• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIMPULAN DAN SARAN

Dalam dokumen Perancangan Protokol Akta Notaris Digital (Halaman 108-184)

HASIL DAN PEMBAHASAN

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan... Saran... 64 64 DAFTAR PUSTAKA..………. 65 LAMPIRAN….………. 66

xi

Halaman

1 2

Protokol akta notaris media kertas... Protokol akta notaris digital...

39 59

xii Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Contoh cap jabatan Notaris………... Cap jempol………...……….. Meterai 6000………... Struktur organisasi kantor Notaris Taufiqurrachman... Enkripsi dan dekripsi... Enkripsi dan dekripsi dengan kunci simetri... Enkripsi dan dekripsi dengan kunci asimetri... Otentikasi dengan tandatangan digital menggunakan fungsi Hash... Kerangka umum pemikiran………... Tahapan penelitian... Alur protokol akta notaris media kertas... Kartu Tanda Penduduk (KTP)... Tandatangan... Alur Langkah 1... Alur Langkah 2... Alur Langkah 3... Alur Langkah 4... Alur Langkah 5... Alur Langkah 6... Alur Langkah 7... Alur Langkah 8... Alur Langkah 9... Alur Langkah 10... 16 18 19 19 24 25 25 29 31 32 42 43 44 46 47 49 50 51 52 56 57 58 59

xiii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4

Akta notaris media kertas... Sistematika akta notaris media kertas...………... Prototipe akta notaris digital... Perancangan database prototipe akta notaris digital...

67 70 71 73

Latar Belakang

Dewasa ini hampir semua aspek kehidupan manusia tidak terlepas dari peran teknologi yang terus berkembang dengan pesat. Teknologi selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia, termasuk juga dengan teknologi komputer yang berkembang sangat cepat (Rahardjo 2005).

Perkembangan yang cepat di bidang teknologi komputer membuat kemampuan komputer untuk menyediakan dan mengakses data atau informasi secara cepat dan akurat menjadi sangat penting bagi sebuah organisasi, lembaga pemerintah atau individu. Peranan teknologi komputer bagi organisasi dapat digunakan untuk mencapai keunggulan kompetitif, sedangkan bagi perseorangan maka teknologi komputer dapat digunakan untuk mencapai keunggulan pribadi (Rahardjo 2005).

Dalam perkantoran, banyak sekali pekerjaan yang membutuhkan kemajuan teknologi. Dalam masalah pengetikan, dulu cukup dengan menggunakan mesin ketik manual kemudian meningkat menggunakan mesin ketik elektronik dan sekarang penggunaan komputer sudah tidak asing lagi dalam penyelesaian tugas-tugas kantor.

Teknologi komputer juga telah digunakan pada kantor–kantor notaris untuk membuat perjanjian. Perjanjian yang dikehendaki oleh para pihak biasanya suatu perjanjian dalam bentuk akta otentik. Pemanfaatan teknologi komputer diharapkan dapat mengubah media yang digunakan dalam membuat perjanjian, yaitu dari perjanjian tertulis diatas kertas menjadi perjanjian secara elektronik dalam bentuk digital. Perjanjian tertulis dalam bentuk kertas ini mempunyai kelemahan seperti sulit waktu melakukan pendistribusian, pengarsipan, penulisan (jika terjadi salah tulis akan terlihat bekasnya jika di hapus) dan sulit mengikuti perkembangan teknologi, oleh karena itu dirasa perlu untuk mengatasinya dengan membuat akta digital.

Akta digital atau akta elektronik diharapkan mempunyai kelebihan, diantaranya dalam pendistribusian (waktu), Pengarsipan (penyimpanan, pencarian dan perawatan data), Penulisan dan dapat mengikuti perkembangan teknologi khususnya teknologi komputer. Meskipun demikian, ada permasalahan dalam

perjanjian yang dibuat secara elektronik dengan menggunakan data digital seperti menjaga keamanan isi dari data digital (Sugiarto 2005).

