• Tidak ada hasil yang ditemukan

Binder Buku Desa Situs Baru Demokrasi Lokal 17032017 SC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Binder Buku Desa Situs Baru Demokrasi Lokal 17032017 SC"

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

9 7 9 9 7 9 9 8 1 8 3 0 9 I S B N 9 7 9 9 8 1 8 3 0 - 3

Institute for Research and Empowerment (IRE) Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5

Dusun Tegalrejo RT 01/RW 09 Desa Sariharjo Kec. Ngaglik Kab. Sleman, Yogyakarta 55581 Telp/Fax:0274-867686

E-mail: office@ireyogya.org Website: www.ireyogya.org diterbitkan oleh:

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Demokrasi Lokal? Suatu proses bermasyarakat yang localy dan ideal, inilah

point penting dalam UU Desa. Hari-hari ini di masyarakat, utamanya aparat desa, harus menyadarinya, bahwa hal tersebut adalah jantung dalam berdemokrasi dan "berdesa" sebagai jalan menuju kesejahteraannya. (Ahmad Muqqowam, Ketua Komite I DPD RI dan Mantan Ketua Pansus RUU Desa )

Demokrasi desa adalah demokrasi orisinal nusantara yang tumbuh dan berkembang mendampingi kemajuan bangsa. Studi yang dilakukan oleh IRE ini menyumbang pelaksanaan UU Desa sesuai amanahnya. Mari kita gali esensi dari buku ini sebagai pembelajaran berdemokrasi dari Desa.

(Anwar Sanusi, Sekretaris Jenderal (Sekjen) kementerian Desa, Pembangunan DaerahTertinggal, dan Transmigrasi)

Buku ini memotret pengalaman lapangan tentang desa dan praktik demokrasi. Pelaksanaan UU Desa (dengan segala plus minusnya) sudah menghadirkan desa sebagai "sekolah politik kebangsaan" bagi warganya. Sebagai salah seorang yang ikut melahirkan UU Desa dan menyaksikan dari dekat praktik pemberdayaan desa, saya berpikir menjadikan praktik yang sudah baik di desa ini juga menjadi praktik di 74.900 desa lainnya. Cuma dgn itu kita layak optimis dengan pendewasaan rakyat dalam berdemokrasi. (Budiman Sudjatmiko: anggota DPR dan praktisi pemberdayaan desa)

Buku ini memotret perkembangan Desa di Indonesia. Praktik- praktik baik yang ada bisa kita contoh, dan dengan tahu kelemahannya maka bisa menyikapi serta bisa mengukur saat ini posisi desa kita seperti apa. Gaya kepemimpinan di desa pun beragam. Buku ini sangat bermanfaat untuk dibaca para generasi muda sebagai penerus estafet kepemimpinan desa. (Sugeng Handoko, penggerak pemuda Pengelola Desa Wisata Nglanggeran @gunungapipurba)

Demokrasi sejati, menempatkan perempuan dan laki-laki setara dalam pengambilan keputusan dan penikmatan HAM. Untuk mencapai itu, dibutuhkan serangkaian pemberdayaan dan tindakan afirmasi. Buku ini memberikan pelajaran tentang masih lemahnya akses perempuan untuk turut menyemarakkan arena demokrasi lokal, sehingga kehadiran UU Desa harus dimanfaatkan dalam rangka menciptakan keadilan gender di Desa

(2)

DESA

(3)
(4)

Penulis:

Dina Mariana, Iranda Yudatama, Nurma Fitrianingrum, Rajif Dri Angga, Sigit Pranawa, Sugeng Yulianto,

Sukasmanto, Sunaji Zamroni, Titok Hariyanto

Editor:

Fatih Gama Abisono Nasution

DESA

(5)

Desa: Situs Baru Demokrasi Lokal

Hak cipta © Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia Oleh Penerbit IRE, Yogyakarta. 2017

dengan dukungan Program Yayasan Tifa

Cetakan Pertama, Februari 2017

Kata Pengantar: Darmawan Triwibowo, Direktur Eksekutif Yayasan Tifa

Prolog: A.E. Priyono Epilog: Dr. Arie Sujito

Reviewer: Dr. Arie Sujito, Dr. Krisdyatmiko Penyunting: Dina Mariana, Zelvia Debi Hapsari Editor: Fatih Gama Abisono Nasution

Desain Sampul & Layout: Suparmo

Institute for Research and Empowerment (IRE) Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5

Dusun Tegalrejo RT 01/RW 09

Desa Sariharjo, Kec. Ngaglik, Sleman, D.I. Yogyakarta 55581 Phone: 0274 - 867686, 7482091

E-mail: office@ireyogya.org, Website: www.ireyogya.org

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau

memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit.

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Desa: Situs Baru Demokrasi Lokal, Cetakan. 1 Yogyakarta: IRE Yogyakarta, 2017

(6)

v

KATA PENGANTAR

Yayasan Tifa

Desa tidak pernah luput dari silang sengkarut praktik pembangunan di Indonesia. Secara umum, ada dua lensa pandang utama terhadap desa yang bisa ditarik dari cara negara memperlakukan desa dalam pembangunan, yaitu sebagai “alat” atau “masalah”. Sebagai alat, desa adalah sekrup kecil dalam mesin pembangunan yang berfungsi melayani kepentingan yang lebih besar dari keberadaan desa itu sendiri. Desa menjadi alat untuk menjaga stabilitas harga pangan bagi penduduk kelas menegah perkotaan; sumber pasok buruh murah bagi perluasan industri manufaktur padat karya; maupun (paling tidak sekali dalam lima tahun) alat untuk mendulang suara bagi partai berkuasa atas nama stabilitas politik nasional. Di sisi lain, negara juga mendekati desa sebagai sumber permasalahan yang harus diatasi. Tidak heran jika kemudian desa begitu akrab dengan beragam kata yang tidak hanya merujuk pada masalah ekonomi, seperti kemiskinan, ketertinggalan, kesenjangan, tapi juga masalah sosial-politik, bahkan ideologi, seperti sumber konflik (agraria) hingga sarang komunisme. Seperti yang dengan cergas digambarkan oleh Antlov (2003), desa dalam dua lensa pandang ini tidak lebih dari “objek sentralisasi, depolitisasi, kooptasi, intervensi, dan instruksi dari atas”.

(7)

vi

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

pembangunan. Desa dibicarakan namun tidak pernah sungguh-sungguh menjadi rujukan; dibangun namun tidak pernah dipertuankan; disediakan panggung namun (warganya) hanya bisa bertepuk tangan di pinggiran. Tidak mengherankan jika perlakuan negara terhadap desa yang diterapkan berdekade-dekade tersebut telah menggerus jati diri desa sebagai satuan komunal dengan tujuan serta kepentingan kolektif yang mandiri, baik terhadap satuan komunal lainnya maupun atas struktur kuasa di luar desa. Hal ini juga menjelaskan mengapa desa tidak segera ditengok di masa awal ekperimen demokrasi bernama desentralisasi.

Namun, ketika desentralisasi (berbasis kabupaten/kota) mulai terlihat majal dalam mendorong perbaikan pelayanan publik serta pendalaman demokrasi, desa secara tiba-tiba menjadi tumpuan akhir bagi partisipasi aktif warga untuk bernegara (civic engagement) dan berkembangnya tatanan demokrasi yang benar-benar bersifat deliberatif. Implementasi UU No 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) de ngan demikian bisa dibaca sebagai pengakuan negara atas “malpraktik” terhadap desa yang telah dilakukan selama ini. Di sisi lain, otonomi desa berbasis rekognisi dan subsidiaritas yang diintroduksikan oleh undang-undang ini, memberikan tantangan kepada desa untuk menggali ulang dan mengolah potensi-potensi yang ada di dalam komunitas serta wilayahnya, sebagai pemilik dan bukan lagi sekadar kuli dalam proses pembangunan.

(8)

vii

KATA PENGANTAR YAYASAN TIFA

belanja fiskal yang mendominasi rancang bangun proses desentralisasi (Lewis 2015), dan masih terbawa dalam skema otonomi desa, kerap lebih mendominasi dan memperumit upaya untuk memperkuat kepemimpinan, partisipasi warga dan representasi yang lebih ber-makna di tingkat desa. Yayasan Tifa percaya bahwa pendalaman dan pembelajaran yang terus menerus tarhadap tantangan-tantangan tersebut akan mampu mendorong perbaikan praktik otonomi desa dan mewujudkan peran desa sebagai arena demokrasi dan wahana repolitisasi warga di Indonesia. Buku ini, dengan demikian, adalah langkah awal untuk mendorong pendalaman demokrasi melalui praktik politik keseharian (everyday politics) di tingkat desa yang akan dilakukan Yayasan Tifa bersama mitra-mitra strategisnya dalam empat tahun ke depan.

Darmawan Triwibowo

(9)

viii

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Direktur Eksekutif IRE

(11)

x

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Berpijak pada merebaknya situs-situs perdebatan yang menyoal demokrasi tersebut, IRE Yogyakarta sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil di Indonesia, terpanggil untuk urun rembug. Bahwa demokrasi memang harus terus dikonsolidasikan dan dikembangkan di Indonesia. Tetapi yang penting diagendakan saat ini adalah proyek besar pengembangan demokrasi alternatif di Indonesia. Momentum pelaksanaan UU No 6/2014 tentang Desa (UU Desa) bisa menjadi situs baru kebangkitan demokrasi alternatif seperti yang dimaksud. Bisa jadi UU Desa menjadi peluang berlangsungnya arus balik demokrasi yang tengah mengalami titik nadir. Mengapa? IRE Yogyakarta meyakini, bahwa UU Desa akan menggerakkan puluhan ribu entitas desa (lebih dari 74.000) mempraktikkan prinsip dan nilai demokrasi desa. Praktik pelembagaan demokrasi desa secara masif inilah yang berpeluang menjadi arus balik demokrasi di Indonesia. Bukan lagi demokrasi liberal yang mengarus deras ke desa, tetapi demokrasi desalah yang mengepung panggung nasional. Keyakinan IRE ini telah ditempuh dengan mendokumentasikan praktik-praktik kepemimpinan, repre-sen tasi, dan inisiatif warga di desa-desa Pulau Jawa. Ada 10 desa di 5 propinsi Pulau Jawa yang diambil pembelajaran atas praktik-praktik lokalitasnya (stock taking study). Hasil studi lapangan di 10 desa inilah yang menjadi bahan dasar penulisan buku ini.

