• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

V.2 Saran

Beberapa saran yang ingin diberikan penulis adalah :

1. Saran penelitian, analisis wacana adalah penelitian secara kritis dan mendalam terhadap teks dan wacana. Untuk itu, disarankan kepada peneliti-peneliti lain agar memperbanyak bacaan dan menggali lebih dalam pemaknaan suatu teks atau wacana.

2. Saran dalam kaitan akademis, agar penelitian selanjutnya dengan kajian yang sama dapat menggunakan kerangka analisis yang berbeda, misalnya menggunakan studi kasus sehingga mendapat kajian yang dalam juga

mengenai fenomena yang terjadi mengenai perkembangan teknologi media sosial dalam berbagai bidang seperti selain politik.

3. Saran dalam kaitan praktis, pemakaian twitter sangatlah mudah dari segala sisinya. Dari sisi pemakainnya dan cara mempelajari pemakainya juga. Tetapi dapat diketahui juga kemudahan inilah yang membuat postingan dalam twitter bisa menjadi hal yang tidak bijak. Misalnya pemakaian bahasa yang digunakan para pemakai twitter yang tidak bijak dan cenderumg sembarang dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam pemanknaan. Mahasiswa sebagai seorang yang intelektual seharusnya dapat menggunakan media sosial ini dengan lebih bijak lagi. Menggunakan bahasa yang memang baik untuk seluruh pembaca yang ada pada halaman twitter tersebut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Paradigma Kajian

Menurut Mulyana (2001:18), jenis perspektif atau pendekatan yang disampaikan oleh teoretisi bergantung pada bagaimana teoretisi itu memandang manusia yang menjadi objek kajian mereka. Adapun metodologi yang digunakan peneliti dalam pembahasannya adalah metode deskriptif kualitatif dengan paradigma kritis. Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels (Denzin, 2000: 279-280).

Ada beberapa karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas. Ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).

Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik menyolok dari tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Neuman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).

Ciri ketiga adalah ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh

nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi sosial. Proses tersebut dapat dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari analisis penelitian yang dibuat.

Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri paradigma kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada proses dialogal dalam seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang telah, sedang dan akan terjadi. Karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti untuk melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini media massa berikut teks yang diproduksinya. Maka, dalam paradigma kritis, penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini bisa membuat perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya (Neuman, 2000:63-87). Konteks karakteristik yang keempat ini, penelitian paradigma kritis mengutamakan juga analisis yang menyeluruh, kontekstual dan multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam seluruh kejadian sosial yang ada (Denzin, 2000:170).

II.2 Kajian Pustaka

Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti harus menyusun suatu kerangka teori. Kerangka teori merupakan landasan berfikir untuk menggunakan dari sudut mana peneliti menyorot masalah yang akan diteliti. Berdasarkan alasan itu, maka peneliti melaksanakan penelitian menggunakan teori-teori yang relevan dengan topik permasalahan, yaitu:

II.2.1 Teori Dependensi Mengenai Efek Komunikasi Massa

Teori yang dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin L DeFleur (1976) memfokuskan perhatiannya pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Teori ini pada dasarnya merupakan suatu pendekatan struktur sosial yang berangkat dari gagasan mengenai sifat suatu masyarakat modern (atau masyarakat massa), dimana media massa dapat dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peran penting dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat, kelompok atau individu dalam aktivitas sosial. Pemikiran terpenting dari teori ini adalah bahwa dalam masyarakat modern, audience menjadi tergantung pada media massa sebagai sumber informasi bagi pengetahuan tentang, dan orientasi kepada, apa yang terjadi dalam masyarakatnya. Jenis dan tingkat ketergantungan akan dipengaruhi oleh sejumlah kondisi struktural, meskipun kondisi terpenting terutama berkaitan dengan tingkat perubahan, konflik atau tidak stabilnya masyarakat tersebut. Dan kedua, berkaitan dengan apa yang dilakukan media yang pada dasarnya melayani berbagai fungsi informasi. Dengan demikian teori ini menjelaskan saling hubungan antara tiga perangkat variable utama dan menentukan jenis, efek tertentu sebagai hasil interaksi antara ketiga variable tersebut (Bungin, 2008: 282-283).

