• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini terdiri atas simpulan, keterbatasan, dan saran yang didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan.

                             

BAB II

TELAAH LITERATUR

2.1 Teori Sinyal (Signalling Theory)

Teori sinyal mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Saputri dan Margaretha (2014) menyatakan bahwa sinyal adalah suatu tindakan yang diambil oleh manajemen perusahaan yang memberikan petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Sinyal dapat berupa informasi yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lain.

Menurut Wolk, dkk., (2000) dalam Hadiprajitno (2014), teori sinyal menjelaskan bahwa perusahaan mempunyai dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi karena terdapat asimetri informasi antara perusahaan dan pihak luar (investor dan kreditur) karena perusahaan mengetahui lebih banyak informasi dibandingkan pihak luar. Kurangnya informasi bagi pihak luar mengenai perusahaan menyebabkan mereka melindungi diri dengan memberikan harga yang rendah untuk perusahaan.

Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan mengurangi informasi asimetri. Salah satu cara untuk mengurangi informasi asimetri adalah dengan memberikan sinyal pada pihak luar, salah satunya berupa informasi keuangan

yang dapat dipercaya sehingga mengurangi ketidakpastian mengenai prospek perusahaan yang akan datang.

2.2 Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori agensi dikemukakan oleh Michael C. Jensen dan William H. Meckling pada tahun 1976 dalam Sukirni (2012) menjelaskan bahwa manajemen merupakan agen dari pemegang saham, sebagai pemilik perusahaan. Hadiprajitno (2014) mengungkapkan bahwa hubungan keagenan merupakan suatu kontrak antara agent (manajer) dengan principal (investor).

Teori ini menyatakan bahwa agent berwenang untuk mengelola kekayaan investor sedangkan principal mempunyai harapan akan memperoleh keuntungan dengan bertambahnya kekayaan dan kemakmuran investor. Terjadinya konflik antara manajer dan investor karena kemungkinan manajer bertindak tidak sesuai dengan kepentingan investor. Konflik antara principal dan agent dapat dikurangi dengan mensejajarkan kepentingan antara principal dan agent. Kehadiran kepemilikan saham oleh manajerial dapat digunakan untuk mengurangi agency cost yang berpotensi timbul, karena dengan memiliki saham perusahaan diharapkan manajer merasakan manfaat langsung dari setiap keputusan yang diambilnya. Biaya agensi menurut Mayangsari (2001) dalam Joni dan Lina (2010) adalah biaya-biaya yang berhubungan dengan pengawasan manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak

konsisten sesuai dengan perjanjian kontraktual perusahaan dengan kreditur dan pemegang saham.

Penggunaan utang perusahaan untuk investasi dapat dianggap sebagai salah satu cara dalam mengurangi konflik antara pemegang saham dan manajer terkait free

cash flow. Manajer cenderung untuk menahan penggunaan kas sedangkan investor

cenderung ingin menggunakan kas untuk investasi dengan harapan mendapatkan pengembalian modal investasi yang lebih besar. Jika perusahaan menggunakan utang maka manajer dipaksa untuk mengeluarkan kas dari perusahan untuk membayar bunga (Mardiyati, dkk., 2012).

2.3 Trade-off Theory

Trade off theory diungkapkan oleh Myers (2001) dalam Dewi dan Wirajaya

(2013) menyatakan bahwa dalam menentukan struktur modal yang optimal terdapat penggunaan ekuitas dan utang yang optimal. Trade-off theory dapat menentukan target rasio utang yang optimal pada perusahaan. Rasio utang yang optimal ditentukan berdasarkan perimbangan antara manfaat yang diperoleh perusahaan melalui penggunaan utang serta biaya kebangkrutan perusahaan. Penggunaan utang menyebabkan perusahaan memperoleh manfaat pajak, sedangkan biaya kebangkrutan merupakan biaya administrasi, biaya hukum, biaya keagenan, dan biaya pengawasan untuk mencegah perusahaan mengalami kebangkrutan (Siregar, 2005 dalam Joni dan Lina, 2010).

