7. SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan
Metode analisis kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dengan SPLL, yang dikembangkan dalam penelitian ini telah menjawab hipotesis, bahwa
penerapan konsep “marine cadastre” dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya
pesisir dan laut meningkatkan manfaat ekonomi dan kepastian hak di wilayah
Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau. Jawaban tersebut dinyatakan dalam hasil-hasil temuan penelitian sebagai berikut:
1) “Marine Cadastre” melahirkan kepastian hak dalam sistem tenurial wilayah
pesisir dan laut. Hak-hak dimaksud dalam bentuk “the bundle of rights”,
misalnya: Hak Pengelolaan (HPL) atas kawasan mangrove dan terumbu karang, Hak Guna Usaha (HGU) atas kawasan budidaya perikanan kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat, serta Hak Guna Perairan (HGP) atau Hak Pemanfaatan Ruang Laut (HPRL) kepada masyarakat dan pemangku
kepentingan lainnya. Demikian pula hak-hak atas “sea bed” diberikan dengan
HPL, HGU, atau Hak Guna Bangunan (HGB) yang berkaitan dengan pemanfaatan dasar laut perairan teritorial. Sementara ini kebijakan eksisting penguasaan dan pemafaatan ruang pesisir dan laut masih tidak jelas dan tidak
ada dasar hukum yang kuat. Hasil analisis ABC Resource Survey Method
menunjukkan bahwa masih terjadi tumpang tindih penguasaan maupun pemanfaatan dan peruntukan ruang pesisir dan laut.
Hasil analisis M-AHP kebijakan eksisting menunjukkan bahwa:
a. Prioritas program dibanding dengan realisasi program pemanfaatan ruang
pesisir dan laut adalah tidak sesuai atau menyimpang, yaitu dinyatakan
dengan skor = 0.21, di mana skor ≤ 0.50 merupakan indikasi ketidak-
seuaian atau penyimpangan pelaksanaan program;
b. Prioritas peningkatan sosial-ekonomi pemanfaatan ruang pesisir dan laut
adalah kurang berhasil, yaitu dinyatakan dengan skor = 0.56, hanya sedikit
di atas skor ≤ 0.50 yang merupakan indikasi ketidak-berhasilan;
c. Prioritas program penanganan masalah dan konflik pemanfaatan ruang
pesisir dan laut tidak berhasil, yaitu dinyatakan dalam skor = 0.38, di
148
Penyimpangan dan ketidak-berhasilan kebijakan eksisting ini utamanya karena tidak adanya kejelasan tentang hak-hak dan peraturan perundang-undangan mengenai penguasaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut. Hal ini
dinyatakan dalam hasil riset persepsional “marine cadastre” yang
menyatakan, bahwa:
a. Seluruh responden berpendapat perlu ketegasan tentang hak-hak, batasan-
batasan, serta kewajiban-kewajiban atas penguasaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut;
b. Sebanyak 75% dari responden berpendapat bahwa belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut;
c. Seluruh responden setuju atas konsep “persil laut” dan 95% responden
berpendapat perlunya diterbitkan surat tanda bukti pemilikan dan penguasaan ruang pesisir dan laut;
Ketiga butir tersebut di atas merupakan pokok-pokok dari penyelenggaraan
suatu “marine cadastre”, untuk itu perlu segera dirumuskan dan ditetapkan
peraturan perundang-undangannya. Dengan perkataan lain, karena belum
terlaksananya “marine cadastre” di wilayah penelitian, maka:
a. Bagi masyarakat tidak adanya kepastian dan jaminan kepastian hukum atas
penguasaan dan pemilikan ruang pesisir dan laut merupakan kegagalan hak kepemilikan;
b. Bagi Pemerintah Daerah tidak adanya kebijakan, arahan, dan pengawasan
serta pengendalian pemanfaatan ruang pesisir dan laut merupakan kegagalan kebijakan publik.
2) Jaminan kepastian hukum meningkatkan nilai ekonomi penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan ruang dan sumberdaya. Dengan
demikian “marine cadastre” meningkatkan kualitas pengelolaan sumberdaya
melalui peningkatan manfaat dan nilai ekonomi total kawasan dalam skenario pemanfaatan ruang dan sumberdaya yang berkelanjutan.
TEV kebijakan “marine cadastre” pada lokasi penelitian = Rp. 3 084 999;
nilai EIRR = 33.31%; dan Net B/C = 5.54. Sebaliknya, sementara ini TEV kebijakan eksisting = - Rp. 682 861; nilai EIRR = - 0.86; dan Net B/C = 0.04. Apabila kebijakan eksisting tetap dilaksanakan, maka:
149
b. Dengan nilai EIRR = - 0.86% dan B/C = 0.04 maka kebijakan
pemanfaatan ruang eksisting tidak akan menghasilkan nilai ekonomi kawasan dan sumberdaya yang menguntungkan (positif) meskipun dalam
kurun waktu 10 tahun ke depan; Hal ini dibuktikan dengan PV (Present
Value) tahun ke nol = - Rp. 769 015 dan hanya menjadi = Rp. 310 189 pada tahun ke sepuluh;
c. Akan berlangsung terus terjadi penurunan tingkat peranserta dan akses
masyarakat atas pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan lautan.