Sendjaja (2002:5,27) membahas lebih lanjut mengenai teori ini ditujukan pada jenis-jenis efek yang dapat dipelajari melalui teori ini. Secara ringkas kajian terhadap efek tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

a) Kognitif

− Menciptakan atau menghilangkan ambiguitas

− Pembentukan sikap

− Agenda-Setting

− Perluasan sistem keyakinan masyarakat

− Penegasan/penjelasan nilai-nilai b) Afektif

− Menciptakan ketakutan atau kecemasan

− Meningkatkan atau menurunkan dukungan moral c) Behavioral

− Mengaktifkan/menggerakkan atau meredakan

− Pembentukan issue tertentu atau penyelesaiannya

− Menjangkau atau menyediakan strategi untuk suatu aktivitas

− Menyebabkan perilaku dermawan (menyumbangkan uang)

Ball-Rokeach dan DeFleur (1976) mengemukakan bahwa ketiga komponen yaitu audience, sistem media dan sistem sosial Baling berhubungan satu dengan yang lainnya, meskipun sifat hubungan ini berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Setiap komponen dapat pula memiliki cara yang beragam yang secara langsung berkaitan dengan perbedaan efek yang terjadi. Sistem sosial akan berbeda-beda (bervariasi) sesuai dengan tingkat stabilitasnya. Ada kalanya sistem sosial yang stabil akan mengalami masa-masa krisis. Sistem sosial yang telah mapan dapat mengalami tantangan legitimasi dan ketahanannya secara mendasar. Dalam kondisi semacam ini akan muncul kecenderungan untuk mendefinisikan hal-hal baru, penyesuaian sikap, menegaskan kembali nilai-nilai yang berlaku atau mempromosikan nilai-nilai baru, yang semuanya menstimulasi proses pertukaran informasi (Bungin, 2008; 283).

Audience akan memiliki hubungan yang beragam dengan sistem sosial dan

perubahan-perubahan yang terjadi. Sejumlah kelompok mungkin mampu bertahan sementara lainnya akan lenyap. Demikian pula dengan keragaman ketergantungan pada media massa sebagai sumber informasi dan panduan. Pada umumnya kelompok elite dalam masyarakat akan memiliki lebih banyak kendali terhadap media, lebih banyak akses kedalamnya, dan tidak terlalu tergantung pada media jika dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Sementara kelompok elite cenderung untuk lebih memiliki akses kepada sumber informasi lain yang lebih cakap dan kompeten, non-elite terpaksa tergantung pada media massa atau sumber informasi perorangan yang yang biasanya kurang memadai.Media massa beragam dalam hal kuantitas, persebaran, reliabilitas, dan otoritas. Untuk kondisi tertentu atau dalam masyarakat tertentu media massa akan lebih berperan dalam memberikan informasi sosial politik dibandingkan dalam kondisi atau masyarakat lainnya. Selanjutnya, terdapat pula keragaman fungsi dari media massa untuk memenuhi berbagai kepentingan, selera, kebutuhan, dan sebagainya. (Bungin,2008:283-284)

II.2.2 Komunikasi Cyber

New media memberikan gambaran-gambaran baru terciptanya komunikasi

dunia cyber. Media baru ini memberikan ruang dalam dinamika sosial masyarakat termasuk komunikasi, telematika, ilmu pengetahuan, budaya, sosiologi dan lain sebagainya dengan perkembangan berbagai macam varian. Gambaran umum realitas new media memberikan konsep pola komunikasi yang tidak ada batasan antara penyampai pesan dan penerima pesan sehingga ruang media baru tersebut lebih mudah memberikan asas timbal balik. Secara dasar media baru internet hampir memiliki semua kebutuhan sosial masyarakat mulai informasi, media teks, radio, TV dan segala jenis media tergabung didalamnya.

Burhan Bungin (2009 : 296), teori komunikasi dunia maya atau yang sering di kenal teori Cybercommunity merupakan teori paling akhir dalam pengembangan ilmu komunikasi atau sosiologi komunikasi. Kajian kajian tentang perkembangan teknologi telematika menjadi sangat urgen terutama yang berhubungan dengan perkembangan media baru (new media). New media banyak menekankan bagaimana kontruksi sosial media memberi kontribusi terhadap kehidupan manusia secara keseluruhan. Persoalan cyber seperti perumpamaan “ruang waktu” bahwa manusia memiliki kehidupan baru diatas dunia nyata. Teori ini lebih menekankan kelompok sosial yang berkembang didalam dunia maya. Bagaimana terciptanya kelompok-kelompok, bagaimana komunikasi kelompok dan bagaimana sebuah media kelompok di dunia maya mekontruksi pesan penggunanya.