Salah satu cara untuk meningkatkan nilai perusahaan adalah dengan melakukan pengelolaan komposisi modal perusahaan dan keputusan manajer keuangan dalam memilih sumber pendanaan yang akan mempengaruhi harga saham perusahaan. Hal ini berarti perusahaan dapat menggunakan komposisi utang dan ekuitas yang optimal sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (Joni dan Lina, 2010). Trade off theory memiliki kelemahan yaitu mengasumsikan bahwa seluruh informasi yang diperoleh investor dan manajemen memiliki porsi yang sama (symetric information). Hal ini tidak dapat diterima oleh investor karena sulit untuk mendapatkan informasi dengan porsi yang sama dengan manajemen. Hal ini menghambat kemampuan perusahaan untuk melakukan penambahan dana karena informasi yang diperoleh investor cenderung terbatas sehingga perusahaan hanya dapat mengandalkan penerbitan saham baru (Sukirni, 2012).

2.4 Nilai Perusahaan

Menurut Sukirni (2012), nilai perusahaan merupakan kondisi tertentu yang telah dicapai oleh suatu perusahaan sebagai gambaran dari kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan setelah melalui suatu proses kegiatan selama beberapa tahun, yaitu sejak perusahaan tersebut didirikan sampai dengan saat ini. Purbawangsa dan Sartini (2014) mengungkapkan bahwa nilai perusahaan mempengaruhi persepsi investor mengenai perusahaan karena nilai perusahaan dianggap mencerminkan kinerja perusahaan.

Mindra dan Erawati (2014) mengatakan nilai perusahaan merupakan suatu gambaran sejauh mana perusahaan diakui oleh publik. Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia memungkinkan masyarakat dan manajemen mengetahui nilai perusahan yang tercermin pada kekuatan tawar-menawar saham, apabila perusahaan diperkirakan sebagai perusahaan yang mempunyai prospek yang bagus dimasa yang akan datang, nilai saham akan menjadi semakin tinggi. Sebaliknya, apabila perusahaan dinilai kurang mempunyai prospek maka harga saham menjadi lemah.

Budiati (2013) berpendapat bahwa nilai perusahaan tercermin dari harga saham, khususnya untuk perusahaan yang memperdagangkan sahamnya kepada publik. Apabila nilai perusahaan baik, yaitu mempunyai kinerja dan prospek yang bagus, maka investor pasti bersedia membayar lebih untuk membeli sahamnya. Setiani (2013) mengungkapkan bahwa nilai perusahaan merupakan hal yang penting bagi manajer dan investor. Bagi manajer, nilai perusahaan merupakan suatu tolak ukur atas prestasi kerja yang telah dicapainya. Jika manajer mampu meningkatkan nilai perusahaan maka menunjukkan kinerja yang baik bagi perusahaan serta dapat meningkatkan kemakmuran bagi pemegang saham, sedangkan bagi investor akan tertarik untuk berinvestasi apabila memiliki suatu pandangan yang baik terhadap perusahaan dan hal ini membuat harga saham mengalami peningkatan. Nilai perusahaan yang semakin tinggi, akan berdampak terhadap peningkatan kemakmuran yang dicapai para pemegang saham (Sartini dan Purbawangsa, 2014).

Rakhimsyah dan Gunawan (2011) berpendapat bahwa optimalisasi nilai perusahaan merupakan tujuan utama dari perusahaan yang dapat dicapai melalui

pelaksanaan fungsi manajemen keuangan, dimana satu keputusan keuangan yang diambil akan mempengaruhi keputusan keuangan lainnya dan berdampak pada nilai perusahaan. Manajemen keuangan terkait keputusan penting yang diambil perusahaan, antara lain keputusan investasi, keputusan pendanaan, dan kebijakan dividen. Kombinasi yang optimal atas ketiganya akan memaksimumkan nilai perusahaan yang akan meningkatkan kemakmuran kekayaan pemegang saham.

