• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Ekstrak Etanol Biji Petai (Parkia speciosa Hassk.) Sebagai Antimutagenik Pada Mencit Jantan (Mus musculus) Yang Diinduksi Dengan Siklofosfamid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek Ekstrak Etanol Biji Petai (Parkia speciosa Hassk.) Sebagai Antimutagenik Pada Mencit Jantan (Mus musculus) Yang Diinduksi Dengan Siklofosfamid"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Lampiran 3. Gambar Tumbuhan Petai

a. Pohon Petai

(4)

c. Penampang Melintang satu papan petai

(5)

e. Simplisia Biji Petai

(6)
(7)

Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Mikroskopik Serbuk Simplisia Biji Petai Perbesaran 10x

Keterangan: 1. Parenkim

2. Amylum (Butir Pati) 3. Fragmen Perisperm

4. Berkas Pembuluh (Xylem)

1

4 2

(8)

Lampiran 5. Perhitungan Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia Biji Petai 1. Perhitungan Penetapan Kadar Air

% Kadar air =

2. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air

(9)

Lampiran 5. (Lanjutan)

% Kadar sari larut dalam air rata-rata =

3

3. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol

(10)

% Kadar sari larut dalam etanol = x 100% 9,47%

4. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Total

(11)

% Kadar abu total = x 100% 0,99%

5. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

% Kadar abu tidak larut dalam asam = x 100%

(12)

=

3

0,79% 0,79%

0,64%+ +

= 0,74 %

Lampiran 6. Perhitungan Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Ekstrak Etanol Biji Petai

(13)

% Kadar air =

2. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air

(14)

b. Berat sampel = 5,0239 g

% Kadar sari larut dalam air rata-rata =

3 3. Perhitungan Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol

(15)

% Kadar sari larut dalam etanol rata-rata =

4. Perhitungan Penetapan Kadar Abu Total

% Kadar abu total = x 100%

(16)

% Kadar abu tidak larut dalam asam = x 100%

% Kadar abu yang tidak larut dalam asam rata-rata

=

Lampiran 7. Bagan Alur Penelitian

(17)

Dipisahkan dari kulit luarnya Dibersihkan dari pengotor

Dicuci sampai bersih, ditiriskan dan ditimbang

Dikeringkan pada lemari pengering

Dihaluskan Ditimbang

Lampiran 7. (Lanjutan)

Berat kering 954,9 g

946,08 g serbuk simplisia Berat basah 3,8 kg

Karakterisasi simplisia a. Pemeriksaan makroskopik b. Pemeriksaan mikroskopik c. Penetapan kadar air

d. Penetapan kadar sari larut dalam air e. Penetapan kadar sari larut dalam etanol f. Penetapan kadar abu total

g. Penetapan kadar abu tidak larut asam

Skrining fitokimia:

a. Pemeriksaan alkaloida b. Pemeriksaan flavonoida c. Pemeriksaan tanin d. Pemeriksaan saponin e. Pemeriksaan

steroida/triterpenoida f. Pemeriksaan glikosida

(18)

Dimaserasi menggunakan etanol 96% yang telah didestilasi

Maserat Ampas

Ekstrak kental 123,1 g

Diuapkan menggunakan rotavapor

Dikentalkan dengan menggunakan waterbath

Hasil + Hasil

(alkaloid, flavonoid, saponin, steroid/triterpenoid,

glikosida)

(19)

Lampiran 8. Alat-alat

a. Velocity 18R refrigerated centrifuge

(20)

Lampiran 8. (Lanjutan) b. Pinset dan gunting bedah

(21)
(22)

Lampiran 10. Contoh Perhitungan Dosis

Contoh perhitungan dosis suspensi ekstrak etanol biji petai yang diberikan secara oral pada mencit

- Dosis suspensi ekstrak etanol biji petai yang dibuat adalah 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan 800 mg/kg bb

a. Cara pembuatan suspensi ekstrak etanol biji petai :

Timbang 200 mg, 400 mg dan 800 mg ekstrak etanol biji petai (EEBP), masing-masing dilarutkan dalam suspensi CMC

(23)

Lampiran 10. (Lanjutan)

1. Volume maksimal larutan sediaan uji yang diberikan pada berbagai hewan Jenis

hewan uji

Volume maksimal (ml) sesuai jalur pemberian

i.v. i.m. i.p. s.c. p.o. 2. Perbandingan luas permukaan tubuh hewan percobaan untuk konversi dosis

(24)

Lampiran 10. Contoh Perhitungan Dosis Penginduksi (Siklofosfamid) Dosis 50 mg/kg BB = 3500 mg/70 kg BB

= 3500 mg x 0,0026 = 9,1 mg/20 g (mencit) = 9,1 mg/20 g x 28 g = 12,74 mg/mencit Konsentrasi Siklofosfamid 2 % = 20 mg/ml Volume (ml) = 12,74 mg/20 mg/ml x 1 ml

(25)

Lampiran 11. Hasil Perhitungan Statistik Menggunakan SPSS 16

Between Groups 49442.240 4 12360.560 995.214 .000

Within Groups 248.400 20 12.420

Deviation Std. Error

(26)

c. Uji Post Hoc Tukey

Kontrol Positif -121.2000* 2.2289 .000 -127.870 -114.530

EEBP 200 mg/kg BB -64.0000* 2.2289 .000 -70.670 -57.330

EEBP 400 mg/kg BB -35.2000* 2.2289 .000 -41.870 -28.530

EEBP 800 mg/kg BB -5.0000 2.2289 .205 -11.670 1.670

Kontrol Positif

Kontrol Normal 121.2000* 2.2289 .000 114.530 127.870

EEBP 200 mg/kg BB 57.2000* 2.2289 .000 50.530 63.870

Kontrol Positif -116.2000* 2.2289 .000 -122.870 -109.530

EEBP 200 mg/kg BB -59.0000* 2.2289 .000 -65.670 -52.330

EEBP 400 mg/kg BB -30.2000* 2.2289 .000 -36.870 -23.530

(27)

d. Uji Homogeneous

Jumlahmikronukleus

Tukey HSD

Perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

Kontrol Normal 5 32.800

EEBP 800 mg/kg BB 5 37.800

EEBP 400 mg/kg BB 5 68.000

EEBP 200 mg/kg BB 5 96.800

Kontrol Positif 5 154.000

Sig. .205 1.000 1.000 1.000

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Aisha, A.F.A., Abu, S.K.M., Alrokayan, S.A., Ismail, Z., Majid, A.M.S.A. (2012). Evaluation of Antiangiogenic and Antioxidant Properties of Parkia speciosa Hassk Extracts. Pak J Pharm Sci. 25(1): 7 - 14.

Amelia, G. (2006). Potensi rumput mutiara (Hedyotis corimbosa Lam.) sebagai antioksidan alami. Skripsi. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

Anonim. (1996). Health Effects Test Guidelines OPPTS 870.5395 Mammalian Erythrocyte Micronucleus Test. United States Environmental Protection Agency. Halaman 6.

Anonim. (2004). Antioksidan, Resep Sehat dan Umur Panjang.

Anonim. (2006). Buku Cempaka Edisi XVII Bab II Tinjauan Pustaka Tanaman

Petai. Diacu dalam PDF Suhartadig

Anonim. (2014). Bebas Kanker itu Mudah. Jakarta: Agromedia Pustaka. Halaman 49 - 52.

Anonim. (2012). OECD Guideline For The Testing of Chemical Mammalian Erythrocyte Micronucleus Test. Halaman 1. htpp://www.oecd-ilibrary.org/ docserver/download/fulltext/9747401e.pdf. Diakses tanggal 5 Juli 2012.

Anonim. (2010). Penyakit Degeneratif [terhubung berkala]. 2010].

Apriyantono. (1989). Analisis Pangan. Bogor: IPB Press. Halaman 42.

Arifin, A.S. (1986). Materi Pokok Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta: Penerbit Karunia. Halaman 15.

Campanella, L., Martini, E., Rita, G., dan Tomasseti, M. (2006). Antioxidant Capacity of Dry Extracts Checked By Voltammetric Method. J Food Agric Environ 4: 135 - 144.

Cook, N.C., dan Samman, S. (1996). Flavonoid and Chemistry, Metabolism, Cardioprotective Effect, and Dietary Sources. Journal of Nutritional Biochemistry.7: 66 - 67.

(29)

Ditjen POM. (1985). Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 51 - 54.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 969 - 971,1033.

Depkes RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Jakarta: Ditjen POM. Halaman 17, 31 - 32.

Durling, L. (2008). The Effect on Chromosomal Stability of some Dietary Constituents. Dissertation Uppsala: Uppsala Universited. Halaman 21, 23. Farnsworth, N.R. (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants.