Saverin dan Tankard (2005) dalam bukunya Teori Komunikasi menjelaskan tentang teori komunikasi dunia maya, meliputi aspek aspek penting teori komunikasi dunia maya, yaitu:

1. Konsep dasar komunikasi digital , cyber space, virtual reality (VR), komunitas maya (virtual community ) chat room, multy user domain

(MUD), inter aktifitas , hypertext, dan multimedia

2. Gagasan McLuhan tentang perkembangan media baru (New media) melibatkan kesenjangan pengetahuan kredibilitas media penentuan agenda manfaat dan gratifikasi, pembauran inovasi dan lain lain.

3. Riset- riset baru pada komuniksai dunia maya yaitu mediamorfosis, riset tentang hypertext, riset multimedia, riset desain antar muka (komunikasi dua arah) riset eros digital atau cinta online, riset kecanduan internet dan depresi.

Konsep virtualitas dipandang sebagai sifat kemayaan yang tercipta akibat mekanisme jaringan komputer (cyberspace), akan tetapi melingkupi konsep maya dalam pengertian yang lebih luas, yang tercipta dalam ruang – ruang yang lebih luas (Bungin, 2008:293).

Teori cybercommunity dianggap penting karena merumuskan sejauh mana teknologi informasi seperti sosial networking berperan serta menciptakan konsep nasionalisme kekinian dengan pembentukan kelompok dalam dunia maya. Dalam kelompok dunia maya banyak faktor yang membuat seseorang menikmati dinamika kelompok antara lain unsur ketidaksengajaan individu serta proses pencarian kelompok. Didalam dunia maya kelompok tidak mencari individu namun lebih kepada individu yang mencari kelompok. Terciptanya grup di ruang maya lebih menekankan minat individu untuk bergabung dengan kelompok yang sudah ada atau sebaliknya individu dapat menciptakan kelompok sesuai dengan keinginan dan minatnya.

II.2.3 Konstruksi Sosial Media Massa

Istilah konstruksi sosial atas realitas sosial diperkenalkan oleh Peter L.Berger dan Luckmann dalam bukunya “ The Sosial Construction of Reality, A

Treatise in The Sociology of Knowledge”. Dalam bukunya, digambarkan bahwa

institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataana semua dibangun dalam defenisi subjektif melalui proses interaksi (Bungin,2008:191).

Proses konstruksi realitas prinsipnya adalah setiap upaya “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, atau benda. Media massa adalah sebuah institusi yang bertujuan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkronstruksikan berbagai realitas yang disiarkan. Media

bertugas menyusun berbagai realitas-realitas yang ditemukannya di lapangan kemudian menyusun realitas tersebut menjadi cerita atau wacana bermakana.

Frans M.Parera menjelaskan antara diri (self) dengan dunia sosiokultural. Dialetika ini berlangsung dalam proses dengan tiga momen stimulan. Pertama tahap eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Kedua tahap objektivitas, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses instutisionalisasi. Dapat juga dikatakan sebagai proses pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Ketiga tahap interalisasi, yaitu pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objeltif sebagai pengungkapan suatu makna (Bungin,2008:193)

Untuk media massa, proses konstruksi sosial media massa terjadi melalui tahapan berikut: (a) tahap menyiapkan materi; (b) tahap sebaran konstruksi; (c) tahap pembentukan konstruksi; dan (d) tahap konfirmasi (Bungin,2008:203). Selain tahapan proses konstruksi sosial media massa diatas, Ibnu Hamad (2004:16) dalam bukunya “Konstruksi Realitas Politis dalam Media Massa” mengatakan bahwa ada tiga tindakan yang biasa dilakukan oleh pekerja media tatkala melakukan konstruksi realitas yang berujung pada pembentukan citra sebuah kekuatan politik. Diantaranya sebagai berikut:

Pertama, dalam hal pilihan kata (simbol) politik. Sekalipun media massa hanya bersifat melaporkan, namun telah menjadi sifat pembicaraan politik untuk selalu memperhitungkan simbol politik. Apapun simbol yang dipilih akan mempengaruhi makna yang muncul.

