• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2: Kepemimpinan dan Transformasi Desa

D. Simpul Wacana

Ide demokrasi komunitarian sebagai pilar self-governing community berpijak pada pentingnya mempromosikan partisipasi warga dalam urusan publik, pemerintahan, dan pembangunan di level komunitas. Melampaui garis batas formalitas, demokrasi semacam ini mengutamakan pentingnya perluasan ruang publik, aktivasi peran kelompok-kelompok sosial, forum-forum warga, dan jaringan

58

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

antar kelompok. Tujuannya, tak hanya untuk kepentingan self-

help kelompok itu sendiri, namun juga sebagai instrumen awareness

warga, civic engagement, dan partisipasi dalam urusan pemerintahan di level komunitas (IRE, 2002). Dari hasil temuan riset di atas, nampak adanya derajat partisipasi publik yang dipotret dari sejauh mana kepemimpinan di desa membuka peluang bagi demokrasi di aras lokal. Dalam konteks itu, pengaruh tipe kepemimpinan ini memberikan warna yang beragam dan tentu saja saling berkelindan dengan dinamika representasi dan inisiatif warga.

Desa dengan tradisi kepemimpinan parokial yang kuat cende- rung mendominasi formasi kepentingan publik dan menutup berkembangnya isu-isu publik yang lebih inklusif di desa. Ini juga diperparah oleh terbatasnya ruang-ruang publik di desa dan tidak berkembangnya forum-forum alternatif kewargaan. Namun di sisi lain, arah transformasi kepemimpinan yang akomodatif bagi formasi kepentingan publik sekaligus mendorong perluasan ruang-ruang publik juga me nunjukkan optimisme meski seringkali diwarnai oleh corak kepe mimpinan yang lemah. Sungguh pun demikian, variabel lain seperti inisiatif warga yang kuat dan bekerjanya institusi representasi politik mampu menutupi kelemahan dari sisi kepemimpinan politik. Corak kepe mimpinan yang berlangsung di masing-masing desa tak berdiri dalam ruang hampa. Ada kepemimpinan desa yang lahir sebagai imbas dari jenuhnya masyarakat pada monopoli kekuasaan desa oleh trah ba lung lurah ataupun penggunaan instrumen kekayaan (resources) semata dalam memenangkan politik elektoral di desa. Meski tak ideal dan cenderung bercorak soft governance, corak kepemimpinan semacam itu memungkinkan ide-ide perubahan dan partisipasi publik yang lebih luas dapat berlangsung.

Buku Aspirasi yang diinisiasi BPD Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman

Musyawarah Rencana Pembangunan Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul

Forum warga, Malem-Slasa-Kliwonan di Desa Nglanggeran, Kabupaten Gunungkidul

61

BAB 3

Memperkuat

Representasi Warga

A. Representasi Partisipatoris-Deliberatif

Konflik agraria antara perusahaan dan warga Desa Ringin rejo sudah terjadi sejak tahun 90-an. Saat itu lahan milik perusahaan semen PT. Semen Dwima Agung yang tidak digunakan, diolah kembali oleh warga. Sejak mengolah lahan tersebut, taraf penghidupan warga meningkat. Kondisi tersebut mendorong para petani penggarap melakukan klaim atas lahan tidur milik anak perusahaan korporasi global Holcim itu. Untuk memperjuangkan klaim lahan perkebunan tersebut, warga membentuk paguyuban petani. Dalam melakukan advokasi, paguyuban petani juga tidak berjalan sendiri. Mereka membangun jejaring advokasi dengan organisasi non pemerintah seperti ELSAM dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Bersama dengan lembaga non pemerintah tersebut, paguyuban melakukan upaya klaim lahan baik ke Pemda Blitar, Kementerian Kehutanan, bersidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), hingga bernegosiasi dengan perusahaan semen Holcim di Swiss.