Journal of Pharmaceutical Sciences. 55(3): 263.

Gaman, P.M., dan Sherrington, K.B. (1992). Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan dan Nutrisi Mikrobiologi. Yogyakarta: UGM Press. Halaman 128. Ghaskadbi, S., Rajmachikar, S., Agate, C., Kapadi, A.H., dan Vaidya, V.G.

(1992). Modulation of Cyclophosphamide Mutagebicity by Vitamin C In Vivo Rodent Micronucleus Assay. Teratogenesis, Carcinog. Mutagen. 12: 11 - 13.

Gardner, E.J., dan Snustad, D.P. (1984). Principles of Genetics. Edisi ketujuh. New York: John Willey & Sons. Halaman 274, 298, 299.

Gupta, S.S. (1999). Prospect and Prospectives of Natural Plants Product in Medicine. Indian Journal of Pharmacology. Buletin Penelitian Tanaman Perkebunan. 31(3): 166 - 175.

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Edisi II. Bandung: ITB Press. Halaman 147.

Heddle, J.A. (1973). A rapid In Vivo test for chromosomal damage. Mutation. Res. 18: 187 - 190.

Hernani dan Rahardjo. (2005). Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 1 - 3.

Ishaq, G.M., Shah, M.Y., dan Tanki, S.A. (2003). Cancer Chemoprevention Through Natural Antimutagenic Agents. JK-Practioner. 2(10): 101.

Jamaluddin, F., dan Mohamed, S. (1993). Hypoglycemic Effect of Extract of Petai Papan (Parkia speciosa, Hassk). Pertanika J. Trop. Agric. Sci. 16(3): 161-165.

(30)

Krishna, G., dan Hayashi, M. (2000). In Vivo Rodent Micronucleus Assay: Protocol, Conduct and Data Interpretation. Mutation Res. 455: 155 - 166. Kumalaningsih, S. (2007). Antioksidan Alami. Surabaya: Trubus Agrisarana.

Halaman 69.

Macdonald, F., Ford, C.H.J., dan Casson, A.G. (2004). Molecular Biology of Cancer. Edisi kedua. London: Garland Science/BIOS Scientific Publishers. Halaman 1.

Orwa, C., Mutua, A., Kindt, R., Jamnadass, R., dan Simons, A. (2009). Agroforestree Database: a Tree Reference and Selection Guide Version 4.0. [diunduh 2012 Apr 12]. Tersedia pada:

Percival, M. (1998). Antioxidants. Clinical Nutrition Insight. 1(96): 1 - 4.

Postlethwait, J.H., dan Hopson, J.L. (2006). Modern Biology. New York: Holt, Rinehart and Winston. Halaman 225, 226, 321.

Prakasih, A. (2001). Antioxidant Activity Medallion Laboratoner Analitical Progress. Minnesota. 19(2): 1 - 2.

Purwadiwarsa, D.J., Subarnas, A., Hadiansyah C., dan Supriyatna (2000). Aktivitas Antimutagenik dan Antioksidan Daun Puspa (Schima wallichii Kort.). Cermin Dunia Kedokteran. 127(1): 18 - 20.

Rahman, N.N.N.A., Zhari, S., Sarker, M.Z.I., Ferdosh S., Yunus, M.A.C., dan Kadir, M.O.A. (2011). Profile of Parkia speciosa Hassk Metabolites Extracted With SFE Using FTIR- PCA Method. J Chin Chem Soc. 58(6): 1-9.

Ramu, K., Perry, C.S., Ahmed, T., Pakenham, G., dan Kehrer, J.P. (1996). Studies on the Basis For The Toxicity of Acrolein Mercapturates. Toxicol. Appl. Pharmacol. 140(2): 487 - 498.

Ruddon, R.W. (2007). Cancer Biology. Edisi keempat. New York: Oxford University Press Inc. Halaman 62, 82, 92, 493.

Saleh, J., dan Ahmad, K. (2010). Clastogenic Studies on Tandaha Dam Water in Asser. J. Black Sea/ Mediterranean Environment. [diakses 28 April

2011]16(1):33. Diambil dari: URL: HYPERLINK.

Salmon, S.E., dan Alan, C.S. (1998). Kemoterapi kanker. Dalam: Farmakologi

(31)

Santella, R.M. (2002). Mechanisms and Biological Markers of Carcinogenesis. Dalam buku Cancer Precursors epidemiology, detection, and prevention . Editor: Eduardo L. Franco and Thomas E. Rohan. New York: Springer-Verlag. Halaman 7.

Schmid, W. (1975). The Micronukleus Test. Mutation Res. 31: 9-15.

Shahrim, Z., Baharuddin, P.J.N.M., Yahya, N.A., Muhammad, H., Bakar, R.A., dan Ismail, Z. (2006). The In Vivo Rodent Micronucleus Assay of Kacip Fatimah (Labisia pumila) Extract. Tropical Biomedicine. 23(2): 214-219. Sofyan, R., Sumpena, Y., Lukita, M., dan Fitrisari, A. (2005). The Use of

Micronucleus Assay on Swiss-Webster Mice (Mus musculus) Bone Marrow for Mutagenicity Test of γ-Irradiation. Halaman 103 - 104.

Stansfield, W.D., Colome, J.S., dan Cano, R.J. (2003). Molecular and Cell Biology. New York: McGraw-Hill Companies Inc. Halaman 60 dan 63. Sudiana, I.K. (2008). Patobiologi Molekuler Kanker. Jakarta: Penerbit Salemba

Medika. Halaman 1, 52.

Suhardjono. (1995). Percobaan Hewan Laboratorium. Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada. University Press. Halaman 207.

Sunanto, H. (1992). Budidaya Petai dan Aspek Ekonominya. Yogyakarta: Kanisius. Halaman 9 - 14.

Sutanto. (2009). Awas 7 Penyakit Degeneratif. Yogyakarta: Paradigma Indonesia. Halaman 95.

Surh, Y.J. (2003). Cancer Chemoprevention With Dietary Phytochemicals. Seoul: Seoul National University. Halaman 768.

Suvachittanont, W., Iamsupanimit, K., Singhaveerasamorn, W., dan Rattanapanya, A. (1983). Preliminary Studies of Some Biological Compounds From Parkia speciosa seeds. Bangkok (TH): Funny Pr. Halaman 4055.

Suvachittanont, W., dan Peutpaiboon, A. (1992). Lectin from Parkia speciosa seeds. Phytochemistry. 31: 4065-4070.

Vimala, S. (1999). Medicinal Plants: Quality Herbal Products for Healthy Living. Dalam: Wikipedia 2007. Petai, Si Bau yang Berkhasiat Besar. Februari 2012.

(32)

Warianto, C. (2011). Mutasi. Surabaya: Universitas Airlangga. Halaman 1-2. World Health Organization. (1998). Quality Control Methods For Medicinal

Plant Materials. Hongkong: Printed in England. Halaman 36.

Yaza, N. (2004). Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Pisang Mas (Musa paradisiaca sapientum L.). Skripsi. Palembang: Jurusan Kimia Fakultas MIPA UNSRI. Halaman 13, 27-28.

(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan penelitan yaitu penyiapan sampel, pembuatan larutan pereaksi, skrining fitokimia, karakteristik simplisia, pembuatan ekstrak etanol biji petai, penyiapan hewan uji, pengujian efek antimutagenik pada mencit, dan pengolahan data. Data hasil penelitian dianalisis secara ANAVA (analisis variansi) dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 16.

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Farmakognosi dan Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara pada bulan Maret sampai Mei 2014.

3.2 Bahan-bahan 3.2.1 Sampel

Sampel yang digunakan adalah biji petai. 3.2.2 Pereaksi

(34)

96%, etil asetat, carboxy metyl cellulosa (CMC), minyak immersi, HCl 2 N, dan serum darah sapi.

3.3 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas laboratorium, aluminium foil, blender (Miyako), lemari pengering, oven listrik, neraca kasar (OHAUS), neraca listrik (Boeco), seperangkat alat destilasi penetapan kadar air, desikator, stopwatch, mortir dan stamfer, objek glass, rotary evaporator (Heidolph VV-300), neraca hewan (Presica), spuit ukuran 1 ml (Terumo), oral sonde, alat bedah (wells spencer), mikroskop (Boeco), sentrifugator (Velocity 18R), politube dan mikrotube, kamera digital MDCE-5A, mistar, spidol dan papan fibrasi mencit.

3.4 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah mencit jantan (Mus musculus) dengan berat 25 - 35 gram berumur 2 - 3 bulan yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara (USU). Sebelum digunakan sebagai hewan percobaan, semua mencit dipelihara terlebih dahulu selama kurang lebih dua minggu untuk penyesuaian lingkungan, mengontrol kesehatan dan berat badan serta menyeragamkan makanannya.