(12)

xi

KATA PENGANTAR DIREKTUR EKSEKUTIF IRE

Sudarwo, Rajif Dri Angga, dan Nurma Fitrianingrum. Kerja produktif para peneliti IRE didukung pula oleh kerja telaten para asisten peneliti yang bekerja di 10 desa lokasi penelitian. Atas nama lembaga, kami menghaturkan terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada mereka, yaitu; Romli (Desa Cangkudu, Tangerang), Hendra Gunawan (Desa Mekarjaya, Sukabumi), Suyanto (Desa Sidorejo, Kulonprogo), Ahmad Nur Ardiansyah (Desa Nglanggeran, Gunungkidul), Mohammad Fathollah (Desa Panggungharjo, Bantul), Mahmudi (Desa Punjulharjo, Rembang), Melani Jayanti (Desa Umbulharjo, Sleman), Irfan Pranoto (Desa Ringinrejo, Blitar), Hendra Arditya Sakti Mahulae (Desa Gulon, Magelang) Kerja produktif ini pun tidak luput dari sentuhan daya ulet “Ida” Hidayatut Thoyibah, yang dilanjutkan oleh “Deby” Zelvia Debi Hapsari dalam mengawal kerja-kerja penelitian, penulisan, dan serangkaian menyusun pengetahuan di dalam buku ini. Akhirnya, kami menghaturkan terima kasih kepada semua tim peneliti dan penulis buku ini. Kepada para pembaca buku ini, selamat membaca dan menemukan kritik atas buku ini, agar proyek besar demokrasi lokal ini terus berlanjut dan tidak layu sebelum berkembang.

Yogyakarta, Februari 2017

Direktur Eksekutif IRE

(13)

xii

(14)

xiii

Dina Mariana, S.H.

Peneliti madya Institute for Research and Empowerment Yogyakarta

Email : dina0979@gmail.com

Iranda Yudhatama, S.Sos.

Direktur Eksekutif Swara Nusa Institute,

fellow/associate researcher IRE Email : yudha_merapi@yahoo.com

Nurma Fitrianingrum, S.I.P.

Peneliti Muda Institute for Research and Empowerment

(IRE ) Yogyakarta, Alumni Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM.

Email: nfitrianingrum@gmail.com

BIOGRAFI SINGKAT

(15)

xiv

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Rajif Dri Angga, S.I.P.

Peneliti Muda Institute for Research and Empowerment

(IRE )Yogyakarta, Alumni Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM.

Email: rajif.fisipolugm@gmail.com

Dr. Sigit Pranawa, M.Si.

Fellow Researcher Institute for Research and Empowerment (IRE ) Yogyakarta. Dosen tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional

Email: sigit_pranawa@yahoo.com

Sugeng Yulianto, M.Sc.

Deputi Pengembangan SDM dan Kelembagaan Institute for Research and Empowerment (IRE) Yog yakarta. Alumni Magister Pengelolaan Lingkungan (MPL) Universitas Gadjah Mada. Email: greenchiempoel@gmail.com

Sukasmanto, M.Si.

Peneliti Senior Institute for Research and

Empowerment (IRE) Yogyakarta, dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis dan Perbankan (STIE BBANK) Yogyakarta.

(16)

xv

BIOGRAFI REVIEWER, EDITOR, & PENULIS

Sunaji Zamroni, M.Si.

Direktur Eksekutif Institute for Research and Empowerment (IRE) Yog yakarta (2015-2017). Anggota KPU Kota Yogyakarta (2008-2013). Email: najibantul73@gmail.com

Titok Hariyanto, S.I.P.

Deputi Pengembangan Program dan Jaringan

Institute for Research and Empowerment (IRE) Yog-yakarta (2015-2017)

Email: titokth@gmail.com

Dr. Arie Sujito, M.Si.

Peneliti Senior IRE Yogya karta. Dosen tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

Email: ariegerak@gmail.com

Prolog

Epilog

AE Priyono

Co-founder and Research fellow, Public Virtue – Institute for Digital Democracy and Civic Activism, and freelance journalist.

(17)

xvi

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Dr. Krisdyatmiko, M.Si.

Peneliti Senior IRE Yogyakarta. Dosen tetap Program Studi Pembangunan Sosial dan Ke sejahteraan (PSdK), FISIPOL Uni versitas Gadjah Mada.

Email: krisdyatmiko@yahoo.com

Fatih Gama Abisono Nasution, M.Si.

Sekretaris Eksekutif Centre For Lead, Staf Pengajar/Dosen Program Studi Ilmu

Pemerintahan di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.

Email : fatih.abisono@gmail.com

Zelvia Debi Hapsari, S.Hut.

Peneliti Muda IRE Yogyakarta, Alumni Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan UGM. Email : zelvia.dh@gmail.com

Editor

Reviewer

(18)

xvii

Daftar Isi

Kata Pengantar : Yayasan Tifa ... v

Kata Pengantar: Direktur Eksekutif IRE ... ix

Biografi Singkat Penulis ... xiii

Daftar Isi ... xvii

Daftar Tabel ... xvii

Daftar Singkatan ... xix

Prolog Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris? ... 1

Bab 1: Penemuan Kembali ... 15

A. Prawacana ... 15

B. Kontekstualisasi Berdesa ... 20

C. Argumentasi Metodologis ... 22

D. Tentang Alur dan Isi ... 25

Bab 2: Kepemimpinan dan Transformasi Desa ... 29

A. Prawacana ... 29

B. Warisan Lama: Dominasi Orang Kuat Lokal dan Politik Kekerabatan di Desa ... 31

C. Menuju Kepemimpinan Transformatif ... 45

(19)

xviii

Bab 3: Memperkuat Representasi Warga ... 61

A. Representasi Partisipatoris-Deliberatif ... 61 B. BPD dan Musyawarah Desa: Rute Formal Deliberasi

Demokrasi Desa... 64 C. Rute Representasi Informal: Suplemen Demokrasi Deliberatif 79 D. Simpul Wacana ... 89

Bab 4: Inisiatif Warga Dalam Ruang Demokrasi Desa ... 95

A. Inisiatif Warga: Penguatan Delibrasi Demokrasi Desa ... 95 B. Dinamika Inisiatif Warga dalam Ruang Demokrasi Desa .... 99 C. Simpul Wacana ... 129

Epilog

Menyemai Demokrasi Desa ... 131

Daftar Pustaka ... 147 Lampiran ... 15

Daftar Tabel

(20)

xix

Daftar Singkatan

APBDesa : Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa BNPB : Badan Nasional Penanggulan Bencana

BP : Badan Pengelola

BP SPAMS : Badan Pengelola Sarana Penyediaan Air Minum dan Sanitasi

BPD : Badan Permusyawaratan Desa BRI : Bank Rakyat Indonesia BUMDes : Badan Usaha Milik Desa

CC : Community Centre

D3 : Diploma

DPR RI : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ELSAM : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat FDS : Forum Difabel Sidorejo

GP Ansor : Gerakan Pemuda Ansor GSB : Gerakan Sosial Baru

IRE : Institute for Research and Empowerment

ISI : Institut Seni Indonesia Kades : Kepala Desa

KJB : Karang Jahe Beach

KPA : Konsorsium Pembaruan Agraria KTP : Kartu Tanda Penduduk

(21)

xx

Musdes : Musyawarah Desa

Musrenbangdes : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa

NGO : Non Governement Organization

NU : Nahdlatul ‘Ulama

OPAB : Organisasi Pengelola Air Bersih

P3DT : Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal

PAD : Pendapatan Asli Daerah PDAM : Perusahaan Daerah Air Minum

PDI-P : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PKK : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga Pokdarwis : Kelompok Sadar Wisata

PT : Perseroan Terbatas

PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara

RAPBDesa : Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

Rekompak : Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas

RKPDesa : Rencana Kerja Pemerintah Desa

RPJM Desa : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa

RT : Rukun Tetangga

Rusun : Rumah Susun

RW : Rukun Warga

SDM : Sumber Daya Manusia

SIGAB : Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel’ SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah

SMA : Sekolah Menengah Akhir TKI : Tenaga Kerja Indonesia

TNBTS : Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Unesco : The United Nations Educational, Scientific

and Cultural Organization

(22)

1

PROLOG

Demokratisasi Desa:

Situs Baru Politik

Partisipatoris?

Demokratisasi Indonesia pada tingkat politik makro dan nasional sudah lama dideteksi mengalami kemacetan, terus bergerak ke arah kemunduran, dan sedang akan berakhir menuju kegagalan. Banyak studi membuktikan takdir pahit ini. Demos (2005) sudah sejak awal memperlihatkan terjadinya pembajakan elit terhadap lembaga-lembaga dan prosedur demokrasi, dan ini menjadikan demokratisasi Indonesia berwatak sangat elitis. Robison & Hadiz (2004) melakukan studi yang menggaris-bawahi bahwa elit predatorial (elit pemangsa rakyat) lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggung politik. Mereka melakukan reorganisasi kekuasaan mengikuti logika politik kartel, dan ini menjadi basis bagi munculnya oligarki dan plutokrasi.1 Tapi studi lain yang dilakukan Hee-Yeon Cho (2008)

(23)

2

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

melihat bahwa “demokrasi oligarkis” Indonesia berangsur-angsur berubah menjadi “oligarki demokratis.” Inilah sejenis oligarki yang ingin mempertahankan kekayaan — sekaligus merebut kekuasaan – melalui kompetisi elektoral (melalui pemilu) yang berwatak elitis. Jadi, bukan politik demokrasi yang berlangsung di Indonesia, tapi politik oligarki.

