• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEMBAR KERJA SISWA 2

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, disajikan beberapa simpulan dari hasil analisis atau hasil penelitian untuk menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian ini. Disampaikan pula beberapa saran berkaitan dengan hasil penelitian ini.

1.1 Simpulan

1. Kegiatan berpantun masih relevan di kota Tebing Tinggi, Provinsi Sumatra Utara hal ini dibuktikan dengan adanya kegiatan berpantun hampir pada setiap acara, baik acara formal maupun acara nonformal.

2. Dari kegiatan berpantun yang dijadikan sumber data, dapat dilihat bahwa para penutur pantun umumnya berusia di atas 40 tahun. Mereka memperoleh kemampuan berpantun berdasarkan dari pengalaman sendiri, dengan memperhatikan dan belajar sendiri.

3. Berdasarkan hasil analisis tentang struktur Pantun Melayu di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatra Utara yang berjumlah 72 bait, maka simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

a) Secara umum Pantun Melayu di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatra Utara merupakan pantun biasa yang terdiri dari 4 larik, dan hanya 1 teks yang merupakan talibun, terdiri dari 6 larik, yaitu: Kalau tuan ke

Bengkulu, jalannya jauh berliku-liku, gunung bersusun indah berkilau. Beginilah dia adat Melayu, kalau tepung tawar telah berlalu, nasi adab-adaban menanti selalu.

b) Secara struktur dari aspek jumlah suku kata, sebagian besar Pantun Melayu di Kota Tebing Tinggi, yakni 47 teks dari 72 teks yang dianalisis, tidak memanuhi persyaratan pantun yang baik seperti yang dikemukakan oleh Badudu, namun pantun-pantun ini merupakan pantun-pantun yang dipakai dalam masyarakat Tebing Tinggi dan dipahami maknanya, Misalnya pada teks 22. Pada larik ke-1 terdiri dari 11 suku kata, yaitu:

kata, yaitu: e-nak di-ma-kan de-ngan sam-bal ke-la-pa. Larik ke-3 terdiri dari 11 suku kata, yaitu: Waalaikum salam kami ucapkan. Larik ke-4 terdiri dari 12 suku kata, yaitu: ke-pa-da rom-bo-ngan pe-ngan-tin

ber-dua. Ini membuktikan walaupun secara struktur pantun tersebut tidak

memenuhi persyaratan pantun yang baik seperti yang dikemukakan oleh Badudu, namun pantun Melayu ini hidup dan berkembang di Kota Tebing Tinggi. Pantun-pantun ini merupakan pantun yang digunakan sebagai pelengkap dalam berpidato dan tidak sesuai jika disajikan dalam bentuk nyanyian, hal ini karena Pantun Melayu tersebut memiliki larik yang panjang (jumlah suku kata lebih dari 10 bahkan ada yang sampai 20 suku kata).

c) Pada umumnya Pantun Melayu di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatra Utara lebih mementingkan persamaan rima disetiap akhir larik ini terbukti pada pola rima yang umumnya berpola a-b-a-b, hanya 3 teks yang berpola a-a-a-a, yaitu pada teks 26, 28, dan 29.

d) Pantun Melayu di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatra Utara menggunakan variasi rima baik rima berdasarkan bunyi ataupun dari segi letaknya. Berdasaran bunyi, rima yang paling banyak terdapat di dalam Pantun Melayu di Kota Tebing Tinggi adalah rima tak sempurna dan tertutup. Sedangkan berdasarkan letaknya, rima yang paling banyak adalah rima tegak serta rima akhir dan bersilang;

e) isi Pantun Melayu di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatra Utara bervariasi mencakup seluruh hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia, diantaranya masalah agama, percintaan, sosial, keluarga/adat/perkawinan, pendidikan, dan budi pekerti. Permasalahan yang paling banyak yang dibahas dalam Pantun Melayu di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatra Utara adalah masalah agama dan sosial hal ini melambangkan kehidupan masyarakat Melayu yang sangat menjunjung tinggi agama dan kehidupan bermasyarakat.

f) Secara umum Pantun Melayu di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatra Utara merupakan pantun orang tua, hanya 8 bait yang merupakan pantun orang muda.

4. Berdasarkan hasil analisis tentang nilai-nilai yang terkandung dalam Pantun Melayu di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara yang berjumlah 72 bait, maka simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

a) secara umum Pantun Melayu di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara mengandung nilai karakter.

b) nilai yang paling banyak terkandung dalam Pantun Melayu di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara adalah nilai religius dan tanggung jawab.

5. Dari aspek struktur tidak semua Pantun Melayu di Kota Tebing Tinggi dapat dijadikan sebagai bahan ajar pantun. Hal ini disebabkan karena beberapa bait memiliki larik yang terdiri dari suku kata yang jumlahnya melebihi syarat pantun yang baik, yaitu antar 8 sampai 10 suku kata. Oleh karena itu, dalam merancang bahan ajar dengan menggunakan Pantun Melayu di Kota Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara perlu dilakukan pemilihan, hanya pantun-pantun yang memenuhi struktur pantun-pantun yang dijadikan sebagai bahan ajar.

6.2 Saran

Peneliti memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan hasil penelitian ini. Saran-saran tersebut peneliti uraikan sebagai berikut:

1. Penelitian ini hanya baru sampai merancang bahan ajar dari hasil analisis struktur dan nilai pada Pantun Melayu di Kota Tebing Tinggi. Untuk itu, disarankan ada upaya tindak lanjut untuk mengujicobakan hasil penelitian ini. Uji coba ini dapat dilakukan oleh guru Bahasa Indonesia di SMP yang berminat terhadap apresiasi sastra.

2. Penelitian ini secara umum didasarkan pada pendekatan kualitatif, oleh karena itu perlu dicoba jenis pendekatan yang lain (kuantitas misalnya), terutama untuk meneliti keefektivitasan data sebagai bahan ajar.

3. Pantun dapat dijadikan sebagai media penanaman nilai-nilai luhur pada para generasi bangsa. Untuk itu diharapkan pihak pemerintah daerah mendukung pelestarian pantun, seperti membentuk sanggar-sanggar seni yang mempelajari bagaimana berpantun dan menyelenggarakan kompetisi berpantun. Diharapkan dengan hal ini para generasi muda dapat tertarik untuk mempelajari pantun.

Dokumen terkait