3.5 Pembuatan Pereaksi 3.5.1 Pereaksi Mayer

(35)

3.5.2 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 8 g bismut (III) nitrat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam 20 ml asam nitrat pekat, pada wadah lain ditimbang sebanyak 27,2 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 50 ml air suling, kemudian kedua larutan dicampurkan dan didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan yang jernih diambil dan diencerkan dengan air suling hingga volume larutan 100 ml (Ditjen POM, 1995). 3.5.3 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling secukupnya, lalu ditambahkan 2 g iodium kemudian ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.5.4 Pereaksi Molish

Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, kemudian dilarutkan dalam asam nitrat

0,5 N hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM, 1995). 3.5.5 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 2 bagian asam asetat pekat dicampurkan dengan 1 bagian asam sulfat pekat (Harborne, 1987).

3.5.6 Pereaksi besi (III) klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air secukupnya hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.5.7 Pereaksi timbal (II) asetat

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling bebas karbon dioksida sebanyak 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.5.8 Pereaksi Natrium Hidroksida 2 N

(36)

3.5.9 Pereaksi Asam Klorida 2 N

Sebanyak 17 ml larutan asam klorida pekat ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.6 Prosedur Penelitian 3.6.1 Penyiapan Sampel

Penyiapan sampel meliputi pengambilan sampel, identifikasi sampel dan pengolahan sampel.

3.6.1.1 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan sampel yang sama dari daerah lain. Sampel diperoleh dari Pasar Tradisional (Pajak Sore Padang Bulan), Jalan Jamin Ginting Medan, Provinsi Sumatera Utara.

3.6.1.2 Identifikasi Sampel

Identifikasi sampel dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor, Jawa Barat.

3.6.1.3 Pengolahan Sampel

Sampel biji petai dicuci bersih kemudian ditiriskan dan ditimbang beratnya 3,8 kg sebagai berat basah. Selanjutnya biji dikeringkan hingga berwarna hijau kecoklatan, kemudian ditimbang lagi sebagai berat kering 954,9 g, selanjutnya diblender dan ditimbang sebagai berat serbuk simplisia. 946,08 g Serbuk simplisia dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi etiket dan disimpan di tempat kering.

3.6.2 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia

(37)

dalam air, penetapan kadar sari yang larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam (Ditjen POM, 1995; WHO, 1998).

3.6.2.1 Pemeriksaan Makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan memperhatikan bentuk, ukuran dan warna simplisia biji petai.

3.6.2.2 Pemeriksaan Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia biji petai,dengan cara menaruh serbuk simplisia secukupnya ke atas kaca objek. Kemudian diteteskan dengan 1 - 2 tetes larutan kloralhidrat, lalu ditutup dengan kaca penutup, diamati di bawah mikroskop.

3.6.2.3 Penetapan kadar air simplisia

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluena) (WHO, 1992). Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, alat penampung dan pendingin, tabung penyambung dan penerima 10 ml.

Cara kerja :

(38)

mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen.

3.6.2.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml air - kloroform (2,5 ml kloroform dalam air sampai 1 liter) menggunakan labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, 20 ml filtrat dipipet, diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan dipanaskan pada suhu 105ºC sampai bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung dalam persen (Ditjen POM, 1995).

3.6.2.5 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml etanol 96% menggunakan labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, 20 ml filtrat dipipet, diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan dipanaskan pada suhu 105ºC sampai bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam etanol dihitung dalam persen (Ditjen POM, 1995).

3.6.2.6 Penetapan kadar abu total

(39)

3.6.2.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring dipijarkan sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu tidak larut dalam asam dihitung dalam persen (Ditjen POM, 1995).

3.7 Pemeriksaan Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia

Skirining fitokimia meliputi pemeriksaan senyawa golongan alkaloida, glikosida, flavonoid, steroid/triterpenoid, saponin dan tannin.

3.7.1 Pemeriksaan alkaloid

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditimbang, ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring, filtrat dipakai untuk uji alkaloida. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalam masing-masing tabung reaksi dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada tabung I : ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer, akan terbentuk endapan

menggumpal berwarna putih atau kuning

Pada tabung II i:ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff, akan terbentuk endapan berwarna coklat atau jingga kecoklatan.

Pada tabung III : ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai kehitaman.

(40)

3.7.2 Pemeriksaan flavonoid Larutan Percobaan:

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml metanol lalu direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring berlipat, filtrat diencerkan dengan 10 ml air suling. Setelah dingin ditambah 5 ml eter minyak tanah, dikocok hati-hati, didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40°C. Sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring.

Cara Percobaan:

a. Satu ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1-2 ml etanol 96%, ditambahkan 0,5 g serbuk seng dan 2 ml asam klorida2 N, didiamkan selama satu menit. Ditambahkan 10 ml asam klorida pekat, jika dalam waktu 2-5 menitter jadi warna merah intensif menunjukkan adanya flavonoida (glikosida-3-flavonol).

b. Satu ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan dalam 1 ml etanol 96%, ditambahkan 0,1 g magnesium dan 10 ml asam klorida pekat, terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan adanya flavonoida (Ditjen POM, 1995).

3.7.3 Pemeriksaaan tanin

(41)

3.7.4 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g serbuk simplisia ditimbang, disari dengan 30 ml campuran dari 7 bagian etanol 95% dengan 3 bagian air suling (7:3) dan 10 ml asam klorida 2N. Kemudiaan direfluks selama 10 menit, didinginkan, lalu disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3), perlakuan ini diulangi sebanyak 3 kali. Sari air dikumpulkan dan ditambahkan Na2SO4 anhidrat, disaring, kemudiaan diuapkan pada

temperatur tidak lebih dari 500

3.7.5 Pemeriksaan saponin

C, sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut, 0,1 ml larutan percobaan dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian diuapkan di atas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes larutan perekasi Molish, lalu ditambahkan dengan perlahan-lahan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuk cincin ungu pada batas kedua cairan, menunjukkan adanya ikatan gula (glikon) atau glikosida (Ditjen POM, 1995).

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditimbang, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Saponin positif jika terbentuk busa yang stabil tidak kurang dari 10 menit setinggi 1 sampai 10 cm dan dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N buih tidak hilang (Ditjen POM, 1995).

3.7.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid

(42)

pereaksi Lieberman-burchard), timbulnya warna biru atau biru hijau menunjukkan adanya steroida, sedangkan warna merah, merah muda atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid (Harborne, 1987).

3.8 Pembuatan Ekstrak Etanol Biji Petai

Serbuk simplisia diekstraksi dengan cara maserasi dengan menggunakan pelarut etanol. Menurut Farmakope Indonesia Edisi III (1979), caranya adalah sebagai berikut:

Masukkan 10 bagian (796,08 gram) simplisia dengan derajat halus yang cocok dalam bejana, dituangi dengan 75 bagian cairan penyari etanol 96% (5 liter), ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, lalu diserkai, diperas, dan diremaserasi ampas dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian (7 liter), maserat dipindahkan ke dalam bejana tertutup cuci ampas dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 7 liter. Pindahkan ke dalam bejana tertutup, biarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari. Enap tuangkan atau saring. Pemekatan ekstrak dilakukan dengan alat rotary evaporator pada suhu 40○C , selanjutnya diuapkan di waterbath pada suhu 40○

3.9 Pengujian Efek Antimutagenik

C sampai diperoleh ekstrak kental sebanyak 123, 1 gram.

(43)

3.9.1 Penyiapan Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan adalah mencit dengan berat 25 - 35 g dibagi 5 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 5 ekor mencit.

Sebelum digunakan sebagai hewan percobaan, semua mencit dipelihara terlebih dahulu selama kurang lebih dua minggu untuk penyesuaian lingkungan, mengontrol kesehatan dan berat badan serta menyeragamkan makanannya.

3.9.2 Penyiapan Suspensi CMC 0,5%

Pembuatan suspensi CMC 0,5% (b/v) dilakukan dengan cara sebagai berikut: sebanyak 0,5 g CMC ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi air suling panas sebanyak 10 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh masa yang transparan, digerus hingga berbentuk gel dan diencerkan dengan sedikit air, kemudian dituang ke dalam labu tentukur 100 ml, ditambahkan air suling sampai batas tanda.

3.9.3 Penyiapan Suspensi Ekstrak Etanol Biji Petai (EEBP)

Pembuatan suspensi EEBP dilakukan sebagai berikut: sebanyak 5 gram EEBP dimasukkan ke dalam lumpang. Ditambahkan CMC 0,5%, kemudian digerus sampai homogen. Dituangkan ke dalam labu tentukur 100 ml, dan dicukupkan sampai batas tanda. Maka diperoleh suspensi 5%.

