• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. DAMPAK KOMPOSISI BELANJA PEMERINTAH TERADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

KERJA DAN TINGKAT KEMISKINAN

6.1. Hasil Spesifikasi Model

Model yang dibangun dalam penelitian Dampak Komposisi Belanja Pemerintah ini diestimasi dengan menggunakan metode two stages squares (2-SLS). Dari spesifikasi model maka diperoleh hasil pendugaan yang secara ekonomi logis dan mempunyai arti serta dapat dibuktikan secara statistik. Hasil pendugaan ekonomi model penelitian ini cukup baik juga sebagaimana terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2). Dari 18 persamaan perilaku yang diestimasi,

sebagian besar persamaan mempunyai nilai R2 berkisar antara 0.8040 sampai

0.9999. Hanya terdapat tiga (3) persamaan yang mempunyai R2 kurang dari 0.8

yaitu persamaan Tingkat Pengangguran (0.7717), Jumlah Penduduk Miskin (0.7255), dan Investasi Pemerintah (0.5590). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas (exogenous variables) yang ada di dalam persamaan perilaku mampu menjelaskan dengan baik perilaku peubah endogen. Dari indikator statistik diketahui bawah variasi variabel penjelas dalam setiap persamaan perilaku secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya, disamping itu setiap persamaan struktural mempunyai besaran parameter dan tandanya sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi (a priori economic).

Nilai statistik-t, digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata terhadap variabel endogennya. Dalam studi ini taraf α yang digunakan α = 0.01, α = 0.05 dan α = 0.10. Berdasarkan hasil uji statistik

(2)

durbin-w (dw), terdapat beberapa persamaan yang mengalami masalah serial korelasi, terlepas dari ada tidaknya masalah serial korelasi yang serius, Pindyck dan Rubinfeld (1991) membuktikan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi, oleh karena itu, hasil pendugaan model dalam kajian ini dapat dinyatakan cukup representatif dalam menggambarkan fenomena model dampak komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan.

Secara keseluruhan model dalam penelitian terdapat 26 persamaan, yang terdiri delanpan (8) persamaan identitas dan 16 persamaan perilaku atau persamaan struktural. Adapun persamaan identititas dalam penelitian ini terdiri :

1.PDBIt = CONSt + INVTt + INVGt + CGOVt + (EXPO-IMPO)t (3.1) 2. YDt = Yt- RTAXt + (SNBMt + SBBMt) (3.3) 3. TREVt = RDOMt + HBHt (3.9) 4. RDOMt = RTAXt + PNBPt (3.10) 5. BTOTt = BTUSt + BTDRt (3.12) 6. BTUSt = BPGWt + BBRGt + BMDLt + BUTGt + SNBMt + SBBMt + BLAINt (3.13)

7. BTDRt = BDAKt + BDAUt + BDBHt + BDOPt (3.20)

8. GPDBIt = (PDBIt – PDBIt-1)/PDBIt-1 * 100 (3.24)

Sementara persamaan perilaku dalam penelitian ini terdiri dari 18 persamaan berikut :

1. 1.

CON St

(3)

2. CGOVt = b0 + b1RDOMt + b2DKt + b3LCGOVt-1 + et (3.4)

3. INVTt = c0 + c1PDBI + c2SBINVt + c3LINVTt-1 + et (3.5)

4. INVGt = d0 + d1SBI3t + d2BMDLt + d3DKt + d4LINVTt-1 + et

(3.6)

5. EXPOt = e0 + e1EXRRt + e2IHEt + e3INVTt + e4GIWLt + e5EXPOt-1 + et

(3.7)

6. IMPOt = f0 + f1IHMt + f2PDBIt + f3LIMPOt-1 + et (3.8)

7. RTAXt = g0+ g1 GDBIt + g2 BTOTt + g3 LRTAXt-1 + et (3.11)

8. BPGWt = h0 + h1PNSt + h2INFLt + h3RTAXt + h4DOt + h5LBPGWt-1 + et

(3.14)

9. BBRGt = i0 + i1INVGt + i2TREVt + i3LBBRGt-1 + et (3.15)

10. BMDLt = j0 + j1RDOMt + j2DSPAt + j3LBMDLt-1 + et (3.16)

11. BUTGt = k0 + k1DFISt +k2LIBOR3t +k3DEBTt + k4LBUTGt-1 + et (3.17) 12. SNBMt = l0 + l1PUNEMt + l2NPOVt-1 + l3LSNBMt-1 + et (3.18) 13. SBBMt = m0 + m1 POILt + m2 IMPMt + j3LSBBMt-1 + et (3.19) 14. BDAKt = n0 + l1RDOMt + l2PNPOVt + l3LBDAKt-1 + et (3.21)

15. BDAUt = o0 + o1RDOMt + o2PDBIt + o3LGPOPIt + o4DAUt-1 + et

(3.22)

16. BDBHt = p0 + p1RMGSt + p2RNMGSt + p3GPDBIt+ p4LBDBHt-1 +et

(3.23)

17. PUNEMt = q0 + q1WAGEt + q2 TOTIt + q3LPUNEMt-1 + et (3.25)

18. NPOVt = r0 + r1 GPDBIt + r2 TSUBt + r3 PUNEMt + r4 INFLt + r5LNPOVt-1 + et

(3.26)

dimana :

PDBIt = Produk Domestik Bruto (Rp Miliar ) CONSt = Total konsumsi (Rp Miliar)

CGOVt = Konsumsi pemerintah (Rp Miliar) INVTt = Total investasi (Rp Miliar)

INVGt = Total Investasi Pemerintah (Rp Miliar) TOTIt = Total Investasi (Rp Miliar)

(4)

EXPOt = Ekspor (Rp Miliar) IMPOt = Impor (Rp Miliar)

YDt = Pendapatan disposabel (Rp Miliar)

DKt = Dummy Krisis

SBINVtt = Tingkat Suku Bunga Investasi Riil (persen) SBI3t = Tingkat suku bunga SBI 3 bulan (persen) EXRRt = Nilai Tukar Riil ($ US/Rp)

IHEt = Indeks Harga Ekspor

GIWLt = Pertumbuhan Ekonomi Dunia (persen ) IHMt = Indeks Harga Impor

TREVt = Total penerimaan negara (Rp Miliar) RDOMt = Penerimaan dalam negeri (Rp Miliar) HBHt = Penerimaan dari hibah (Rp Miliar)

RTAXt = Penerimaan negara dari pajak (Rp Miliar) PNBPt = Penerimaan negara bukan pajak (Rp Miliar) BTOTt = Total Belanja Pemerintah (Rp Miliar) BTUSt = Belanja pemerintah pusat (Rp Miliar) BTDRt = Belanja transfer daerah (Rp Miliar) BPGWt = Belanja Pegawai (Rp Miliar) BBRGt = Belanja Barang (Rp Miliar) BMDLt = Belanja Modal (Rp Miliar)

BUTGt = Pembayaran Bunga Utang (Rp Miliar) SNBMt = Subsidi Non BBM (Rp Miliar)

SBBMt = Subsidi BBM (Rp Miliar) BLAINt = Belanja lain-lain (Rp Miliar)

PNSt = Jumlah Pegawai Negeri Sipil (Ribu orang) INFLt = Tingkat Inflasi (persen)

GPDBIt = Pertumbuhan Ekonomi (persen)

DOt = Dummy otonomi daerah

DSPAt = Dummy perubahan struktur APBN DFISt = Defisit Anggaran (Rp Miliar) LIBOR3t = Suku bunga Dunia Riil (persen) DEBTt = Stok Utang Pemerintah (RP Miliar) PUNEM t = Tingkat Pengangguran (juta orang)

NPOVt-1 = Penduduk Miskin tahun Sebelumnya (Juta orang) POILt = Harga Minyak Mentah Dunia (Rp)

IMPMt = Impor Migas (US$)

RMGSt = Penerimaan dari Migas (Rp Miliar) RNMGSt = Penerimaan dari Non Migas (Rp Miliar)

6.2. Hasil Pendugaan Model 6.2.1. Blok Pendapatan Nasional

Blok pendapatan nasional merupakan blok yang menunjukkan hubungan antar variabel dalam menciptakan pendapatan nasional. Seperti diketahui bahwa

(5)

perhitungan pendapatan nasional dari sisi pengeluaran merupakan penjumlahan dari sektor Konsumsi, Investasi, Pemerintah dan Sektor Luar Negeri. Dengan demikian dalam model persamaan pendapatan nasional merupakan persamaan identitas, bukan persamaan perilaku. Masing-masing variabel yang membentuk pendapatan nasional mempunyai hubungan yang saling terkait dan saling mempengaruhi.

Untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antar variabel pada blok pendapatan nasional maka akan dilakukan pendugaan terhadap perilaku masing-masing variabel. Dalam blok pendapatan nasional terdapat enam (6) persamaan perilaku yaitu persamaan Konsumsi Rumah Tangga (CONS), Konsumsi Pemerintah (CONG), Investasi Swasta (INVT), Investasi Pemerintah (INVG), Ekspor (EXPO), dan Impor (IMPO).