Kedua, dalam melakukan pembingkaian (framing) peristiwa politik. Karena

adanya tuntutan teknis seperti keterbatasan kolom dan halaman (media cetak) atau waktu (media elektronik), jarang ada media yang membuat berita sebuah peristiwa secara utuh mulai dari menit pertama hingga menit terakhir. Sehingga terjadi pemilihan fakta untuk ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan.

Ketiga, menyediakan ruang atau waktu sebuah peristiwa politik (fungsi agenda setting). Justru jika media massa memberi tempat pada sebuah peristiwa politik, maka peristiwa tersebut akan memperoleh perhatian oleh masyarakat. Semakin besar tempat yang diberikan, maka semakin besar pula perhatian yang diberikan khalayak.

II.2.4 Komunikasi Politik

Komunikasi politik adalah proses yang melibatkan manusia dalam setting politik di lingkungannya. Baik dalam kaitannya dengan pretensi kekuasaan atau pembagian kekuasaan dan pengaruhnya, maupun dalam kegiatan manusia untuk mengatur, mempertahankan, memperluas atau juga mengambil alih kekuasaan dan pengaruh kekuasaan dari pihak lain. (Ali,2006:138)

Menurut Dan Nimmo (1989;29,166) komunikasi politik terdiri atas unsur komunikator politik, pesan politik, media politik, khalayak komunikasi politik dan akibat-akibat komunikasi politik;

a. Komunikator politk dalam proses komunikasi politik memainkan sosial utama, terutama dalam pembentuk opini publik. Karl Popper mengemukakan peran komunikator politik sebagai pemimpin public

opinion , karena mereka ‘berhasil membuat beberapa gagasan yang

mula-mula ditolak, kemudian dipertimbangkan, dan akhirnya diterima massa.

b. Pesan politik tumbuh dan berkembang dalam proses negosiasi politik. Isi komunikasi politik seharusnya tidak cuma berkaitan dengan kekuasaan dan pengaruh kekuasaan, tetapi juga kemungkinan terjadinya konflik. Itu berarti dalam pesan politik dimungkinkan terdapat paradoks. Sehingga dengan paradoks itu, pesan politk dimanfaatkan untuk penyelesaian konflik bukan semakin mempertajam konflik yang terjadi.

c. Media politik, sarana perjuangan kepetingan politik itu seharusnya dikelola dengan sifat-sifat interpersonal yang menonjol. Dengan demikian media komunikasi politik dapat dimanfaatkan setiap komunikator politik, untuk berbicara langsung kepada publik sasaran tanpa perantara.

d. Akibat komunikasi politik dapat berupa simpati dan partisipasi politik, tetapi bisa juga berwujud sinisme, antipati, hingga perlawanan politik. Setiap proses komunikasi politik bisa menghasilkan pembentukan dan perubahan sikap serta perilaku politik sasaran tertentu, yang bersifat positif, tetapi dapat pula bermakna negatif bagi komunikator

politiknya. Pembentukan dan perubahan sikap serta perilaku politik target tertentu dihasilkan oleh komunikasi politik bergantung pada kepercayaan nilai dan pengharapan publik atas gagasan politik yang diterimanya. Disinilah arti penting partisipasi politik melalui peralihan kepentingan personal dan sosial dari komunikator politik sebagai pembentuk pendapat umum pada target publiknya.

II.2.5 Analisis Wacana

Analisis wacana adalah sebuah alat analisa yang diterapkan kedalam sebuah wacana, berita atau lebih umumnya teks, guna dalam analisis tersebut si pengguna teori akan membedah isi dari apa yang dikandung dalam sebuah teks media. Secara teoritis, pendekatan analisis wacana kontemporer terhadap representasi media, lebih canggih dibandingkan pendekatan isi. Tidak hanya kata-kata atau aspek-aspek lainnya yang dapat dikodekan dan dihitung, tetapi struktur wacana yang kompleks pun dapat dianlisis pada berbagai tataran deskripsi. (Sobur,2004:5) Terdapat 3 pandangan analisis wacana menurut Mohammad A.S Hikam (Eriyanto,2001;4-7)

Pandangan pertama diwakili oleh kaum Positivisme – Empiris. Penganut aliran ini melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek yang ada di luar dirinya. Pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala aatau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan menggunakan pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara ide/pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah oranng tidak perlu mengetahui makna- makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Oleh karena itu, kebenaran sintaksis (tata bahasa) adalah bidang utama dari aliran positivisme tentang wacana.