3.9.4 Penyiapan Larutan Siklofosfamid 0,01% (b/v)

Pembuatan Larutan Siklofosfamid (LS) dilakukan dengan cara sebagai berikut: ditimbang sebanyak 50 mg siklofosfamid (serbuk) kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, ditambahkan larutan fisiologis [NaCl 0,9% (b/v)] sampai batas tanda.

(44)

Serum diperoleh dari darah sapi segar yang ditampung menggunakan beaker glass dari tempat pemotongan hewan. Sebanyak 10 ml darah sapi segar dimasukkan ke dalam glass ukur selanjutnya dimasukkan ke dalam vakum tube. Vakum tube ditutup dan didiamkan lebih kurang 30 menit, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit. Diambil cairan yang berwarna bening kekuning-kuningan (bagian atas) yang merupakan serumnya. Hasil serum yang didapatkan sebanyak 5 ml.

3.9.6 Pengujian Pada Mencit

Pengujian aktivitas antimutagenik dilakukan dengan cara uji mikronukleus dengan modifikasi. Hewan percobaan dikelompokkan menjadi 5 kelompok, masing-masing terdiri dari 5 ekor hewan percobaan.

Kelompok tersebut adalah:

- Kelompok I : kelompok normal, diberikan suspensi CMC 5 mg/mencit secara oral, selama tujuh hari.

- Kelompok II :kontrol positif, dengan pemberian suspensi CMC 5 mg/mencit secara oral selama tujuh hari dan hari ke delapan diberikan siklofosfamid 50 mg/kg bb secara intraperitonial.

Kelompok III :perlakuan ketiga, dengan pemberian suspensi EEBP dengan dosis 200 mg/kg bb secara oral selama tujuh hari dan hari ke delapan diinduksi dengan siklofosfamid 50 mg/kg bb secara intraperitonial.

(45)

dan hari ke delapan diinduksi dengan siklofosfamid 50 mg/kg bb secara intraperitonial.

Kelompok V :perlakuan kelima, dengan pemberian suspensi EEBP dengan dosis 800 mg/kg bb secara oral selama tujuh hari dan hari ke delapan diinduksi dengan siklofosfamid 50 mg/kg bb secara intraperitonial.

Setelah 30 jam pemberian siklofosfamid, hewan dibunuh dengan cara dislokasi leher dan diambil sumsum tulang femurnya dengan cara disempritkan dengan spuit yang berisi SDS sebanyak 0,3 ml dan ditampung di dalam mikrotube (Khrisna dan Hayashi, 2000).

3.9.7 Pembuatan Preparat Apusan Sumsum Tulang Femur

Campuran sumsum tulang dan SDS dalam mikrotube diputar (disentrifuge) dengan kecepatan 1200 rpm selama 5 menit, kemudian supernatannya dibuang. Endapannya disuspensikan kembali dengan dua tetes SDS, kemudian satu tetes suspensi sel diambil dan diletakkan ke atas objek glass, dengan menggunakan objek glass, dengan menggunakan objek glass yang lain, sel dihapuskan menjadi preparat apusan. Kemudian slide dikeringkan, difiksasi dengan metanol selama metanol selama 10 menit. Kemudian diberikan pewarna giemsa dibiarkan 30 menit, dibuang zat warna dengan dibilas menggunakan air yang mengalir kemudian apusan dikeringkan (Khrisna, 2000; Sofyan, 2005). 3.9.8 Pengamatan Apusan

(46)

mikroskop dengan perbesaran 40x dengan bantuan minyak immersi (Khrisna, 2000; Sofyan, 2005).

3.10. Analisis Data

(47)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Simplisia dan Ekstrak

Tumbuhan yang diteliti telah diidentifikasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Biologi Bogor. Hasil identifikasi tumbuhan, yaitu Parkia speciosa Hassk. (Fabaceae). Surat hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 51.

Hasil pemeriksaan makroskopik, biji petai berwarna hijau muda dan panjang kira-kira 2 - 2,5 cm dan rasanya agak pahit. Simplisia biji petai berwarna hijau kecoklatan dan berbau khas.

Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia biji petai adalah terdapat parenkim, amylum, berkas pembuluh (xylem) dan fragmen perisperm. Gambar hasil pemeriksaan mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 57.

Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia biji petai yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Karakteristik Simplisia dan Ekstrak Biji Petai

No. Parameter Hasil (%)

Simplisia Ekstrak

1. Kadar air 5,38 4,98

2. Kadar sari larut dalam air 21,48 25,61

3. Kadar sari larut dalam etanol 10,33 34,25

4. Kadar abu total 0,94 0,87

(48)

Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan bahwa kadar air dari simplisia biji petai sudah memenuhi persyaratan secara umum tidak lebih dari 10% (Depkes RI, 1978). Kadar air simplisia biji petai yaitu 5,38% sedangkan kadar air ekstrak biji petai 4,98%. Dengan kadar air tersebut, simplisia dan ekstrak dalam penyimpanannya sebagian sampel sudah terbebas dari mikroorganisme yang terdapat dalam lingkungannya yang mengandung air lebih dari 10%.

Kadar sari yang terlarut dalam air atau etanol untuk mengetahui adanya zat berkhasiat yang dapat terlarut dalam pelarut yang digunakan. Semakin tinggi kadar yang dihasilkan berarti semakin tinggi pula kadar zat berkhasiatnya (Gaman dan Sherrington, 1992). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kandungan zat berkhasiat, terutama faktor agronomis seperti ketinggian tempat, kelembaban, suhu dan jenis tanah (Gupta, 1999). Nilai kadar sari larut dalam air simplisia yaitu sebesar 21,48%, sedangkan kadar sari larut dalam etanol simplisia yaitu sebesar 10,33%, meskipun belum ada standarisasi mengenai karakterisasi tumbuhan petai (Parkia speciosa Hassk.).

Hal ini menunjukkan bahwa nilai kadar sari larut dalam air yang lebih besar dibandingkan dengan kadar sari larut dalam etanol, karena zat-zat berkhasiat yang berada di dalam biji petai dapat larut dengan baik di dalam air daripada etanol. Air sebagai pelarut dapat menarik lendir, amina, vitamin, asam organik, asam anorganik, ataupun bahan pengotor.

(49)

yang terbakar sempurna adalah abu yang sudah berwarna putih keabuan. Dari hasil analisis diketahui bahwa kadar abu dari simplisia biji petai yaitu sebesar 0,94%. Berarti sedikit kandungan bahan anorganik seperti kandungan mineral pada lahan tanam atau karena proses pemupukan pada petai.

Pengujian kadar abu tidak larut dalam asam dilakukan untuk melihat adanya kandungan mineral yang tidak larut dalam asam kuat (HCl). Dari hasil pengujian diketahui bahwa kadar abu tidak larut asam simplisia yaitu sebesar 0,74%. Nilai ini relatif kecil, menunjukkan bahwa pada proses pencucian dengan air pada simplisia tersebut sehingga mineral menjadi berkurang. Menurut Voight (1994) proses pendahuluan seperti pencucian dengan air secara berulang-ulang pada suatu bahan akan menyebabkan terlarutnya kandungan mineral dalam bahan tersebut oleh air pencuci sehingga kandungan mineralnya menjadi berkurang. Menurut Kamisah, dkk., (2013) kandungan mineral pada biji petai antara lain besi, kalsium, kalium, magnesium, mangan, tembaga dan zink.

Hasil pemeriksaan skrining fitokimia pada simplisia dan ekstrak biji petai dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini.

Tabel 4.2. Hasil Pemeriksaan Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia dan Ekstrak Etanol Biji Petai

No. Golongan Senyawa Hasil

Simplisia Ekstrak

(50)

Menurut penelitian Kamisah, dkk., (2013), hasil skrining fitokimia biji petai yang positif golongan senyawanya yaitu alkaloid, terpenoid, fenol dan flavonoid, kecuali saponin dan tanin.

Adanya senyawa flavonoida, senyawa polifenol, lupeol, vitamin C dan tokoferol yang terkandung dalam biji petai menunjukkan bahwa biji petai memiliki aktivitas antioksidan yang dapat digunakan sebagai antimutagenik

4.2 Pengujian Efek Antimutagenik

Pengujian efek antimutagenik dari biji petai dilakukan secara invivo menggunakan mencit jantan (Mus musculus) dengan metode mikronukleus. Metode mikronukleus yang digunakan untuk melihat pengaruh ekstrak etanol biji petai terhadap penghambatan pembentukan sel mikronukleus. Sel mikronukleus merupakan hasil mutasi dari kromosom utuh yang patah dan kemudian tampak sebagai nukleus berukuran kecil di dalam suatu sel (Schmid, 1975).