62

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Cerita di Ringinrejo tersebut memantik pertanyaan kritis, me- ngapa kehadiran lembaga-lembaga representasi (perwakilan) formal belum dapat memberikan makna berarti bagi perjuangan aspirasi warga di tingkat lokal? Padahal lembaga-lembaga tersebut telah dibekali kewenangan yang kuat, termasuk menjadi saluran perwakilan warga dalam memperjuangkan isu-isu publik sebagai keputusan politik di level desa. Terbitnya UU Desa sesungguhnya menyediakan peluang bagi Badan Permusyawaratan Desa (BPD), sebagai agen representasi formal desa untuk meningkatkan peran strategisnya.34

UU Desa sebenarnya lahir dalam semangat reformasi, yakni sebagai koreksi atas sistem korporatis warisan pemerintahan Orde Baru. UU ini mencoba menciptakan terobosan baru, diantaranya menekankan agar kekuasaan di desa dikelola dengan cara-cara demokratik (Arie Sujito, 2016).35

Kasus tersebut sesungguhnya merefleksikan gambaran tentang tantangan lembaga representasi formal desa yaitu BPD pasca terbitnya UU Desa. Meski struktur peluang yang disediakan oleh UU Desa cukup memadai, namun tak serta merta mendorong BPD dapat menghadirkan ruang-ruang deliberasi di tingkat desa. Tidak mengherankan apabila warga mencari saluran representasi alternatif yang bersifat informal. Munculnya representasi informal ini terjadi karena agenda-agenda publik yang dirumuskan warga belum sepenuhnya mendapat perhatian pemerintah desa maupun BPD sebagai lembaga perwakilan formal. Pada titik inilah representasi informal perlu mendapatkan ruang sebagai alternatif kanal bagi

34 Sebagai parlemen desa, BPD memiliki posisi strategis karena tidak lain sebagai lembaga rep- resentasi politik formal, dengan tugas legislasi yakni legislasi (membuat peraturan desa), bud- geting (turut menyusun anggaran desa) dan kontrol atas pemerintah desa.

35 Dalam Undang-Undang tersebut, substansi demokrasi deliberatif dikenalkan, yang tercer- min dari hadirnya klausul pengaturan tentang BPD dan Musyawarah Desa (Musdes).

63

MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA

warga dalam mendorong isu-isu pu blik di level desa. Kondisi ini memunculkan kebutuhan mencangkokkan elemen partisipatoris dari representasi informal ke dalam format representasi formal yang ber- corak deliberatif. Ringkasnya, tantangan tersebut hendak dijawab dengan menghadirkan perspektif partisipatoris-deliberatif dalam menguji praktik-praktik representasi di tingkat desa.

Oleh karena itu, bab ini hendak melihat format representasi semacam apa yang terbentuk dari dialektika antara yang formal dan informal. BPD sebagai lembaga representasi formal maupun ruang- ruang representasi informal yang berciri partisipatoris, hendak diuji melalui praktik-praktik representasi desa: seberapa jauh keduanya mampu menghadirkan ruang-ruang deliberasi bagi warga. Berpijak pada kerangka kerja kajian ini, pengujian aspek representasi tersebut difokuskan pada tiga arena: pembentukan kepentingan publik, perluasan ruang publik, dan inklusivitas (keterbukaan) terhadap aspirasi-aspirasi menyangkut urusan publik. Dengan menghadirkan kerangka partisipatoris-deliberatif, kita bisa mendapatkan potret bekerjanya praktik-praktik demokrasi lokal ala warga desa secara utuh.

Kasus Desa Ringinrejo, merupakan satu dari sekian ragam problem representasi yang diangkat dalam bab ini. Berangkat dari narasi di 10 desa, menunjukkan sejumlah variasi temuan penting tentang aspek representasi dalam kajian ini. Sebagian besar desa menunjukkan praktik-praktik representasi formal oleh BPD masih bekerja dalam logika normatif. Dengan nalar demikian, efektifitas kinerja represetasi tentu saja tidak optimal dalam pembentukan kepentingan publik. Begitu pula, ada desa yang menjalankan praktik representasi formal secara inovatif yang mampu melampaui logika normatif dengan memanfaatkan ruang-ruang informal di desa, sehingga fungsi representasi dapat bekerja maksimal. Sementara itu, di kutub berseberangan, terdapat pula lembaga-lembaga representasi formal

64

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

yang bekerja sangat minimal, sehingga justru membuka ruang bagi menguatnya kinerja representasi informal. Keseluruhan variasi tersebut, tentunya menjadi kekayaan pembelajaran yang disuguhkan dalam bab ini.