Penelitian Prasetyorini (2013) dan Mahendra, dkk (2012) mengukur nilai perusahaan menggunakan Tobins Q dihitung melalui rasio nilai pasar saham perusahaan ditambah dengan utang lalu membandingkan dengan total aset perusahaan. Tobins Q merupakan indikator untuk mengukur kinerja perusahaan yang menunjukkan suatu proforma manajemen dalam mengelola aset perusahaan (Sudiyatno dan Puspitasari, 2010). Raharja (2012), Mindra dan Erawati (2014) mengukur nilai perusahaan menggunakan Price to Book Value Ratio (PBV) yang menunjukkan rasio untuk mengukur kinerja harga pasar saham terhadap nilai bukunya. PBV berfungsi untuk mengidentifikasi saham mana yang harganya wajar, terlalu rendah (Undervalued) dan terlalu tinggi (Overvalued).

Price to book value (PBV) ratio adalah suatu rasio yang sering digunakan

untuk menentukan nilai perusahaan dan mengambil keputusan investasi dengan cara membandingkan harga pasar saham dengan nilai buku perusahaan (Budiati, 2013). Menurut Budiati (2013), PBV menunjukan seberapa jauh perusahaan mampu menciptakan nilai terhadap jumlah modal yang diinvestasikan. Perusahaan yang berjalan baik umumnya mempunyai PBV diatas satu, yang menunjukkan nilai pasar

saham lebih besar dari nilai buku perusahaan. Semakin tinggi nilai PBV menunjukkan nilai perusahaan semakin baik. Sebaliknya, apabila PBV dibawah satu mencerminkan nilai perusahaan tidak baik sehingga persepsi investor terhadap perusahaan juga tidak baik, karena dengan nilai PBV dibawah satu menggambarkan harga jual perusahaan lebih rendah dibandingkan nilai buku perusahaan.

Menurut Brigham dan Houston (2001) dalam Raharja (2012) PBV mengukur nilai yang diberikan pasar kepada manajemen dan organisasi perusahaan sebagai sebuah perusahaan yang terus tumbuh. Price to Book Value merupakan perbandingan antara harga saham terhadap nilai buku. Harga pasar saham (Current Price/Market

Price) merupakan suatu cerminan penilaian investor secara keseluruhan atas setiap

ekuitas yang dimiliki (Setiani, 2013). Nilai buku per lembar saham menggambarkan besarnya ekuitas yang dimiliki oleh setiap pemegang saham biasa pada net asset perusahaan dari kepemilikkan satu lembar saham (Weygandt, dkk, 2013). IAI (2014) menyatakan bahwa ekuitas adalah hak residual atas aset perusahaan setelah dikurangi semua liabilitas. Kieso, et al. (2014) menyatakan bahwa ekuitas perusahaan umumnya dibagi ke dalam 6 bagian:

1. Share Capital: par atau stated value dari saham yang diterbitkan. Termasuk di dalamnya saham biasa dan saham preferen.

2. Share premium: Kelebihan dari jumlah yang dibayarkan atas par atau stated value. 3. Retained Earnungs: Penghasilan perusahaan yang tidak didistribusikan.

4. Accumulated Other Comprehensive Income: Jumlah agregat dari item pendapatan komprehensif lainnya.

5. Treasury Shares: Jumlah saham biasa yang dibeli kembali.

6. Non- Controlling Interest (Minority Interest): Bagian ekuitas perusahaan anak yang tidak dimiliki oleh perusahaan pelapor.