Sementara itu Winters (2014) juga menegaskan kenyataan serupa, bahwa elemen penting plutokrasi neo Orde Baru adalah kaum oligark (elit berwatak oligarkis) yang tak ikut lenyap bersama tumbangnya Suharto. Kaum oligark yang dulu berada di bawah kendali mutlak Suharto kini sedang berebut posisi di puncak kekuasaan. Oligarki sultanistik di zaman Orde Baru terpusat di Cendana, sedangkan oligarki pasca Orde Baru menyebar ke dalam banyak kutub persaingan kaum elit. Metode otoritarian Orde Baru membuat oligarki bisa dikuasai seorang diktator, sedangkan “demokratisasi” pasca Orde Baru membuat para oligark bersaing melalui mekanisme kompetisi electoral. Melalui telaah ini, Winters ingin menegaskan bahwa oligarki dan demokrasi saling menunggangi.

Cerita ini belum lengkap tanpa melihat apa yang terjadi di tingkat lokal. Studi awal yang dikerjakan Nordholt (2004) menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia pasca Orde Baru tidak menyebabkan ke terputusan kekuasaan elit-elit lama. Yang terjadi bukan hanya kontinuitas atau kelanjutan praktek politik Orde Baru, tetapi justru munculnya kembali kekuasaan patrimonial pra-kolonial.2 Elit-elit

terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrem ketimpangan sumber daya antara “kaya” dan “miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam plutokrasi) tidak hanya mengua-sai sumber ekonomi dan politik, melainkan juga sumber daya kekerasan (pasukan ,senjata, teknologi). Dalam kondisi seperti ini, plutokrat boleh jadi lebih berkuasa ketimbang pemer-intah resmi.

(24)

partri-3

PROLOG

lokal feodal merebut instrumen-instrumen demokrasi dan mereka me nemukan ruang untuk kembali mewujudkan kepentingan elitis-feodal mereka. Melalui kontestasi dalam demokrasi elektoral, elit-elit lama itu tak jarang berhasil menguasai birokrasi lokal. Di sini Klinken (2014) memberikan sumbangan temuan riset lain yang juga menarik, bahwa kelas birokrasi lokal membangun aliansi dengan kelas menengah lokal yang berwatak patronal, antara lain yang berbasis etnis (suku), untuk penguasaan sumberdaya. Inilah yang menjadi basis bagi munculnya dinasti-dinasti politik baru di tingkat lokal.3

Sementara itu studi Peluso (2007) melihat kenyataan bahwa surutnya kekuasaan militer di daerah membuat para penguasa Kodam menjadi kaki-tangan pemodal (Investor), demi eksploitasi sumberdaya alam. Mereka memberikan jasa keamanan untuk berlangsungnya aliansi antara birokrasi lokal, korporasi, dan kekuatan-kekuatan predator lain seperti partai politik.

Studi dari ketiga peneliti yang disebut terakhir itu menjelaskan fenomena umum proses politik di tingkat lokal. Sama dengan yang terjadi di tingkat nasional, maka proses politik demokratisasi lokal – khususnya melalui mekanisme kontestasi elektoral di tingkat provinsi maupun kabupaten — hanya mendaur ulang siklus politik elitis-oligarkis.

monial legitimasi pemimpin atau raja bersumber dari karisma personalnya atau karena klaim pewahyuan sebagai wakil Tuhan. Patrimonialisme acapkali dituding melahirkan rejim des-potik (sewenang-wenang), karena tidak ada kontrol terhadap kekuasaan yang menempatkan pimpinan sebagai satu-satunya sumber kebenaran.

(25)

4

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Pengamatan seperti ini juga dikemukanan oleh Hans Antlov (2004), salah seorang sarjana yang banyak melakukan kajian dan advokasi tentang politik lokal dan demokratisasi desa. Menurutnya, desain demokrasi elektoral di tingkat nasional yang hanya melibatkan warganegara untuk ikut dalam pemilu lima tahun sekali, mustahil menciptakan partisipasi yang bermakna. Karena itu, juga mustahil menghadirkan demokrasi yang bermakna. Model demokrasi elek-toral seperti itu hanya akan membuat para teknokrat dan birokrat mempertahankan kekuasaan mereka selama masa-antara lima tahunan antar-pemilu.4 Menurutnya, model demokrasi minimal

demikian hanya menghasilkan reformasi politik yang dangkal — dan ini membuat korupsi berjalan terus, sistem peradilan yang busuk tidak bisa berubah, sementara masyarakat akan tetap apatis dan tak percaya pada negara. Lalu, bagaimana?

***

Antlov berpijak pada dua argumen untuk membuat demokratisasi Indonesia bekerja dengan maksimal. Pertama, otonomi daerah yang sejauh ini hanya berlangsung pada level administratif harus di-sertai dengan penguatan kapasitas politik masyarakat sipil di tingkat lokal. Meminjam kalimatnya sendiri, “mendukung demokrasi tidak cukup hanya dengan membuka ruang-ruang baru politik lokal: ada kebutuhan untuk melakukan tindakan-tindakan yang memungkinkan suara-suara baru didengar dan memberikan kepada rakyat kekuatan untuk terlibat mengurus komunitas mereka sendiri” (Antlov 2004: 141). Di sini Antlov tampak menekankan gagasan tentang repolitisasi masyarakat sipil. 5

4 Teknokrat, berasal dari teknokrasi yaitu sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para ahli. Dalam pengambilan keputusan politik-ekonomi, para ahli yang selanjutnya disebut tek-nokrat tersebut, menggunakan pendekatan ilmiah-rasional dan teknis untuk melegitimasi keputusan yang diambil. Akibatnya, keputusan yang diambil meminggirkan pertimbangan politis sekaligus menyingkirkan peran rakyat dalam pengambilan keputusan.

(26)

masyara-5

PROLOG

Sebelumnya Antlov mengakui bahwa desentralisasi bisa menjadi agenda depolitisasi masyarakat. Dengan menyerahkan semua kebijakan pemerintahan menjadi urusan kabupaten/kota dan/atau provinsi, maka sangat mungkin hanya para politisi dan birokrat lokal yang memonopoli arah desentralisasi. Di tangan mereka kebijakan-kebijakan pembangunan daerah menjadi urusan teknis, bukan politis. Jika demikian halnya maka hasilnya adalah desain kebijakan desentralisasi yang sepenuhnya bersifat teknokratis, kembali berwatak

top-down (atas-bawah), tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Desentralisasi yang seperti itu tidak mencerminkan aspirasi yang sesungguhnya dari bawah. Desentralisasi dengan watak demikian justru melanggengkan hubungan kekuasaan elitis dan melestarikan penyimpangan politik di tingkat lokal – apatisme dan ketidakpercayaan masyarakat kepada negara.

Kedua, kunci untuk repolitisasi masyarakat sipil dalam proses desentralisasi adalah dengan cara membuat mereka mau terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik yang berkaitan dengan kepentingannya yang paling dekat dan nyata – yaitu menyangkut problem-problem kehidupan mereka sehari-hari. Bagi Antlov, ini berarti menurunkan urusan publik ke tingkat desa, khususnya ke tingkat everyday-politics (urusan politik sebagai peristiwa keseharian yang nyata). Demokrasi lokal hanya bisa menghasilkan dampak nyata dalam setting yang seriil itu. Dengan keyakinan seperti inilah Antlov bergerak untuk melanjutkan proyek desentralisasi ke level desa. Me minjam lagi kalimatnya sendiri Antlov menyatakan, “... dulu desa adalah objek sentralisasi, depolitisasi, kooptasi, intervensi, dan instruksi dari atas. Sekarang desa [harus dibayangkan] menjadi arena demokrasi, otonomi, partisipasi, dan kontrol bagi warga

(27)

6

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

masyarakat” (Antlov, 2003).

Menarik bahwa Antlov mengembangkan imaginasi tentang desa sebagai “arena demokrasi” itu jauh sebelum terbitnya UU No. 6/2014 tentang Desa. Sebagian besar impiannya tampaknya betul-betul terwujud dalam banyak pasal pada undang-undang itu, terutama berkenaan dengan isu partisipasi warga desa. Kita tahu bagaimana peranannya sangat penting – misalnya bersama beberapa NGO, seperti IRE – ketika mengadvokasi legislasi UU tersebut. Mereka terutama mempromosikan tema civic-engagement (pelibatan warga) dalam kerangka demokratisasi desa. Dan persis di sinilah, kita perlu sedikit mendalami fokus dan tekanan-utama mereka atas gagasan tersebut.

Menurut Antlov, partisipasi warga melibatkan partisipasi sistematis dalam perumusan dan pembuatan kebijakan oleh kelompok-kelompok warga. Pelibatan partisipasi itu juga mencakup kerja berjejaring dengan mereka yang telah lebih dulu mengembangkan metode-metode politik partisipatoris untuk konsultasi, deliberasi, perencanaan, dan monitoring terhadap agenda-agenda dan program-progam pemeritahan desa (Antlov 2004: 142). Jadi, singkatnya politik partisipatoris harus diwujudkan kembali dengan menguji secara empiris di tingkat desa. Ini menjadi desain praksis untuk membuat alternatif bagi demokrasi elektoral yang gagal di tingkat supra-desa.

