• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Simpulan

Secara umum simpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa nyanyian mbue-bue merupakan tradisi masyarakat Muna dengan sistem pewarisan yang menggunakan cara lisan yang lahir dari pengetahuan dan pendengaran masyarakat dan melahirkan sebuah pesan sosial. Hal ini mengajarkan kepada pemilik tradisi mengenai pentingnya menyampaikan pesan melalui mbue-bue demi tercapainya nilai-nilai sosial yang akhirnya akan berguna untuk kehidupan anak ketika besar. Secara spesifik peneliti dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Proses penyampaian mbue-bue

Mbue-bue sebagai media penyampaian pesan sosial sangat memegang peranan penting dalam meredam kemungkinan-kemungkinan sifat buruk pada anak secara langsung. Penyampaian pesan moral ini baik golongan kaomu maupun maradika dilakukan tidak terikat oleh waktu, namun disesuaikan dengan kebiasaan waktu tidur anak. Berlangsungnya mbue-bue kadang disesuaikan dengan tempat aktifitas pembue-bue (ibunya) karena pada dasarnya di Muna pengasuhan anak dilakukan sendiri oleh sang ibu (tidak memakai pembantu).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa orang yang melakukan mbue-bue adalah ibu sedangkan yang mendengarkan adalah anak balita, kadang-kadang anak remaja juga. Baik golongan kaomu maupun maradika, proses penyampaiannya sama, yakni dilakukan ketika anak hendak tidur dengan cara

La Ode Kamsir Ani, 2014

Nyanyian Mbue-bue sebagai bentuk tradisi menidurkan anak di kabupaten Muna Kabupaten Sulawesi Tenggara

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

memasukan anak ke dalam kabue kemudian sang ibu menyanyikan lagu-lagu mbue-bue sampai anak tersebut tertidur.

Ada sedikit perbedaan antara nyanyian golongan kaomu dan maradika yakni dapat dibedakan dari segi redaksi lagunya. Pada nyanyian golongan kaomu ditandai dengan pemakaian kata ganti nama seperti Dhe Ina, Dhe Ege, Dhe Baabe, La Dhe Mpasole,dan sebagainya. Sedangkan pada nyanyian golongan maradika dapat ditandai dengan pemakaian kata ganti nama, seperti Wa Ana,Wa Ina, amamu, dan sebagainya. Dari perbedaan tersebut bila saling tertukar, diyakini akan berakibat secara psikologis pada orang-orang yang pelaku mbue-bue. Selain itu pembue-bue bila menyanyikan lagu bukan pada tempatnya akan mendapat sanksi sosial seperti akan mendapat ejekan atau tawaan dari orang-orang yang kebetulan mendengarkan.

2. Bentuk mbue-bue

Bentuk mbue-bue yang dimaksud yaitu penggunaan unsur-unsur linguistik seperti struktur, bunyi, dan gaya bahasa. Struktur mengarah pada pembahasan mengenai keberadaan morfem yakni morfem terikat dan morfem bebas. Bunyi mengarah pada pengulangan bunyi vokal (asonansi), pengulangan bunyi konsonan (aliterasi), dan irama yang tentu sangat mempengaruhi keindahan nyanyian mbue-bue. Sedangkan gaya bahasa difokuskan pada majas dan paralelisme.

Dari segi struktur morfologi, mbue-bue ditemukan beberapa jumlah morfem bebas dan morfem terikat yang turut mempengaruhi terbentuknya variasi bunyi mbue-bue yakni pada teks golongan kaomu terdapat 97 morfem bebas dan 121 morfem terikat. Sedangkan pada teks golongan maradika ditemukan 113 morfem bebas dan 110 morfem terikat. Hal ini menandakan bahwa keseimbangan bunyi dan penyampaian pesan pada teks kaomu dan maradika menduduki peran yang sama.

La Ode Kamsir Ani, 2014

Nyanyian Mbue-bue sebagai bentuk tradisi menidurkan anak di kabupaten Muna Kabupaten Sulawesi Tenggara

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Dari segi sintaksis ditemukan juga beberapa bentuk kalimat yang turut membangun proses penyampaian pesan moral seperti kalimat perintah, kalimat tanya, kalimat pengharapan, dan kalimat pernyataan. Golongan kaomu lebih menitikberatkan pernyataan seorang ibu yang diwujudkan dalam bentuk ajakan dengan harapan anaknya atau cucunya tahan menghadapi segala kemungkinan hidup. Sedangkan golongan maradika cenderung mengarahkan penyampaian pesan pernyataan pengabdian seorang anak.

Selain dibangun unsur morfologi dan sintaksis, mbue-bue juga didukung oleh unsur bunyi yakni asonansi,alitarasi, dan irama. Secara umum, pengulangan bunyi mbue-bue baik golongan kaomu maupun golongan maradika lebih menitikberatkan bunyi vokal sedangkan bunyi konsonan terlihat hanya sebagai pelengkap atau variasi bunyi saja.

Dari segi gaya bahasa, mbue-bue lebih banyak menggunakan pengulangan baik pengulangan kata, bunyi di dalam kata, maupun pengulangan gabungan kata dalam kalimat. Gaya yang banyak digunakan untuk memperindah bunyi mbue-bue yakni paralelisme, repetisi, dan sedikit personifikasi.