Hasil dari pendugaan model diketahui bahwa konsumsi rumah tangga sangat dipengaruhi oleh variabel lag atau konsumsi tahun sebelumnya dan pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) masyarakat. Hasil pendugaan perilaku konsumsi rumah tangga pada Tabel 27 menunjukkan bahwa respon konsumsi rumah tangga terhadap perubahan pendapatan disposable cukup elastis dalam jangka panjang. Pengaruh variabel lag yang signifikan menunjukkan pola konsumsi masyarakat tidak mengalami banyak perubahan dari waktu ke waktu. Hal ini juga mengindikasikan bahwa distribusi pendapatan masyarakat juga tidak banyak mengalami perubahan. Kondisi ini juga sekaligus menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak banyak berpengaruh terhadap pola dan distribusi pendapatan disposable masyarakat.

(6)

Hal ini ditunjukkan besarnya angka Koefisien Gini (Gini Coefficient) Indonesia yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), yang menyatakan bahwa kesenjangan di Indonesia tak kunjung membaik. Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan distribusi, nilai 0 menyatakan kesetaraan total dan nilai 1 ketidaksetaraan maksimal. Pada tahun 1999, koefisien Gini Indonesia berada di level 0.31 selanjutnya pada tahun 2005 dan 2009 justru meningkat berada pada level 0.36 dan 0.37. Pada tahun 2010 koefisien gini kembali berada pada level 0.33. Besarnya koefisien gini menunjukkan terjadinya kesenjangan atau ketimpangan pendapatan antara masyarakat yang kaya dan masyarakat yang miskin. Pola dan distribusi pendapatan masyarakat ini berpengaruh signifikan terhadap pola konsumsi masyarakat.

Tabel 27. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Rumah Tangga Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept -21657.4 0.0143 Intercept Yd 0.174135 0.28492 1.3638 <.0001 a Disposable Income LCONS 0.79108

<.0001 a Lag Konsumsi Swasta

Uji F = 7948.43 Prop F = <.0001 R2 = 0.99768 DW=1.2884 Keterangan : a nyata pada taraf 0.01

Pendapatan disposable dipengaruhi oleh kebijakan perpajakan dan subsidi. Instrumen perpajakan dan subsidi idealnya adalah sebagai instrumen untuk pemerataan pendapatan antar golongan penerima pendapatan di masyarakat. Yaitu dengan membebankan pajak yang progresif untuk masyarakat yang berpenghasilan tinggi dan memberikan subsidi untuk golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Pajak progresif seharusnya tidak hanya dibebankan melalui Pajak Penghasilan (PPh) masyarakat yang berpenghasilan tinggi, namun

(7)

juga harus dibebankan Pada Pajak Pertambahan nilai (PPn) untuk barang-barang mewah. Sementara mekanisme subsidi harus ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, baik melalui subsidi input maupun subsidi output. Subsidi input dapat dilakukan melalui pemberian fasilitas pembiayaan maupun peralatan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), sehingga para pelaku UMKM dapat mengembangkan usahanya dan memperoleh peningkatan pendapatan.

Konsumsi rumahtangga merupakan kontributor terbesar dalam pembentukan pendapatan nasional di Indonesia. Porsi konsumsi rumah tangga rata-rata menyumbang hampir 60 persen terhadap total pendapatan nasional. Konsumsi rumah tangga merupakan motor penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi. Besarnya porsi pendapatan masyarakat yang digunakan untuk konsumsi ini ibarat pedang bermata dua. Satu sisi besarnya konsumsi, melalui efek pengganda (multiplier effect), akan berdampak positif mendorong peningkatan konsumsi masyarakat. Disisi lain, besarnya konsumsi menunjukkan tingkat tabungan masyarakat yang rendah. Tentu saja kondisi ini akan mempengaruhi besaran pembentukan modal tetap yang akan diinvestasikan dalam perekonomian. Sementara itu hasil pendugaan untuk perilaku konsumsi pemerintah (CONG) menunjukkan bahwa konsumsi pemerintah dipengaruhi secara positif oleh penerimaan domestik, pengaruh krisis ekonomi dan konsumsi pemerintah pada tahun sebelumnya. Namun variabel yang paling signifikan berpengaruh terhadap konsumsi pemerintah adalah variabel lag nya atau konsumsi pemerintah pada tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pola belanja pemerintah tidak mengalami banyak perubahan hanya berdasarkan pola historis tahun

(8)

sebelumnya. Sementara itu penerimaan domestik hanya memiliki elastisitas yang relatif kecil terhadap besarnya konsumsi pemerintah. Dalam jangka pendek elastisitas penerimaan domestik terhadap konsumsi pemerintah hanya 0.04 dan dalam jangka panjang sebesar 0.71. Artinya penerimaan domestik tidak signifikan mempengaruhi konsumsi pemerintah.

Faktor yang sangat signifikan mempengaruhi besarnya konsumsi pemerintah adalah konsumsi pemerintah tahun sebelumnya. Koefisien parameter lag konsumsi pemerintah adalah sebesar 0.9422. Dengan demikian berarti pola dan perilaku konsumsi pemerintah lebih banyak merujuk pada pola tahun sebelumnya. Atau dengan kata lain, faktor yang menentukan besarnya konsumsi pemerintah adalah menggunakan pertimbangan yang sama seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya. Hal ini juga bisa dilihat bahwa hampir tidak pernah ada perubahan yang signifikan dalam pola konsumsi pemerintah. Pola konsumsi pemerintah tercermin dalam komposisi belanja rutin, yaitu belanja pegawai, belanja barang, belanja subsidi, belanja pembayaran utang, dan belanja lain-lain. Hampir tiap tahun komposisi belanja rutin tidak ada perubahan yang signifikan.

Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi pemerintah adalah pengaruh krisis ekonomi. Sejak krisis ekonomi 1997, porsi konsumsi pemerintah mengalami perubahan yang signifikan, antara lain disebabkan oleh peningkatan inflasi, suku bunga dan fluktuasi nilai tukar. Inflasi telah menyebabkan harga-harga meningkat tajam sehingga menambah beban pengeluaran konsumsi pemerintah. Inflasi telah mendorong kenaikan porsi belanja rutin pemerintah, utamanya yaitu belanja pegawai, belanja barang dan subsidi. Sementara

(9)

kenaikkan suku bunga dan fluktuasi nilai tukar telah berdampak signifikan terhadap peningkatan beban pembayaran beban bunga pemerintah.

Tabel 28. Hasil Estimasi Perilaku Konsumsi Pemerintah Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept 5646.629 0.0263 Intercept

RDOM 0.019354 0.0409 0.7090 0.0031 a Penerimaan dalam Negeri

dk 17120.53 0.0650 b Dummy Krisis

LCONG 0.942246 <.0001 a Lag Cons Pemerintah

Uji F = 1454.77 Prop F = <.0001 R2 = 0.98744

DW=2.037197

Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan 0.05

Hasil pendugaan dari persamaan Investasi Swasta pada Tabel 29 diperoleh bahwa pendapatan nasional mempunyai pengaruh positif terhadap Investasi, sementara suku bunga investasi riil berpengaruh negatif terhadap investasi. Namun peningkatan pendapatan nasional hanya berpengaruh sangat kecil terhadap peningkatan Investasi. Setiap kenaikkan Rp1 miliar pendapatan nasional hanya berdampak pada peningkatan Investasi sekitar Rp0.07 miliar. Dalam jangka pendek elastisitas pendapatan nasional terhadap investasi swasta adalah inelastis hanya 0.33, namun dalam jangka panjang cukup elastis yaitu 1.31. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam jangka pendek pertumbuhan ekonomi tidak mampu mendorong tumbuhnya investasi. Begitu juga sebaliknya, Investasi hanya berkontribusi kecil terhadap pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, peningkatan suku bunga investasi riil sebesar 1 persen akan berdampak pada penurunan Investasi sebesar Rp456 miliar. Artinya suku bunga investasi riil tidak mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap investasi. Elastisitas jangka pendek maupun jangka panjang suku bunga riil terhadap

(10)

investasi hanya sebesar -0.02 dan -0.11. Artinya investasi swasta di Indonesia tidak responsif terhadap perubahan suku bunga riil. Kondisi ini dapat juga dipengaruhi oleh adanya rigiditas perubahan suku bunga. Tingkat suku bunga investasi di Indonesia relatif sangat rigid atau kaku untuk berubah. Kekakuan ini antara lain disebabkan pengaruh struktur perbankan di Indonesia yang cenderung oligopoli atau terjadi kartel. Pangsa pasar perbankan hanya didominasi oleh beberapa bank besar saja. Rendahnya pengaruh perubahan suku bunga riil terhadap investasi juga menunjukkan bahwa masih banyak variabel lain diluar suku bunga yang berpengaruh signifikan terhadap investasi. Variabel lain yang menentukan minat investasi diluar faktor suku bunga, diantaranya seperti faktor iklim investasi, cost of doing bussines dan tersedianya infrastruktur yang memadai.

