• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simulasi kebijakan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dampak dari perubahan komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan. Simulasi berangkat dari hipotesis bahwa jika proporsi belanja modal dinaikkan maka akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Terdapat 3 skenario yang akan dilakukan dalam simulasi kebijakan terkait dengan perubahan komposisi belanja pemerintah. Pada dasarnya, simulasi yang akan dilakukan adalah untuk melihat dampak dari perubahan komposisi belanja pemerintah. Skenario yang dilakukan adalah jika terjadi peningkatan belanja modal sebesar Rp 20 triliun. Pertimbangan kenaikan belanja modal

sebesar Rp 20 triliun adalah berdasarkan rata-rata besarnya defisit anggaran selama tahun 2005-2010 adalah sekitar Rp 20 triliun. Idealnya kebijakan defisit anggaran adalah untuk tujuan stimulus fiskal, yaitu adanya alokasi anggaran yang memadai untuk mendorong kinerja perekonomian. Stimulus fiskal yang efektif untuk memacu perekonomian adalah belanja modal terutama untuk pembangunan infrastruktur.

Simulasi dilakukan dengan tahun dasar atau base line data antara tahun 2005-2010, dimana selama 6 tahun terakhir diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi aktual rata-rata sebesar 5.79 persen, dengan tingkat pengangguran sebesar 9.49 persen dan jumlah penduduk miskin sebesar 35 juta orang. Dari 3 simulasi akan diketahui komposisi belanja yang paling besar dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Adapun 3 simulasi kebijakan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Simulasi 1 : Jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah pusat, yaitu kenaikkan belanja modal sebesar Rp 20 triliun berasal dari pengurangan secara merata sebesar Rp 5 triliun dari belanja pegawai, belanja Subsidi BBM, belanja barang, dan belanja pembayaran bunga utang.

2. Simulasi 2 : Jika terjadi efisiensi alokasi Belanja Modal, yaitu koefisien parameter atau kontribusi belanja modal terhadap investasi pemerintah dinaikkan 1 persen dari 0.29 menjadi 0.39.

3. Simulasi 3 : Gabungan antara simulasi 1 dan 2. Jika terjadi perubahan komposisi belanja pemerintah pusat disertai dengan efisiensi belanja modal.

6.4.1. Dampak Pergeseran Komposisi Belanja Pemerintah Pusat

Simulasi pertama, perubahan komposisi belanja pemerintah pusat dilakukan melalui pergeseran dari belanja pegawai, belanja subsidi BBM, belanja barang dan belanja pembayaran bunga utang dimana masing-masing dikurangi sebesar Rp5 trliun. Dengan demikian terdapat penghematan belanja pemerintah pusat sebesar Rp 20 triliun dan dialokasikan untuk peningkatan belanja modal. Dalam skenario pertama ini diasumsikan belum ada perubahan dari pola belanja pemerintah. Dampak dari pergeseran ini berdampak pada pengurangan belanja pegawai sebesar 4.23 persen, belanja barang turun 9.43 persen, belanja subsidi BBM turun 4.07 persen dan belanja pembayaran bunga utang turun 6.46 persen. Pergeseran komposisi belanja pemerintah pusat ini dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut :

Pertama, penurunan belanja pegawai. Penurunan belanja pegawai dapat

dilakukan melalui beberapa langkah : (1) melakukan relokasi dan resdistribusi PNS penempatan PNS. Seperti diketahui, setiap terjadi kebijakan pemekaran wilayah maka akan diikuti dengan penerimaan PNS baru. Kebutuhan PNS untuk daerah pemekaran sebenarnya dapat dilakukan dengan menggeser penempatan PNS dari tempat asal daerah pemekaran atau menggeser PNS dari tempat yang kurang produktif. Demikian juga ketika terjadi pembentukan lembaga negara baru atau badan baru tidak serta merta diikuti dengan rekruitmen PNS baru, dan (2) moratorium Pegawai Negeri Sipil, penghentian sementara untuk penerimaan PNS baru baik untuk pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Selama tahun 2006 – 2010 terjadi peningkatan PNS yang sangat drastis. Dari Tabel 49 dapat dilihat pada tahun 2007 jumlah PNS mengalami peningkatan

sebesar 9.18 persen. Demikian juga pada tahun 2009, jumlah PNS naik sebesar 10.8 persen.