Bagi banyak pengamat, perwujudan kembali politik partisipatoris di tingkat lokal memang menjadi sebuah keharusan. Tamrin Amal Tomagola baru-baru ini mengingatkan bahwa salah satu persoalan paling serius demokrasi Indonesia adalah pengabaian terhadap aspirasi-aspirasi masyarakat pedesaan yang sebenarnya merupakan konsti tuen terbesar demokrasi. Menurutnya, selama ini demokrasi Indonesia terlalu berorientasi kota dan hanya terkonsentrasi pada gerakan kelas menengah perkotaan.6 Kepentingan kalangan menengah

(28)

7

PROLOG

kota secara sosiologis dan kultural jelas harus dibedakan dengan kepentingan kelas masyarakat non-kota di tingkat lokal, khususnya di daerah pedesaan. Demokrasi liberal cukup bisa memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah perkotaan akan kebebasan sipil-politik yang berbasis pada aspirasi-aspirasi individual. Tapi demokrasi tidak bisa hanya memenuhi kebutuhan individual akan kebebasan sipil dan politik. Bagi masyarakat pedesaan yang lebih berwatak komunal (kebersamaan), di mana akses kolektif atas sumberdaya alam lokal menjadi pertaruhan hidup-mati, demokrasi harus menekankan sisi partisipasi kolektif warga.

Masalahnya adalah, daya dukung politik masyarakat desa tidak memadai untuk memperbesar tekanan pada aspek ini. Karena itu bagi Tamrin, ada kebutuhan untuk reorientasi demokrasi Indonesia ke arah penguatan kapasitas politik masyarakat desa. Ini adalah kata lain dari istilah civic-engagement yang ditekankan Antlov di atas. Jadi, seperti halnya Antlov, Tamrin juga melihat ada dua manfaat dalam reorientasi ini. Pertama, memberi keseimbangan baru agar demokrasi tidak hanya berkiblat ke kota, yang cenderung menekankan sisi-sisi kebebasan individual kelas menengah liberal dan kompetisi elektoral para elit. Kedua, dengan menekankan aspek partisipatorisnya dalam latar sosio-kultural komunal berbasis desa, demokratisasi Indonesia bisa menjadi lebih produktif, inklusif (terbuka), otentik (asli), dan maksimal.

***

Studi-studi kasus IRE tentang 10 desa di Jawa yang terhimpun dalam buku ini memberi gambaran bahwa ada yang sedang menggeliat dari bawah, dari tingkat lokal, dari desa-desa kita. Kasus-kasus yang diteliti membawa kita untuk memiliki gambaran tentang dimensi-dimensi empiris mengenai apa yang dipikirkan Antlov dan Tamrin.

(29)

8

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Di tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi dan kelembagaan masyarakat sipil di tingkat desa, maka dengan terbitnya UU No. 6/2014 telah tercipta kesempatan politik yang terbuka luas bagi lahirnya model-model tata kelola baru di tingkat desa. Model-model baru itu memang sedang dalam proses terbentuk, sesuai dengan konteks-konteks problematik setempat. Cerita-cerita yang terhimpun dari 10 kasus yang distudi IRE itu baru merupakan sebagian dari ilustrasi nyata yang kini bisa ditemukan di mana-mana di seluruh penjuru tanah air.

Kesepuluh studi kasus IRE dengan sengaja membatasi fokus analisisnya untuk melihat tiga aspek: (i) kepemimpinan desa; (ii) kinerja lembaga-lembaga representasi (perwakilan) desa; dan (iii) inisiatif warga desa. Hasilnya adalah sebuah bunga rampai yang merupakan cerita saling-silang; masing-masing bisa bertutur sendiri mengenai kombinasi yang saling mempengaruhi antara ketiga aspek itu. Ada kepemimpinan desa yang responsif atau tanggap, didukung oleh kelompok-kelompok warga desa yang penuh inisatif atau prakarsa dengan tradisi deliberatif (dialog dan musyawarah) yang punya akar kuat; dan ditopang pula oleh lembaga-lembaga formal representasi desa yang terbuka. Ini jelas sebuah kombinasi ideal untuk membangun pemerintahan desa yang partisipatoris. Ada pula jenis kepemipinan desa dinastik yang elitis, konservatif, tidak transparan; dan ini biasanya muncul dari dan/atau melahirkan sikap masyarakat yang apatis atau tidak peduli dan pasif; serta dilengkapi pula oleh lembaga representasi desa yang tidak responsif dan tidak kredibel. Hasilnya tentu sebuah jenis tata-pemerintahan desa yang majal dan anti-pembaruan.

(30)

9

PROLOG

yang muncul dari aktivisme kelompok-kelompok warga masyarakat yang penuh inisiatif, tapi yang tidak didukung oleh adanya lembaga-lembaga representasi formal. Atau kepemimpinan yang lemah, tapi dikontrol ketat oleh lembaga-lembaga representasi masyarakat yang agresif menyuarakan kepentingan-kepentingan delegatif warga. Atau kepemimpinan yang kuat, tapi berada dalam ketegangan dengan kelompok-kelompok warga yang juga kuat, dengan lembaga-lembaga representasi yang mengalami kemandulan. Atau berbagai jenis lain variasi-variasi semacam itu. Semua bentuk kombinasi yang penuh dengan kemungkinan itu, tentu juga menemukan batas-batas strukturalnya. Mana dari ketiga aspek itu yang paling kuat sebagai faktor dominan, biasanya akan sangat menentukan arah perubahan baik transformatif atau deformatif. Studi IRE kali ini cukup memperkaya khazanah wawasan, bagaimana sebuah polity atau satuan politik berbasis lokal-kewilayahan bergerak karena dialektika endogennya yang berlangsung dalam dirinya sendiri.

Namun demikian, mengamati dinamika politik “lokalisme kewi-layahan” tidak pernah bisa diletakkan di luar pengaruh-pengaruh eksogen atau berasal dari luar. Ini yang tampaknya lepas dari perhatian IRE. Faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi dinamika sosial-politik pedesaan di Indonesia perlu juga didasarkan pada perspektif global. Di sini saya perlu memperkenalkan perspektif Joshua Forrest (2014), yang dengan meyakinkan telah memperingatkan bahwa gagasan-gagasan lokalisme kewilayahan kini sedang menyurut. Mazhab lokalisme kewilayahan percaya bahwa masyarakat pedesaan mempunyai daya tahan dalam menghadapi apa yang disebut arus “metropolitanisasi” – yakni pertumbuhan wilayah yang terus berlanjut di mana kawasan perdesaan terurbanisasi dengan cepat sejalan dengan kebijakan aglomerasi regional.7

(31)

10

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Forrest memperlihatkan gejala-gejala baru di mana selama dua dasawarsa terakhir ini, bahkan di seluruh dunia, potensi masyarakat lokal dalam mempertahankan kontrol atas sumberdaya perekonomian masing-masing, pun juga menyangkut kemampuan mereka untuk membuat dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada kepentingan lokal justru sedang sangat menurun.

Beberapa faktor ditunjukkan Forrest menyangkut gejala ini.

Pertama, tentu saja adalah karena pengaruh ekspansi investasi yang semakin fleksibel yang mengikis batasan teritorial kota-desa. Modal begitu cepat bergerak dari kota ke desa; dan ini menciptakan proses de-teritorialisasi. Kedua, pada saat yang sama, untuk mengakomodasi sumber ekonomi baru akibat investasi itu, ada kebutuhan bagi pemerintah-pemerintah desa untuk melakukan privatisasi (atau dikenal swastanisasi) di mana modal mengambil alih atas berbagai jenis pelayanan publik tertentu. Ketiga, sebagai akibat perluasan investasi oleh swasta itu, muncul gelombang migrasi yang menyerbu desa-desa dan gelombang yang akhirnya mengikis tradisi komunitarianisme (kebersamaan) lokal dan otentik (asli) desa-desa. Singkatnya spirit lokalisme kewilayahan menjadi melemah. Pelemahan inilah yang menyebabkan menipisnya otonomi dan kapasitas tata-kelola penyelenggaraan kepentingan publik pemerintahan desa.

Sampai di sini kita sedang memetakan dua gelombang pengaruh yang menyerbu desa-desa. UU No. 6/2014 mendesain desa untuk tumbuhnya kapasitas lokal demokratik melalui skenario pelibatan warga (civic-engagement). Tapi di pihak lain, aglomerasi yang menyerbu desa-desa karena ekspansi modal membuat kapasitas otonomi desa-desa menyurut. Inilah situasi dilematis yang secara

(32)

11

PROLOG

struktural menciptakan tantangan besar bagi inisiatif apapun yang ingin menjadikan desa sebagai situs baru demokrasi partisipatoris.

***

(33)

12

D

Kerangka Analisis Politik Partisipatoris

LEADERSHIP (responsivity, responsibility, and transparancy) (idea of local territorial autonomy, reassertion and reclaiming of welfare)

Public Interest Formation

Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10

Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10

Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10

Public Space Extention

Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10

Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10

Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10

Publicness/ Inclusiveness of Aspirations

Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10

Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10

Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10

Capital-Driven Aglomeration

Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10

Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10

(34)

13

PROLOG

Ketiga faktor dengan seluruh syarat-syarat instrinsiknya itu, pada analisis selanjutnya harus dikorelasikan dengan faktor lain yang bersifat endogen maupun eksogen. Ada tiga faktor endogen untuk dipakai sebagai parameter pengujian —yakni perumusan kepentingan publik, perluasan ruang publik, serta inklusivitas dan sifat-kepublikan aspirasi-aspirasi. Sementara itu satu faktor eksogen adalah menyangkut fenomena aglomerasi, terutama yang dilatarbelakangi oleh ekspansi modal dari aktor-aktor/lembaga-lembaga supra-desa.