Tabel 29. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Swasta Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept -2322.85 0.8132 Intercept

SBINV -490.49 -0.02661 -0.104 0.4499 Suku Bunga Investasi PDBI 0.073881 0.33533 1.3087 0.0056 a Produk Domestik Bruto

LINVT 0.743766

<.0001 a Lag Investasi Swasta

Uji F = 344.71 Prop F = <.0001 R2 = 0.96636 DW=1.283074

Keterangan : a nyata pada taraf 0.01

Rendahnya minat investasi swasta di Indonesia disebabkan adalah iklim investasi yang tidak kondusif, seperti berbelitnya proses perijinan dan lamanya birokrasi. Dibandingkan dengan negara-negara lain iklim investasi di Indonesia masih kurang menarik. Hal ini ditunjukkan oleh peringkat daya tarik investasi Indonesia masih berada para peringkat ke 129. Rendahnya peringkat daya tarik

(11)

Indonesia untuk berinvestasi bukan dikarenakan Indonesia tidak memiliki potensi untuk berinvestasi. Potensi sumber daya (resource base) Indonesia sangat berlimpah, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Investor kurang tertarik berinvestasi di Indonesia karena lamanya proses perijinan untuk mulai berinvestasi (45 hari) dan banyaknya prosedur yang harus dilalui untuk memulai usaha sebagaimana ditunjukkan Tabel 30.

Tabel 30. Biaya Transaksi Perijinan Mulai Usaha

NEGARA Peringkat Daya Saing Jumlah Hari Mulai Bisnis Jumlah Prosedur Mulai Bisnis Biaya (% thd Pendapatan/ kapita) Singapura 1 3 3 0,7 Malaysia 18 6 4 16,4 Thailand 17 29 5 6,2 Brunei 83 101 15 11,8 Vietnam 98 44 9 10,6 INDONESIA 129 45 8 17,9 Filipina 136 35 15 19,2 Kamboja 138 856 9 109,7 Laos 165 93 7 7,6

Sumber : World Bank, 2011

Kondisi yang hampir sama juga ditunjukkan oleh perilaku investasi pemerintah. Tabel 31 menunjukkan hasil pendugaan terhadap Investasi Pemerintah, dimana Investasi pemerintah dipengaruhi oleh tingkat suku bunga SBI, krisis ekonomi dan belanja modal. Tingkat suku bunga SBI dan krisis ekonomi mempunyai hubungan negatif sementara belanja modal mempunyai hubungan yang positif terhadap investasi pemerintah. Jika terjadi kenaikkan suku bunga SBI 3 bulan sebesar 1 persen akan berdampak pada penurunan Investasi Pemerintah sekitar Rp581 miliar. Demikian juga krisis ekonomi telah berdampak pada berkurangnya investasi pemerintah. Dengan adanya krisis pengeluaran

(12)

pemerintah yang bersifat rutin meningkat sehingga porsi pengeluaran untuk investasi jadi semakin berkurang.

Faktor lain yang menentukan besarnya Investasi Pemerintah adalah belanja modal, karena belanja modal merupakan komponen pengeluaran pemerintah yang diperuntukkan untuk investasi. Sayangnya, belanja modal yang menjadi investasi pemerintah relatif sangat kecil. Jika terjadi peningkatan belanja modal sebesar Rp1 miliar maka investasi pemerintah hanya naik sebesar Rp 0,29 miliar. Artinya dari besarnya belanja modal pemerintah, hanya sekitar 30 persen yang berbentuk investasi pemerintah. Hal ini sekaligus mengindikasikan terjadinya inefisiensi, kebocoran atau ketidak efektifan dari belanja modal pemerintah.

Ketidakefektifan belanja modal bisa jadi dipengaruhi oleh pola penyerapan anggaran yang buruk, dimana rata-rata penyerapan anggaran terkonsentrasi pada triwulan III dan bahkan akhir triwulan IV. Dengan singkatnya waktu penyerapan anggaran, niscaya akan berdampak pada kualitas penyerapan anggaran. Belanja modal yang yang dialokasikan dengan waktu kurang dari 6 bulan, tentu tidak akan menghasilkan pembangunan infrastruktur yang memadai, yang pada akhirnya akan mengurangi nilai dari investasi pemerintah. Rendahnya porsi belanja modal dan singkatnya waktu penyerapan anggaran berakibat pada alokasi belanja modal tidak sepenuhnya diperuntukkan pada pembangunan infrastruktur baru. Pembangunan infrastruktur hanya berupa perbaikan dari infrastruktur yang telah ada dan hanya bersifat tambal sulam. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, dimana dengan proporsi belanja modal yang sangat kecil masih menghadapi kualitas alokasi anggaran yang tidak tepat.

(13)

Permasalahan ini akan berimplikasi pada efektifitas peranan belanja modal yang seharusnya dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi. Hasil pendugaan persamaan ini hanya memiliki derajat kepercayaan sebesar 57.9 persen, namun mempunyai tingkat kesalahan yang relatif kecil, yaitu kurang dari 1 persen. Artinya secara statistik pendugaan ini signifikan, namun masih ada variabel lain yang mempengaruhi perilaku investasi pemerintah diluar faktor suku bunga dan belanja modal.

Tabel 31. Hasil Estimasi Perilaku Investasi Pemerintah Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept 16260.38 0.0064 Intercept SBI3 -462.6 -0.11005 0.0000 0.1723 c SBI3 BMDL 0.292368 0.15927 0.0000 0.0660 b Belanja Modal dk -13269.6 0.0503b Dummy Krisis LINVG 0.61136

0.0013 a Lag Invesasi Pemerintah

Uji F =11.67 Prop F = <.0001 R2 = 0.57149

DW=2.240126

Keterangan : a, b, c nyata masing-masing pada taraf 0.01, 0.05 dan 0.10.

Hasil pendugaan pada persamaan ekspor menunjukkan bahwa ekspor Indonesia mempunyai hubungan yang negatif dengan nilai tukar rupiah. Elastisitas nilai tukar riil terhadap ekspor Indonesia adalah inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya ketika nilai tukar riil mengalami depresiasi 1 persen, maka dalam jangka pendek ekspor hanya meningkat sebesar 0.01 persen. Tingkat respon yang rendah antara ekspor dengan nilai tukar riil ini disebabkan karena besarnya bahan baku impor pada struktur produk-produk ekspor Indonesia. Jadi ketika rupiah mengalami depresiasi, tidak secara otomatis akan meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia dari sisi harga.

(14)

Disamping itu, ekspor Indonesia didominasi oleh ekspor komoditas primer yang memiliki permintaan inelastis terhadap perubahan harga.

Tabel 32 menunjukkan disamping dipengaruhi nilai tukar riil, kinerja ekspor juga dipengaruhi secara positif oleh indeks harga ekspor, investasi swasta dan permintaan dunia. Namun ketiga variabel ini juga mempunyai tingkat respon yang inelastis terhadap perubahan. Indeks harga ekspor hanya mempunyai elastisitas sebesar 0.19 dan permintaan dunia sebesar 0.05. Sementara investasi swasta relatif cukup mempunyai dampak terhadap kinerja ekspor dengan elastisitas sebesar 0.58. Variabel lag tidak dimasukkan dalam persamaan ekspor dikarenakan kinerja ekspor sangat dinamis tergantung pada kondisi perekonomian global.

Tabel 32. Hasil Estimasi Perilaku Ekspor Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept 88807.66 0.0003 Intercept EXRR -3.05396 -0.01261 - 0.5186 Nilai Tukar Riil IHE 34055.77 0.19135 - <.0001 a Indeks Harga Export INVT 1.128624 0.5784 - <.0001 a Investasi Swasta

GIWL 9067.399 0.0464 - 0.2111 c Pertumb. Ekonomi Dunia Uji F =258.38 Prop F = <.0001 R2 = 0.96724 DW=1.233002

Keterangan : a, c nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan 0.10.

Sementara itu hasil pendugaan dari persamaan impor pada Tabel 33 menunjukkan bahwa pendapatan nasional mempunyai pengaruh positif terhadap impor. Setiap peningkatan pendapatan nasional sebesar Rp1 miliar berpengaruh pada peningkatan impor sebesar 0.21 miliar. Atau dalam jangka pendek setiap terjadi kenaikkan pendapatan nasional 1 persen maka akan terjadi peningkatan impor sebesar 0.64 persen. Demikian juga sebaliknya ketika terjadi penurunan

(15)

pendapatan nasional, penurunan permintaan impor juga tidak terlalu signifikan. Dalam jangka panjang hubungan pendapatan nasional dengan permintaan impor cukup elastis, yaitu sebesar 1.64.

Demikian juga indeks harga impor mempunyai hubungan yang sangat tidak elastis terhadap permintaan impor. Setiap terjadi kenaikan indeks harga impor 1 persen hanya berdampak penurunan permintaan impor sebesar 0.08 dalam jangka pendek dan 0.22 dalam jangka panjang. Kondisi ini menunjukkan bahwa adanya ketergantungan Indonesia terhadap produk impor yang sangat tinggi, sehingga perubahan harga tidak akan berdampak signifikan terhadap perilaku impor. Hal ini disebabkan permintaan impor Indonesia tidak hanya terbatas pada barang konsumsi, namun juga permintaan terhadap impor bahan baku, bahan penolong dan barang modal.

Tabel 33. Hasil Estimasi Perilaku Impor Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept -44520.5 0.0885 Intercept IHM -14753.1 -0.08863 -0.2265 0.1245 c IHM

PDBI 0.212936 0.64269 1.6426 0.0005 a Produk Domestik Bruto

LIMPO 0.60874 <.0001 a Lag Import

Uji F =247.57 Prop F = <.0001 R2 = 0.95377 DW=1.984543

Keterangan : a, c nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan 0.10.