2.5 Keputusan Investasi

Investasi merupakan tindakan untuk menanamkan dana yang dimiliki saat ini ke dalam bentuk aset lancar maupun aset tetap dengan harapan untuk memperoleh keuntungan di masa mendatang (Salim dan Moeljadi, 2001 dalam Sartini dan Purbawangsa, 2014). Setiani (2012) mengungkapkan bahwa keputusan investasi merupakan keputusan yang menyangkut untuk menanamkan modal dimasa sekarang untuk mendapatkan keuntungan di masa depan. Tujuan dilakukannya keputusan investasi adalah mendapatkan laba yang besar dengan risiko yang dapat dikelola dengan harapan dapat mengoptimalkan nilai perusahaan (Rohman, 2012).

Pujianti dan Widanar (2009) dalam Setiani (2012) menyatakan bahwa keputusan investasi menyangkut tindakan yang mengeluarkan dana sekarang dan diharapkan akan mendapatkan arus kas di masa mendatang lebih besar dari dana yang telah dikeluarkan sebelumnya. Suatu perusahaan yang mampu menciptakan keputusan investasi yang tepat, maka aset dari perusahaan akan menghasilkan kinerja yang optimal sehingga memberikan sinyal positif untuk investor yang nantinya akan meningkatkan harga saham perusahaan dan menaikkan nilai perusahaan (Prasetyo, 2011 dalam Setiani, 2013).

Sari (2013) mengungkapkan bahwa keputusan investasi penting untuk mencapai tujuan perusahaan yang dihasilkan melalui kegiatan investasi perusahaan. Keputusan investasi yang diambil tergantung pada besarnya pengeluaran-pengeluaran yang ditetapkan manajemen di masa yang akan datang dan diharapkan akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Hadiprajitno (2014) mengungkapkan dalam teori sinyal mengenai hubungan antara pengeluaran investasi dan juga nilai perusahaan, dimana pengeluaran investasi memberikan sinyal positif kepada investor dan kreditur mengenai pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang. Prasetyo (2011) dalam Setiani (2013) menyatakan bahwa jika perusahaan mampu menciptakan keputusan investasi yang tepat maka aset perusahaan akan menghasilkan kinerja yang optimal sehingga memberikan sinyal positif bagi investor yang nantinya akan meningkatkan harga saham dan menaikkan nilai perusahan.

Ayuningtias dan Kurnia (2013) menjelaskan bahwa suatu perusahaan dapat melakukan investasi terhadap aset tetap dalam beberapa bentuk, seperti penggantian aset tetap, ekspansi atau perluasan, diversifikasi produk, eksplorasi, penelitian dan pengembangan, dan lain-lain. Beberapa bentuk investasi tersebut merupakan suatu set kesempatan investasi atau Investment Opportunity Set (IOS) yang harus dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengembangkan usaha.

Rohman (2012), dan Rakhimsyah dan Gunawan (2011) mengukur keputusan investasi menggunakan Price Earning Ratio (PER) yang menunjukkan perbandingan antara closing price dengan laba per lembar saham. Closing price merupakan harga penawaran terakhir dalam perdagangan saham harian. Sedangkan Raharja (2012)

menggunakan Ratio Capital Expenditure to Book Value of Asset (CPA/BVA) sebagai alat ukur keputusan investasi yang menggambarkan peningkatan total aset dari tahun sebelumnya hingga tahun ini. Proksi CPA/BVA merupakan perbandingan antara aset tahun ini dikurangi dengan total aset tahun sebelumnya dibagi dengan total aset tahun sebelumnya. Keputusan investasi dengan alat ukur CPA/BVA menunjukkan bahwa peningkatan investasi berkaitan dengan nilai perusahaan yang dikonversi melalui pertumbuhan aset yang dimiliki.

Sartini dan Purbawangsa (2014), Raharja (2012), dan Rohman (2012) menemukan bahwa keputusan investasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan yang mengindikasikan bahwa pengeluaran modal perusahaan sangat penting untuk meningkatkan nilai perusahaan karena memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan di masa depan. Rakhimsyah dan Gunawan (2011) dan Sari (2013) juga menemukan bahwa keputusan investasi berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Hal ini menandakan bahwa dengan meningkatnya investasi maka akan berpengaruh pada meningkatnya nilai perusahaan. Sedangkan Setiani (2013) menemukan bahwa keputusan investasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhdap nilai perusahaan.

Berdasarkan asumsi diatas, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

2.6 Keputusan Pendanaan

Keputusan pendanaan berkaitan dengan keputusan yang diambil perusahaan dalam mengelola dana untuk membiayai investasi perusahaan dengan harapan menghasilkan keuntungan dimasa depan (Efni, 2012). Keputusan pendanaan mengindikasikan perusahaan untuk membiayai kegiatan operasionalnya. Pada keputusan ini manajer keuangan dituntut untuk mempertimbangkan dan menganalisis kombinasi dari sumber-sumber dana yang ekonomis bagi perusahaan. Setiani (2013) mengatakan bahwa seorang manajer harus mampu untuk mengambil keputusan pendanaan dengan mempertimbangkan komposisi utang dan modal sendiri yang akan digunakan perusahaan. Dengan adanya komposisi yang optimal dari penggunaan utang dan modal sendiri akan dapat mempengaruhi nilai perusahaan.

Raharja (2012) mengungkapkan keputusan pendanaan didefinisikan sebagai keputusan yang menyangkut komposisi pendanaan yang dipilih oleh perusahaan. Peningkatan utang yang digunakan perusahaan diartikan oleh kreditur dan investor mengenai kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban di masa depan. Hal ini akan direspon baik oleh pihak luar mengenai pertumbuhan perusahaan yang meningkat.

Efni, et al. (2012) menyatakan bahwa keputusan pendanaan berkaitan dengan keputusan perusahaan dalam mencari dana untuk membiayai investasi dan menentukan komposisi sumber pendanaan. Pendanaan perusahaan dapat dikelompokkan berdasarkan sumber dananya yaitu pendanaan internal dan pendanaan

eksternal. Pendanaan internal merupakan pendanaan yang berasal dari dalam perusahaan yaitu laba ditahan, sedangkan pendanaan eksternal yaitu penggunaan utang dan ekuitas.  

Susanto (2011) menggunakan proksi DAR yang menunjukkan seberapa besar perusahaan membiayai operasi perusahaan menggunakan aset yang didanai oleh utang perusahaan. Sementara Raharja (2012) mengukur keputusan pendanaan melalui

Debt to Equity Ratio (DER) yang menunjukkan perbandingan utang dan ekuitas.

Total utang didapatkan dari penjumlahan utang jangka pendek dan utang jangka panjang sedangkan total ekuitas didapatkan dari total aset dikurangi dengan total liabilitas (Weygandt, 2013).

Tingkat Debt to Equity Ratio (DER) yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan lebih melakukan pendanaan melalui utang dibandingkan melalui ekuitas. Apabila penggunaan utang lebih besar maka utang tersebut dapat dijadikan modal untuk membiayai operasional perusahaan dengan tujuan mendapatkan laba yang dapat meningkatkan nilai perusahaan (Rakhimsyah dan Gunawan, 2011).

Perusahaan yang melakukan pendanaan melalui utang dapat meningkatkan nilai perusahaan karena dengan adanya utang maka perusahaan memiliki kewajiban untuk membayar bunga pinjaman, dan dengan adanya bunga pinjaman maka akan mengurangi penghasilan kena pajak sehingga pajak yang dibayarkan lebih kecil dan laba yang dihasilkan akan lebih besar (Budiati, 2013). Investasi yang dihasilkan dari keputusan pendanaan memiliki sinyal yang positif tentang perusahaan di masa yang

akan mendatang yang akan meningkatkan nilai perusahaan (Rakhimsyah dan Gunawan, 2011).