B. BPD dan Musyawarah Desa: Rute Formal Deliberasi Demokrasi Desa

UU Desa secara normatif mendefinisikan BPD sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.36 Dalam perkembangannya, lembaga

perwakilan desa ini mengalami dinamika tersendiri dalam menjalankan fungsi perwakilan. Temuan dalam riset ini menunjukkan, derajat representasi formal BPD ternyata ditentukan oleh: pertama, pola relasi BPD dengan pemerintah desa dan warga. Pola relasi ditandai dengan seberapa jauh BPD terlibat (atau dilibatkan) dalam menciptakan ruang-ruang deliberasi. Pola relasi BPD dengan pemerintah desa sangat dipengaruhi oleh setting sosial-budaya setempat dan derajat ketergantungan BPD terhadap pemerintah desa.37

36 BPD sebagai lembaga representasi di desa secara nomenklatur (Badan Permusyawaratan Desa) memang baru dikenal pada tahun 2004 pasca berlakunya UU No 32 Tahun 2004 ten- tang Pemerintahan Daerah. Sebelum berlakunya UU tersebut, lembaga perwakilan desa adalah Badan Perwakilan Desa mengacu pada UU Nomor 22 Tahun 1999. Meski nomenkla- turnya berubah sebetulnya tugas kedua lembaga tersebut hampir sama, hanya saja ketika ber- status sebagai “Perwakilan” Badan Perwakilan Desa memiliki wewenang untuk mengusulkan pemberhentian kepala desa kepada bupati. Sedangkan Badan Permusyawaratan Desa tidak memiliki kewenangan. Banyak yang berpandangan bahwa nomenklatur “permusyawaratan” telah mengkebiri wewenang BPD karena tidak lagi memiliki hak untuk mengajukan pem- berhentian kepala desa. namun, dengan UU Desa sebetulnya BPD memiliki peran yang lebih luas dalam menjalankan representasi warga dan pengawasan kinerja kepala desa. BPD berhak melakukan pengawasan atas kinerja kepala desa, termasuk mempertanyakan kebijakan ke- pala desa apabila tidak sesuai dengan aspirasi warga.

37 Setting berupa lanskap sosial berwatak komunitarian (guyub, gotong-royong kebersamaan), struktur politik bercorak kekerabatan, fenomena orang kuat (strongman), dan sebagainya.

65

MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA

Kedua, kapasitas politik dan teknis-manajerial BPD. Kapasitas politik ditandai dengan kemampuan BPD dalam mengelola ragam aspirasi warga yang berkembang terutama melalui saluran komunikasi formal, dan saluran informal maupun menginisiasi inovasi tertentu. Kapasitas politik BPD ini dalam sejumlah kasus juga bertautan erat dengan pola relasi BPD dengan pemerintah desa dimana posisi politik BPD dihadapan pemerintah desa. Sementara kapasitas teknis- manajerial BPD ditandai dengan kapasitas menginstrumentasikan ragam aspirasi tersebut menjadi kebijakan publik di tingkat desa. Kapasitas ini ditentukan oleh tingkat pemahaman dan pengetahuan anggota BPD.

Pola Relasi Representasi Formal

Dalam kajian ini, narasi tentang relasi BPD dengan pemerintah desa dan warga menunjukkan pola variasi yang tinggi. Desa Sidorejo, Cangkudu, dan Ngadisari menunjukkan relasi BPD dalam posisi infe- rior dihadapan pemerintah desa. Di Sidorejo misalnya, kelahiran desa inklusi di Sidorejo bukan merupakan aspirasi yang diperjuangkan oleh BPD sebagai lembaga perwakilan rakyat desa. Melainkan, di dorong oleh satu gerakan masyarakat sipil dalam hal ini komunitas difabel yang secara langsung bernegosiasi melakukan kerjasama dengan pemerintah desa. Dalam kerangka kerja sebagai lembaga perwakilan, BPD Sidorejo masih bekerja dalam nalar normatifnya. Setiap bulan BPD mengadakan rapat-rapat internal untuk melihat dan menilai kinerja pemerintah desa. Secara rutin pula BPD melakukan kegiatan penjaringan aspirasi di masing-masing ‘kring’ atau ‘daerah pemilihan.

Sesungguhnya penjaringan aspirasi tersebut merupakan langkah maju, dimana anggota BPD setempat pro-aktif turun ke bawah. Hanya saja, pola komunikasi berbasis kewilayahan yang dilakukan BPD pada akhirnya gagal menangkap aspirasi sektoral warga.