(51)

1 2 3

Gambar 4.1 Hasil Pengamatan Apusan Mikronukleus Menggunakan Mikroskop perbesaran 40x.

Keterangan:

1 : sel eritrosit polikromatik tidak bermikronukleus 2 : sel eritrosit polikromatik bermikronukleus 3 : sel eritrosit dewasa

(52)

Tabel 4.3 Jumlah Mikronukleus Dalam 200 Sel Eritrosit Polikromatik

Mencit Jumlah sel yang bermikronukleus yang diinduksi siklofosfamid Kontrol

SD ±2,3875 ±3,0822 ±1,3038 ±5,0497 ±4,4384

(53)

Gambar 4.3 Grafik jumlah sel mikronukleus dalam tiap 200 sel mencit pada berbagai perlakuan

Keterangan:

1 = pemberian CMC 5 mg/mencit (Blanko)

2 = pemberian CMC 5 mg/mencit, kemudian diinduksi dengan siklofosfamid 50 mg/kg bb (Mutagen)

3 = pemberian suspensi EEBP dosis 200 mg/kg bb, kemudian diinduksi dengan siklofosfamid 50 mg/kg bb

4 = pemberian suspensi EEBP dosis 400 mg/kg bb, kemudian diinduksi dengan siklofosfamid 50 mg/kg bb

5 = pemberian suspensi EEBP dosis 800 mg/kg bb, kemudian diinduksi dengan siklofosfamid 50 mg/kg bb

Pada Gambar 4.3 terlihat jelas perbedaan dari perlakuan satu sampai lima terhadap jumlah sel mikronukleus (sel eritrosit polikromatik). Di mana perlakuan 1 hanya diberikan suspensi CMC 5 mg/mencit tanpa diinduksi siklofosfamid, jumlah mikronukleusnya 32,8 ± 2,3875 sedangkan perlakuan 2 sampai 5 yang diinduksi siklofosfamid sebagai mutagen, jumlah mikronukleusnya berturut-turut adalah 154 ± 3,0822; 96,8 ± 1,3038; 68 ± 5,0497; dan 37,8 ± 4,4384 sel.

Dari hasil terlihat bahwa pemberian dosis 800 mg/kg bb terjadi penurunan jumlah mikronukleus yang paling kuat dibandingkan dengan dosis 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb. Jumlah mikronukleus ini lebih sedikit jika dibandingkan

(54)

dengan kelompok kontrol positif yang diberikan suspensi CMC 5 mg/mencit kemudian diinduksikan dengan siklofosfamid (mutagen), yang jumlah rata-ratanya 154 ± 3,0822.

Untuk melihat ada tidaknya perbedaan dari setiap perlakuan pada tiap kelompok hewan coba, dilakukan analisis variansi (ANAVA) menggunakan program SPSS versi 16 terhadap jumlah sel mikronukleus. Dari hasil ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan terhadap jumlah sel mikronukleus yang terbentuk dengan nilai signifikan p<0,05.

Hasil analisis Post Hoc Tukey menunjukkan bahwa pemberian CMC 5 mg/mencit dan pemberian ekstrak etanol biji petai (EEBP) dosis 800 mg/kg bb terdapat dalam satu kolom yang sama, sehingga tidak berbeda secara signifikan secara statistik jumlah mikronukleusnya dengan pemberian CMC 5 mg/mencit (p>0,05).

Hal ini menunjukkan juga bahwa suspensi EEBP dosis 800 mg/kg bb dapat menurunkan pembentukan sel mikronukleus yang diinduksi dengan siklofosfamid 50 mg/kg bb paling kuat karena dapat menyamai jumlah mikronukleus pada kelompok perlakuan yang hanya diberi suspensi CMC 5 mg/mencit tanpa diinduksi oleh siklofosfamid. Efek penghambatan terbentuknya sel eritrosit polikromatik yang bermikronukleus ini ada hubungannya dengan senyawa yang terkandung dalam biji petai yakni keberadaan senyawa fenolik yaitu flavonoid.

(55)

Siklofosfamid merupakan salah satu agen kemoterapi yang bersifat sitotoksik yang akan bekerja langsung pada Ribosa Nucleic Acid (RNA) atau Deoxyribosa Nucleic Acid (DNA) dan menyebabkan terjadinya peristiwa pindah silang (cross linking) DNA, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya patahan kromosom dan dapat terlihat sebagai mikronukleus (Santella, 2002; Puwardiwarsa, dkk., 2000).

Metabolisme siklofosfamid juga dilaporkan menyebabkan peningkatan radikal anion superoksida dan hidroksil yang mungkin ikut berperan dalam menginduksi pembentukan mikronukleus (Ramu, et al., 1996).

(56)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

a. Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia biji petai diperoleh kadar air simplisia 5,38%, kadar sari larut dalam air simplisia 21,48%, kadar sari larut dalam etanol simplisia 10,33%, kadar abu total simplisia 0,94%, dan kadar abu tidak larut dalam asam simplisia 0,74%.

Hasil pemeriksaan karakteristik ekstrak etanol biji petai diperoleh kadar air ekstrak 4,98%, kadar sari larut dalam air ekstrak 25,61%, kadar sari larut dalam etanol ekstrak 34,25%, kadar abu total ekstrak 0,87% dan kadar abu tidak larut dalam asam ekstrak 0,62%.

b. Simplisia dan ekstrak etanol biji petai mengandung senyawa alkaloida, flavonoid, saponin, glikosida, dan steroida/triterpenoida.

(57)

5.2 Saran

(58)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi klasifikasi tumbuhan, deskripsi tumbuhan, nama daerah, jenis-jenis petai, kandungan gizi dan manfaat petai.

2.1.1 Klasifikasi Tumbuhan

Petai (Parkia speciosa Hassk.) termasuk suku Fabaceae. Dengan klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnolipsida Bangsa : Fabales

Suku : Fabaceae

Marga : Parkia

Jenis : Parkia speciosa Hassk. (Susilo, 2012) 2.1.2 Deskripsi Tumbuhan

a. Habitus

Petai termasuk tanaman pohon tahunan tropika dari suku polong-polongan (Fabaceae). Tanaman ini tersebar luas di Nusantara bagian Barat.

b. Batang

(59)

c. Daun

Daunnya menyirip ganda, majemuk dan tersusun sejajar. d. Bunga

Bunga muncul biasanya di dekat ujung ranting. Bunganya ketika masih muda (belum tumbuh benang-benang sari dan putik-putiknya) berwarna hijau, keras, dan berbentuk bongkol, bunga ini setelah dewasa penuh ditumbuhi benang-benang sari dan putik-putik berwarna kuning sehingga ukurannya membesar dan empuk seperti spon, dalam bahasa Jawa disebut : “Pendul”. Bunga petai termasuk bunga jenis hermafrodit, dimana bunganya mengandung benang sari dan putik secara bersama-sama.

e. Buah

Bentuk buahnya berpolong, besar, memanjang dan berisi biji-biji, dan biji tersebut agak lunak ketika masih muda, dan agak keras setelah menjadi tua. Dalam satu buah terdapat hingga 20 biji, yang berwarna hijau ketika muda dan terbalut oleh selaput agak tebal berwarna coklat terang (Sunanto, 1992).

2.1.3 Nama Daerah

Di berbagai daerah Indonesia, ternyata mempunyai nama-nama yang berlainan untuk menyebut petai. Di daerah Batok Karo disebut Parira, di daerah Batak Toba disebut Palia, di daerah Ambon disebut Pateh, di Padang di sebut Patai, di Lampung disebut Petar, di daerah Sunda disebut Peuteuy, di Jawa Tengah dan di Jawa Timur disebut Pete, di Madura disebut Peteh, di Sumba disebut Puti, dan di pulau Buru disebut Faopatu. Namun secara umum di Indonesia disebut Petai (Sunanto, 1992)

(60)

2.1.4 Jenis-jenis Petai

Jenis tanaman petai, yakni jika di Jawa adalah: a. Tanaman Petai Jenis Gajah

Tanaman jenis ini menghasilkan buah petai yang setiap buahnya dapat berisi petai sebanyak 15 - 18 biji. Panjang buahnya dapat mencapai 25 - 30 cm. b. Tanaman Petai Jenis Kacang

Tanaman jenis ini menghasilkan buah petai yang setiap buahnya hanya mengandung 10 - 12 biji. Panjang buah hanya sekitar 20 cm, dan ukuran bijinya lebih kecil bila dibandingkan biji jenis gajah (Sunanto, 1992).

2.1.5 Kandungan Gizi

Bagian yang paling penting untuk dimanfaatkan adalah biji buah petai. Biji buah petai berbau menusuk mengandung sistina dan dilapisi kulit tipis berwarna keputih-putihan waktu masih muda, dilapisi kulit agak tebal dan agak berwarna kekuning-kuningan sering ditumbuhi cendawan putih pada waktu kelewat tua. Kulit biji petai itu sendiri berwarna hijau ketika masih muda dan menjadi hitam setelah tua benar (Sunanto, 1992).