6.2.2. Blok Fiskal

Pada blok fiskal akan dianalisis mengenai perilaku penerimaan pemerintah dan perilaku belanja pemerintah. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka porsi analisis untuk belanja pemerintah akan lebih detail per jenis belanja. Sementara perilaku penerimaan pemerintah hanya akan dianalisis dari perilaku total penerimaan yang bersumber dari pajak. Seperti diketahui kontributor terbesar

(16)

dari penerimaan dalam negeri bersumber dari penerimaan pajak. Oleh karenanya dalam model simultan ini, hanya perilaku penerimaan pajak yang akan diestimasi. Hasil pendugaan model perilaku Pajak pada Tabel 34 menunjukkan bahwa penerimaan pajak dipengaruhi secara positif oleh pertumbuhan ekonomi. Namun, kontribusi pertumbuhan ekonomi terhadap peningkatan penerimaan pajak relatif masih sangat kecil, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Jika terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, maka penerimaan pajak hanya meningkat sebesar 0.03 persen dalam jangka pendek dan 0.04 dalam jangka panjang. Respon ini sekaligus menunjukkan masih rendahnya penerimaan pajak di Indonesia, dimana tax ratio Indonesia baru mencapai 12.5 persen terhadap GDP. Sementara total belanja pemerintah berpengaruh relatif lebih elastis terhadap peningkatan penerimaan pajak. Setiap kenaikkan 1 persen total belanja pemerintah, berdampak pada peningkatan penerimaan pajak sebesar 0.94 persen dalam jangka pendek dan 1.07 persen dalam jangka panjang. Artinya total belanja pemerintah relatif mampu mendorong peningkatan penerimaan pajak. Hal ini dapat dipahami karena kontributor utama penerimaan pajak di Indonesia adalah pajak penghasilan dan pertambahan nilai. Sementara komponen terbesar total belanja pemerintah adalah untuk belanja pegawai, sehingga ketika terjadi peningkatan belanja pemerintah akan diikuti dengan penerimaan pajak.

Tabel 34. Hasil Estimasi Perilaku Penerimaan Pajak

Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept -9723.07 0.0232 Intercept

GPDBI 823.3645 0.03574 0.0405 0.1775 c Pertumbuhan Ekonomi BTOT 0.599909 0.94491 1.0707 <.0001 a Total Belanja

LRTAX 0.117506 0.0690 b Lag Perimaan dari Pajak Uji F = 3283.16 Prop F = <.0001 R2 = 0.99636 DW=1.849262

(17)

Sisi blok fiskal yang lain ada blok belanja pemerintah yang akan dianalisis secara detail per jenis belanja, baik belanja pemerintah pusat maupun belanja transfer daerah. Belanja Pemerintah pusat terdiri dari enam (6) persamaan, yaitu Belanja Pegawai (BPGW), Belanja Barang (BBRG), Belanja Modal (BMDL), Pembayaran Bunga Utang (BTUG), dan Belanja Subsidi BBM (SBBM), dan Belanja Subsidi Non BBM (SNBM). Sementara pendugaan terhadap belanja transfer daerah terdiri 3 persamaan yaitu belanja Dana Alokasi Umum (BDAU), Belanja Dana Alokasi Khusus (BDAK), dan Belanja Dana Bagi Hasil (BDBH).

6.2.2.1. Belanja Pegawai

Belanja pegawai merupakan jenis belanja rutin dari pemerintah pusat yang dialokasikan untuk membayar gaji pegawai, baik untuk gaji pegawai negeri sipil (PNS) maupun untuk gaji Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI). Gambar 32 menunjukkan komposisi dari alokasi belanja pegawai selama tahun 2006-2010. Komponen terbesar belanja pegawai adalah untuk pembayaran uang pensiun dan uang tunggu. Komposisi belanja untuk pembayaran gaji dan tunjangan untuk PNS dan TNI/POLRI hampir sama, dimana kebutuhan untuk pembayaran gaji PNS mencapai sekitar Rp31 triliun dan untuk TNI/POLRI sekitar Rp28 triliun. Diluar untuk gaji dan tunjangan, komponen belanja pegawai juga dialokasikan untuk gaji dan tunjangan pejabat negara sekitar 568 miliar dan untuk honorarium, lembur dan vakasi sekitar Rp5.6 triliun. Alokasi belanja pegawai dalam APBN merupakan belanja rutin dan mengambil porsi terbesar dalam komposisi belanja pemerintah pusat. Tingginya beban belanja pegwai terkait dengan luasnya wilayah teritorial Indonesia, sehingga memerlukan jumlah aparatur pemerintahan yang cukup besar.

(18)

Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010

Gambar 31. Komposisi Penggunaan Belanja Pegawai Tahun 2006-2010

Hasil pendugaan dari persamaan belanja pegawai pada Tabel 35 menunjukkan bahwa tingkat inflasi, jumlah PNS, penerimaan pajak dan kebijakan pemekaran wilayah mempunyai pengaruh yang positif terhadap besarnya belanja pegawai. Kebijakan pemekaran wilayah sejak tahun 2001 mempunyai hubungan dan dampak signifikan terhadap besarnya belanja pegawai. Akibat kebijakan pemekaran wilayah ini, terjadi peningkatan jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang signifikan dan berujung pada meningkatnya gaji pegawai. Hasil dari pendugaan model, akibat kebijakan pemekaran wilayah ini berdampak pada peningkatan belanja pegawai sekitar Rp 9.4 triliun.

Peningkatan belanja pegawai disamping disebabkan oleh peningkatan jumlah PNS, juga disebabkan oleh inflasi dan penerimaan pajak. Untuk mengimbangi laju inflasi, pemerintah telah melakukan kenaikan gaji berkala

0 10.000 20.000 30.000 40.000 Gaji dan Tunjangan PNS

Gaji dan Tunjangan TNI/POLRI Gaji dan Tunjangan Pejabat Negara Gaji dan Tunjangan Non … Honorarium, Lembur, Vakasi Tunjangan Khusus & Belanja Pegawai …

Belanja Pensiunan dan Uang Tunggu Belanja Asuransi Kesehatan Tunjangan Kesehatan Veteran Lainnya 31.390 28.929 567 568 5.206 5.614 36.902 1.068 99 134

(19)

untuk PNS. Sumbangan inflasi terhadap peningkatan belanja pegawai sebesar 0.02 persen dalam jangka pendek. Penerimaan pajak mempunyai elastisitas sedikit lebih besar daripada inflasi yaitu 0.20 persen. Secara umum variabel yang paling signifikan terhadap besarnya belanja pegawai adalah belanja pegawai tahun sebelumnya. Komposisi belanja pegawai juga hanya mengikuti pola dari tahun-tahun sebelumnya. Artinya struktur besarnya gaji pokok, tunjangan, honorarium dan sebagainya sudah ditentukan polanya. Terbukti walaupun terjadi kenaikkan gaji berkala dari gaji PNSdan TNI/Polri namun jumlah dan besarnya sudah ditentukan secara fixed dengan formula yang ada. Jadi perubahan besarnya gaji pegawai negeri sipil dan TNI/Polri tidak serta merta mengikuti perkembangan inflasi maupun besarnya penerimaan negara dari pajak. Kenaikkan besarnya gaji pegawai lebih ditentukan keputusan politik dari pemerintah.

Tabel 35. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Pegawai Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept -816.713 0.6043 Intercept PNS 0.000527 0.05996 0.3536 0.3045 c Jumlah PNS INFL 47.90445 0.02412 0.1423 0.3622 Tingkat Inflasi RTAX 0.039853 0.1960 1.156 0.0163 b Penerimaan Pajak

DO 9415.279 0.051 b Dummy Otonomi Daerah

LBPGW 0.830453 <.0001 a Lag Belanja Pegawai Uji F = 670.23 Prop F = <.0001 R2 = 0.98996 DW=2.624111

Keterangan : a, b, c nyata masing-masing pada taraf 0.01, 0.05. dan 0.10

6.2.2.2. Belanja Barang

Belanja barang adalah alokasi anggaran untuk membiayai keperluan operasional birokrasi, baik dalam bentuk pembelian barang maupun jasa. Komponen terbesar belanja barang adalah untuk pembelian barang-barang

(20)

operasional, seperti Alat Tulis Kantor (ATK), peralatan serta untuk keperluan perjalanan dinas. Dari gambar 30 dapat dilihat, alokasi belanja barang terbesar adalah untuk belanja barang operasional, yaitu selama 2006-2010 rata-rata sebesar Rp21 triliun dan untuk belanja barang non operasional sekitar Rp14 triliun. Komposisi antara belanja barang operasional dan non operasional ini hampir setara, sehingga besar kemungkinan terjadinya peluang tumpang tindih atau doble anggaran. Komponen yang cukup besar berikutnya adalah belanja perjalanan dinas yang mencapai 12.5 triliun, yang meliputi perjalanan dinas di dalam dan ke luar negeri. Porsi perjalanan dinas menyedot alokasi anggaran cukup besar jika dibandingkan dengan total belanja yang dibutuhkan untuk belanja barang operasional maupun non operasional. Porsi perjalanan dinas mencapai 12.5 persen, hampir sama dengan porsi belanja non operasional 14.9 persen. Perjalanan dinas yang berkontribusi besar adalah perjalanan dinas ke luar negeri.

Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010

Gambar 32. Komposisi Penggunaan Belanja Barang, Tahun 2006-2010

0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000

Barang Operasional Barang Non Operasional Belanja Jasa Perjalanan Belanja Barang BLU

20.959 14.914

9.671 12.503 3.471

(21)

Hasil estimasi terhadap persamaan belanja barang Tabel 36 menunjukkan bahwa variabel investasi Pemerintah, total penerimaan negara dan variabel lag belanja barang memiliki hubungan dengan arah positif terhadap belanja barang. Idealnya besarnya belanja barang sejalan dengan besarnya investasi pemerinatah. Karena belanja barang digunakan untuk menunjang kebutuhan operasional mapun non operasional dari kegiatan yang dilakukan pemerintah. Belanja barang dan investasi pemerintah mempunyai hubungan yang inelastis. Setiap kenaikan investasi pemerintah sebesar 1 persen hanya berpengaruh pada peningkatan belanja barang sebesar 0.03 persen. Artinya penentuan besarnya kebutuhan belanja barang tidak ditentukan oleh volume kegiatan pemerintah. Padahal setiap investasi pemerintah mustinya harus dibarengi dengan biaya operasional seperti biaya pemeliharaan dari aset-aset pemerintah. Namun hubungan belanja barang dan investasi pemerintah ini secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol.

Belanja barang juga tidak dipengaruhi cukup elastis oleh total penerimaan negara. Elastisitas jangka pendek penerimaan negara terhadap belanja barang hanya sebesar 0.23. Namun dalam jangka panjang total penerimaan negara mempunyai hubungan yang sangat elastis terhadap belanja barang, yaitu 24.26. Faktor yang paling signifikan mempengaruhi belanja barang adalah variabel lag belanja barang itu sendiri. Hal ini semakin menegaskan bahwa pola belanja pemerintah hanya mengikuti pola belanja yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Hampir tidak ada perubahan dari komposisi belanja barang dari tahun ke tahun. Faktor fundamental, seperti kegiatan pemerintah yang di proksi dari Investasi Pemerintah, yang seharusnya berpengaruh paling signifikan

(22)

terhadap belanja barang justru tidak mempunyai hubungan yang signifikan secara statistik.

Tabel 36. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Barang Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept -703.527 0.6489 Intercept

INVG 0.009238 0.03237 3.3996 0.8102 Investasi Pemerintah TREV 0.01588 0.23098 24.2573 0.0487 a Total Penerimaan

LBBRG 0.990478 <.0001a Lag Belanja Barang

Uji F = 402.45 Prop F = <.0001 R2 = 0.97105 DW=2.398695

Keterangan : a nyata pada taraf 0.01.

6.2.2.3. Belanja Modal

Belanja modal memiliki peranan yang strategis dalam perekonomian. Belanja modal dapat digunakan untuk membiayai berbagai keperluan pembangunan infrastruktur. Dengan tersedianya infrastruktur yang memadai maka akan mendorong terjadinya peningkatan investasi dan peningkatan kinerja sektor riil. Peningkatan Investasi juga akan berdampak pada peningkatan kinerja ekspor dan dapat mengurangi permintaan impor. Dengan adanya peningkatan belanja modal maka peranan stimulus fiskal dalam perekonomian akan lebih optimal.

Penggunaan belanja modal terbesar adalah untuk pembangunan jalan, irigasi dan jaringan. Ketiga infrastruktur ini memang sangat besar peranannya dalam menunjang kinerja sektor riil. Disamping itu pembangunan infrastruktur, belanja modal juga dipergunakan untuk pembelian peralatan dan mesin untuk kebutuhan jangka panjang atau bersifat investasi. Sementara peralatan untuk keperluan operasional dialokasikan dari belanja barang. Namun data selama tahun 2006-2010, belanja modal juga dipergunakan untuk pembangunan gedung dengan porsi yang masih cukup signifikan, yaitu mencapai Rp14 triliun. Sementara untuk

(23)

pembangunan infrastruktur jalan hanya sekitar Rp28 triliun, serta peralatan dan mesin sebesar Rp21 triliun.

Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010

Gambar 33. Komposisi Penggunaan Belanja Modal, Tahun 2006-2010

Hasil estimasi pada persamaan belanja modal Tabel 37 menunjukkan penerimaan dalam negeri mempunyai hubungan yang positif namun hanya mempunyai pengaruh yang kecil terhadap besarnya belanja modal. Setiap peningkatan penerimaan dalam negeri sebesar Rp1 miliar yang dialokasikan untuk belanja modal hanya sebesar Rp 0.03 miliar. Karenanya, elastisitas penerimaan domestik terhadap belanja modal hanya sebesar 0.22 dalam jangka pendek dan 0.55 dalam jangka panjang. Hal ini juga ditunjukkan oleh rendahnya proporsi belanja modal pada struktur belanja pemerintah. Padahal belanja modal semestinya merupakan salah satu instrumen untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri. Karena dengan adanya peningkatan belanja modal, maka akan meningkatkan investasi, ekspor dan juga konsumsi. Peningkatan sektor-sektor

0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 Tanah

Peralatan & Mesin Gedung Jalan, irigasi, Jaringan Pemeliharaan Fisik Lainnya BLU, Bergulir & lainnya

1.625 21.676 14.060 28.290 212 2.976 794

(24)

tersebut yang pada akhirnya menjadi sumber penerimaan negara baik melalui mekanisme pajak maupun non pajak.

Dalam model ini juga ditunjukkan adanya pengaruh perubahan struktur anggaran terhadap belanja modal. Sebelum tahun 2001, komponen belanja modal merupakan belanja pembangunan. Dalam komponen belanja pembangunan juga termasuk dalam belanja pembangunan yang diperuntukkan untuk daerah. Sementara setelah tahun 2001, komponen belanja modal hanya merupakan komponen belanja pemerintah pusat.

Tabel 37. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Modal

Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept 4628.47 0.0259 Intercept

RDOM 0.030049 0.22798 0.54145 0.0187 a Penerimaan Dalam Negeri

DSPA 4709.395 0.5098 Dummy Perubahan Anggaran

LBMDL 0.578954 0.0001a Lag Belanja Modal

Uji F = 93.57 Prop F = <.0001 R2 = 0.88633 DW=2.180795

Keterangan : a nyata pada taraf 0.01

6.2.2.4. Belanja Pembayaran Bunga Utang

Komponen belanja pembayaran bunga utang terbesar adalah untuk pembayaran bunga utang luar negeri dan bunga utang dalam negeri. Data selama 2006-2010 menunjukkan beban bunga utang dalam negeri jangka panjang rata-rata mencapai Rp 27 triliun. Sementara beban pembayaran utang luar negeri jangka panjang telah mencapai Rp 55 triliun. Disamping pembayaran beban bunga utang jangka panjang, belanja bunga juga harus dialokasikan untuk pembayaran imbalan dan discount terhadap Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Surat Utang Negara (SUN). Dalam tiga tahun terakhir jumlah SBSN

(25)

maupun SUN telah menunjukkan pertumbuhan yang sangat signifikan. Hal ini tentunya akan berdampak pada peningkatan beban pembayaran imbal jasa SUN dan SBSN.

Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010

Gambar 34. Komposisi Belanja Pembayaran Bunga Utang, Tahun 2006-2010

Hasil pendugaan dari persamaan belanja pemerintah untuk pembayaran bunga utang Tabel 38 menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi besarnya beban pembayaran bunga utang adalah besarnya akumulasi atau stok utang pemerintah. Hal ini menunjukkan adanya penambahan utang baru pemerintah secara terus menerus. Elastisitas stok utang pemerintah terhadap beban pembayaran bunga utang adalah sebesar 0.64 dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang elastisitasnya lebih rendah yaitu 0.12. Hal ini dikarenakan dalam jangka panjang stok utang pemerintah tentu mengalami penurunan akibat pembayaran cicilan pokok utang.

0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 Bunga Utang DN-Jangka Panjang

Bunga Utang LN-Jangka Panjang Imbalan SBSN DN Imbalan SBSN LN Discount SUN DN SUN LN Loss on Bound Redemption Buy Back …

Imbalan SBSN DN Pembayaran Denda 55.198 27.856 1.997 400 3.737 208 469 29 1.189

(26)

Besarnya pengaruh akumulasi utang terhadap beban pembayaran bunga disebabkan oleh kebijakan defisit fiskal yang selalu ditutup dengan utang baru. Hasil pendugaan, defisit fiskal mempunyai hubungan yang positif terhadap beban pembayaran bunga dengan taraf kepercayaan = 10%. Dengan demikian kebijakan defisit anggaran yang tidak dikelola dengan baik akan berdampak pada peningkatan beban anggaran itu sendiri pada tahun berikutnya.

Tabel 38. Hasil Estimasi Perilaku Pembayaran Bunga Utang Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept -2404.62 0.6603 Intercept

DFIS 0.134982 0.06496 0.1427 0.2404 c Defisit Fiskal LIBOR3 120.0732 0.00076 0.0017 0.8381 LIBOR3

DEBT 0.056453 0.63788 0.1240 <.0001 a Stok Utang Pemerintah LBUTG 0.544715 <.0001 a Lag Belanja Pemby. Utang Uji F = 117.25 Prop F = <.0001 R2 = 0.93055 DW=1.754319

Keterangan : a, c nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan 0.10.