66

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Kepentingan wilayah kerap kali mengabaikan kepentingan misalnya, kelompok tani, para pengrajin, dan peternak yang sebenarnya juga membutuhkan perhatian. Bagi sebagian warga, hal tersebut justru persoalan fundamental yang mendesak untuk dikerjakan karena berdampak langsung pada kesejahteraan warga. Sayangnya, persoalan tersebut belum ditangkap oleh BPD sebagai persoalan serta potensi yang perlu dikelola. Pada gilirannya muncul kecenderungan BPD hanya mengikuti agenda pemerintah desa yang cenderung mendorong program desa inklusi.

Di sisi lain, masyarakat desa sendiri belum memfungsikan BPD sebagai lembaga perwakilan yang secara efektif bisa menjadi mitra kerja pemerintah desa. Warga Sidorejo melihat adanya ruang dialog yang semakin terbuka dan langsung antara pemerintah desa dengan warganya sehingga memunculkan kecenderungan BPD “dilewatkan” oleh masyarakat. Melalui komunikasi secara langsung dalam ruang- ruang demokrasi yang tersedia di desa, aspirasi yang ‘sektoral’ biasanya kerap disuarakan. Namun karena dianggap ‘tidak jelas’ —karena tidak mewakili wilayah, aspirasi yang disampaikan tersebut kerap kali diabaikan.

Situasi serupa juga terdapat di Desa Cangkudu, yang mana posisi BPD dihadapan Pemerintah Desa terkesan inferior dimata warga. Kesan tersebut berangkat dari fakta bahwa jejak kinerja perwakilan BPD belum dirasakan warga. BPD Cangkudu hanya bekerja dengan nalar normatif (memaknai aturan secara tekstual) tanpa melakukan pemaknaan mendalam atas tugas dan fungsinya. Nalar normatif tersebut tampak dari peran yang dilakukan BPD Cangkudu hanya menyelenggarakan forum-forum formal seperti Musdes dan Musren- bangdes, tanpa melibatkan banyak warga. Padahal, warga terbiasa menyampaikan aspirasinya melalui perwakilan RT, RW atau tokoh masyarakat untuk disampaikan dalam forum-forum tersebut. Aspirasi

67

MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA

warga tidak secara langsung dapat diserap dalam forum-forum resmi seperti musrenbangdes ataupun musyawarah desa. Situasi ter- sebut rentan terhadap bias elit manakala keputusan publik diambil dalam forum-forum resmi. Tak mengherankan jika warga Cangkudu memiliki persepsi bahwa BPD adalah bagian dari pemerintah desa.

Situasi yang lebih ekstrim terjadi di Desa Ngadisari. Representasi formal BPD tak cukup kuat mengimbangi kapasitas pemerintah desa saat dipimpin oleh Supoyo dan kini oleh istrinya yang juga ditopang oleh peran politik Supoyo. Dalam hal ini Supoyo lebih mengandalkan representasi langsung dan cenderung memangkas peran representasi inistitusi ini. Kondisi tersebut tergambar dengan baik dengan lahirnya Perdes No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Mutasi Tanah Desa Ngadisari. BPD tak memiliki banyak peran selain menjalankan fungsi pengawasan atas implementasi peraturan tersebut.38 Selain itu

secara sosiologis, masyarakat memiliki saluran representasi langsung yang bisa jadi jauh lebih efektif, seperti rembug desa dan Safari Wulan Kapitu. Representasi formal BPD bisa jadi tak relevan bagi masyarakat Ngadisari yang memiliki tradisi demokrasi langsung yang lebih kuat. Dalam konteks itu, Desa Ngadisari memiliki cara sendiri dalam menjalankan demokrasi desa. Kondisi tersebut membentuk kinerja representasi formal BPD Ngadisari sangat minimal dalam membuka ruang-ruang deliberasi.

Kondisi yang berlawanan ditunjukkan dengan kasus Desa Umbulharjo dan Panggungharjo, dimana BPD dapat membangun ke- setaraan peran dengan pemerintah desa. BPD di kedua desa tersebut berhasil membangun engagement (pelibatan) dengan pemerintah desa

38 BPD bisa jadi hanya sebagai ‘tukang stempel’ atas rancangan peraturan yang diajukan pemer- intah desa tersebut. Dalam praktek kepemimpinannya, Supoyo yang juga mantan kepala desa, lebih banyak turun langsung ke masyarakat. Dia juga cenderung memotongperan BPD dengan asumsi bahwa dirinya mampu menyerap aspirasi warganya secara langsung tanpa melalui BPD. Ketimbang mendengarkan aspirasi yang disampaikan BPD, dia lebih memilih untuk turun langsung ke masyarakat.