Penelitian terkait salah satunya dilakukan oleh Rohman (2012), Setiani (2013), Sartini dan Purbawangsa (2014) yang menemukan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara keputusan pendanaan dengan nilai perusahaan. Selain itu, Sukirni (2012) dan Hadiprajitno (2014) juga menemukan hal yang sama bahwa keputusan pendanaan berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Sementara, Raharja (2012) mengemukakan bahwa keputusan pendanaan tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap nilai perusahaan. Muid (2012) dan Sari (2013) juga mendapati hasil bahwa keputusan pendanaan berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap nilai perusahaan.

Berdasarkan atas kajian teori, serta hasil dari penelitian-penelitian sebelumnya, maka dirumuskan hipotesis:

Ha2: Keputusan pendanaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

2.7 Kebijakan Dividen

Berdasarkan Bursa Efek Indonesia, dividen merupakan pembagian keuntungan yang diberikan perusahaan dan berasal dari keuntungan yang dihasilkan perusahaan. Weygandt, dkk (2013) menjelaskan bahwa dividen merupakan kas atau saham yang dibagikan oleh perusahaan kepada pemegang sahamnya yang berbasis proporsional dengan kepemilikan pemegang saham. Yastini dan Mertha (2015) mengungkapkan

bahwa kebijakan dividen merupakan pengelolaan laba yang diperoleh perusahaan yang akan dibagikan kepada para pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan untuk membiayai investasi perusahaan di masa mendatang. Kebijakan dividen merupakan keputusan yang sangat penting dalam suatu perusahaan yang melibatkan dua pihak dimana masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda, yaitu pemegang saham biasanya menginginkan laba untuk dibagikan dalam bentuk dividen, sedangkan manajer menginginkan laba perusahaan untuk diinvestasikan kembali dalam bentuk laba ditahan (Muid, 2012).

Muid (2012) berpendapat bahwa manajemen memiliki dua alternatif perlakuan terhadap laba setelah pajak yaitu laba tersebut akan diinvestasikan kembali ke perusahaan sebagai laba ditahan atau akan dibagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk dividen. Pembagian dividen di satu sisi akan memenuhi harapan investor untuk mendapatkan return sebagai hasil dari investasi, sedangkan di satu sisi pembagian dividen diharapkan tidak mengancam kelangsungan hidup perusahaan dimana laba yang diperoleh perusahaan dapat diinvestasikan kembali dalam bentuk laba ditahan. Kieso, dkk. (2014) menjelaskan tipe-tipe dividen, diantaranya adalah: a. Cash dividend adalah dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham dalam

bentuk tunai (kas). Pembagian dividen berupa kas diputuskan pada rapat umum pemegang saham, dan diberikan kepada pemegang saham yang namanya tercatat dalam daftar pemegang saham.

b. Property dividend adalah dividen yang diberikan kepada para pemegang saham dalam bentuk barag-barang. Dividen property ini dapat berupa merchandise, real estate, investasi, atau apapun yang disetujui oleh board of director.

c. Liquidating dividend adalah dividen yang dibayarkan kepada para pemegang saham dimana sebagian dari jumlah tersebut dimaksudkan sebagai pembayaran bagian laba sedangkan sebagian lagi dimaksudkan sebagai pengembalian modal yang ditanamkan atau diinvestasikan oleh para pemegang saham ke perusahaan. d. Share dividend adalah dividen yang diberikan kepada para pemegang saham

berupa saham-saham yang dikeluarkan perusahaan itu sendiri.

Syarat-syarat dibagikannya dividen tunai menurut Weygandt, dkk (2013), yaitu:

a. Retained Earnings

Sumber dividen tunai adalah laba ditahan sehingga untuk dapat membagi dividen tunai, tentunya perusahaan harus memiliki saldo laba ditahan yang cukup.

b. Adequate cash

Perusahaan harus memiliki dana kas yang cukup untuk dibagikan dalam bentuk dividen tunai kepada pemegang saham.

c. A declaration of dividends

Rencana pembagian dividen hanya dapat dilakukan jika telah disetujui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Jika RUPS telah menyetujui untuk membagi dividen tunai, maka perusahaan sudah harus mengakui adanya kewajiban dividen tersebut.