3. Ko-teks mbue-bue

Lagu yang digunakan dalam nyanyian mbue-bue sebagian besar dibangun oleh kata atau suku kata yang sama sehingga intonasi yang terdengar antarbaris atau antarlarik mengandung bunyi yang imbang. Ketika menyanyikan mbue-bue, pembue-bue harus bisa menciptakan suasana yang tenang dengan cara membatasi jarak orang-orang yang berada di sekitar tempat membue-bue agar tidak menimbulkan bunyi-bunyian yang lain atau menimbulkan kebisingan sehingga anak akan susah tidur.

Perlengkapan mbue-bue yang bagus juga sangat mendukung tingkat kecepatan tidur sang anak. Lilitan besi atau di Muna dikenal dengan sebutan fer sangat

La Ode Kamsir Ani, 2014

Nyanyian Mbue-bue sebagai bentuk tradisi menidurkan anak di kabupaten Muna Kabupaten Sulawesi Tenggara

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

berpengaruh pada kenyamanan tidur sang anak karena selain disorong ke kiri dan ke kanan kadang kabue juga bergerak naik turun.

4. Konteks mbue-bue

Konteks yang dimaksudkan pada bagian ini adalah konteks penuturan, konteks budaya, dan konteks sosial. Konteks penuturan berkaitan dengan gambaran segala situasi saat berlangsungnya proses mbue-bue yakni waktu, tempat, penutur, dan suasana mbue-bue.

Mbue-bue dapat dilakukan oleh ibu atau anak remaja perempuan pada pagi, siang, dan malam hari bahkan kadang dapat didengarkan pada saat subu di tempat yang tidak dapat dipastikan karena harus disesuaikan dengan kepentingan lain sang pembue-bue. Karena bertujuan untuk menidurkan anak, maka suasana mbue-bue ini dibuat senyaman mungkin agar tujuan tersebut cepat tercapai. Konteks budaya lebih melihat mbue-bue sebagai kewajiban para ibu rumah tangga untuk melakukannya baik golongan kaomu maupun maradika, hanya yang membedakannya adalah sapaan-sapaan yang digunakan dalam teks.

5. Isi mbue-bue

Mbue-bue pada golongan kaomu lebih menekankan pola pendidikan anak ke arah ajakan untuk mengetahui bagaimana menjalani hidup. Harapan orang tua dari golongan kaomu ini lebih menekankan pola pengasuhan anak pada perintah ajakan dengan harapan anaknya kelak menjadi anak yang tegar. Sedangkan golongan maradika lebih menekankan pada tuntunan anak agar lebih mendekatkan diri pada orang tua dengan harapan agar orang tua ketika menjalani masa-masa tua mereka mendapat perlindungan.

La Ode Kamsir Ani, 2014

Nyanyian Mbue-bue sebagai bentuk tradisi menidurkan anak di kabupaten Muna Kabupaten Sulawesi Tenggara

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Sebagai nyanyian pelipur lara, mbue-bue menggambarkan pengalaman hidup sampai pada pengetahuan dunia. Mbue-bue dapat berfungsi sebagai: (1) ajang curhat orang tua (ibu), (2) penyambung rasa antara ibu dan anak, (3) sarana penyampaian pesan-pesan orang tua (ibu) kepada anaknya, (4) suplemen pranata kehidupan sosial, (5) sebagai edukasi, (6) fungsi keagamaan.

B. Saran

Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk melestarikan tradisi-tradisi di Muna agar terhindar dari geseran budaya luar sehingga mbue-bue dapat terhindar darii kepunahan. Bertolak dari uraian tersebut, penulis ingin mengajak pihak-pihak yang terkait untuk menjaga memelihara dan mempertahankannya demi kesinambungan budaya daerah Muna. Mbue-bue merupakan salah satu kekayaan budaya daerah Muna yang harus dilestarikan sampai kapanpun agar anak cucu kita bisa merasakan efeknya. Oleh karena itu, dibutuhkan kebersamaan yang kuat dan harus melibatkan semua pihak mulai dari generasi baru, para orang tua, sampai pada masyarakat pendahulu untuk selalu melibatkan diri dalam berbagai usaha pemertahanan. Oleh karena itu ada beberapa poin yang menjadi harapan penulis terkait dengan penelitian ini yaitu sebagai berikut.

1) Sepengetahuan penulis, belum ada peneliti yang khusus meneliti nyanyian mbue-bue. Dengan demikian diharapkan penliti berikutnya dapat mengungkap hal-hal lain yang berkaitan dengan nyanyian mbue-bue yang sebelumnya luput dari kesadaran penulis.

2) Secara umum, diharapkan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk tetap merasa bangga atas anugrah Tuhan yang melimpahkan kepada kita untuk memiliki keragaman budaya. Penelitian ini hanya sebagian kecil dari kebudayaan

La Ode Kamsir Ani, 2014

Nyanyian Mbue-bue sebagai bentuk tradisi menidurkan anak di kabupaten Muna Kabupaten Sulawesi Tenggara

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Indonesia, oleh karena itu diharapkan ada peneliti selanjutnya yang akan mengungkap makna yang ada di balik kebudayaan daerah yang beragam ini di masa yang akan datang.