Hal yang menarik dari pendugaan perilaku persamaan pembayaran bunga ini adalah bahwa suku bunga internasional mempunyai hubungan yang tidak signifikan secara statistik. Suku bunga internasional yang di proxy dari suku bunga LIBOR 3 bulan merupakan variabel yang menentukan besarnya beban bunga yang harus dibayar oleh pemerintah. Jika hasil pendugaan besarnya tingkat bunga secara statistik tidak signifikan artinya bahwa beban terbesar beban pembayaran bunga utang bukan terletak pada besar kecilnya tingkat suku bunga, namun namun pada besarnya akumulasi utang pemerintah. Tingkat suku bunga yang rendah sering menjadi justifikasi atau pembenaran pemerintah untuk selalu menambah utang baru. Walaupun dengan suku bunga yang rendah, namun jika

(27)

stok utang pemerintah terus bertambah maka beban pembayaran bunga akan sangat besar.

Elastisitas suku bunga riil terhadap beban pembayaran utang pemerintah juga relatif tidak elastis. Hal ini disebabkan hampir semua utang Pemerintah adalah utang jangka panjang dimana beban tingkat suku bunga sudah ditentukan secara tertentu pada awal perjanjian. Artinya perubahan tingkat suku bunga pada utang pemerintah relatif kecil. Oleh sebab itu, kedepan faktor yang harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan besar kecilnya utang baru adalah tidak hanya memperhatikan rendahnya tingkat bunga namun juga posisi stok atau akumulasi utang pemerintah.

Pemerintah selalu menggunakan indikator untuk mengukur tingkat aman dari utang pemerintah adalah rasio utang terhadap GDP dan rasio utang terhadap ekspor. Likuiditas perekonomian seharusnya dilihat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jika hanya dilihat dari rasio stok utang terhadap GDP, dimana pada tahun 2010 rasio utang Indonesia masih dalam level 41.9 persen memang masih berada pada level batas aman. Namun pembayaran bunga dan pokok utang ini kini sudah menjadi beban berat dalam APBN. Tabel 39 menunjukkan bahwa rasio beban bunga dan pokok terhadap penerimaan dalam negeri sebesar 17.5 persen dan terhadap penerimaan pajak sebesar 24 persen. Artinya bahwa sekitar 24 persen dari hasil penerimaan pajak dari masyarakat habis untuk membayar bunga utang pemerintah. Apalagi jika dilihat dari posisi akumulasi utang pemerintah terhadap penerimaan dalam negeri sudah mencapai 97.77 persen. Besarnya akumulasi utang ini berpotensi menimbulkan jebakan utang (debt trap).

(28)

Tabel 39. Indikator Rasio Utang Pemerintah Indonesia

(Rp Miliar)

No Uraian 1980 1990 2000 2010

A Pendapatan Nasional (GDP) 556 925 950 478 1 389 770 2 310 690 B Penerimaan Dalam Negeri 9 933 42 193 205 335 992 248

C Penerimaan Pajak 2 912 22 011 115 913 723 307

D Total Belanja Pusat 8 895 32 867 188 392 697 407 E Pembayaran Bunga Utang 407.7 4 959.2 50 068.1 105 650.2 F Pembayaran Bunga + Pokok 754 12,577 57,691 173,681 G Stok Utang Pemerintah 8 147 83 119 630 951 970 102

(%) Rasio E terhadap B 4.10 11.75 24.38 10.65 Rasio E terhadap C 14.00 22.53 43.19 14.61 Rasio E terhadap D 4.58 15.09 26.58 15.15 Rasio F terhadap B 7.59 29.81 28.10 17.50 Rasio F terhadap C 25.90 57.14 49.77 24.01 Rasio F terhadap D 8.48 38.27 30.62 24.90 Rasio G terhadap A 1.46 8.74 45.40 41.98 Rasio G terhadap B 82.02 197.00 307.28 97.77

Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Berbagai Tahun

6.2.2.5. Belanja Subsidi Non BBM

Kebijakan belanja subsidi Non BBM terbesar adalah untuk subsidi listrik, selebihnya dengan porsi yang relatif kecil diperuntukkan untuk subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih dan lainnya. Subsidi non BBM ini idealnya adalah ditujukan untuk program pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguaran. Subsidi non BBM semestinya tidak hanya ditujukan untuk program-program peningkatan konsumsi masyarakat seperti program bantuan langsung tunai (BLT) dan Beras untuk masyarakat miskin (Raskin).

Subsidi Non BBM akan lebih baik kalau dialokasikan untuk kegiatan yang meningkatkan produktifitas, seperti subsidi benih, peralatan pertanian ataupun subsidi pupuk. Dengan demikian akan dapat meningkatkan produktifitas di sektor

(29)

pertanian dan dengan sendirinya akan berkontribusi terhadap program pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Subsidi juga dapat diberikan pada pemotongan pajak untuk usaha kecil dan menengah agar masyarakat miskin dapat meningkatkan usaha produktif, sehingga akan meningkatkan investasi.

Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010

Gambar 35. Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun 2006-2010

Hasil pendugaan dari persamaan belanja subsidi non BBM pada Tabel 40 menunjukkan bahwa belanja subsidi Non BBM dipengaruhi secara positif oleh jumlah penduduk miskin dan tingkat pengangguran. Besarnya jumlah penduduk miskin dan jumlah pengangguran mempunyai hubungan positif terhadap besarnya belanja subsidi non BBM. Hal ini ditunjukan dengan koefisien parameter, dimana setiap kenaikkan 1 juta penduduk miskin, memerlukan tambahan alokasi belanja subsidi non bbm sebesar Rp170 miliar atau elastisitasnya sebesar 0.73. Sayangnya belanja non subsidi BBm ini diberikan dalam bentuk Bantuan langsung tunai (BLT) yang hanya berpengaruh pada peningkatan konsumsi masyarakat. Juga

0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 Subsidi Pangan Subsidi Listrik Subsidi Benih Subsidi Pupuk Subsidi Pajak Subsidi PSO Subsidi Lainnya 10.428 50.904 1.074 12.270 12.973 1.373 822

(30)

ketika jumlah pengangguran meningkat 1 persen, maka belanja subsidi non BBM naik sebesar Rp 343 miliar atau elastisitasnya sebesar 0.24. Dalam jangka panjang, baik tingkat pengangguran maupun tingkat kemiskinan mempunyai hubungan yang sangat elastis (Tabel 38).

Tabel 40. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi Non BBM

Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept -6 361.93 0.3868 Intercept

PUNEM 343.6425 0.24470 37.45 0.5033 Tingkat Pengangguran LNPOV 170.9685 0.73419 112.36 0.4306 Lag Juml. Penduduk Miskin LSNBM 0.993466 <.0001 a Lag Belanja Sub Non BBM Uji F = 49.35 Prop F = <.0001 R2 = 0.80439 DW=2.219149

Keterangan : a nyata pada taraf 0.01

6.2.2.6. Belanja Subsidi BBM

Belanja subsidi BBM memakan porsi terbesar dari besarnya subsidi yang diberikan pemerintah, terutama untuk subsdi premium, minyak tanah dan minyak solar (Tabel 3). Data 2008 menunjukkan penurunan besarnya subsidi untuk minyak tanah karena adanya program konversi terhadap gas elpiji. Banyak hasil studi menunjukkan bahwa subsidi premium tidak tepat sasaran, karena penerimanya lebih banyak golongan masyarakat berpendapatan menengah ke atas. Besarnya subsidi BBM selalu menimbulkan kontroversi, hal ini dikarenakan BBM merupakan bahan bakar yang terkait langsung dengan kegiatan produksi maupun konsumsi masyarakat. Kenaikkan harga BBM pasti akan disertai dengan kenaikkan harga barang-barang dan akhirnya akan berdampak pada tingkat inflasi. Secara teoritis, sebanrnya inflasi tidak selalu berakibat negatif terhadap perekonomian. Kenaikan harga juga diperlukan untuk merangsang terjadinya peningkatan aggregat supply. Jika kenaikkan harga ini dapat dikendalikan maka

(31)

kenaikkan aggregat supply justru akan diikuti oleh kenaikkan permintaan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.

Sumber : LKPP Kementerian Keuangan, Tahun 2006-2010

Gambar 36. Komposisi Belanja Subsidi Non BBM, Tahun 2006-2010

Hasil estimasi dari persamaan belanja subsidi BBM pada Tabel 41 menunjukkan besarnya subsidi BBM sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia dan besarnya impor migas. Faktor utama besarnya subsidi BBM, sebenarnya bukan terletak pada perubahan harga minyak dunia, namun lebih dikarenakan kebutuhan impor migas yang cukup besar. Dalam model ini harga minyak mentah dunia telah dikonversi dalam mata uang rupiah, sehingga dapat langsung dihubungkan dengan kebutuhan besarnya subsidi. Hasil estimasi menunjukkan setiap terjadi kenaikkan 1 persen harga minyak mentah dunia, menyebabkan kenaikkan kebutuhan belanja subsidi BBM sebesar 0.02 persen. Namun jika terjadi kenaikan impor migas, terutama BBM, akan meningkatkan belanja subsidi sebesar 16.55 persen. Artinya, besarnya kebutuhan belanja subsidi BBM sebanrnya bukan disebabkan oleh kenaikkan harga minyak mentah dunia, tapi

0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000 Subsidi Premium

Subsidi Minyak Solar Subsidi Minyak Tanah Subsidi Elpiji

30.548 23.851

26.512 8.882

(32)

karena besarnya kebutuhan impor migas untuk memenuhi tingginya permintaan BBM di dalam negeri. Sebagian besar kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri berasal dari impor. Bahkan Indonesia sudah menjadi negara net importir BBM. Padahal pada tahun 1980-an Indonesia masih menjadi negara net eksportir BBM. Peningkatan kebutuhan konsumsi terhadap BBM dalam negeri telah menyebabkan hubungan yang sangat erat antara besarnya kebutuhan impor dengan besarnya subsidi BBM. Setiap kenaikkan Rp1 miliar impor BBM telah berdampak pada peningkatan subsidi BBM sekiatar Rp1.34 miliar.