Perkembangan komputer khususnya jaringan internet tidak menutup kemungkinan suatu akta notaris nantinya dapat dibuat secara online khususnya di Indonesia. Pembuatan akta notaris secara online harus dapat menjamin kerahasiaan, keaslian, keutuhan dan nonrepudasi dari akta (Prigita 2004).

Dalam teknologi yang ada sekarangan ini, khususnya teknologi jaringan internet diharapkan nantinya pelanggan tidak perlu lagi datang kepada notaris untuk menghadap dalam pembuatan akta. Meskipun hal ini masih sulit dilakukan jika dihubungkan dengan hukum yang ada di Indonesia. Untuk melakukan pembuatan akta jarak jauh diperlukan sarana seperti protokol akta dalam bentuk digital.

Berkaitan dengan beberapa alasan yang telah dibahas diatas, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut. Bisakah Akta notaris dibuat secara digital ?. Berdasarkan masalah yang ada, peneliti mencoba untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang perjanjian, dengan judul perancangan protokol akta notaris digital.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah merancang protokol akta digital, yang diharapkan nantinya dapat menggantikan akta dalam media kertas dan juga dapat dimanfaatkan untuk pelayanan secara online untuk pihak-pihak yang berkepentingan.

Manfaat Penelitian

1.Dapat memberikan sumbangan pemikiran, dalam bidang ilmu komputer dan hukum.

2.Dapat menambah efisiensi waktu, tempat penyimpanan dan biaya dalam proses pembuatan akta.

3.Akta digital dapat diimplementasikan untuk mengikuti perkembangan teknologi komputer.

Ruang Lingkup Penelitian

1. Perancangan protokol akta notaris digital menggunakan data akta notaris pembukaan cabang, untuk data akta notaris yang lain dapat dirancang secara sama karena akta notaris memiliki sistematika yang sama.

2. Spesifikasi keamanan protokol yang maksimum belum diperhatikan, hal ini tercermin dari penggunaan algoritma kriptografi yang tingkat keamanannya masih minimum. Dalam tesis ini, hanya menekankan pada perancangan alur protokol.

Perjanjian

Perjanjian berasal dari kata “janji“ yang mempunyai arti “persetujuan antara dua pihak“ (masing-masing menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu). Definisi “perjanjian “ seperti terdapat pada pasal 1313 KUHPerdata yaitu:

“ Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih “.

Hukum perjanjian Indonesia memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan bentuk suatu perjanjian. Perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta otentik.

Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian. Dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan syarat-syarat sebagai berikut.

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, dimaksudkan bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang menjadi kehendak pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

2. Cakapan untuk membuat suatu perikatan, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, hal ini mempunyai arti bahwa orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Ketentuan mengenai kecakapan seseorang diatur dalam pasal 1329 sampai dengan pasal 1331 KUHPerdata. Tentu saja bila dipandang dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian yang pada akhirnya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Orang yang tidak sehat pikirannya tentu tidak mampu untuk

menerima tanggung jawab yang dipikul oleh seseorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh di bawah pengampunan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Seseorang yang berada dibawah pengampunan kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya.

3. Mengenai Suatu hal tertentu, sebagai syarat ketiga untuk sahnya suatu perjanjian. Suatu hal tertentu ini mengacu kepada apa (objek) yang diperjanjikan dalam perjanjian tersebut. Barang atau objek tersebut paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang tersebut sudah ada atau sudah berada ditangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang.

4. Suatu sebab yang halal, tiada lain adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. Sebagai ilustrasi, dalam suatu perjanjian jual beli isinya adalah pihak yang satu menghendaki uang dan pihak yang lain menginginkan hak milik atas barang tersebut. Sebab tersebut merupakan sebab yang halal yang mempunyai arti bahwa isi yang menjadi perjanjian tersebut tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku di samping tidak menyimpang dari norma-norma ketertiban dan kesusilaan.

Masa Berlakunya Perjanjian. Terdiri dari terjadinya perjanjian dan berakhirnya perjanjian. Suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian.

Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, adalah juga dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak searah tetapi secara timbal balik. Kedua kehendak tersebut akan bertemu satu sama lain. Dengan demikian, untuk mengetahui saat lahirnya suatu perjanjian, harus dipastikan apakah telah tercapai kesepakatan antara para pihak yang berjanji. Haruslah dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara para pihak yang berjanji. Apabila kedua kehendak tersebut tidak

saling bertemu atau saling berselisih, tidak dapat dikatakan telah lahir suatu perjanjian. Karena suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan, maka ada madzhab yang berpendapat bahwa perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (oeffert) artinya dengan diterimanya suatu penawaran maka dapat disimpulkan bahwa kedua belah pihak telah mengetahui tentang adanya penawaran tersebut dan pihak penerima penawaran melakukan penerimaan terhadap penawaran tersebut sehingga lahirlah suatu perjanjian.

Berakhirnya perjanjian berdasarkan pasal 1381 KUHPerdata karena pembayaran, karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, pembaharuan utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang terutang, pembatalan, berlakunya suatu syarat batal, dan lewatnya waktu.

Pengertian Akta

Sampai saat ini, masih belum terdapat keseragaman mengenai pengertian dari akta. Dalam penulisan ini akan dikemukakan beberapa pendapat mengenai pengertian akta (Prigita 2004):

1. berdasarkan pendapat A. Pitlo, dalam buku ”Pembuktian dan Daluwarsa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda” yang dimaksud dengan akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.

2. akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian (Mertukusumo 1998).

3. akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani (Subekti 1981).

Berdasarkan berbagai pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk dapat dikategorikan sebagai akta suatu surat harus memenuhi syarat-syarat yang dirinci sebagai berikut.

a. Surat itu harus ditandatangai, keharusan adanya tanda tangan dalam suatu akta ditentukan oleh pasal 1869 KUHPerdata. Dengan menaruh tanda tangannya, seseorang dianggap menanggung tentang kebenaran apa yang ditulis dalam akta tersebut atau bertanggung jawab tentang apa yang ditulis dalam akta itu. Keharusan adanya tanda tangan bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain. Fungsi tanda tangan adalah untuk memberi ciri sebuah akta.

Sama halnya dengan tandatangan, seringkali sidik jari digunakan untuk mengidentifikasi seseorang. Sidik jari digunakan sebagai pengganti tanda tangan seseorang yang tidak dapat menulis (buta huruf) maupun karena tangannya cacat, atau lumpuh. Dalam hal ini, biasanya diambil sidik jempol atau sidik jari. Dalam praktek dan kebiasaan tidak disebut sidik jari, melainkan hanya cap jempol. Dalam pasal 1874 ayat 2 KUHPerdata dikatakan bahwa dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang darimana ternyata bahwa ia mengenal si pembubuh cap jempol, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan di hadapan pejabat tadi.

b. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan, peristiwa hukum yang disebut dalam surat dan yang dibutuhkan sebagai alat pembuktian harus merupakan peristiwa hukum yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan. Jika surat itu sama sekali tidak memuat suatu peristiwa hukum yang dapat menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, maka surat itu bukanlah akta karena tidak mungkin digunakan sebagai alat bukti.

c. Surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti, suatu akta dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti. Dalam hal ini, belum tentu bahwa suatu akta pada suatu waktu akan dipergunakan sebagai bukti di persidangan, akan tetapi suatu akta merupakan bukti bahwa suatu peristiwa hukum dilakukan.

Fungsi Akta. Akta mempunyai fungsi sebagai berikut.

1. Akta merupakan syarat untuk adanya suatu perbuatan hukum, dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum itu tidak terjadi. 2. Akta sebagai alat bukti, dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta maka perbuatan hukum tersebut tidak dapat terbukti.

3. Akta menjamin kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat.

4. Akta sebagai pengikat perjanjian dari pihak-pihak yang terlibat, Pihak 1 dan Pihak 2.

5. Akta memberikan kejelasan akan hak dan kewajiban dari Pihak 1 atau Pihak 2. 6. Akta memberikan kejelasan akan identitas dari Pihak 1 atau Pihak 2.

