusan sumsum tulang femur mencit untuk mengurangi kesalahan pada perhitungan. Penghitungan dalam 200 sel atas dasar bahwa untuk sumsum tulang dihitung paling sedikitnya 200 sel (Anonim, 2012). Adapun hasil perhitungan jumlah sel mikronukleus dalam penelitian ini dapat dilihat dari Tabel 4.3 berikut:

Tabel 4.3 Jumlah Mikronukleus Dalam 200 Sel Eritrosit Polikromatik

Mencit Jumlah sel yang bermikronukleus yang diinduksi siklofosfamid Kontrol Normal CMC 5 mg/mencit Kontrol Positif CMC 5 mg/mencit EEBP 200 mg/kg bb 400 mg/kg bb 800 mg/kg bb 1 30 156 96 74 43 2 34 153 98 70 41 3 31 150 95 70 35 4 36 153 97 65 38 5 33 158 98 61 32 N 5 5 5 5 5 164 770 484 340 189 Rata-rata 32,8 154 96,8 68 37,8 SD ±2,3875 ±3,0822 ±1,3038 ±5,0497 ±4,4384

Dari Tabel 4.3 terlihat jumlah mikronukleus yang paling banyak terbentuk pada kelompok kontrol positif yang diberi suspensi CMC 5 mg/mencit selama 7 hari dan hari ke-8 diinduksi dengan siklofosfamid sedangkan pada kelompok dosis 800 mg/kg bb terjadi penurunan drastis jumlah sel eritrosit polikromatik yang bermikronukleus.

Gambar 4.3 Grafik jumlah sel mikronukleus dalam tiap 200 sel mencit pada berbagai perlakuan

Keterangan:

1 = pemberian CMC 5 mg/mencit (Blanko)

2 = pemberian CMC 5 mg/mencit, kemudian diinduksi dengan siklofosfamid 50 mg/kg bb (Mutagen)

3 = pemberian suspensi EEBP dosis 200 mg/kg bb, kemudian diinduksi dengan siklofosfamid 50 mg/kg bb

4 = pemberian suspensi EEBP dosis 400 mg/kg bb, kemudian diinduksi dengan siklofosfamid 50 mg/kg bb

5 = pemberian suspensi EEBP dosis 800 mg/kg bb, kemudian diinduksi dengan siklofosfamid 50 mg/kg bb

Pada Gambar 4.3 terlihat jelas perbedaan dari perlakuan satu sampai lima terhadap jumlah sel mikronukleus (sel eritrosit polikromatik). Di mana perlakuan 1 hanya diberikan suspensi CMC 5 mg/mencit tanpa diinduksi siklofosfamid, jumlah mikronukleusnya 32,8 ± 2,3875 sedangkan perlakuan 2 sampai 5 yang diinduksi siklofosfamid sebagai mutagen, jumlah mikronukleusnya berturut-turut adalah 154 ± 3,0822; 96,8 ± 1,3038; 68 ± 5,0497; dan 37,8 ± 4,4384 sel.

Dari hasil terlihat bahwa pemberian dosis 800 mg/kg bb terjadi penurunan jumlah mikronukleus yang paling kuat dibandingkan dengan dosis 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb. Jumlah mikronukleus ini lebih sedikit jika dibandingkan

32,8 ± 2,3874 154 ± 3,0822 96,8 ± 1,30384 68 ± 5,0497 37,8 ± 4,4384 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 1 2 3 4 5 Ju m lah s el ya n g be rm ikr o n ukl e u s Perlakuan

dengan kelompok kontrol positif yang diberikan suspensi CMC 5 mg/mencit kemudian diinduksikan dengan siklofosfamid (mutagen), yang jumlah rata-ratanya 154 ± 3,0822.

Untuk melihat ada tidaknya perbedaan dari setiap perlakuan pada tiap kelompok hewan coba, dilakukan analisis variansi (ANAVA) menggunakan program SPSS versi 16 terhadap jumlah sel mikronukleus. Dari hasil ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan terhadap jumlah sel mikronukleus yang terbentuk dengan nilai signifikan p<0,05.

Hasil analisis Post Hoc Tukey menunjukkan bahwa pemberian CMC 5 mg/mencit dan pemberian ekstrak etanol biji petai (EEBP) dosis 800 mg/kg bb terdapat dalam satu kolom yang sama, sehingga tidak berbeda secara signifikan secara statistik jumlah mikronukleusnya dengan pemberian CMC 5 mg/mencit (p>0,05).

Hal ini menunjukkan juga bahwa suspensi EEBP dosis 800 mg/kg bb dapat menurunkan pembentukan sel mikronukleus yang diinduksi dengan siklofosfamid 50 mg/kg bb paling kuat karena dapat menyamai jumlah mikronukleus pada kelompok perlakuan yang hanya diberi suspensi CMC 5 mg/mencit tanpa diinduksi oleh siklofosfamid. Efek penghambatan terbentuknya sel eritrosit polikromatik yang bermikronukleus ini ada hubungannya dengan senyawa yang terkandung dalam biji petai yakni keberadaan senyawa fenolik yaitu flavonoid.

Sel eritrosit adalah salah satu jenis sel yang paling cocok untuk dilakukan pengukuran pada penginduksian mikronukleus, karena hilangnya inti utama sel tersebut selama pematangan eritoblas. Selain itu, pada sumsum eritrosit dibentuk terus-menerus dari eritoblas (Durling, 2008).

Siklofosfamid merupakan salah satu agen kemoterapi yang bersifat sitotoksik yang akan bekerja langsung pada Ribosa Nucleic Acid (RNA) atau Deoxyribosa Nucleic Acid (DNA) dan menyebabkan terjadinya peristiwa pindah silang (cross linking) DNA, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya patahan kromosom dan dapat terlihat sebagai mikronukleus (Santella, 2002; Puwardiwarsa, dkk., 2000).

Metabolisme siklofosfamid juga dilaporkan menyebabkan peningkatan radikal anion superoksida dan hidroksil yang mungkin ikut berperan dalam menginduksi pembentukan mikronukleus (Ramu, et al., 1996).

Menurut Kamisah, dkk., (2013) di dalam biji petai terpenoid yang dideteksi dengan menggunakan kromatografi gas antara lain beta-sitosterol, stigmasterol, lupeol, campesterol dan skualene. Lupeol juga ditemukan berkhasiat sebagai antikarsinogenik (antikanker), antinosiseptif (antinyeri), dan antiinflamasi. Di samping ada senyawa fenolik di dalam petai yakni flavonoid, lupeol betindak sebagai antikanker dalam menghambat pembentukan jumlah sel yang bermikronukleus. Senyawa yang bertanggung jawab dalam bau dan rasa pada biji petai antara lain polisulfida siklik, hexathionine, tetrathiane, trithiolane, pentathiopane, pentathiocane dan tetrathiepane, dimana kehadiran asam jengkolat dalam biji petai akan menyebabkan blokade pada ureter sehingga konsumsi biji petai harus berada dalam dosis yang efektif yaitu 200, 400 dan 800 mg/kg bb.

BAB V

Dokumen terkait