Tabel 49. Pertumbuhan Jumlah Pegawai Negeri Sipil, Tahun 2003-2010

Tahun Jumlah % Pertumbuhan

2003 3.648.005 2004 3.587.337 -1,66 2005 3.662.336 2,09 2006 3.725.231 1,72 2007 4.067.201 9,18 2008 4.083.360 0,40 2009 4.524.205 10,80 2010 4.598.100 1,63

Sumber : Badan Kepegawaian Negara, 2010

Kedua, Pengurangan subsidi BBM. Sejak krisis ekonomi 1997, porsi

alokasi subsidi BBM terus mengalami peningkatan. Hasil pendugaan sebelumnya menunjukkan faktor yang sangat mempengaruhi peningkatan subsidi BBM adalah kenaikan harga minyak mentah dunia. Selama tahun 2006-2010 rata-rata porsi subsidi BBM mencapai sekitar Rp 129 triliun. Hasil pembahasan di bab sebelumnya menunjukkan bahwa subsidi BBM ini tidak tepat sasaran, karena yang menikmati adalah lebih banyak golongan menegah keatas.

Disisi lain, BBM merupakan sumber energi utama. Ketergantungan masyarakat terhadap BBM cukup besar, tidak hanya untuk kebutuhan transportasi tapi juga untuk kepentingan produksi. Apalagi sumber energi utama lainnya seperti listrik juga masih menggandalkan BBM sebagai bahan bakunya. Dengan demikian jika subsidi BBM dikurangi, dikhawatirkan akan mempunyai efek ganda

(multiplier effect) sehingga akan memicu terjadinya inflasi. Kekhawatiran tersebut dijawab dengan hasil hasil penelitian Ikhsan (2005), menyebutkan bahwa elastisitas inflasi terhadap kenaikan harga BBM adalah 0.056, maka jika terjadi kenaikan harga BBM sebesar 50 persen akan menyebabkan kenaikan inflasi secara langsung sebesar 2.8 persen. Jika diperhitungkan dampak tidak langsung, dimana kenaikkan BBM juga akan mendorong kenaikan harga input lain, maka dapat dihitung dengan dikalikan proporsi biaya produksi yang berasal dari non-BBM, maka diperoleh dampak tidak langsung terhadap biaya produksi bervariasi antara 2.6 persen-2.7 persen. Jadi, dampak total dari kenaikan BBM terhadap biaya produksi bervariasi antarai 3.8 persen - 6.2 persen. Tampak jelas bahwa karena porsi biaya non BBM jauh diatas porsi biaya non BBM, maka kenaikkan harga BBM sebenarnya akan berkontribusi besar terhadap inflasi.

Alasan paling fundamental pengurangan subsidi BBM ini adalah karena subsidi BBM tidak tepat sasaran. Data kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa 25 persen kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77 persen. Sementara 25 kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan terendah hanya menerima subsidi sekitar 15 persen. Disamping itu, BBM bersubsidi terbesar adalah untuk Premium yaitu sebesar 60 persen, sisanya untuk minyak solar 34 persen dan minyak tanah 6 persen. Gambar 37 menunjukkan penggunaan premium terbesar adalah untuk transportasi darat sebesar 89 persen, khususnya untuk mobil pribadi sebesar 53 persen dan Motor sebesar 40 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsumsi BBM bersubsidi terbesar adalah untuk kendaraan pribadi yaitu hampir mencapai 93

persen. Konsumsi BBM untuk ini terus meningkat rata-rata 5 persen per tahun, mencapai sekitar 1,3 juta barel per hari. Subsidi BBM tidak menguntungkan diterapkan di negara yang merupakan importer neto BBM. Jika demikian kondisinya maka alternatif solusi dari permasalahan subsidi ini adalah menciptakan transportasi massa (publict transport) yang memadai sehingga akan berdampak pada pengurangan besarnya subsidi BBM.

Sumber : Kementerian ESDM, Tahun 2011

Gambar 37. Penggunaan Bahan Bakar Minyak Bersubsidi, Tahun 2011

Ketiga pengurangan belanja barang. Komposisi belanja barang terdiri

dari belanja barang operasional 34 persen, belanja barang non operasional 24 persen, belanja perjalanan dinas 20 persen, belanja jasa 16 persen, dan belanja barang BLU 6 persen. Dilihat dari nomenklatur belanja barang yang hampir mirip-mirip maka berpotensi timbulnya tumpang tindih alokasi anggaran. Berdasarkan hasil pendugaan hubungan antara belanja barang dengan investasi pemerintah sebagai proksi kegiatan pemerintah adalah sangat kecil sekali. Untuk

0% 50% 100% Transportasi … Transportasi Air Rumah Tangga Usaha Kecil Perikanan 89% 1% 6% 1% 3%

0% 50% 100%

Motor

Dokumen terkait