3) Peenelitian ini membuktikan bahwa nyanyian mbue-bue memiliki nilai kehidupan yang masih seimbang dengan kehidupan sekarang ini. Oleh karena itu, harapan penulis agar seluruh masyarakat Muna tetap menjaga keberadaan tradisi ini dan mewariskannya secara terus menerus.

4) Nyanyian mbue-bue merupakan salah satu kekayaan tradisi di Muna. Oleh karena itu sudah sewajarnya pemerintah Kabupaten Muna sebagai daerah asal tradisi ini melakukan langkah-langkah jitu untuk mempertahankan tradisi ini dari kepunahan.

La Ode Kamsir Ani, 2014

Nyanyian Mbue-bue sebagai bentuk tradisi menidurkan anak di kabupaten Muna Kabupaten Sulawesi Tenggara

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu DAFTAR PUSTAKA

Aminudin. (2013). Pengantar apresiasi karya sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Amir, A. (2013). Sastra lisan indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.

Badrun, A. (2003). Putu mbojo: Struktur, Konteks pertunjukan, Proses penciptaan, dan Fungsi. Disertasi FIPB UI Jakarta: Tidak diterbitkan.

Bakker, J.W.M. (1984). Filsafat kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Couvreur, J. (2001). Sejarah dan kebudayaan kerajaan muna. (Rene van den Berg, penerjemah). Kupang: ArtaWacana Press.

Danandjaja, J. (1997). Folklor indonesia: Ilmu gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.

Dariyo, A. 2011. Psokologi perkembangan anak tiga tahun pertama. Bandung: Refika Aditama.

Endaswara, S. (2006). Metodologi penelitian kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Endaswara, S. (2009). Metodologi penelitian folklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Medpres

Finoza, L. (2010). Komposisi bahasa indonesia: Wacana, Alinea, Kalimat, Diksi, Kata & Frasa. Jakarta: Diksi Insan Mulia.

Hutomo, S. S. (1991). Mutiara yang terlupakan. Pengantar studi sastra lisan. Surabaya: HISKI.

Iman, W. O. N. (2011). Pola pengasupan anak perempuan dalam upacara ‘Karya’ pada Masyarakat Muna serta Model Pelestariannya (Tesis). Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia SPS UPI.

La Ode Kamsir Ani, 2014

Nyanyian Mbue-bue sebagai bentuk tradisi menidurkan anak di kabupaten Muna Kabupaten Sulawesi Tenggara

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Kuntjara, E. (2006). Penelitian kebudayaan, sebuah panduan praktis.Yogyakarta: Graha Ilmu.

La Oba. (2005). Muna dalam lintasan sejarah. Bandung: Sinyo MP. Luxemburg. (1989). Tentang sastra. Jakarta: Intermesta.

Maliudin. (2012). Nyanyian rakyat kau-kaudara dalam masyarakat muna (kajian struktur teks, konteks, dan fungsi serta upaya pelestariannya di sekolah). Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia SPS UPI.

Minderop, A. (2011). Psikologi sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Nazriani. (2012). Mantra dalam upacara pesondo: kajian struktur teks, konteks

penuturan, proses penciptaan dan fingsi, serta kemungkinan pemanfaatannya sebagai bahan ajar di SMA. Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia SPS UPI.

Pateda, M. (2010). Semantik leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Pradopo, R. J. (2012). Pengkajian puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Pudentia MPSS. (2008). Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: ATL.

Rusyana, Y. (2006). Peranan tradisi lisan dalam ketahanan budaya (makalah). Bandung.

Sedyawati, E. (2008). Keindonesiaan dalam budaya (buku 2). Jakarta: WedatamaWidya Sastra.

Sibarani. (2012). Kearifan lokal: haikat, peran, dan metode tradisi lisan. Jakarta:ATL

Siswantoro. (2011). Metode penelitian sastra: analisis struktur puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

La Ode Kamsir Ani, 2014

Nyanyian Mbue-bue sebagai bentuk tradisi menidurkan anak di kabupaten Muna Kabupaten Sulawesi Tenggara

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Sugiyono. (2012). Metode penelitian kombinasi (mixed methods). Bandung: Alfabeta Sugiyono. (2012). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta

Sukatman. (2009). Butir-butir tradisi lisan indonesia pengantar teori dan pembelajarannya. Yogyakarta: LaksBang Pressindo.

Tarigan, H. G. (2011). Pengajaran kosa kata. Bandung: Angkasa. Welk, R. dan Austin, W. (1989). Teori kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Widagdho, J. dkk. (2012). Ilmu budaya dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Ong, W. J. (1983). Orality and literacy: the technologizing of the word. London, New York: Methuen.

Asrif. 2012. Abstrak: Tradisi lisan male-male: Nyanyian kematian dalam masyarakat Cia-cia: Kajian sosiologis dan upaya pewarisan. Jurnal bahasa dan sastra, 12 (2), hlm. 165.

Dokumen terkait