68

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

dalam mengelola urusan publik desa. Di Desa Umbulharjo, BPD berhasil memainkan fungsi kontrol dalam pemerintahan dan pemba ngunan di desa. Hal itu ditampakkan dengan kasus ketegangan antara BPD dan Kepala Desa, saat BPD menagih RPJMDesa yang tak kunjung rampung disusun kepala desa terpilih. Konflik tersebut tidak berlarut dan justru menjadi momentum menata kembali relasi kelembagaan antara BPD dan Pemerintah Desa. Paska konflik, hubungan BPD dan Kepala Desa jauh lebih harmonis dan produktif. Hal ini menjadi mo dal penting bagi Umbulharjo dalam menyelesaikan isu-isu publik yang berkembang di masyarakat.39 Salah satu isu publik yang paling menonjol di desa

setempat adalah pengelolaan air bersih. Oleh karena itu, berdasarkan usulan warga, BPD bersama pemerintah desa menginisiasi kebijakan pembentukan BUMDesa yang diorientasikan mengelola kebutuhan air bersih bagi warga. Untuk keperluan itu maka dilakukan musdes untuk mendirikan BUMDesa. Musdes tentang pendirian BUMDesa ini merupakan musdes pertama yang diselenggarakan oleh BPD.40

Musdes ini menjadi tonggak penting pelembagaan demokrasi di desa karena merupakan praktek demokrasi pertama di Desa Umbulharjo yang melibatkan partisipasi masyarakat.

Demikian pula di Desa Panggungharjo, relasi BPD dan Peme- rintah Desa berjalan secara sinergis. Sinergi antara BPD dan peme- rintah desa dibangun dari rekatan emosi dan sosial masyarakat Desa Panggungharjo. Forum-forum deliberasi desa, mulai di tingkatan RT, Dusun dan Musyawarah Warga di tingkat desa menjadi medium mempertemukan gagasan dan menjadi arena membangun konsensus antara warga dengan pemerintah desa dan BPD. Produk dari sinergi

39 Banyak isu publik yang berkembang di Desa Umbulharjo. Isu-isu publik tersebut meliputi pengelolaan air baik air bersih, penambangan pasir, hunian tetap untuk warga korban erupsi Merapi, desa tanggap bencana, dan pengelolaan kegiatan wisata.

40 Kegiatan musdes tersebut dihadiri kades, perangkat desa, BPD, dan seluruh kadus, serta per- wakilan perempuan, pemuda dan tokoh masyarakat.

69

MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA

BPD dan Pemerintah Desa tercermin dalam APBDes yang berorientasi pada dimensi pelayanan dan perlindungan sosial warga desa untuk mencapai visi desa mandiri, sebagai desa sehat, desa pintar dan desa budaya. Pada titik ini, BPD Panggungharjo telah memanfaatkan secara maksimal ruang deliberasi yang menjalankan fungsi representasi. Bahkan, jejak representasi BPD Panggungharjo dapat dilihat dari munculnya peraturan desa inisiatif BPD.

Dalam konteks yang sedikit berbeda, relasi antara pemerintah desa dan BPD Punjulharjo memang melibatkan BPD. Namun peliba- tan BPD hanya sebatas menjalankan fungsi secara normatif se perti membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama kepala desa, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Apalagi posisi BPD terlihat lemah dengan terbitnya Peraturan Bupati Rembang yang mengatur bahwa pemerintah desa tetap bisa melanjutkan program-programnya, sekalipun BPD tidak menyetujui rancangan program yang diajukan oleh pemerintah desa. Hal ini bermakna BPD tidak berwewenang untuk menyetop program yang sudah dibuat Pemerintah Desa.

Dengan posisi politik demikian, fungsi representasi formal oleh BPD Punjulharjo juga tidak bekerja dengan optimal. BPD Punjulharjo misalnya, tidak menyelenggarakan musdes karena merasa tidak punya kewenangan untuk mengundang warga atau lembaga desa yang ada. Tugas untuk menyelenggarakan musdes kemudian diberikan kepada pemerintah desa. Meski demikian, BPD menempuh strategi penja- ringan aspirasi melalui forum warga seperti pertemuan RT dan RW oleh masing-masing anggota BPD. Akhirnya aktivitas BPD hanya mengadakan pertemuan internal yang rutin digelar setiap bulannya. Pertemuan internal BPD biasanya membahas isu yang muncul dan dianggap penting di masyarakat. Masalah biasanya digali oleh anggota BPD melalui forum-forum warga. Pola representasi demikian, pada

70

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

akhirnya memang dapat menjembatani kepentingan warga terhadap pemerintah desa yang ditandai dengan menjadikan BPD sebagai saluran aspirasi masyarakat terkait pengelolaan Karang Jahe Beach.