Biji petai mempunyai kandungan mineral yang kaya kalori dan gizi di samping vitamin-vitamin sebagaimana tercantum dalam Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Nilai Nutrisi Biji Parkia speciosa Hassk.

No Komponen Komposisi (dalam 100 g biji petai segar)

1 Abu (g) 1,2 -4,6

2 Protein (g) 6,0 – 27,5

3 Lemak (g) 1,6 – 13,3

(61)

5 Serat Kasar (g) 1,7 – 2,0

6 Energi (kkal) 91,0 – 441,5

7 Kalsium (mg) 108,0 -265,1

8 Besi (mg) 2,2 -2,7

9 Fosfor (mg) 115,0

10 Natrium (mg) 341,0

11 Magnesium (mg) 29,0

12 Mangan (ppm) 42,0

13 Tembaga (ppm) 36,7

14 Zink (ppm) 8,2

15 Vitamin C (mg) 19,3

16 α – tokoferol (mg) 4,15

17 Thiamin (mg) 0,28

Sumber : Kamisah, dkk. (2013) 2.1.6 Manfaat Petai

(62)

yang dapat mampu membantu menstimulasi produksi sel darah merah dan membantu apabila terjadi anemia (Anonim, 2006).

2.2 Senyawa Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau, kecuali alga. Flavonoid yang lazim ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi (Angiospermae) adalah flavon dan flavonol dengan C- dan O- glikosida, isoflavon C- dan O-glikosida, flavanon C- dan O-glikosida, kalkon dengan C- dan O-glikosida dan dihidrokalkon, proantosianidin dan antosianin, auron O-glikosida dan dihidroflavonol O-glikosida (Arifin, 1986).

Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai obat. Senyawa- senyawa ini dapat ditemukan pada batang, daun, bunga, dan buah. Flavonoid dalam tubuh manusia berfungsi sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat flavonoid antara lain adalah untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang, mengurangi resiko penyakit kardiovaskuler dan penangkapan radikal bebas (Arifin, 1986).

2.3Ekstraksi

2.3.1 Definisi Ekstraksi

(63)

2.3.2 Metode-Metode Ekstraksi

Menurut Ditjen POM (2000), ada beberapa metode ekstraksi: a. Cara dingin

Ekstraksi dengan cara dingin terdiri dari: 1. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umunya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1 - 5 kali bahan.

b. Cara Panas

Ekstraksi dengan cara panas terdiri dari: 1. Refluks

Refluks adalah ektraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

2. Sokletasi

(64)

dengan larutan ekstraksi dan ketika mencapai bagian atas tabung sifon, larutan tersebut akan kembali ke dalam labu.

3. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 - 50o

4. Infundasi

C.

Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (menggunakan bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur 90o

5. Dekoktasi

C selama 15 - 20 menit.

Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) pada suhu 90oC - 98o

2.4 Siklofosfamid

C menggunakan pelarut air.

Siklofosfamid sebagai agen alkilasi bekerja lewat timbulnya efek sitotoksik melalui pemindahan gugusan alkilnya ke berbagai unsur sel. Alkilasi DNA di dalam nukleus merupakan interaksi utama yang menyebabkan kematian sel. Tempat alkilasi utama di dalam DNA adalah posisi N7 guanin. Sistem

sitokrom P450 mixed function axidase mikrosoma hati mengubah siklofosfamid

(65)

2.5 Mutasi

2.5.1 Definisi Mutasi

Mutasi merupakan perubahan turun temurun pada materi genetik yang menimbulkan berbagai bentuk kelainan gen. Secara garis besar terdapat dua tipe mutasi yaitu yang mempengaruhi gen dan mempengaruhi seluruh kromosom (menyebabkan kerusakan kromosom). Mutasi dapat terjadi secara spontan maupun memalui induksi (Gardner, et al., 1984). Mutasi sebenarnya terjadi pada sel secara terus menerus, namun frekuensinya sangat rendah dalam kondisi normal, dan banyak mutasi yang berbahaya namun beberapa tidak menyebabkan pengaruh apa-apa pada sel (Postlethwait, et al., 2006). Kesalahan pada saat replikasi gen pada molekul Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dapat menyebabkan terjadinya insersi (penyisipan), delesi (penghapusan), dan substitusi (penggantian) satu atau lebih basa akan menimbulkan mutasi (Stansfield, et al., 2003).

2.5.2 Jenis-jenis mutasi A. Menurut Kejadiannya

Mutasi dapat terjadi secara spontan (alamiah) dan juga dapat terjadi secara buatan. 1. Mutasi spontan adalah perubahan yang terjadi secara alamiah atau dengan

sendirinya, diduga faktor penyebabnya adalah panas, radiasi sinar kosmis, sinar ultraviolet matahari, radiasi dan ionisasi internal mikroorganisme serta kesalahan DNA dalam metabolisme.

2. Mutasi buatan adalah mutasi yang disebabkan oleh usaha manusia antara lain karena faktor fisika, kimia dan biologi.

B. Berdasarkan Sel yang Bermutasi

(66)

1. Mutasi somatik adalah mutasi yang terjadi pada sel-sel somatik. Mutasi jenis ini dapat diturunkan dan dapat pula tidak diturunkan.

2. Mutasi gametik atau germinal adalah mutasi yang terjadi pada sel gamet. Karena terjadinya di sel gamet, maka akan diwariskan oleh keturunannya (Warianto, 2011).

C. Berdasarkan Bagian yang Bermutasi

Berdasarkan bagian yang bermutasi, mutasi dibedakan menjadi mutasi DNA, mutasi gen dan mutasi kromosom.

1. Mutasi DNA

a. Mutasi transisi, yaitu suatu pergantian basa purin dengan basa purin lain atau pergantian basa pirimidin dengan basa pirimidin lain.

b. Mutasi tranversi, yaitu suatu pergantian antara purin dengan pirimidin pada posisi yang sama.

c. Insersi, yaitu penambahan satu atau lebih pasangan nukleotida pada suatu gen.

d. Delesi, yaitu pengurangan satu atau lebih pasangan nukleotida pada suatu gen

2. Mutasi Gen

Mutasi gen adalah mutasi yang terjadi dalam lingkup gen. Peristiwa yang terjadi pada mutasi gen adalah perubahan urutan-urutan DNA dan disebut juga mutasi titik. Mutasi titik (point mutation) merupakan perubahan kimiawi pada satu atau beberapa pasangan basa dalam satu gen. Adapun jenis-jenis mutasi gen adalah sebagai berikut:

(67)

amino terkait (pada polipeptida) berubah. Perubahan pada asam amino dapat menghasilkan fenotip mutan apabila asam amino yang berubah merupakan asam amino esensial bagi protein tersebut. Jenis mutasi ini dapat disebabkan oleh peristiwa transisi dan tranversi.

b. Mutasi diam (silent mutation), yaitu perubahan suatu pasangan basa dalam gen (pada posisi 3 kodon) yang menimbulkan perubahan satu kode genetik tetapi tidak mengakibatkan perubahan atau pergantian asam amino yang dikode. Mutasi diam biasanya disebabkan karena terjadinya mutasi transisi dan tranversi.

c. Mutasi tanpa arti (nonsense mutation), yaitu perubahan kodon asam amino ter tentu menjadi kodon stop. Hampir semua mutasi tanpa arti mengarah pada inaktifnya suatu protein sehingga menghasilkan fenotip mutan. Mutasi ini dapat terjadi baik oleh tranversi, transisi, delesi, maupun insersi.

d. Mutasi perubahan rangka baca (frameshift mutation), yaitu mutasi yang terjadi karena delesi atau insersi satu atau lebih pasang basa dalam satu gen sehingga ribosom membaca kodon tidak lengkap. Akibatnya akan menghasilkan fenotip mutan.

3. Mutasi kromosom

Mutasi kromosom yaitu mutasi yang disebabkan karena perubahan struktur kromosom atau perubahan jumlah kromosom. Mutasi kromosom sering terjadi karena kesalahan pada meiosis maupun pada mitosis (Warianto, 2011). 2.6 Mutagen

(68)

pertama kali ditemukan yaitu gas mustard yang dikenal sebagai agen pengalkilasi (Gardner, et al., 1984). Beberapa tahun yang lalu, hampir seluruh mutagen kuat diketahui sebagai karsinogen yang dapat menyebabkan kanker (Yuwono, 2010). Ruddon, 2007; Gardner, et al., 1984).