Tabel 41. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Subsidi BBM Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept -16 304.5 0.012 Intercept

POILR 0.191491 0.02236 0.0224 0.8381 Harga Minyak Mentah Riil IMPM 1.341059 16.54799 16.5897 <.0001a Impor Migas

LSBBM 0.002516 0.9842 Lag Belanja Subsidi BBM

Uji F = 85.11 Prop F = <.0001 R2 = 0.87643 DW=1.757323

Keterangan : a pada taraf 0.01

Permintaan terbesar konsumsi BBM adalah untuk memenuhi kebutuhan transportasi masyarakat, terutama kebutuhan premium. Ketiadaan transportasi publik yang memadai menyebabkan masyarakat menggunakan kendaraan pribadi, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Pertumbuhan kendaraan pribadi yang sangat pesat ini menyebabkan daya tampung ruas jalan menjadi tidak memadai. Akibatnya hampir di semua kota besar terjadi kemacetan, sehingga mengakibatkan pemborosan penggunaan BBM dan semakin meningkatnya kebutuhan BBM. Sementara pemerintah belum mempunyai grand strategi untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap BBM. Oleh karenanya setiap terjadi kenaikkan harga minyak dunia, pasti akan menimbulkan polemik

(33)

6.2.2.7. Belanja Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana transfer daerah dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional. DAK diperuntukkan untuk mempercepat pembangunan daerah dan mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah. Kegiatan khusus daerah yang menjadi prioritas nasional utamanya adalah program pengentasan kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Dengan demikian, semestinya besarnya alokasi DAK dipengaruhi oleh tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Hasil pendugaan Belanja Dana Alokasi Khusus pada Tabel 42 menunjukkan bahwa dalam jangka pendek tingkat kemiskinan tidak mempunyai pengaruh yang cukup elastis (hanya 0.29 persen) dalam menentukan besarnya DAK. Namun pengaruh tingkat kemiskinan terhadap DAK cukup besar, dimana setiap kenaikan 1 persen tingkat kemiskinan mengakibatkan belanja DAK meningkat sebesar Rp 4.09 triliun.

Tabel 42. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer Daerah Variabel Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept -1 244.02 0.3143 Intercept

RDOM 0.008843 0.57490 2.0729 <.0001 a Penerimaan dalam Negeri PNPOV 4 095.655 0.29543 1.0652 0.4725 Tingkat Kemiskinan LBDAK 0.722654 <.0001 a Lag Belanja Daerah DAK

Uji F = 293.59 Prop F = <.0001 R2 = 0.96073 DW=1.570737

Keterangan : a nyata pada taraf 0.01

Namun hubungan ini secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol atau tingkat kesalahan dari pendugaan ini cukup besar. Sementara penerimaan dalam negeri juga memiliki hubungan yang positif dengan belanja DAK, dengan

(34)

pengaruh yang tidak terlalu besar. Namun, secara statistik hubungan antara penerimaan dalam negeri dan belanja DAK mempunyai hubungan yang signifikan denagan tingkat = 0.01 dan ditunjukkan dengan tingkat kesalahan yang sangat kecil dibawah 1 persen.

6.2.2.8. Belanja Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana transfer daerah yang diperuntukkan untuk menjalankan tugas pelayanan pemerintahan di tingkat daerah. Oleh sebab itu, salah satu formulasi penentuan besarnya DAU adalah luas wilayah dan jumlah penduduk yang harus dilayani oleh pemerintah daerah. Hasil estimasi dari persamaan belanja DAU seperti dalam Tabel 43 menunjukkan bahwa jumlah penduduk mempunyai hubungan yang positif terhadap besarnya belanja DAU. Setiap kenaikan 1 juta jumlah penduduk berpengaruh pada peningkatan dana DAU sebesar Rp240 miliar. Atau peningkatan 1 persen jumlah penduduk berdampak pada peningkatan DAU sebesar 0.03 persen. Namun korelasi antara jumlah penduduk dan DAU ini secara statistik tidak berbeda nyata dengan nol.

Sementara jumlah penerimaan dalam negeri dan pendapatan domestik bruto juga berpengaruh positif. Setiap peningkatan penerimaan dalam negeri sebesar Rp 1 miliar maka yang akan dialokasikan pada peningkatan belanja DAU sebesar Rp0.11 miliar. Atau setiap peningkatan 1 persen penerimaan domestik dialokasikan untuk belanja DAU sebesar 0.58 persen. Namun hubungan ketiga variabel tersebut dengan belanja DAU secara statistik tidak signifikan dengan tingkat kesalahan kesalahan pendugaan yang masih cukup besar. Variabel yang signifikan hanyalah besarnya belanja DAU pada tahun sebelumnya. Bisa jadi

(35)

penentuan formula besarnya DAU hanya mengikuti pada pola tahun-tahun sebelumnya saja.

Tabel 43. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Dana Alokasi Umum Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept -1 456.97 0.7837 Intercept

RDOM 0.118351 0.58192 1.1607 <.0001 a Penerimaan dalam Negeri PDBI -0.00017 -0.00494 -0.00985 0.9686 Produk Domestik Bruto GPOPI 740.9836 0.03483 0.06947 0.6557 Pertumbuhan Penduduk LBDAU 0.498646 <.0001 a Lag Belanja Daerah DAU Uji F = 777.17 Prop F = <.0001 R2 = 0.98887 DW=1.959068

Keterangan : a nyata pada taraf 0.01

6.2.2.9. Belanja Dana Bagi Hasil

Belanja Bagi hasil merupakan dana transfer daerah yang ditujukan untuk memenuhi asas keadilan dan pemerataan antara pemerintah pusat dan daerah. Seperti diketahui sumber daya alam baik yang berbentuk migas maupun non migas dihasilkan oleh daerah. Untuk itu harus adanya pembagian yang proporsional terhadap hasil sumber daya tersebut antara pemerintah pusat dan daerah. Hasil pendugaan untuk persamaan Belanja Dana Bagi Hasil menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan penerimaan migas mempunyai hubungan yang sangat signifikan terhadap belanja dana bagi hasil. Hal ini dikarenakan belanja bagi hasil sebagian besar berasal dari penerimaan migas. Setiap kenaikan Rp1 miliar penerimaan non migas yang dialokasikan untuk belanja bagi hasil sebesar Rp0,1 miliar atau elastisitasnya sebesar 0.29. Sementara peningkatan penerimaan migas Rp1 miliar hanya berpengaruh terhadap besarnya dana bagi hasil sebesar Rp0.88 miliar atau elastisitas jangka pendeknya sebesar 0.36. Disamping penerimaan, pertumbuhan ekonomi juga berpengaruh signifikan, setiap

(36)

peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan meningkatkan belanja dana bagi hasil sebesar Rp78 miliar atau sebesar 0.03 persen.

Tabel 44. Hasil Estimasi Perilaku Belanja Transfer daerah Dana Bagi Hasil Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept -1 258.84 0.0859 Intercept

RNMGS 0.099113 0.29013 0.5607 <.0001 a Penerimaan Non Migas RMGS 0.87792 0.36723 0.7097 <.0001 a Penerimaan Migas GPDBI 78.46814 0.02934 0.0567 0.4291 Pertumbuhan Ekonomi LBDBH 0.482529 <.0001 a Lag Belanja DBH Uji F = 1648.12 Prop F = <.0001 R2 = 0.99472 DW=1.437371 Keterangan : a nyata pada taraf 0.01

6.2.3. Blok Kinerja Perekonomian

Pada blok kinerja perekonomian digunakan untuk mengukur perilaku dari indikator kinerja perekonomian, utamanya adalah pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskianan. Namun demikian, karena persamaan pertumbuhan ekonomi merupakan persamaan identitas bukan persamaan perilaku maka yang dapat diestimasi hanya persamaan tingkat kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan.

Untuk melihat tingkat kesempatan kerja akan di proxy dengan perilaku tingkat pengangguran. Hasil estimasi dari persamaan tingkat pengangguran diketahui bahwa tingkat pengangguran sangat dipengaruhi oleh kenaikan rata-rata tingkat upah riil. Jika tingkat upah riil naik sebesar 1 persen maka tingkat pengangguran akan naik sebesar 0.42 persen. Sedangkan total investasi berpengaruh negatif dan secara statistik cukup signifikan terhadap tingkat pengangguran. Namun secara ekonomi, total investasi hanya berpengaruh kecil terhadap pengurangan pengangguran. Setiap kenaikkan 1 persen investasi total,

(37)

maka tingkat pengangguran akan turun sangat kecil sekali seperti yang ditunjukkan Tabel 45.