7. Akta sebagai dokumen yang disahkan oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu.

8. Akta dapat digunakan sebagai sarana informasi bagi pihak luar yang berkepentingan.

Bentuk Akta. Suatu akta dibuat dengan sengaja untuk membuktikan suatu hal atau peristiwa. Berdasarkan pasal 1867 KUHPerdata, akta otentik dan tulisan di bawah tangan dianggap sebagai bukti tertulis. Dengan demikian, maka akta dapat dibedakan sebagai berikut.

a. Akta otentik, menurut pasal 1868 KUHPerdata suatu akta otentik ialah suatu akta yang di buat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya. Dengan demikian, apabila suatu akta hendak memperoleh stempel otentisitas, maka akta yang bersangkutan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

1. Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, pasal 1868 KUHPerdata hanya menerangkan apa yang dinamakan akta otentik, namun tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pejabat umum. Untuk pelaksanaan dari pasal 1868 KUHPerdata tersebut, maka pembentuk undang-undang harus membuat peraturan perundang-undang-undang-undangan untuk menunjuk para

pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Pejabat umum yang dimaksud dalam pasal 1868 KUHPerdata tersbut adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai catatan sipil, dan sebagainya. Dengan demikian, maka suatu akta notaris, surat putusan hakim, surat proses verbal yang dibuat oleh seorang juru sita pengadilan, dan surat perkawinan yang dibuat oleh pegawai catatan sipil adalah otentik.

2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, undang-undang tidak menentukan secara tegas mengenai bentuk dari akta otentik. Undang-undang hanya menentukan secara tegas isi dari akta otentik, yaitu isi atau apa-apa yang harus dimuat dalam akta tersebut. Berdasarkan itu, maka seluruh akta sejenis mempunyai bentuk yang serupa.

3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu, dalam pasal 1PJN dikatakan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang. Mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan atau kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.

Berdasarkan pasal 1 PJN tersebut, notaris diberi kedudukan sebagai pejabat umum yang satu-satunya berwenang membuat akta otentik sepanjang pembuatan akta tersebut oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Dengan demikian, wewenang notaris bersifat umum, sedangkan wewenang para pejabat lainnya untuk membuat akta otentik hanya ada apabila undang-undang menyatakan secara tegas bahwa selain notaris, mereka juga turut berwenang membuatnya, atau untuk pembuatan suatu akta tertentu oleh undang-undang dinyatakan sebagai satu-satunya yang berwenang untuk itu.

b. Akta di bawah tangan, ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Undang-undang tidak merumuskan pengertian akta di bawah tangan. Namun, dalam pasal 1869 KUHPerdata dikatakan bahwa suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pejabat dimaksud di atas atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak. Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan akta di bawah tangan adalah akta yang bukan akta otentik. Artinya, akta tersebut tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam pasal 1868 KUHPerdata.

Menurut pasal 1875 KUHPerdata, suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan pasal 1871 KUHPerdata untuk tulisan itu. Dengan demikian, maka akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik, yaitu bukti yang sempurna, apabila para pihak yang menandatangai akta di bawah tangan tersebut mengakui dan tidak menyangkal tanda tangannya. Berdasarkan Pasal 1875 KUHPerdata tersebut, ada kemungkinan tandatangan dalam akta di bawah tangan tak diakui atau diingkari.

Akta Notaris. Akta notaris adalah akta yang dibuat dihadapan notaris. Notaris merupakan pejabat umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1868 KUHPerdata. Oleh karena itu, akta notaris merupakan akta otentik. Menurut pasal 1868 KUHPerdata, apabila suatu akta hendak memperoleh stempel otentisitas, maka akta tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

1. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, supaya suatu akta notaris memperoleh sifat otentik, maka merupakan suatu keharusan untuk menjadikan notaris sebagai pejabat umum. Berdasarkan pasal 1 PJN, notaris dijadikan sebagai pejabat umum.

2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dalam menjalankan tugasnya yaitu membuat akta otentik, notaris berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam PJN. PJN telah mengatur mengenai bentuk dari akta notaris.