Namun BPD Punjulharjo kurang berfungsi dalam melakukan pengawasan kinerja kepala desa. Ketika terjadi kasus keuangan yang melibatkan sekretaris desa, fungsi BPD sebagai pengawasan kinerja kepala desa sulit dilakukan. Laporan keuangan hanya bisa diakses oleh BPD pada saat rapat pertanggungjawaban. Mandulnya fungsi BPD Punjulrejo bisa dipahami dengan kuatnya politik kekerabatan di Punjulharjo. Hampir seluruh orang yang menempati jabatan strategis di Desa Punjulharjo masih merupakan teman, kerabat dan tim sukses kepala desa terpilih. Bahkan salah satu anggota BPD adalah tokoh yang dekat dengan kepala desa sudah sejak awal diproyeksikan dan dipersiapkan untuk menjadi anggota BPD. Dalam proses pemilihan pun kemudian diatur agar dia terpilih dengan mudah dan tidak melalui perdebatan yang panjang.

Temuan dalam kajian ini juga menunjukkan variasi relasi BPD dengan warga desa yang mau melibatkan BPD meski dalam nalar normatif sebagaimana di Desa Nglanggeran dan Desa Mekarjaya. Nalar normatif tersebut dibangun dari setting sosial masyarakat setempat yang menempatkan nilai-nilai komunitarian (gotong royong, guyub, dan kebersamaan) sebagai dasar dalam menata kehidupan publik. Di Desa Nglanggeran, BPD dinilai kredibel, mewakili aspirasi warga, dan memiliki kemampuan saat menanggapi isu rencana masuknya investasi ke desa dalam kerangka pengelolaan situs gunung api purba. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan sikap BPD yang mendukung aspirasi warga. Sayangnya , BPD dan juga pemerintah desa dinilai lambat merespon inisiatif warga yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang mendesakkan terbitnya peraturan

71

MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA

desa tentang perlindungan aset dan tanah warga.41

Meski demikian, di mata warga, BPD tetap dipandang sebagai pihak yang harus dirangkul dalam pengembangan situs gunung api purba tersebut. Warga yang dimotori Pokdarwis tetap menjadikan BPD salah satu saluran aspirasi warga, selain pemerintah desa dan tokoh masyarakat setempat. Hal itu terlihat manakala Pokdarwis hendak mengosiasikan ide membebaskan situs gunung api purba dari kegi atan pertanian warga. Berkat dialog yang bersifat kekeluargaan yang melibatkan BPD, pemerintah desa dan kelompok warga, jalan damai itu membuahkan kesepakatan.42 Pada titik ini terlihat bahwa

aspirasi pengelolaan situs gunung api purba disalurkan melalui BPD atau forum informal desa guna memenuhi derajat inklusifitas (keterbukaan) dan bernilai publik.

Situasi serupa juga ditunjukkan di Desa Mekarjaya yang oleh warga dinilai sebagai lembaga desa terpercaya dan mewakili warga manakala menanggapi usulan pembangunan lapangan sepak bola.43

Bagi warga Mekarjaya, BPD dipandang sebagai aktor strategis terkait kebijakan desa sehingga mereka menggandeng BPD untuk mendukung usulan tersebut. Usulan tersebut diperjuangkan baik melalui lembaga-

41 Usulan tersebut dilatabelakangi kekhawatiran warga tentang lahan-lahan di kawasan situs gunung api purba akan jatuh ke tangan investor, jika tidak diproteksi yang berakibat me- ngancam hajat hidup warga Nglanggeran.Kesepakatan warga tersebut sudah berulangkali di- sampaikan dalam forum-forum yang melibatkan perwakilan dari Pemerintah Desa dan BPD, namun belum ditindaklanjuti dengan penerbitan peraturan desa.

42 Pihak Pokdarwis sepakat mengganti atau membeli kayu-kayu yang sudah berukuran besar

Dokumen terkait