Tabel 45. Hasil Estimasi Perilaku Tingkat Pengangguran Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept 1.524157 0.0133 Intercept

WAGE 0.000013 0.42936 1.1124 0.0016 a Tingkat Upah TOTI -6.38E-06 -3.07E-01 -1.653E-05 0.0156 a Total Investasi

LPUNEM 0.614013 <.0001 a Lag Tingk. Pengangguran Uji F = 40.58 Prop F = <.0001 R2 = 0.77179 DW=1.872554

Keterangan : a nyata pada taraf 0.01

Relatif kecilnya pengaruh tingkat Investasi terhadap pengangguran ini disebabkan karena pertumbuhan tingkat investasi yang rendah dan pertumbuhan investasi terbesar berada pada sektor-setor non tradable. Sektor-sektor non tradabe seperti sektor jasa dan pengangkutan merupakan sektor yang relatif padat modal, sehingga tidak banyak menciptakan lapangan kerja. Sementara sektor-sektor pertanian dan industri cenderung pertumbuhannya menurun dan menyerap investasi yang relatif rendah.

Hubungan yang positif dan sangat signifikan antara kenaikan tingkat upah riil dengan tingkat pengangguran disebabkan karena kondisi faktor pasar tenaga kerja yang mengalami over supply tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan oleh adanya tingkat pengangguran terbuka yang cukup besar. Disamping pengangguran terbuka, jumlah tenaga kerja yang bekerja tidak penuh atau tingkat pengangguran terselubung mencapai 33 persen. Di tengah rendahnya tingkat Investasi kondisi pasar tenaga kerja yang seperti ini akan cenderung membuat upah riil cenderung tidak berubah atau rigid. Disisi lain tingginya tingkat inflasi membuat tuntutan pekerja terhadap kenaikkan upah menjadi suatu keniscayaan. Tuntutan kenaikkan

(38)

upah inilah yang mendorong meningkatnya biaya produksi dan selanjutnya cenderung berdampak pada menurunnya ekspansi penyerapan tenaga kerja.

Tabel 46. Kondisi Tenaga Kerja dan Tingkat Pengangguran di Indonesia

Uraian 2007 2008 2009 2010 2011

PENDUDUK 15 THN KEATAS 164 118 323 166 641 050 169 328 208 172 070 339

171 756 077 1. ANGKATAN KERJA (AK) 109 941 359 111 947 265 113 833 280 116 527 546

117 370 485 Tingkat Partisipasi AK (%) 66.99 67.18 67.23 67.72 68.34 a. Bekerja 99 930 217 102 552 750 104 870 663 108 207 767 109 670 399

Tingkat kesempatan Kerja(%) 90.89 91.61 92.13 92.86 93.44 i. Pekerja Penuh 69 031 794 69 213 385 70 902 834 72 450 960 72 447 648

Penyerapan Kerja Penuh(%) 69.08 67.49 67.61 66.96 66.06 ii. Pekerja Tidak Penuh 30 898 423 33 339 365 33 967 829 35 756 807 37 222 751

Pengang. Terselubung (%) 30.92 32.51 32.39 33.04 33.94 b. Pengangguran Terbuka 10 011 142 9 394 515 8 962 617 8 319 779 7 700 086

Tingkat pengang.Terbuka (%) 9.11 8.39 7.87 7.14 6.56 2. BUKAN ANGKATAN KERJA 54 176 964 54 693 785 55 494 928 55 542 793 54 385 592 a. Sekolah 13 777 378 13 226 066 13 810 846 14 011 778 13 104 294 b. Mengurus Rumahtangga 31 989 042 32 770 941 33 346 950 32 971 456 32 890 423 c. Lainnya 8 410 544 8 696 778 8 337 132 8 559 559 8 390 875

Sumber : Sakernas, BPS

Sementara itu hasil estimasi dari persamaan jumlah penduduk miskin menunjukkan hubungan yang negatif antara besarnya pertumbuhan ekonomi dan total subsidi pemerintah. Elastisitas jangka pendek pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin di Indonesia hanya sebesar 0.01 dan dalam jangka panjang sebesar 0.05. Artinya setiap kenaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen hanya mampu mengurangi penduduk miskin sebesar 0.01 persen dalam jangka pendek dan 0.05 persen dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berdampak signifikan terhadap program pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak pro poor dan pro job. Pertumbuhan ekonomi tidak mampu memperluas lapangan kerja sehingga tidak mampu mengurangi jumlah penduduk miskin.

(39)

Demikian juga total subsidi pemerintah, elastisitas jangka pendek maupun jangka panjang sangat kecil sekali seperti ditunjukkan Tabel 47. Artinya peningkatan belanja subsidi pemerintah tidak berpengaruh terhadap upaya penurunan kemiskinan (pro poor). Hal ini dikarenakan upaya penangulangan kemiskinan oleh pemerintah hanya bersifat adhoc seperti BLT dan Raskin yang tidak berdampak pada pemberdayaan masyarakat miskin. Dengan adanya tambahan Rp100 ribu per bulan maka sebagian penduduk miskin sudah bergeser dari garis kemiskinan Rp 233 ribu. Namun jika dilihat dari hasil pendugaan terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin, maka dapat tarik kesimpulan bahwa program BLT juga belum berpengaruh besar terhadap pergeseran penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Rendahnya pengaruh kebijakan subsidi terhadap pengurangan kemiskinan menunjukkan bahwa program subsidi yang seharusnya ditujukan untuk asas pemerataan dan keadilan bagi penduduk miskin tidak tepat sasaran. Hal ini dikarenakan proporsi belanja subsidi terbesar adalah subsidi energi atau subsidi BBM. Dimana subsidi BBM sebagian besar yang menikmati adalah penduduk golongan menengah keatas. Sementara subsidi non BBM yang diperuntukkan untuk masyarakat miskin porsinya relatif kecil.

Faktor lain yang signifikan terhadap besarnya jumlah penduduk miskin adalah tingkat inflasi. Walaupun tingkat elastisitasnya jangka pendek maupun jangka pendek tidak cukup elastis, namun inflasi mempunyai hubungan yang positif terhadap jumlah penduduk miskin. Kenaikan harga-harga secara umum yang meningkat tajam membuat daya beli masyarakat menurun dan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Sementara itu, tingkat pengangguran juga mempunyai hubungan yang positif terhadap jumlah penduduk. Pengangguran

(40)

yang meningkat menyebabkan peningkatan jumlah penduduk. Namun hubungan antara pengangguran dan jumlah penduduk miskin secara statististik tidak berbeda nyata dengan nol.

Tabel 47. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Penduduk Miskin Variable Parameter Estimate Elastisitas Pr > |t| Variable ESR ELR Intercept 5.891078 0.1356 Intercept

GPDBI -0.06716 -0.01024 -0.0516 0.783 Pertumbuhan Ekonomi TSUB -5.23E-06 -5.51E-03 -0.0278 0.6566 Total Subsidi

PUNEM 0.050175 0.00832 0.0419 0.8649 Tingkat Pengangguran INFL 0.095047 0.03417 0.1722 0.1253 b Tingkat Inflasi

LNPOV 0.801552 <.0001 a Lag Jumlah Penduduk Miskin Uji F =21.74 Prop F = <.0001 R2 =0.76172 DW=1.62589

Keterangan : a, b nyata masing-masing pada taraf 0.01 dan 0.05.

6.3. Validasi Model

Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan, maka perlu dilakukan pengujian terhadap model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat mewakili fenomena komposisi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan tingkat kemiskinan.

Dalam kajian ini, kriteria statistik untuk validasi model yang digunakan adalah Root Means Percent Square Error (RMSPE) yaitu untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya, sedangkan Theil’s Inequality Coefficient (U), bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk melakukan simulasi dan analisis kebijakan. Pada dasarnya semakin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s, maka pendugaan model semakin baik (Pindyck and Rubinfield, 1991).

Gambar

Gambar 31. Komposisi Penggunaan Belanja Pegawai Tahun 2006-2010
Gambar 32. Komposisi Penggunaan Belanja Barang, Tahun 2006-2010
Gambar 33. Komposisi Penggunaan Belanja Modal, Tahun 2006-2010
Gambar 34. Komposisi Belanja Pembayaran Bunga Utang, Tahun 2006-2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Untuk mengoptimalkan potensi sumberdaya yang ada di wilayah Kabupaten Tapin sekaligus berusaha untuk mewujudkan penata lingkungan wilayah pertambangan di Kabupaten

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah yang akan dibahas adalah kontrol sosial atau pengendalian sosial dari masyarakat terhadap penyimpangan mabuk

ramah keluarga yang biasanya mengacu pada kebijakan yang memungkinkan karyawan untuk... menyeimbangkan tuntutan pekerjaan yang dibayar dan kehidupan pribadi yakni

Dari hasil analisis pada pengujian didapatkan bahwa sistem yang dibuat mampu melakukan proses steganografi video menggunakan DWT dengan pemilihan frame

maka kami mohon kehadiran Bapak/ Ibu untuk menjadi Tim Penguji LPKL sesuai dengan jadwal di atas3. Demikian, atas perhatiannya kami ucapkan

Dari hasil penelitian model jones menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan antara kualitas accrual sebelum dan sesudah pengadopsian IFRS di Indonesia.Dikarenakan

Mahasiswa mulai untuk membuat rendering dari sebuah model sederhana.

jawawaban semula dengan penghapus sampai bersih (jangan sampai rusak), kemudian hitamkan jawaban yang menurut anda benar7. PILIHLAH JAWABAN YANG