Pandangan kedua dalam analisis wacana adalah Konstruktivisme. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan positivisme/empirisme dalam analisis wacana yang memisahkan subyek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap bahwa subjek adalah aktor utama atau faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.

Pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Pandangan ingin mengoreksi pandangan-pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi ssecara historis maupun secara institusional.Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran atau ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada pandangan konsktuktivisme. Analisis wacana dalam paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikiran-pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial yang adal dalam masyarakat. Bahasa disini tidak dipahami ssebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara.

Pengertian wacana sering mengalami perubahan makna dari waktu ke waktu. Karena itu istilah wacana juga memiliki pengertian yang rentan, mudah berubah dan tidak konsiten. Hal ini disebabkan karena wacana memiliki latar belakang sejarah yang kompleks dan berbeda-beda. Karena itu arti wacana yang diberikan pemikir juga berbeda satu sama lain.

Model analisis wacana yang peneliti gunakan dalam menganalis teks dalam postingan twitter ini adalah model Sara Mills. Mills (1997:2-7) berusaha menganalisis istilah wacana baik secara leksikal maupun secara teoritis. Secara leksikal, tiga kamus, yaitu Colins Concise Dictionary dan Longman Dictionary of

English Language mengartikan wacana sebagai komunikasi verbal, atau

dalam kamus Perancis/Inggris (Coffins Concise French Dictionary) wacana diartikan tidak hanya sebagai pembicaraan (speech) baik langsung maupun tidak langsung tetapi juga diartikan sebagai suatu perdebatan atau percakapan filosofis (philosophical treatis).

Geoffrey dan Michael Short mengartikan wacana sebagai komunikasi linguistik dan melihatnya sebagai interaksi antara pembicara dan pendengar, sebagai suatu aktivitas interpersonal yang bentuknya ditentukan untuk mencapai tujuan sosial tertentu. Teks adalah komunikasi baik tertulis maupun lisan yang sepenuhnya dilihat sebagai kode pesan, baik dalam media audio, maupun lisan. Sementara itu Michael Stubs mengatakan bahwa teks dan wacana bisa dilakukan secara lisan, interaktif, panjang, memiliki jangkauan, dan intensitas yang mendalam. Sementara itu Emile Benveniste membedakan wacana dari sistem bahasa. Dalam wacana kalimat pernyataan bahasa digunakan sebagai sistem simbol yang memiliki arti yang lebih umum. Sedangkan bahasa hanya merupakan instrumen komunikasi yang mengekspresikan isi dari wacana. (Mills,1997;4)

Sara Mills banyak menulis mengenai teori wacana. Akan tetapi, titik perhatiannya terutama pada wacana mengenai feminisme. Meskipun demikian, pendekatan yang dikemukakan oleh Sara Mills dapat diterapkan di bidang-bidang lain. Sara Mills lebih melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks, selain itu juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks. Bagaimana pembaca mengidentifikasi dan menempatkan dirinya dalam penceritaan teks. Posisi semacam ini akan menempatkan pembaca pada salah satu posisi dan memepengaruhi bagaimana teks itu hendak dipahami dan bagaimana pula aktor sosial ini ditempatkan. (Eriyanto,2001:199-200)

Sara Mills banyak terilhami oleh gagasan Althusser, seperti individu ditempatkan sebagai subjek, kita disadarkan menegenai posisi kita dalam masyarakat, kita menjadi subjek dalam dua dunia : kita adalah subjek sebagai individu dan kita adalah subjek dari negara atau kekuasaan. Althusser menyebut ini proses interpelasi yaitu melalui mana sesorang akan ditempatkan posisinya dalam masyarakat. Selain itu juga ada gagasan Althusser mengenai kesadaran. Kesadaran ini berhubungan dengan penerimaan individu tentang posisi-posisi sebagai suatu kesadaran. Mereka menerima hal itu sebagai suatu kenyataan, suatu kebenaran. Hal ini yang mempengaruhi analisis teks dari Sara Mills. Terutama

bagaimana pembaca diposisikan dalam teks. Bagaimana penulis melalui teks yang

Dokumen terkait