Kerangka analisis matriks ini penting dipakai untuk melihat dan memeriksa secara detail setiap studi kasus. Setiap kasus perlu membeberkan situasi setiap faktor dengan ilustrasi-ilustrasi kongkret. Hasilnya diharapkan adalah gambaran deskriptif yang lengkap untuk memperlihatkan beragam bentuk politik partisipasi, kualitasnya, narasi-narasi mengenai prosesnya, tantangan-tantangannya, capaian-capaian maksimalnya, dan seterusnya. Singkatnya mengenai proses politik demokrasi partipatoris di dalam arena riil politik lokal.

Kajian menyeluruh berdasarkan analisis matriks itu setidaknya akan menggambarkan dua hal. Pertama, politik demokrasi lokal sebagai ajang kontestasi seluruh aktornya – jadi di sini yang ditekankan adalah gambaran mengenai politik partisipatoris dalam arena kontestasi yang empiris dan aktual. Kedua, gambaran kontekstual mengenai eksperimentasi politik partisipatoris untuk melihat secara riil capaian- capaiannya, hambatan-hambatannya, maupun kegagalan- kegagalannya.

(35)

14

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

hanya lima tahun sekali seperti panggung demokrasi elektoral. Tentu kemungkinan kegagalannya adalah sebesar kemungkinan keber-hasilannya. Analisis dan interprestasi atas kesepuluh studi kasus IRE ini bisa dipakai sebagai referensi empiris untuk melihat seberapa besar kemungkinan dan ketidakmungkinanya dalam konteks-konteks aktual di tempat lain, di puluhan ribu desa-desa di seluruh Indonesia.

Karena setiap eksperimentasi mengandung gagasan mengenai model ideal yang dijadikan referensi normatif, perlulah kiranya dibuka di sini apa yang seharusnya menjadi acuan. Acuan ideal eksperimentasi demokrasi partisipatoris di tingkat desa ini adalah demokrasi republikan. Adalah Republikanisme dalam pengertian Plato. Desa harus dibayangkan sebagai republik di tingkat lokal. Dari sekian elemen demokrasi republikan, dua di antaranya harus diasumsikan ada di desa. Dua elemen itu adalah active citizen (warga yang penuh prakarsa), dan cita-cita yang hidup untuk membangun public-virtue

(36)

15

BAB 1

Penemuan Kembali

“Berdesa”

A. Prawacana

Sudah menjadi pengetahuan bersama, kehidupan sosial kemasyarakatan di desa selama ini dipandu oleh seperangkat nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi. Masyarakat Jawa, misalnya, secara umum mengenal tiga tata nilai untuk melangsungkan hidup bersama di desa, yaitu; tata cara, tata krama, dan tata susila.Tata cara mengacu pada aturan-aturan yang berkaitan dengan tindakan atau mekanisme dalam menjalani kegiatan sosial kemasyarakatan. Tata krama adalah etika pergaulan yang berkaitan dengan sopan santun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sedangkan tata susila merupakan aturan tingkah laku warga dalam menjalani hidup berbangsa di desa, atau kini disebut sebagai “berdesa”.8

Secara historis, masyarakat “berdesa” di Nusantara memiliki basis sosial kehidupan yang berbeda dengan masyarakat Eropa, Amerika, Arab atau belahan dunia lainnya. Gagasan demokrasi yang kini menjadi

(37)

16

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

arus utama dalam mengelola kehidupan publik, lahir dan bertumbuh kembang dari pengalaman masyarakat Amerika yang berwatak indi-vidual-liberal maupun masyarakat Eropa yang berakar dari budaya industrialis. Sistem demokrasi yang kini menyebar luas di berbagai penjuru dunia adalah hasil pemikiran dari tradisi panjang kehidupan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan kemasyarakatan yang dikenal se-bagai “masyarakat Barat”. Tidak salah jika akhirnya demokrasi yang bekerja adalah pelembagaan tradisi, cita rasa dan karakter “masyarakat Barat” dalam membingkai kehidupan bersama.9

Sebagian besar warga di negeri ini pada dasarnya masyarakat petani di desa. Pada masa pra kolonial, masyarakat petani bermukim dalam wilayah geografis dan pengaruh kekuasaan tradisional yang cenderung terisolasi dan terbatas jaringan sosial keluar maupun mobilitas sosial. Tempat bermukimnya berhimpitan dengan ladang, kebun atau sawah pertanian yang menjadi sumber penghidupan mereka. Sartono Kartodirjo (1985) menuturkan bahwa karakteristik masyarakat petani yang berciri khas terpecah kecil-kecil secara geografis ini, ditemukan pula pada masyarakat India yang diikat dalam satuan panchayat (desa) yang isolatif, miskin jaringan sosial dan relasi kekerabatannya kuat.

Situasi ini menurut Sartono Kartodirjo (1985), menjadi berubah ketika pemerintah kolonial menguasai India dan Nusantara. Masa kolonial yang mengungkung Indonesia dan India sejak abad 18 meng-akibatkan perubahan sosial ekonomi terjadi nyata di desa-desa di

(38)

17

Indonesia maupun masyarakat petani Panchayat India.10 Kolonial

Belanda mempengaruhi dalam narasi pertanian dan perkebunan dalam bentuk sistem tanam paksa, sementara Kolonial Inggris mem pengaruhi pribumi India dengan narasi administrasi bersosial masyarakat berupa sistem pajak. Pengaruh-pengaruh yang beragam inilah yang menentukan pembentukan sekaligus perubahan tata nilai dan orientasi sosial kemasyarakatan di Panchayat (India) maupun desa-desa di Indonesia. Tekanan pengaruh rejim kolonial telah membentuk lanskap sosial-ekonomi-budaya-politik masyarakat desa Nusantara.

Pasca mendeklarasikan kemerdekaan tahun 1945, rejim Orde Lama berusaha membangun jati diri masyarakat desa melalui narasi negara bangsa (berbangsa ala negara) dimana nasionalisme menjadi spirit pengelolaan kehidupan bersama desa. Pada titik inilah, menjadi awal mula masuknya negara sebagai organisasi kekuasaan modern ke desa. Namun, ketegangan politik di kalangan elit nasional menyebabkan rute demokratisasi yang dijalani Indonesia menjadi limbung. Pergantian rejim Orde Lama ke Orde Baru justru semakin menjauhkan Indonesia dari rute demokrasi, bahkan berbalik arah menuju otoritarianisme. Di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru, desa semakin termiskinkan. Kekayaan berupa keragaman sistem, lembaga dan tata nilai sosial kemasyarakatan desa di Nusantara tercabik-cabik format penyeragaman desa oleh negara Orde Baru.11

Dalam kondisi semacam inilah desa-desa di Indonesia sulit

mengem-10 Penjelasan ringkas dilakukan oleh Sartono Kartodirjo melalui makalah ringkasnya sebagai bahan diskusi bulanan di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, menjelaskan dinamika perubahan sosial ekonomi pedesaan di Indonesia, termasuk membandingkan dengan Pan-chayat India. Lebih rinci tentang hal ini silahkan baca buku “Dinamika Perubahan Sosial Eko-nomi Pedesaan”, disunting oleh Sartono Kartodirjo, Mubyarto dan Edi Suandi Hamid, 1996, Penerbit Aditya Media Yogyakarta.

(39)

18

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

bangkan diri, meski di dalam dirinya mengalir tradisi-tradisi tata sosial kemasyarakatan yang mencerminkan prinsip dan nilai demokrasi.

Pasca reformasi, kelahiran UU No 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menjadi oase yang menghadirkan kesempatan sekaligus tantangan bagi re-demokratisasi desa. Regulasi baru ini menyedia-kan rute perubahan revolusioner bagi desa di dalam sistem NKRI. Sejarah masa lalu yang terwariskan dan kemampuan desa dalam mengembangkan diri, diakui dan dihormati, melalui dua asas utama peraturan ini, yaitu; rekognisi (pengakuan terhadap hak asal-usul) dan subsidiaritas (kewenangan desa untuk menetapkan ke-wenangannya sendiri yang berskala lokal desa). Desa pun didorong untuk menghidupkan kembali demokrasi desa, melalui mekanisme Musyawarah Desa (Musdes), terutama dalam memutuskan aspek-aspek strategis desa. Namun demikian, disisi lain regulasi itu juga meghadapkan desa pada tantangan tersendiri. Tantangan tersebut berupa kesiapan desa dan supradesa (pemerintah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota) dalam merespon perubahan revolusioner pada aspek regulasi menjadi tindakan kolektif.

(40)

19

PENEMUAN KEMBALI “BERDESA”

bimbingan teknis (bimtek) berkaitan dengan pengelolaan keuangan desa. Situasi ini bermakna demokrasi desa masih berjalan di atas kertas dan belum tersemat di sanubari para pemimpin dan masyarakat desa.

(41)

20

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

B. Kontekstualisasi Berdesa

Dalam semangat semacam itulah buku ini disusun. Disamping menyelamatkan harta karun yang tercecer, buku ini merupakan Ik-hti ar awal dalam melakukan kontekstualisasi spirit “berdesa”. Buku ini memuat hasil kajian IRE berupa potret mendalam peristiwa-peristiwa menarik dan penting tentang praktik (menuju) “berdesa”

yang kemudian ditarik sebagai etalase pembelajaran berharga. Peristiwa sosial kemasyarakatan dan pembangunan desa bisa menjadi gambaran secara nyata bekerjanya pilar-pilar utama demokrasi. Pada studi ini pilar utama yang diyakini menjadi penyangga bagi bekerjanya demokrasi lokal (desa) meliputi tiga aspek, yaitu; kepemimpinan, inisiatif warga dan representasi. Ketiga aspek yang jalin berkelindan menggerakkan peristiwa demi peristiwa sosial kemasyarakatan dan pembangunan desa menjadi lingkup kajian ini.