Mutagen dapat menimbulkan kerusakan DNA sel. Kerusakan DNA dalam sel telur atau sperma manusia dapat menurunkan kesuburan, aborsi spontan, cacat lahir, dan penyakit keturunan, selain itu mutagen juga dapat menyebabkan tumor baik pada hewan maupun manusia (Wisaksono, 2002; Macdonald, et al., 2004).

2.7 Metode Uji Pendahuluan Antikanker

2.7.1 Metode Ames

Untuk menentukan sifat karsinogenik dari suatu zat kimia secara tidak

langsung dapat dilakukan uji mutagenisitas. Ames telah membuktikan bahwa 80 -

90% senyawa yang bersifat karsinogenik juga bersifat sebagai mutagenic. Uji Ames

menggunakan bakteri Salmonella thyphimirium yang mengandung gen mutasi untuk

meningkatkan kepekaan bakteri terhadap senyawa mutagenik (Ames et al., 1975).

Selain itu juga digunakan Escherichia coli WP2 yang mengandung gen mutasi uvrA

(Brusick, 1980).

2.7.2 Metode Habig

Uji ini melibatkan glutation-S-transferase yang merupakan sekelompok

enzim yang memiliki peran utama sebagai katalis enzimatik pada detoksifikasi

senyawa elektrofilik melalui konjugasi dengan glutation (GSH) (Mannervik dan

Danielson, 1988). Glutation S-transferase adalah keluarga enzim multifungsi

(69)

bersifat reaktif secara biologi (Griscelli dkk., 2004), yang dapat diukur dengan

menggunakan spektrofotometri.

2.7.3 Metode Mikronukleus

(70)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Radikal bebas berperan dalam terjadinya berbagai penyakit. Radikal bebas sebagai pengganggu sistem kekebalan tubuh, merupakan pemicu beberapa penyakit degeneratif seperti kanker, katarak, aterosklerosis, diabetes mellitus dan penyakit jantung koroner. Data WHO (World Health Organization) tahun 2005 menunjukkan bahwa, penyakit degeneratif telah menyebabkan kematian hampir 17 juta orang di seluruh dunia. Data WHO menyatakan sekitar satu milyar orang di seluruh dunia, saat ini menderita resiko penyakit degeneratif dan diperkirakan akan naik menjadi 1,5 milyar pada tahun 2015 (Anonim, 2010). Salah satu penyakit degeneratif yang cukup banyak diderita manusia adalah kanker.

Menurut laporan terbaru oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), saat ini terdapat lebih dari 10 juta kasus kanker per tahun di seluruh dunia (Surh, 2003). Hingga tahun 2012, WHO International Agency for Research on Cancer (IARC) telah mengidentifikasi lebih dari 100 jenis penyebab kanker (karsinogen) berasal dari unsur kimia, fisika dan biologis. Data statistik kanker dunia tahun 2012 yang dikeluarkan oleh International Agency for Research on Cancer GLOBOCAN menyatakan bahwa pada tahun 2012 terdapat 14,1 juta kasus kanker di seluruh dunia. Bahkan, kasus baru kejadian kanker akan diprediksi lebih dari 19,3 juta kasus pada tahun 2023. Hal ini merupakan suatu jumlah kenaikan yang cukup besar (Anonim, 2014).

(71)

lainnya. Pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh. Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan kerusakan DNA, sehingga pembelahan sel tidak normal (Sutanto, 2009).

Mutasi yang terjadi pada beberapa gen disebabkan oleh induksi suatu mutagen, seperti bahan kimia, radiasi, radikal bebas maupun infeksi dari beberapa jenis virus (Sudiana, 2008). Sedangkan mutasi yang terjadi akibat adanya radikal bebas berawal dari teroksidasinya asam lemak tak jenuh pada lapisan lipid membran sel, reaksi ini mengawali terjadinya oksidasi lipid berantai yang menyebabkan kerusakan membran sel, oksidasi lebih jauh akan terjadi pada protein yang berakibat fatal dengan kerusakan DNA (Cook dan Samman, 1996).

Salah satu indikator terjadinya mutasi adalah adanya mikronukleus. Mikronukleus merupakan hasil mutasi dari kromosom utuh yang patah dan kemudian tampak sebagai nukleus berukuran kecil di dalam suatu sel (Schmid, 1975). Uji mikronukleus dikembangkan oleh Schmid (1975) dan Heddle (1973), merupakan suatu metode pemeriksaan yang secara luas digunakan untuk mendeteksi efek genotoksik dalam waktu singkat secara in vivo dan in vitro (Saleh dan Ahmad, 2010).

(72)

Dalam beberapa tahun ini, upaya mengatasi pembentukan radikal bebas dengan produk farmasi dan bahan pangan diatasi oleh antioksidan dari bahan alami (Campanella, et al., 2006). Beberapa laporan juga menyebutkan bahwa senyawa antioksidan dapat menetralkan radikal bebas dan selanjutnya dapat menghalangi terjadinya mutasi sel (Ghaskadbi, 1992; Shiraki, 1994; Rompelberg, 1995).

Salah satu tumbuhan bahan pangan yang telah diketahui memiliki khasiat sebagai antioksidan adalah petai (Parkia speciosa Hassk.), baik pada biji maupun kulit bagian luar dan dalamnya sehingga tergolong sebagai antioksidan kuat. Petai berasal dari suku Fabaceae yang banyak ditemukan di Asia Tenggara. Bijinya sering dikonsumsi masyarakat, baik dalam kondisi segar maupun diolah bersama bahan pangan lainnya. Biji petai memiliki khasiat untuk mengobati penyakit lever (hepatalgia), edema (oedema), radang ginjal (nefritis), diabetes, kanker, kolera dan cacingan (Jamaluddin, et al., 1995; Orwa, et al., 2009; Rahman, et al., 2011; Aisha, et al., 2012).

Menurut hasil penelitian Vimala (1999), petai merupakan salah satu tumbuhan bahan pangan yang terbukti kaya antioksidan dan memiliki aktivitas superoksida tinggi, yakni di atas 70%. Hasil penelitian lain menyatakan kandungan klorofil b dalam biji-biji petai berfungsi sebagai agen antioksidan yang baik untuk kulit, memastikan kesegaran tubuh, dan memperbaiki sistem peredaman radikal bebas.

(73)

bagian biji dari tanaman petai. Di dalam biji petai mengandung alkaloid, terpenoid, fenol dan flavonoid. Selain itu biji petai mengandung vitamin C dan �-tokoferol (vitamin E). Senyawa fenol ada hampir di semua bagian tanaman petai. Senyawa lainnya yang terkandung pada biji petai antara lain lektin, sisteina, stigmast-4-en-on, polisulfida siklik (heksationana, tetratiana, tritiolana, tiazolidina-4-karboksilat) (Suvachittanont dan Peutpaiboon 1992; Jamaluddin, et al., 1995; Rahman, et al., 2011).

Menurut Kamisah, et al., (2013), telah dilakukan uji antimutagenik pada ekstrak metanol biji petai dengan menggunakan metode Ames, hasilnya negatif terhadap mutagen, yang artinya biji petai memiliki khasiat sebagai antimutagenik. Hal ini karena adanya senyawa lupeol yang ditemukan sebagai antikanker, antinyeri dan antiinflamasi.

(74)

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah karakteristik simplisia dan ekstrak etanol biji petai yang diteliti memenuhi persyaratan mutu simplisia dan ekstrak?

b. Apakah golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam simplisia biji petai?

c. Apakah ekstrak etanol biji petai memiliki aktivitas sebagai antimutagenik? 1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis:

a. Karakterisasi simplisia dan ekstrak etanol biji petai dapat ketahui dan memenuhi standar.

b. Golongan senyawa yang terkandung dalam simplisia biji petai yaitu alkaloid, flavonoid, tanin, glikosida, saponin dan steroid/triterpenoid.

c. Ekstrak etanol biji petai memiliki efek antimutagenik pada mencit yang diinduksi oleh siklofosfamid sebagai mutagen.

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk memperoleh hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak etanol biji petai.

b. Untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam simplisia biji petai.