Berdasarkan Bursa Efek Indonesia, pada dasarnya terdapat dua keuntungan yang diperoleh investor dengan membeli atau memiliki saham, antara lain:

1. Dividen

Dividen diberikan setelah mendapat persetujuan dari pemegang saham dalam RUPS. Jika seorang pemodal ingin mendapatkan dividen, maka pemodal tersebut harus memegang saham tersebut dalam kurun waktu yang relatif lama yaitu hingga kepemilikan saham tersebut berada dalam periode dimana diakui sebagai pemegang saham yang berhak mendapatkan dividen. Dividen yang dibagikan perusahaan dapat berupa dividen tunai, artinya kepada setiap pemegang saham diberikan dividen berupa uang tunai dalam jumlah rupiah tertentu untuk setiap saham atau dapat pula berupa dividen saham yang berarti kepada setiap pemegang saham diberikan dividen sejumlah saham sehingga jumlah saham yang dimiliki seorang pemodal akan bertambah dengan adanya pembagian dividen saham tersebut.

2. Capital Gain (Loss)

Capital gain merupakan selisih antara harga beli dan harga jual. Capital gain

terbentuk dengan adanya aktivitas perdagangan saham di pasar sekunder. Capital

loss merupakan kebalikan dari Capital gain, yaitu suatu kondisi dimana investor

menjual saham lebih rendah dari harga beli.

Ada tiga jenis kebijakan dividen yang digunakan perusahaan (Gitman dan Zutter, 2015):

1. Kebijakan dividen rasio pembayaran konstan (constant payout ratio dividend

Dividend payout ratio mengindikasikan persentase dari setiap uang yang diterima

yang diberikan oleh perusahaan kepada pemilik saham dalam bentuk kas. Constant

payout ratio dividend policy adalah kebijakan dividen yang membayarkan dividen

berdasarkan persentase tertentu pada setiap periodenya. 2. Kebijakan dividen teratur (regular dividend policy)

Kebijakan dividen ini mendasarkan pada pembayaran dengan jumlah per mata uang yang tetap di setiap periodenya. Sering kali perusahaan yang menggunakan kebijakan dividen ini menaikkan regular dividend-nya setelah kenaikan pendapatan secara berkelanjutan terjadi dalam perusahaan.

3. Kebijakan dividen rendah teratur dan ditambah ekstra (low regular and extra

dividend policy)

Kebijakan ini berdasarkan pada pembayaran dividen teratur yang rendah, dan ditambahkan dengan bonus dividen saat perusahaan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi daripada periode telah ditentukan. Dengan adanya bonus dividen, perusahaan menghindari pandangan mengenai peningkatan dividen adalah permanen. Kebijakan dividen ini banyak digunakan pada perusahaan yang memiliki banyak pergeseran pendapatan.

Artini (2011), Muid (2012), Raharja (2012), Sari (2013), Sartini dan Purbawangsa (2014) mengukur kebijakan dividen dengan proksi Dividen Payout

Ratio (DPR). Selain itu, Sukirni (2012), Rohman (2012), dan Mardiyati, dkk (2012)

juga mengukur kebijakan dividen dengan proksi DPR. Menurut Ross, dkk., (2012), rasio Dividend Payout Ratio (DPR) merupakan perbandingan antara dividen per

lembar saham dengan laba per lembar saham (Earning Per Share). Dividen per lembar saham didapatkan dari total dividen dibagi dengan total lembar saham yang beredar sedangkan total lembar saham yang beredar adalah jumlah saham yang telah diterbitkan dan dipegang oleh pemegang saham (Weygandt, et al., 2013).

Earning Per share (EPS) adalah rasio yang digunakan untuk menghitung laba atau

Dokumen terkait