(42)

21

PENEMUAN KEMBALI “BERDESA”

Tabel 2

Tipologi Lokasi dan Kasus Penelitian

Tipologi Desa

Mekar Jaya Pembangunan Lapangan Sepak Bola

Fajar Sudjarwo

Dataran Rendah Kabupaten Magelang

Cangkudu Reformasi birokra-si dalam Pelay-laan air bersih

Sukasmanto si dan Inovasi Pelayanan Publik

Abdur Rozaki

Kawasan Pesisir Kabupaten Rembang

Punjul Harjo Pengembangan Pariwisata “Karang

Ringinrejo Okupasi Lahan Perhutani oleh Pihak Swasta dan Masyarakat Desa

Nurma Fitrianing rum

(43)

22

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Sebagaimana diinformasikan pada tabel 2, bahwa penelitian ini dilakukan dengan memakai pendekatan studi kasus atas peristiwa-peristiwa yang berlangsung di desa. Artinya, studi yang dilakukan IRE ini mengumpulkan praktik-praktik bermasyarakat dan berdesa yang terjadi di 10 desa lokasi riset. Inilah yang dimaksud sebagai stock taking study. Peristiwa yang dikaji oleh para peneliti bisa berdimensi praktik baik namun bisa juga praktik buruk dalam aspek kepemimpinan, inisiatif warga, dan representasi. Singkatnya, studi ini tidak berpre-tensi mengumpulkan praktik-praktik terbaik tentang tiga aspek utama demokrasi desa.

Disisi lain, studi ini pun tidak bertujuan melakukan evaluasi atas proyek pembangunan masyarakat dan desa. Bukan pula melakukan penilaian atas kerja-kerja masyarakat dan pemerintahan desa yang berujung pada pemberian apresiasi penghargaan atas praktik terbaik dan turunanya. Studi ini sejak awal didedikasikan untuk menemukan pelajaran berharga atas praktik-praktik baik maupun buruk dalam kehidupan sosial masyarakat dan pembangunan desa. Karena baik praktik baik maupun buruk memiliki nilai yang sama, yakni sebagai mutiara pembelajaran.

C. Argumentasi Metodologis

(44)

23

PENEMUAN KEMBALI “BERDESA”

penelitian lapangan para peneliti dibekali kerangka instrumen yang longgar (question guide), bagaimana memilih kasus dan apa saja data/ informasi yang penting dikumpulkan. Artinya, peneliti di lapangan memiliki keleluasaan dalam mengeksplorasi peristiwa-peristiwa sosial yang berlangsung untuk diangkat menjadi kasus yang hendak dikaji. Selanjutnya, para peneliti datang ke desa diawali dengan me-nemui pihak-pihak strategis, targetnya menemukan peristiwa sosial kemasyarakatan atau pembangunan desa yang bisa dipilih sebagai kasus untuk dikaji secara lebih mendalam. Data dan informasi yang dianggap memadai kemudian ditulis secara naratif, melalui teknik analisis deskriptif, interpretatif, dan eksplanatif. Pada saat menarasikan data dan informasi ini peneliti menggunakan perspektif yang terkait dengan prinsip dan nilai universal demokrasi untuk memahami dan menjelaskan rangkaian peristiwa yang diteliti. Studi kasus yang me-lahirkan narasi kecil didialogkan dengan narasi besar dari perspektif demokrasi. Dialektika inilah yang kemudian melahirkan pengetahuan yang diharapkan berkontribusi bagi pemikiran dan praktik demokrasi yang saat ini sedang berlangsung.

(45)

24

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Selain argumentasi metodologis di atas, dengan diterbitkannya buku ini diharapkan akan bermanfaat bagi para pihak yang selama ini berada di dalam pergulatan semesta demokrasi di Indonesia. Pertama,

pemerintah nasional dan sub nasional, termasuk pemerintahan desa. Buku ini penting dibaca oleh para pengambil keputusan karena beberapa pengetahuan di dalam buku ini dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam mengembangkan desain kebijakan untuk melembagakan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas di level desa, kabupaten, propinsi, dan pusat. Kedua, masyarakat desa. Buku ini diharapkan bisa menjadi sumber inspirasi bagi warga masyarakat desa, terutama para warga aktif desa yang sedang merayakan pelaksanaan UU Desa. Desa membangun tidak sekedar membelanjakan uang desa, tetapi bagaimana mengembangkan tradisi bermasyarakat dan berdesa yang demokratis.

(46)

25

PENEMUAN KEMBALI “BERDESA”

D. Tentang Alur dan Isi

Buku ini disusun dengan mempergunakan gaya tulisan ilmiah popular dengan alur penulisan seperti berikut ini. Pertama, bagian perspektif studi ini. Apa cara pandang yang digunakan untuk membangun nalar dan merumuskan pengetahuan atas hasil penelitian? Bagian ini berusaha menegaskan posisi cara pandang yang digunakan dalam mengembangkan demokrasi desa. Karena itu dalam sistematika buku ini ditempatkan pada Bagian Prolog: Demokratisasi Desa – Situs Baru Politik Partisipatoris? Pada bagian ini diuraikan latar feno-mena kegagalan demokrasi liberal sampai kemudian ditawarkannya cara pandang demokrasi partisipatoris-deliberatif. Dialog perspektif besar demokrasi dengan gejala yang menggeliat dari desa-desa yang ditemukan di 10 lokasi riset, ditulis menjadi skema cara pandang yang ditawarkan untuk menjelaskan fenomena dan usulan gagasan model demokrasi desa di masa depan.

Kedua, bagian latar belakang studi ini. Pada bagian ini diuraikan tentang konteks dan urgensi studi mengenai demokrasi desa. Selain itu juga menguraikan tentang tipologi lokasi dan kasus penelitian, gagasan mengembangkan demokrasi desa, argumentasi metodologis yang digunakan untuk melakukan penelitian yang membuahkan pengetahuan di buku ini. Termasuk juga menguraikan sistematika dan alur penulisan buku. Dalam alurnya penulisan bagian ini ditulis pada Bab 1 buku ini.

(47)

26

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

tentang inisiatif warga dalam pelembagaan demokrasi desa.

(48)

Bapak Senen Kades Nglanggeran yg sederhana, dicintai warganya

(49)
(50)

29

BAB 2

Kepemimpinan dan

Transformasi Desa

A. Prawacana

Sejauh penelurusan yang ada, tak banyak kajian yang secara eksplisit mengkaitkan studi tentang kepemimpinan Jawa dengan gagasan demokrasi lokal yang berkembang di pedesaan Jawa pasca perubahan penting yang didorong UU Desa. Terbitnya UU Desa memang menyediakan basis perubahan fundamental

dalam konteks pelembagaan demokratisasi desa. Terlebih politik rekognisi (pengakuan atas hak asal-usul) dan subsidiaritas (penetapan kewenangan berskala lokal desa) dalam UU Desa telah menyediakan peluang transformasi bagi desa melalui kewenangan yang dimilikinya. Namun demikian, penting untuk memeriksa kembali sejauh mana perubahan tersebut dimungkinkan bekerja di desa melalui praktik-praktik otentik demokrasi desa.

Studi yang dilakukan oleh Institute for Research and Empowerment

(51)

30

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

inisiatif warga. Bab ini secara spesifik akan memusatkan perhatian pada aspek kepemimpinan desa untuk melihat tipe kepemimpinan semacam apa yang kondusif bagi bekerjanya demokrasi deliberatif-partisipatoris.12 Oleh karena itu, studi rintisan ini hendak melihat

sejauh mana kepemimpinan desa yang tengah berlangsung saat ini diuji dengan praktik demokrasi lokal yang masih bekerja dan otentik atau bahkan telah lenyap dan hanya sedikit menyisakan jejaknya. Pengujian pada aspek kepemimpinan tersebut menyasar pada tiga faktor penting: pembentukan kepentingan publik, perluasan ruang publik, dan inklusivitas (keterbukaan) terhadap aspirasi-aspirasi menyangkut urusan publik. Meskipun demikian, dua titik pijak lainnya (representasi dan inisiatif warga) tentu tidak dapat dilepaskan begitu saja dan juga akan mewarnai analisis dalam tulisan ini.

Salah satu temuan penting pada aspek kepemimpinan mi-salnya, menunjukkan bahwa kepemimpinan yang kuat, tanggap, dan transparan hadir sebagai elemen penting dalam pembentukan kepen-tingan publik sekaligus mampu memastikan perluasan ruang publik melalui menciptakan ruang-ruang publik informal di desa. Di sisi lain, kepemimpinan semacam ini juga membuka inklusivitas (keterbukaan) bagi aspirasi-aspirasi kepublikan, seperti isu pelayanan publik dasar. Sementara itu, di titik ekstrim yang lain, kepemimpinan desa menutup peluang bagi pembentukan kepentingan publik dan cenderung eksklusif (peminggiran) terhadap isu-isu publik di desa. Di antara dua titik ekstrim ini tentu saja terdapat keragaman dari tiga faktor tersebut dari 10 desa yang diteliti.