(75)

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Memberikan informasi ilmiah tentang tumbuhan bahan pangan berkhasiat antioksidan tinggi yakni biji petai.

b. Pengembangan biji petai menjadi suatu sediaan herbal yang berfungsi sebagai antimutagenik yang dapat mencegah terjadinya penyakit kanker. 1.6Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir penelitian ini adalah sebagai berikut terdapat Gambar 1.1 di bawah ini:

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian

1. Makroskopik 6. Kadar sari larut

dalam air 7. Kadar sari larut

(76)

EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI PETAI (Parkia speciosa Hassk.) SEBAGAI ANTIMUTAGENIK PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus)

YANG DIINDUKSI DENGAN SIKLOFOSFAMID ABSTRAK

Kanker merupakan masalah kesehatan yang berkembang di seluruh dunia seiring dengan perubahan gaya hidup. Salah satu terapi pengobatan yang digunakan yaitu obat tradisional. Salah satu tumbuhan bahan pangan yang telah diketahui memiliki khasiat sebagai antioksidan adalah petai (Parkia speciosa Hassk.), baik pada biji maupun kulit bagian luar dan dalamnya. Petai termasuk makanan yang sering dikonsumsi bagian bijinya. Senyawa yang terkandung pada biji petai antara lain lektin, sisteina, stigmast-4-en-on, polisulfida siklik dan lupeol. Lupeol ditemukan berkhasiat sebagai antikanker, antinyeri dan antiinflamasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakterisasi simplisia, skrining fitokimia dan uji efek antimutagenik ekstrak etanol biji petai terhadap mencit jantan yang diinduksi dengan siklofosfamid (50 mg/kg bb) dengan metode mikronukleus secara in vivo dengan mengamati sel eritrosit polikromatik. Data dianalisis dengan uji One way Anova dan dilanjutkan dengan uji post hoc Tukey untuk melihat perbedaan nyata antar perlakuan. Analisis statistik ini menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 16.

Hasil karakterisasi simplisia biji petai kadar air 5,38%, kadar sari larut air 21,48%, kadar sari larut etanol 10,33%, kadar abu total 0,94% dan kadar abu tidak larut asam 0,74% sedangkan hasil karakterisasi ekstrak etanol biji petai kadar air 4,98%, kadar sari larut air 25,61%, kadar sari larut etanol 34,25%, kadar abu total 0,87% dan kadar abu tidak larut asam 0,62%. Hasil skrining fitokimia simplisia menunjukkan adanya alkaloida, flavonoid, saponin, glikosida dan steroid/triterpenoida.

Ekstraksi simplisia biji petai dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Ekstrak etanol biji petai diberikan secara oral satu kali sehari selama satu minggu pada dosis 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan 800 mg/kg bb. Siklofosfamid sebagai mutagen (penginduksi) yang menyebabkan terjadinya sel yang bermikronukleus dan suspensi CMC 5 mg/mencit sebagai pelarut ekstrak.

(77)

EFFECTS OF ETHANOLIC EXTRACT OF STINK BEAN SEEDS (Parkia speciosa Hassk.) AS ANTIMUTAGENIC ON MALE MICE (Mus musculus)

INDUCED WITH CYCLOPHOSPHAMIDE ABSTRACT

Cancer is a growing health problem around the world along with lifestyle changes. One therapeutic treatment used is traditional medicine. One of the food herbs that are known to have antioxidant properties as is stink bean (Parkia speciosa Hassk.), both the seeds and the skin outside and inside. Petai including foods often consumed the seeds. Compounds contained in the stink bean seeds among others lectin, Cysteine, stigmast-4-en-on, cyclic polysulfide and lupeol. Lupeol was found to possess anticarcinogenic, antinociceptive and anti-inflamatory properties.

This study aims to investigate the characteristics of crude drugs, phytochemical screening, and test antimutagenic effects of ethanol extract of the seeds of stink bean-induced male mice with cyclophosphamide (50 mg / body weight) with in vivo micronucleus method by observing cell polychromatic erythrocytes. Data were analyzed using One Way Annova and significantly different if followed by Post Hoc Tukey test. Data were analyzed using SPSS (Statistical Product Solution Service) version 16.

The results of the characterization of crude drugs stink beans 5.38% water content, content of water-soluble extract 21.48%, content of ethanol-soluble extract 10.33%, 0.94% total ash content and acid insoluble ash content of 0.74% and for the results of the characterization of crude drugs stink bean 4.98% water content, content of water-soluble extract 25.61%, content of ethanol-soluble extract 34.25%, 0.87% total ash content and acid insoluble ash content of 0.62%. The results of the phytochemical screening showed the presence of alkaloids botanicals, flavonoids, saponins, glycosides and steroids / triterpenoida.

Extraction of stink beans is done by maceration using 96% ethanol. Stink bean seed ethanol extract was administered orally once a day for one week at a dose of 200 mg/kg body weight, 400 mg/kg body weight and 800 mg/kg body weight. Cyclophosphamide as a mutagen (inducer) the occurrence of micronucleus cells and 5 mg/mice CMC suspension as the extract solvent.

(78)

EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI PETAI (Parkia speciosa Hassk.)

SEBAGAI ANTIMUTAGENIK PADA MENCIT JANTAN

(Mus musculus) YANG DIINDUKSI DENGAN

SIKLOFOSFAMID

yarat untuk memperolehgelar Sarjan

SKRIPSI

a Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utar

OLEH:

NIKEN MONALISA

NIM 121524056

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(79)

EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI PETAI (Parkia speciosa Hassk.)

SEBAGAI ANTIMUTAGENIK PADA MENCIT JANTAN

(Mus musculus) YANG DIINDUKSI DENGAN

SIKLOFOSFAMID

yarat untuk memperolehgelar Sarjan

SKRIPSI

a Farmasi pada Fakultas Farmasi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara as Sumate

ra Utar

OLEH:

NIKEN MONALISA

NIM 121524056

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(80)

PENGESAHAN SKRIPSI

EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI PETAI (Parkia speciosa Hassk.)

SEBAGAI ANTIMUTAGENIK PADA MENCIT JANTAN (Mus

musculus) YANG DIINDUKSI DENGAN SIKLOFOSFAMID

OLEH:

NIKEN MONALISA

NIM 121524056

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada tanggal: 24 Oktober 2014 Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 130935857 NIP 195103261978022001 Pembimbing II,

Dr. Edy Suwarso, S.U. Apt. NIP 130935857

Drs. Rasmadin Mukhtar, M.S., Apt. NIP 194909101980031002

Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. NIP 195107231982032001

Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. NIP 197806032005012004

Medan, Oktober 2014 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Dekan,

(81)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Efek Ekstrak Etanol Biji Petai (Parkia speciosa Hassk.) Sebagai Antimutagenik Pada Mencit Jantan (Mus musculus) Yang Diinduksi Dengan Siklofosfamid”, yang merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt., dan Drs. Rasmadin Mukhtar, M.S., Apt., yang telah membimbing dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan. Bapak dan Ibu staff pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis selama masa perkuliahan. Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., selaku Kepala Laboratorium Farmakognosi, dan Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt., selaku Kepala Laboratorium Farmakologi yang telah memberikan fasilitas, petunjuk dan membantu selama penelitian. Ibu Prof. Dr Rosidah, M.Si., Apt., Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., dan Ibu Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang memberikan masukan, kritikan, arahan, dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

(82)

doa dan dukungan baik moril maupun materil, kakak tersayang Hendra Martdona, serta teman-teman Farmasi Ekstensi stambuk 2012 dan stambuk 2013 atas doa, dorongan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang farmasi.

Medan, Oktober 2014 Penulis,

Gambar

Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Karakteristik Simplisia dan Ekstrak Biji Petai
Tabel 4.2. Hasil Pemeriksaan Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia dan Ekstrak Etanol Biji Petai
Gambar 4.1 Hasil Pengamatan Apusan Mikronukleus Menggunakan Mikroskop perbesaran 40x.
Tabel 4.3 Jumlah Mikronukleus Dalam 200 Sel Eritrosit Polikromatik
+4

Referensi

Dokumen terkait

(3) Dalam hal Lembaga Sertifikasi belum terbentuk, untuk melayani atau memfasilitasi uji kompetensi bagi peserta didik kursus dan satuan pendidikan nonformal lainnya serta

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 09 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 08

Demikian atas perhatian dan partisipasinya diucapkan terima kasih. Pahlawan No.12

Demikian Berita Acara Penjelasan (aanwijzing) Pekerjaan Pengadaan Jasa Cleaning Service pada Pada Badan Kepegawaian Negara Kantor Regional VIII ini dibuat dan

Sehubungan dengan hasil evaluasi kualifikasi Paket Pekerjaan Perencanaan Pembangunan Kantor Pertanahan Kota Jayapura Tahun Anggaran 2016, maka dengan ini Pokja/Panitia

Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Satuan Kerja Sekretariat Militer Presiden pada Kementerian Sekretariat Negara RI akan melaksanakan Pelelangan

Pada hari ini Jumat tanggal Dua Puluh Sembilan bulan Januari tahun Dua Ribu Enam Belas , bertempat di Kantor Biddokkes Polda Kalbar Kami Panitia Pengadaan Barang/Jasa Satuan

Jumlah calon penyedia barang/jasa yang telah mendaftar untuk mengikuti Pelelangan Sederhana Pekerjaan Pengadaan Jasa Cleaning Service pada Badan Kepegawaian Negara