Sistematika Akta Notaris. Akta notaris mempunyai sistematika berikut (Prigita 2004). a. Kepala akta, diuraikan sebagai berikut.

1. Judul akta, akta disesuaikan dengan perbuatan hukum yang dibuktikan oleh akta yang dibuat, dengan ketentuan tidak terlampau umum. Dalam PJN tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai keharusan dicantumkannya judul dalam akta. Dalam praktek pencantuman judul akta diperlukan berkaitan dengan kewajiban notaris untuk mengadakan repertorium (laporan).

2. Nomor akta, Akta notaris diberi nomor sesuai nomor urut akta yang tercantum dalam repertorium, tanpa diberi bulan dan tahun pembuatan akta. Pencantuman nomor pada setiap akta notaris penting sehubungan antara lain dengan pasal 36 dan pasal 37, yaitu mengenai kewajiban notaris untuk menyatukan dalam suatu buku minuta-minuta yang mereka buat tiap-tiap bulan dan membuat daftar, dalam mana dicatat menurut urutan pembuatan akta-aktanya.

3. Awal akta, diuraikan mengenai hari dan tanggal pembuatan serta notaris yang membuat akta yang bersangkutan. Hari dan tanggal pembuatan akta mutlak dicantumkan dalam akta notaris sesuai dengan pasal 25 ayat 2 huruf d PJN. Penulisan tanggal dalam akta notaris diatur dalam pasal 26 PJN, dimana ditentukan bahwa angka yang menyebutkan angka dan jumlah harus ditulis dengan huruf, baik diawali atau diakhiri dengan akta atau tidak. Dengan demikian, penulisan tanggal mutlak harus dengan huruf. Berdasarkan pasal 25 ayat 1 PJN, maka nama dan tempat kedudukan notaris harus dicantumkan dalam setiap akta notaris. Berkaitan dengan pencantuman notaris membuat akta, maka dapat dibedakan antara akta yang dibuat oleh notaris yang bersangkutan dan akta yang dibuat oleh notaris pengganti, maka harus diterangkan yang menjadi dasar kewenangannya dari notaris pengganti tersebut.

b. Komparisasi, menunjukkan identitas dan kewenangan seseorang untuk bertindak dihadapan notaris. Berdasarkan Pasal 25 ayat 2 huruf a PJN, maka merupakan keharusan untuk mencantumkan nama, pekerjaan atau jabatan, dan tempat tinggal setiap penghadap dan yang diwakilinya (bila ada) dalam suatu akta notaris. Dalam hal ini, komparisasi dapat dibedakan atas apakah seseorang bertindak untuk diri sendiri, selaku kuasa atau dalam jabatan atau kedudukan tertentu.

c. Premmise, merupakan dasar atau pokok masalah yang akan diatur dalam suatu akta guna memudahkan pengertian apa yang dimaksud dengan dibuatnya akta itu.

d. Isi akta, merupakan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

e. Pengenalan penghadap, sesuai dengan pasal 24 PJN, Para penghadap harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepada notaris oleh dua orang saksi pengenal (saksi attesterend). Yang dimaksud dengan “dikenal oleh notaris“ bukan berarti notaris mengenal atau mengetahui secara fisik mengenai diri penghadap seperti pengertian masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini, pengertian “dikenal“ dalam pembuatan suatu akta notaris berarti notaris mengetahui secara persis atau memperoleh keyakinan berdasarkan surat-surat atau bukti-bukti yang ada bahwa apa yang diuraikan oleh notaris di dalam aktanya adalah sesuai dengan keadaan sebenarnya sebagaimana masyarakat mengetahui mengenai identitas dan kewenangan yang bersangkutan dalam masyarakat.

Untuk menambah keyakinan bagi diri notaris mengenai identitas para penghadap, hal tersebut dapat dilihat dari Kartu Tanda Penduduk atau bukti identitas

Dalam dokumen Perancangan Protokol Akta Notaris Digital (Halaman 108-184)

Dokumen terkait