(52)

31

KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA

B. Warisan Lama: Dominasi Orang Kuat Lokal dan Politik Kekerabatan di Desa

Dalam sejarahnya, kepemimpinan desa di Jawa tak bisa lepas dari dominasi politik patronase dan jejaring kekerabatan yang kuat. Politik pengaturan desa sejak era kolonial dan dilanjutkan oleh Orde Baru mewariskan kepemimpinan desa yang feodal, dinastik (didominasi jejaring keluarga elit), dan seringkali oligarkis (arena kekuasaan hanya dikuasai oleh elit dan untuk kepentingan elit). Warisan lama kepe-mimpinan desa tersebut—setidaknya dari hasil studi ini—berakar pada dua hal: dominasi elit/orang (kuat) lokal melalui budaya paternalistik (Mulder, 2001), kepemimpinan konservatif-birokratik, dan politik kekerabatan.13 Sidel (2004) mengingatkan tentang kepemimpinan desa

yang dikuasai oleh orang kuat atau bosisme lokal (kuasa para bos lokal) yang telah berakar kuat dalam perekonomian desa dan berkembang pesat selama Orde Baru.14

Di masa ini pula, kepala desa dan sanak kerabatnya menikmati akses atas sumberdaya yang digelontorkan oleh negara melalui beragam mekanisme subsidi sarana produksi pertanian (seperti bibit, pupuk dan pestisida), beragam pola pertanian padat modal, serta lahan

yasan. Pelaksanaan program-program pemerintah, dengan demikian,

13 Budaya paternalistik merujuk pada metafora atau perumpamaan bahwa pemimpin berperan sebagai kepala keluarga. Kepala keluarga yang dalam masyarakat patriarkal diperankan oleh bapak, menjadi panutan dan karena itu menjadi satu-satunya sumber kebenaran. Budaya tersebut menciptakan adanya pandangan bahwa pemimpin tidak boleh dikritik. Sementara konservatisme-birokratis mengacu pola kepemimpinan dengan karakter dogmatis, kaku, su-lit menerima gagasan baru, hirarkis atau berjenjang dan mengandalkan kewenangan sebagai basis kekuasaannya. Karakter demikian secara potensial memunculkan watak otoriter dalam kepemimpinan.

(53)

32

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

diperantarai oleh kepentingan para elit lokal di tingkat desa yang mengkontrol berbagai sumber ekonomi yang besar di desa. Selain itu, selama abad 19 dan abad 20, jabatan kepala desa di ba nyak desa dipegang oleh satu trah keluarga atau sekelompok keluarga yang menguasai tanah-tanah komunal, seperti tanah bengkok.15 Politik

kekerabatan (kinship) menjadi sesuatu yang lazim dalam dinamika kepemimpinan desa di Jawa pada saat itu (Sidel, 2004).

Jejak-Jejak Warisan Lama

Di empat desa yang diteliti yakni Ngadisari, Gulon, Punjulharjo, dan Ringinrejo, corak kepemimpinan semacam itu begitu kentara. Dalam konteks Ngadisari, adat Tengger menjadi tatanan dasar kehidupan sosial politik di Desa Ngadisari. Kepemimpinan yang ada di desa ditopang oleh kekuasaan yang berbasis tatanan adat Tengger yang masih dipegang oleh masyarakat Ngadisari. Masyarakat dan pemimpin desa Ngadisasri diikat oleh sistem simbol adat dan agama yang menempatkan lembaga desa menjadi begitu penting. Arti pen-ting ini tentu saja membentuk pola kekuasaan yang dipancarkan oleh desa beserta para pelaku yang ada di dalamnya. Namun demikian, kepemimpinan yang hadir di Ngadisari tak semata-mata dipengaruhi oleh adat semata. Corak kepemimpinan juga dipengaruhi oleh aspek-aspek lainnya, termasuk di dalamnya jaringan politik yang lebih luas (Hefner, 1983).

Kepemimpinan Desa Ngadisari secara de jure dipegang oleh Sri Wahayu yang tidak lain adalah istri dari kepala desa sebelumnya, Supoyo. Supoyo sendiri mulai menjabat sebagai Kepala Desa Ngadisari sejak tahun 2001 hingga tahun 2013. Sejarah regenerasi kepemim-pinan di Desa Ngadisari memang tak jauh-jauh dari proses pemilihan

(54)

33

KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA

kepala desa dengan calon tunggal. Setidaknya sejak jabatan kepala desa dipegang oleh Sapawi (kades sebelum Supoyo), selama dua periode kepemimpinannya diwarnai oleh ketiadaan calon yang menandai minimnya persaingan dalam politik pilkades. Bagaimanapun Sri Wahayu merupakan kepala desa secara formal. Namun Kebijakan sepenuhnya dibicarakan secara informal dan ditentukan bersama Ki Petinggi.

Di samping berorientasi ke dalam dengan adat dan kekerabatan sebagai basis kekuasaan, jaringan politik yang dibangun elit desa ke luar juga menjadi salah satu penyokong kekuasaan efektif bagi elit. Situasi ini salah satunya terlihat dari dukungan pemerintah kabupaten dalam proyek-proyek infrastruktur di Desa Ngadisari. Secara ke-betulan, seperti halnya Supoyo yang juga kader Partai Nasdem, Kabupaten Probolinggo dipegang oleh Hasan Aminudin dan kini, istrinya Tantriana yang juga sama-sama kader Partai Nasdem. Selain itu, bagi pemerintah daerah, Desa Ngadisari adalah aset penting yang juga mendatangkan pendapatan bagi daerah.

(55)

34

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

Organisasi sosial berbasis trah memungkinkan siapa saja untuk menjadi bagian dari komunitas ini sejauh mereka mampu me-nunjukkan garis keturunannya sebagai bagian dari komunitas trah

(Robson, 1987). Kondisi ini berlangsung dalam masyarakat Gulon yang kuat memegang budaya ewuh pekewuh atau segan mengkritik elit yang hampir tak memungkinkan adanya dorongan perubahan dari bawah. Bagaimana pun, budaya ini pula yang sedikit banyak menimbulkan lemahnya prakarsa warga dalam menjalankan kontrol terhadap pemerintah desa dan urusan publik lainnya.

Secara lebih rinci, kita akan melihat sejauh mana dominasi trah keluarga balung gede ini mempengaruhi proses politik di Desa Gulon dan dampaknya bagi demokrasi yang ingin dibangun sesuai dengan semangat UU Desa.16 Kepala desa, Ketua BPD, Ketua Linmas, dan

Ketua PKK di desa tersebut berasal dari satu trah keluarga yang sejak awal kemerdekaan menduduki jabatan kepala desa. Keluarga besar tersebut hingga kini menjadi kekuatan yang menentukan kemenangan seorang kepala desa di Gulon. Dominasi balung gede tersebut sedikit banyak didukung oleh kekuatan ekonomi anggota keluarga yang memang telah dikenal sebagai para orang kaya di desa. Kekuatan ekonomi ini meningkatkan status sosial mereka sebagai keluarga kaya yang ter hormat.

Adalah Nanang Bintartana yang kini menjadi Kepala Desa Gulon merupakan anggota trah balung gedhe. Karir politik Nanang di desa dimulai saat dirinya terpilih menjadi anggota BPD di awal tahun 2000-an untuk kemudian mencalonkan diri menjadi kepala desa pada tahun 2007 dan berujung pada kekalahan karena perpecahan keluarga. Dukungan kakak iparnya, Sutrisno yang juga mantan kepala desa

(56)

35

KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA

sebelumnya, kepada lawan politiknya disebut-sebut mempengaruhi suara para pemilih. Sutrisno yang juga seorang pensiunan militer memang cukup ‘didengar’ dan memiliki pengaruh di kalangan masya-rakat.

Nanang yang tak hanya mewarisi modal jaringan kekerabatan berbasis trah juga memiliki kemampuan untuk membangun jaringan politik di tingkat lokal, bahkan nasional. Nanang merupakan seorang pengusaha, tokoh pemuda, sekaligus aktivis PDI-P. Dia dikenal dekat dengan sejumlah elit politik lokal, seperti Bupati Magelang Zainal Arifin dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang juga berasal dari PDI-P. Nanang dikenal pula sebagai tokoh Goro, sebuah orga-nisasi kepemudaan yang disegani oleh masyarakat.17 Kolaborasi

pengusaha dan organisasi kepemudaan inilah yang juga menyokong dan menyediakan sumberdaya finansial untuk maju menjadi kepala desa hingga akhirnya terpilih. Modal sosial kekerabatan, jaringan politik, dan modal ekonomi inilah yang berperan penting dalam membangun kepemimpinan Nanang di Desa Gulon.

Berbeda dengan Desa Ngadisari dan Adat Tenggernya, Desa Punjulharjo yang terletak di sisi paling timur Rembang ini mewarisi kultur Islam tradisional yaitu Tradisi NU. Dalam masyarakat Islam tradisional, struktur dan kultur masyarakat didasarkan pada simbol keagamaan yaitu Islam cenderung bersifat paternalistik dan patriarkal. Dengan konteks semacam itu, pemimpin keagamaan yakni Kyai, menempati posisi posisi sentral dalam masyarakat. Kyai berperan lebih daripada sekadar seorang guru agama. Dia juga memainkan peran sebagai pemimpin informal yang memiliki pengaruh di kalangan warga dan juga seringkali diperhitungkan secara politik (Bruinessen,

(57)

36

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

1994).18 Kepemimpinan kyai terutama ditopang oleh kekuasaan yang

bersumber dari kapasitas moral spiritual yang dimilikinya. Forum-forum keagamaan seperti pengajian, menjadi ruang bekerjanya kepemimpinan moral Kiai kepada warga. Demikian pula yang terjadi di Desa Punjulharjo, struktur dan kultur NU membentuk corak masyarakat yang taat dan hormat kepada mereka yang dipandang sebagai pemimpin, kiai, ataupun mereka yang memiliki status sosial yang tinggi.

Terpilihnya Muntholib sebagai kepala desa sejak 2014 mem-perlihatkan adanya perubahan politik penting di Desa Punjulharjo. Muntholib adalah wajah baru di pemerintahan desa, namun dia tidak lahir dari keturunan trah balung gedhe seperti di Desa Gulon. Berbeda dengan para kepala desa sebelumnya, kemenangan Muntholib merupakan pembalikan dari politik pemilihan kepala desa yang didominasi oleh kepentingan ekonomi politik penyandang dana (botoh) yang seringkali menjadi penentu pemenangan. Secara moral, masyarakat menghendaki pemimpin yang berintegritas (jujur) dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Masyarakat setempat memandang figur Muntholib memenuhi kriteria moral semacam itu. Sebagai kepala desa dia dikenal enthengan (suka membantu), jujur, tidak neko-neko (macam-macam), lurus-lurus saja, dan sederhana. Bagi masyarakat desa yang masih kuat memegang nilai-nilai tradisional, kesempurnaan moral merupakan modal penting.