Sebaliknya dengan skenario kebijakan melalui penyelenggaraan “marine
cadastre” dengan tiga pilar utama filosofi kadaster, yaitu 3R (Rights,
Restriction, Responsibility), maka:
a. Penguasaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dapat terkendali
sehingga berkelanjutan;
b. Ekonomi sumberdaya dan lingkungan dapat terus meningkat, diawali
dengan PV tahun ke nol = - Rp. 733 982 menjadi = Rp. 1 062 677 pada tahun ke sepuluh;
c. Akan terjadi peningkatan peranserta dan akses masyarakat secara
signifikan atas pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan lautan
akibat tidak adanya kegagalan hak kepemilikan.
3) Desain Kebijakan “Marine Cadastre”, sedikitnya harus meliputi:
a. Indikator utama:
a.1. Tersedianya kerangka hukum dan kelembagaan, yaitu peraturan perundang-undangan yang mengaturnya serta lembaga-lembaga yang melaksanakannya, yang meliputi pula:
• sosialisasi dan upaya-upaya pemahamannya secara terbuka
(transparan) dan mendasar;
• kejelasan tentang macam-macam hak atas ruang dan penggunaan
wilayah pesisir dan laut;
• kejelasan tentang batasan dan kewajiban dalam setiap
pelaksanaan hak-hak dimaksud (bentuk penguasaan dan pemanfaatan ruang dan sumberdaya) di wilayah pesisir dan laut, termasuk bentuk-bentuk sanksi bagi setiap pelanggaran yang terjadi;
150
bertanggungjawab apa, yaitu kejelasan tentang instansi-instansi
Pemerintah dan Daerah yang menyelenggarakan “marine
cadastre”;
a.2. Tersedianya perencanaan tata ruang wilayah darat dan laut yang dilakukan secara terpadu dengan mengarah kepada tujuan EES (Ekonomi, Ekologi, dan Sosial);
a.3. Tersedianya infrastruktur data spasial yang komprehensif di mana setiap kepentingan di wilayah pesisir dan laut.
b. Langkah-langkah penyelenggaraannya:
b.1. Lakukan survei dan pemetaan wilayah dan batas-batas tenurial:
tentukan sistem koordinat dan proyeksi peta serta datum yang digunakan, termasuk skala peta dan simbol-simbol kartografi yang digunakan;
b.2. Administrasikan hasil survei dan pemetaan tersebut, dan tentukan sistem pendaftaran hak yang digunakan, dengan skenario sebagai berikut:
• Ruang perairan pantai merupakan wilayah yang sangat rentan (fragile), baik ditinjau dari aspek fisik dan ekosistem (merupakan wilayah “tumpahan” seluruh dampak aktifitas di daratan yang
terbuang atau mengalir ke laut), maupun ditinjau dari aspek hukum
dan sosial-ekonomi, yaitu sangat berhubungan erat dengan
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (land
tenureships) daratan pesisir. Ruang perairan pantai merupakan
wilayah perairan laut dangkal, termasuk wilayah yang pada saat air
laut surut nampak sebagai ruang daratan, dan oleh karena itu sistem
tenurial lahan ini dapat dicirikan oleh tipologi atau karakteristik
sistem tenurial daratan (land-based tenure) maupun ruang laut
(sea-based tenure) secara seimbang; Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, maka jenis-jenis hak yang dapat dipunyai oleh perseorangan serta badan hukum publik dan privat, adalah hak-hak menurut UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dan peraturan perundang- undangan lainnya. Hak-hak yang dapat diberikan misalnya, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan (HPL) kepada Pemerintah Daerah dan Instansi Pemerintah, bahkan dapat diberikan pula dengan Hak Milik (HM) sepanjang tidak melanggar kepentingan umum dan hak melintas (“passage right”);
• Ruang laut dan “sea bed” (dasar laut) yaitu ruang laut dan dasar
151
berkaitan langsung dengan sistem tenurial di daratan; Hak-hak
yang sesuai di wilayah ini adalah Hak Guna Perairan (HGP) atau Hak Pemanfaatan Ruang Laut (HPRL), kecuali untuk konstruksi
pengeboran minyak lepas pantai (rigs) dan bagan-bagan ikan dapat
diberikan dengan Hak Guna Bangunan. Demikian pula pada hak- hak di wilayah ini berlaku ketentuan sepanjang tidak melanggar
kepentingan umum dan hak melintas (“passage right”);
b.3. Lakukan penilaian aset kawasan, yaitu Total Asset Value (TAV) =
Total Real Property Value (TRPV) + Total Economic Value (TEV) untuk kebijakan publik maupun kepentingan-kepentingan masyarakat lainnya;
b.4. Administrasikan setiap perubahan data fisik dan data yuridis atas hak-hak yang telah didaftarkan; dan
b.5. Lakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan hak dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan;