• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sindroma Metabolik (SM)

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 30-39)

Pada saat ini SM semakin menjadi perhatian dikalangan praktisi kesehatan, karena prevalensinya terus meningkat diseluruh dunia seiring dengan meningkatnya jumlah individu yang mengalami obesitas.

Diperkirakan antara 20 sampai 25 persen populasi individu mengalami SM yang berisiko dua kali terhadap kematian dan berisiko tiga kali untuk mendapat serangan jantung atau stroke dibanding dengan mereka yang tidak mengalami SM (Sihombing dkk, 2015). Pada tahun 1988, Reaven

menunjukkan konstelasi faktor risiko pada pasien dengan resistensi insulin yang dihubungkan dengan penyakit kardiovaskuler yang disebut sindroma X, dan pada akhirnya sindroma X tersebut dikenal sebagai sindroma resistensi insulin atau disebut SM (Hermayudi, 2017). SM, yang juga disebut resistensi insulin, merupakan suatu kumpulan faktor-faktor yang berperan terhadap peningkatan morbiditas penyakit kardiovaskuler (Shahab, 2017). Sedangkan resistensi insulin merupakan suatu kondisi dimana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin, sehingga terjadi peningkatan insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas (Hermayudi, 2017).

a. Diagnosa SM (Hermayudi, 2017)

Berdasarkan The National Cholesterol Education Program Thrit Adult Treatment Panel (NCEP-ATP III) diagnosa SM ditegakkan apabila seseorang memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut :

1) Obesitas abdominal (lingkar pinggang ≥ 88 cm pada wanita dan

≥ 102 cm pada pria).

2) Peningkatan kadar trigliserida darah (≥ 150 mg/dl).

3) Penurunan kadar kolesterol HDL (˂ 40 mg/dl pada pria dan

˂ 50 mg/dl pada wanita).

4) Resistensi insulin.

5) Hipertensi.

b. Epidemiologi

Prevalensi SM berdasarkan data dari the Third National Health and Nutrition Examinatin Survey bervariasi dari 16 persen pada laki-laki kulit hitam sampai 37 persen pada perempuan hispanik. Prevalensi SM meningkat dengan bertambahnya usia dan berat badan. SM juga merupakan prediktor kuat untuk terjadinya diabetes millitus tipe dua (Shahab, 2017).

c. Patofisiologi

Penyebab SM belum dapat diketahui dengan pasti. Suatu hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari SM adalah resisitensi insulin.

Insulin berperan menurunkan kadar glukosa darah dengan cara merangsang ambilan glukosa di dalam jaringan perifer yang sensitif terhadap insulin seperti otot-otot rangka, lemak, dan jantung. Insulin juga menghambat produksi glukosa di hati, ginjal, dan usus halus untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Resistensi insulin terjadi apabila jaringan yang sensitif mangalami kegagalan merespon rangsangan insulin. Kegagalan ini terjadi akibat adanya hambatan dalam jalur sinyal insulin. Resistensi insulin akan menyebabkan hiperinsulinemia sebagai kompensasi dari sel-sel beta pankreas yang memproduksi insulin dalam jumlah besar sebagai upaya mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal. Seiring perjalanan waktu, sel-sel beta pankreas makin lama akan mengalami kegagalan memproduksi insulin lebih lanjut, sehingga mulailah terjadi gangguan toleransi glukosa yang merupakan stadium awal terjadinya Diabetes Melitus tipe 2 (Shahab, 2017).

d. Faktor Risiko SM

1) Faktor yang tidak dapat dimodifikasi : (a) Faktor Usia

Kerentanan terhadap SM meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Penelitian yang dilakukan oleh Sihombing (2015) menyatakan risiko SM meningkat seiring dengan bertambahnya umur yaitu pada umur 35 - 44 tahun berisiko 1,84 kali, umur 45 -54 tahun berisiko 3,34 kali dan umur 55 - 65 tahun berisiko hampir empat kali dibanding dengan umur 25 - 34 tahun.

(b) Faktor Keturunan Dari Keluarga

Faktor genetik lebih dekat dengan adanya tiga faktor risiko utama SM yaitu : pertama, resistensi insulin yang ditandai dengan peningkatan gula darah, kedua hipertensi dan ketiga adanya kenaikan berat badan yang tidak terkontrol yang ditandai dengan obesitas sentral. Ketiga faktor tersebut sangat

dipengaruhi oleh adanya faktor genetik. Dalam penelitian Sterm dan Mitchell menyimpulkan bahwa bukti substansial adanya dasar genetik, insulin sangat dekat dengan kejadian SM walaupun gen yang terkait dengan insulin memiliki efek pleiotropic yang menjelaskan pengelompokan dengan kelainan misalnya hipertropi dan obesitas (Prabhakaran, Anand, 2004 dalam Ranti et al. 2013). Penelitaian studi case control yang dilakukan Sudaryanato (2014) menyatakan ada hubungan antara genetik terhadap kejadian diabetes melitus tipe II, p 0,00 ˂ α 0.05 dan didaptakan hasil OR= 25, dapat diinterpretasikan bahwa responden dengan riwayat keluarga diabetes melitus memiliki 25 kali lipat risiko terhadap kejadian diabetes melitus tipe II.

(c) Faktor Jenis kelamin

Pengaruh jenis kelamin terhadap prevalensi SM hampir sama antara laki-laki dan perempuan. Namun prevalensi untuk laki-laki lebih tinggi dibanding dengan perempuan. Hal tersebut disebabkan laki-laki mempunyai lingkar pinggang yang lebih besar dibanding perempuan. Lingkar pinggang lebih dari 90 cm pada laki-laki dan lebih dari 85 cm pada perempuan merupakan salah satu tanda adanya obesitas sentral. Analisis Data Riskesdas Indonesia Tahun 2007 memberikan kesimpulan, didaerah perkotaan Indonesia wanita lebih berpeluang mempunyai SM, hiperglikemia 2 jam PP, hipokolesterolemia HDL dibanding pria, sementara pria lebih berpeluang untuk menderita Hipertensi (Bantas, 2014).

2) Faktor Risiko Yang Dapat Diubah SM (a) Faktor Perokok

Rokok merupakan penyebab penyakit kardiovaskuler yang merupakan komplikasi SM. Kira-kira 20 persen dari semua kematian karena penyakit kardiovaskuler dan hampir 50

persen dari serangan jantung pada wanita berusia di bawah 55 tahun disebabkan karena merokok. Para perokok juga membuat mereka yang ikut menghirup asapnya berisiko mengalami masalah pada jantung. Penelitian menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak merokok yang tinggal dengan para perokok memiliki tambahan resiko serangan jantung.

Faktor risiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap per hari, dan bukan pada lama merokok. Seseorang yang merokok lebih dari satu pak sehari menjadi dua kali lebih rentan terhadap penyakit kardiovaskuler dari pada mereka yang tidak merokok. Yang diduga menjadi penyebab adalah pengaruh nikotin terhadap pelepasan katekolamin oleh sistem syaraf otonom. Merokok telah terbukti sebagai faktor risiko penting dari penyakit kardiovaskular. Rokok mengandung berbagai zat kimia termasuk nikotin dan karbon monoksida. Beberapa zat kimia tersebut merusak lapisan dalam dinding arteri sehingga kolesterol dapat masuk lewat dinding arteri dengan cepat. Merokok juga dapat menyebabkan pembekuan darah dalam arteri yang mengakibatkan serangan jantung. Selain itu, merokok meningkatkan kadar low density lipoprotein (LDL), menurunkan kadar high density lipoprotein (HDL), meningkatkan kekakuan arteri koroner. Nikotin mempercepat denyut jantung dan meningkatkan tekanan darah (Jafri, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research Program Prevalence Study menunjukkan bahwa mereka yang merokok 20 batang atau lebih perhari mangalami penurunan HDL sekitar 11 persen untuk laki-laki dan 14 persen untuk perempuan, dibanding dengan mereka yang tidak merokok (Sholeh, 2015).

(b) Obesitas

Obesitas adalah suatu keadaan ketidak seimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar dalam jangka waktu yang lama. Banyaknya konsumsi energi dari makanan yang dicernak melebihi energi yang digunakan untuk metabolisme dan aktivitas sehari-hari. Kelebihan energi ini akan disimpan dalam bentuk lemak dan jaringan lemak sehingga dapat berakibat terjadinya obesitas (Hermayudi, 2017). Penelitian dengan rancangan case control yang dilakukan oleh Wiardani (2011) hasil analisis statistik menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara status obesitas dengan kejadian SM. Sampel yang mengalami obesitas memiliki risiko 6.3 kali lebih besar terhadap kejadian SM dibanding dengan subyek yang tidak obesitas (OR = 6.32 ). Resistensi insulin mempunyai korelasi dengan timbunan lemak viseral yang dapat ditentukan dengan pengukuran lingkar pinggang (Shahab, 2017).Pengukuran lingkar pinggang merupakan prediktor yang lebih baik terhadap SM. Ketentuan dikatakan obesitas menurut WHO (1999) dalam Shahab (2017) adalah lingkar pinggang lebih dari 90 cm pada laki-laki dan lebih dari 85 cm pada perempuan. Hubungan antara resistensi insulin dan penyakit kardiovaskuler diduga dimediasi oleh terjadinya stres oksidatif yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskular dan pembentukan ateroma.

Hipotesis menyatakan bahwa terjadi perubahan hormonal yang mendasari terjadinya obesitas abdominal. Suatu studi membuktikan bahwa pada individu yang mengalami peningkatan kadar kortisol di dalam serum yang disebabkan oleh stres kronik mengalami obesitas abdominal, resistensi insulin, dan dislipidemia (Shahab, 2017).

(c) Asupan Gizi

Konsumsi tinggi karbohidrat lebih dari 60 persen dari total kalori yang dikonsumsi meningkatkan risiko SM. Konsumsi tinggi karbohidrat meningkatkan kadar trigliserida yang merupakan salah satu kriteria SM (Liu S. et al. 2001, dalam Sholeh, 2015). Hasil penelitian Ismaillzadeh (2006) dalam Sholeh (2015) di Teheran Iran dijelaskan bahwa konsumsi sayur yang tinggi dihubungkan dengan rendahnya risiko kejadian SM. Penelitian dengan metoda survey epidemiologi case control yang dilakukan oleh Sargono D. (2011), pada remaja di Kota Malang, menunjukkan bahwa komposisi diet yang mempunyai hubungan kausal dengan sindroma matabolik adalah berturut-turut : jumlah total kalori lemak dan karbohidrat (p = 0.0052 < α 0,05).

Penelitian yang dilakukan oleh Utami Y.M.(2014) tentang gambaran asupan gizi penderita SM, menggambarkan jumlah asupan energi berlebihan sebagai pemicu terjadinya SM. Semakin banyak asupan makanan, maka kejadian SM semakin meningkat. Indikator komposisi asupan makanan yang mempunyai nilai tertinggi adalah kalori total. Konsumsi makanan tinggi kalori akan meningkatkan massa lemak di daerah abdomen pada individu yang rentan yang mengakibatkan terjadinya obesitas sentral.

Disamping itu tingginya asupan karbohidrat yang berlebih akan mengakibatkan hipergligemia yang dapat meningkatkan stres osidatif yang memicu terjadinya kerusakan endotel berdampak pada penyakit vaskuler.

Kelebihan asupan karbohidrat juga akan disimpan dalam bentuk jaringan adiposa yang menyebabkan obesitas.

Makanan tinggi lemak tidak memberikan rasa kenyang, hanya memberikan rasa gurih, agar terasa kenyang maka

volume makan diperbanyak. Kecenderungan perilaku makan yang tinggi lemak akan menjadi ketidak seimbangan lemak.

Kelebihan lemak akan disimpan dalam jaringan adiposa yang menyebabkan obesitas (Martina et al. 2012). Asupan lemak jenuh seperti daging, telur dan santan dalam jumlah banyak akan meningkatkan kolesterol total darah yang berarti juga meningkatkan kejadian aterosklerosis dan selanjutnya meningkatkan risiko penyakit arteri (Tuminah S, 2009).

(d) Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh, yang menggerakkan otot-otot skeletal yang mengakibatkan pengeluaran energi. Akitivitas fisik yang tidak ada (kurang aktivitas fisik) merupakan faktor risiko independen untuk menyakit kronis dan secara keseluruhan menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010). Otot skeletal merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap insulin di dalam tubuh, dan merupakan target utama tejadinya resitensi insulin. Retensi insulin merupakan awal dari terjadinya SM.

Penelitian yang dilakukan oleh Sharma dan Mahna di India (2012) menunjukkan bahwa tidak aktivitasnya fisik meningkatkan risiko kegemukan pada perut sebanyak 1.80 kali pada perempuan dan 1.17 kali pada laki-laki dibanding mereka yang melakukan aktivitas fisik secara teratur.

Penelitian yang dilakukan oleh Barnes (2012) menunjukkan bahwa perempuan yang duduk menonton televisi selama lebih dari 40 jam seminggu, memiliki 94 persen peningkatan risiko obesitas dan 70 persen peningkatan risiko terkena diabetes militus. Aktifitas fisik yang dilakukan secara rutin akan memperbaiki komposisi tubuh melalui penurun lemak abdominal adiposit dan perbaikan terhadap control berat badan. Selain itu dapat meningkatkan profil lipoprotein

melalui penurunan level trigliserida, peningkatan kolesterol HDL (kolesterol baik), menurunkan LDL serta menurunkan rasio LDL terhadap HDL. Aktifitas fisik juga memperbaiki homeostasis glukosa dan sensitifitas insulin, menurunkan tekanan darah dan inflamasi sistemik, menurunkan pembekuan darah, memperbaiki aliran darah jantung, memperbaiki fungsi jantung serta endothelial function.

3) Penatalaksanaan

Saat ini belum ada studi acak terkontrol yang khusus tentang penatalaksanaan SM. Penatalaksanaan terhadap komponen-komponen SM dapat mencegah atau memperlambat onset diabetes milletus, hipertensi dan penyakit kardiovaskuler.

Mengubah kebiasaan makan dan latihan fisik merupakan penatalaksanaan utama yang harus dilakukan (Shahab, 2017).

Berikut merupakan penatalaksaaan SM : (1) Latihan Fisik

Otot rangka merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap insulin di dalam tubuh dan merupakan target utama terjadiya resistensi insulin. Latihan fisik terbukti dapat menurunkan kadar lipid dan resistensi insulin di dalam otot rangka. Pegaruh latihan fisik terhadap sensitivitas insulin terjadi dalam 24 sampai 48 jam dan akan hilang dalam waktu 3 sampai 4 hari. Manfaat paling besar dapat diperoleh apabila pasien menjalankan latihan fisik sedang secara teratur dalam jangka panjang. Kombinasi latihan fisik aerobik dan latihan fisik menggunakan beban merupakan pilihan terbaik (Shahab, 2017).

(2) Diet

Sasaran utama dari diet terhadap SM adalah menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler dan diabetes melitus.

Bukti-bukti dari suatu studi besar menunjukkan bahwa diet

rendah sodium dapat membantu menurunkan tekanan darah.

Hasil studi klinis diet rendah lemak selama 2 tahun menunjukkan penurunan signifikan dari kejadian komplikasi kardiovaskuler. Untuk menurunkan hipertrigliseridemia atau meningkatkan kadar HDL kolesterol dilakukan diet rendah lemak jenuh dan rendah karbohidrat (Shahab, 2017).

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 30-39)

Dokumen terkait