Keyakinan semacam ini seringkali membuat hadirnya seorang pemimpin dalam acara-acara warga, seperti slametan atau upacara kematian menjadi lebih penting ketimbang kehadirannya dalam urusan dan masalah publik. Moralitas semacam itulah yang nyatanya mampu

(58)

37

KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA

memenangkan hati masyarakat Punjulharjo. Secara ideal, seorang pemimpin moral adalah orang terpandang di desa yang mendapat kepercayaan dari masyarakat, dan memiliki ikatan kekeluargaan dengan masyarakat desa yang dilayaninya dan hidup bersama-sama dengannya. Dalam konteks itu, Kades Muntholib telah menunjukkan dirinya pantas dipilih sebagai pemimpin yang dihormati karena kepatuhannya untuk mengikuti norma perilaku yang diterima secara umum. Kemenangan Muntholib juga didorong oleh faktor kekerabatan (kinship). Ayahnya adalah seorang Kiai terpandang di desa tersebut, sementara saudaranya adalah seorang mantan lurah dan polisi, serta satu saudaranya lagi merupakan aktivis partai. Jaringan kekerabatan ini berperan penting dalam proses pemenangan Muntholib dalam pilkades.

Sementara Desa Ringinrejo menunjukkan corak kepemimpinan yang konservatif-birokratik, sebagai semacam warisan birokratisasi pemerintahan desa di masa Orde Baru. Selain itu, dari sisi rekrutmen politik, kepala desa terpilih Ringinrejo yakni Bintoro memiliki garis keturunan mantan lurah (kepala desa) meski dominasinya tak sekuat trah balung gedhe di Gulon. Kakek buyut dari pihak ayah dan kakek dari pihak ibu Bintoro merupakan mantan kepala desa. Meski demikian, terpilihnya Bintoro merupakan sesuatu yang tidak terduga karena banyak calon yang dianggap lebih kuat dan memiliki basis masa yang lebih besar.

Selama hampir tiga tahun dibawah kepemimpinan Bintoro masyarakat memiliki berbagai penilaian yang berbeda terhadap kebijakan-kebijakan maupun pola kepemimpinan Bintoro. Dalam hal pelayanan publik, warga merasakan peningkatan pelayanan dari pemerintah desa berupa pengurusan keperluan adminsitrasi lebih cepat.19 Peningkatan pelayanan tersebut disebabkan oleh kebijakan

(59)

stan-38

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

kepala desa merekrut tiga perangkat desa muda yang cakap dan melek teknologi untuk menggantikan perangkat desa lama yang sudah sepuh dan dinilai kurang cakap. Gambaran Ringinrejo menunjukkan, sejauh pelayanan administrasi terpenuhi di situlah letak peran institusi desa. Dimana pemerintah desa sekadar menjalankan administrasi pemerintahan selayaknya institusi desa korporatis (Sutoro, 2014). Warisan penyeragaman dan birokratisasi desa di masa lalu menjadikan desa sekadar kepanjangan tangan negara bukan untuk menumbuhkan emansipasi lokal, melainkan menjalankan perintah dari atasan (Antlov, 2002).

Wajah Warisan Lama dalam Praktik Kepemimpinan

Untuk menguji kehadiran dan bekerjanya kepemimpinan desa dapat dilacak dari daya tanggap pemimpin terhadap urusan publik. Dalam kasus masyarakat Tengger Ngadisari, perlindungan penguasaan lahan menjadi isu publik penting. Tanah yang keberadaannya disakralkan oleh adat Tengger membentuk kesadaran kolektif masyarakat untuk mempertahankan aset produksi tersebut dari gempuran alih fungsi dan komersialisasi lahan. Inisiatif tersebut juga dimantapkan oleh kenyataan bahwa aset lahan pertanian tersebut memiliki prospek penghidupan yang begitu baik bagi warga. Bagaimana pun juga inisiatif warga untuk tidak menjual lahan ke pihak manapun di luar komunitas Tengger menemukan pelembagaannya melalui respons pemerintah desa untuk mengaturnya dalam peraturan desa.

Kebijakan Supoyo di Ngadisari yang populis tampak melalui komitmennya untuk menjaga tanah masyarakat Tengger melalui

(60)

39

KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA

kebijakan perlindungan lahan. Inisiatif warga untuk melindungi lahan direspons oleh kepemimpinan desa yang hadir melalui kontrol setiap jenis transaksi berkaitan dengan lahan. Menurut Supoyo, kebijakan pemerintah desa untuk melindungi lahan melalui Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Mutasi Lahan menjamin tidak adanya praktik jual beli dan sewa lahan tanpa sepengetahuan peme rintah desa. Baginya, kebijakan ini juga bagian dari upayanya menjalankan mandat leluhur Tengger untuk menjaga kelangsungan tradisi Tengger di tanahnya mereka sendiri.

Meski kepemimpinan Supoyo dianggap berhasil oleh masyarakat, populisme dalam praktik pengelolaan kesejahteraan ini tak selalu dibangun dengan menumbuhkan partisipasi warga yang lama hidup dalam budaya parokial dan sisa-sisa depolitisasi sejak Orde Baru.20 Sungguhpun demikian, kepemimpinan di Desa Ngadisari

menjalankan akuntabilitas dan partisipasi warga dengan caranya sendiri. Di setiap pengerjaan proyek-proyek fisik, pemerintah desa melaporkan penggunaan anggaran untuk kegiatan tersebut secara lisan kepada masyarakat. Di tempat gotong-royong (sayan), perangkat desa sekaligus melaporkan penggunaan APB Desa untuk pengerjaan proyek tersebut. Dengan cara ini, masyarakat mengetahui berapa dan bagaimana sumberdaya publik (desa) dialokasikan dan didistribusikan. Distribusi ini berkaitan dengan pengerjaan pembangunan fisik yang dilakukan secara gotong-royong dengan tenaga kerja dari mereka sendiri. Sehingga sumber dana yang ada tidak tersedot keluar desa untuk membayar kontraktor.

Sedangkan di Punjulharjo, cepat atau lambat, bakal terjadi perubahan penting dalam struktur sosial masyarakat seiring dengan pertautan mereka dengan ekonomi pariwisata. Ketika studi ini

(61)

40

DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL

berlangsung, masyarakat Punjulharjo tengah menghadapi ketegangan laten antara tradisi dan modernitas sebagai konsekuensi atas dibukanya objek wisata Karang Jahe Beach (KJB) sebagai ikon baru destinasi wisata di Rembang.21 Dalam kasus di Punjulharjo, tata kelola

aset pantai KJB (BUMDes) menjadi arena untuk melihat bagaimana kepemimpinan desa bekerja.

Pada saat mencalonkan diri, program yang ditawarkan Muntholib adalah meningkatkan pelayanan warga yang lebih baik, memperbaiki jalan terutama akses yang akan menuju ke lokasi KJB, serta memperbaiki pengelolaan dan kinerja KJB untuk kesejahteraan warga. Dalam konteks perbaikan pelayanan publik, kepala desa menetapkan kebijakan jadwal piket untuk perangkat desa berikut nomer telpon/hand phone. Selain itu, dia membuka pintu rumahnya selama 24 jam untuk melayani keperluan warga jika kantor desa tutup. Muntholib biasanya melayani warga yang tengah mengurus keperluan administrasi, mengurus keringanan biaya rumah sakit, hingga mengantar warga ke rumah sakit.

Selain pelayanan rutin kepada warga, terobosan program yang dilakukan dia selama dua tahun menjabat fokus pada peningkatan pendapatan masyarakat melalui pengelolaan KJB. Untuk pengembangan KJB, kepala desa membangun fasilitas seperti memperluas jalan me-nuju KJB melalui pembebasan tanah menggunakan dana pinjaman dari BRI. Selain itu membangun gapura sebagai pintu masuk menuju lokasi KJB. Sementara, untuk mengelola objek wisata KJB, Pemerintah Desa Punjulharjo membentuk Badan Pengelola (BP) KJB

Gambar

12Tabel. 1
Tabel 2Tipologi Lokasi dan Kasus Penelitian
152Tabel LAMPIRAN

Referensi

Dokumen terkait

Pelatihan Keterampilan Klinik (PKK) adalah pelatihan yang diberikan untuk memberikan keterampilan klinik dengan tujuan menyiapkan mahasiswa program sarjana

Penelitian ini pada umumnya bertujuan untuk lebih memahami pengetahuan tentang mereduksi risiko bencana pada salah satu struktur transmisi double pole yang sejajar dengan

penyidikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta

Akhir Sekolah (UAS) untuk menentukan kelulusan peserta didik yang materi soalnya dibuat oleh MGMP PAI tingkat kabupaten. Penilaian hasil belajar oleh pendidik yang mencakup

Sesuai dengan judul dalam Tugas Akhir ini membahas tentang analisis postur kerja dengan menggunakan metode Rapid Upper Limb Assesment (RULA) yang termasuk

Setelah melihat hasil analisa komparasi antara gelombang FM dan AM yang menunjukkan bahwa walaupun gelombang AM dapat menembus jangkauan yang lebih luas akan

Dengan kata lain, jika anda ingin meningkatkan kemampuan internet marketing, anda juga harus terus melakukan marketing dengan media tradisional (offline).. Karena anda juga

Menganai sum~er daya informasi terkait petunjuk pelaksanaan kebijakan, Informan 8 mengatakan: " Petunjuk PelaksanaanJuklak dan Petunjuk Teknis Juknis berkaitan dengan implementasi