• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Teori Perubahan Sosial

Seiring dengan adanya globalisasi telah terjadi perubahan proses tata sosial dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial.

Perubahan sosial merupakan gejala yang selalu dialami setiap masyarakat.

Dinamika perubahan sosial yang terjadi meliputi perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas, perubahan tersebut dapat menyangkut struktur sosial atau pola nilai dan norma, serta peran. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pada dasarnya merupakan suatu proses yang terus menerus, ini berarti bahwa setiap masyarakat pada kenyataannya akan mengalami perubahan-perubahan. Dengan demikian perubahan sosial merupakan gejala yang melekat disetiap masyarakat.

Menurut Moore yang dikutip oleh Setiadi (2010), menyatakan bahwa

“Perubahan sosial sebagai perubahan struktur sosial, pola perilaku dan interaksi sosial.” Setiap perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat atau perubahan dalam organisasi sosial disebut perubahan sosial.

Perubahan sosial terjadi sebagai akibat adanya dinamika anggota masyarakat, dan yang telah didukung oleh sebagian besar anggota masyarakat, merupakan tuntutan kehidupan dalam mencari keseimbangan sosial.

Adanya hubungan timbal balik (interrelasi) dan interaksi sosial masyarakat mendorong perkembangan berfikir dan reaksi emosional para anggotanya yang mendorong terjadinya perubahan sosial. Perubahan sosial disebabkan adanya faktor intern dan faktor ekstern (Soekanto, 1983, dalam Setiadi, 2010). Faktor intern mencakup (1) adanya bertambahan dan berkurangnya penduduk, hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan strukur sosial (2) adanya penemuan-penemuan baru, seperti penemuan

31

(2)

unsur budaya baru (discovery), pengembangan unsur budaya baru (invention), proses pembaruan (inovasi). (3) adanya konflik dalam masyarakat baik konflik individu maupun konflik antar kelompok. (4) adanya pemberontakan dalam tubuh masyarakat. Lebih lanjut Burlian (2016) menyebutkan dampak perubahan sosial antara lain (1) integrasi sosial, yang merupakan penyesuaian unsur unsur masyarakat yang berbeda kemudian saling menyesuaikan diri. (2) disintegrasi sering diartikan sebagai proses terpecahnya suatu kesatuan menjadi bagian-bagian kecil yang terpisah satu sama lainnya. Menurut Burlian (2016) perubahan sosial dapat dikelompokkan menurut teori klasik dan teori modern. Perubahan sosial menurut pemikiran para tokoh teori klasik terdiri dari (1) pola linier yang dimulai dari tahap teologis, tahap metafisik dan tahap ilmu pengetahuan. (2) pola siklus, yang dimaksud adalah masyarakat berkembang laksana sebuah roda, dan (3) pola gabungan, yang merupakan penggabungan dari pola linier dan pola siklus.

Pendapat Davis (1937) perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Argumentasinya, timbulnya pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalis menyebabkan perubahan dalam hubungan-hubungan antara buruh dengan majikan, dan seterusnya menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi politik dan ekonomi. Sumarjan dan Breazeale (1981) berpendapat bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada Lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang memengaruhi sistim sosialnya, termasuk di dalamnya nilai -nilai, sikap, dan pola perilaku diantaranya kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Sedangkan menurut Sulaeman (2016) perubahan sosial dapat direncanakan dan tidak direncanakan. Perubahan sosial yang direncanakan adalah perubahan-perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Perubahan yang demikain itu dilakukan melalui pembangunan. Emile Durkheim, (1964 dalam Theresa et al. 2015)

(3)

menyatakan bahwa pembangunan terjadi sebagai akibat adanya perubahan stuktur sosial dalam bentuk pembagian kerja. Selanjutnya Mardikanto, (2009 dalam Theresa et al. 2015) mengemukakan bahwa ̋ Pembangunan adalah upaya yang dilakukan secara sadar dan terencanakan, dilaksanakan terus-menerus oleh pemerintah bersama-sama segenap warga masyarakat atau dilaksanakan oleh masyarakat dengan difasilitasi oleh pemerintah, dengan menggunakan teknologi yang terpilih, untuk memenuhi segala kebutuhan atau memecahkan masalah-masalah yang sedang dan akan dihadapi, demi tercapainya mutu hidup atau kesejahteraan seluruh warga masyarakat dari suatu bangsa yang merencanakan dan melaksanakan pembangunan tersebut ̏. Korten (1984 dalam Theresia et al. 2015) memunculkan teori pembanguan yang berpusat pada rakyat. Teori ini menyatakan bahwa pembangunan harus berorientasi pada peningkatan hidup manusia, bukan pada pertumbuhan ekonomi melalui pasar maupun memperkuat negara.

Lebih lanjut Moeljarto Tjokrowioto dalam Theresia et al. (2015) memberikan diskripsi ciri-ciri pembangunan yang berpusat pada masyarakat sebagai berikut. (1) Prakarsa dan pengambilan keputusan harus diletakkan pada masyarakat sendiri. (2) Fokus utamanya adalah meningkatkan kemampuan masyarakat. (3) Mentoleransi variasi lokal. (4) Menekankan pada proses Social Learning. (5) Proses pembentukan jejaring. Model pendekatan pembangunan yang berpusat pada rakyat menurut Korten dan Carner (Hikmat, 2004 dalam Sulaeman 2016) adalah bahwa inisiatif kreatif rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang paling utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan.

2. Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Perubahan Sosial

Pembangunan yang berpusat pada masyarakat tidak akan berhasil apabila masyarakat sebagai subyek dan sekaligus obyek belum mempunyai kemampuan untuk membangun. Diperlukan strategi yang jitu untuk

(4)

memampukan masyarakat yaitu dengan pemberdayaan masyarakat. Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat (Theresia, et el. 2015). Pemberdayaan masyarakat bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan masyarakat mereka dan saling ketergantungan antara anggota masyarakat. Pemberdayaan masyarakat sebagai proses adalah bekerjanya orang-orang karena mereka menentukan tujuan mereka sendiri, mengidentifikasi, memobilisasi sumber daya, dan mengembangkan rencana aksi untuk mengatasi masalah mereka secara kolektif.

Pemberdayaan dapat dilihat sebagai proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk kelompok miskin. Sebagai tujuan pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat menjadi berdaya, mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup, memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan dan mandiri dalam melaksanakan kehidupan.

Berdasarkan beberapa hal di atas dapat dimaknai bahwa setelah munculnya kesadaran atas potensi dan kemampuan untuk meningkatkan derajat maka timbulah semangat untuk melakukan perubahan, mengingat perubahan ini adalah sebuah proses sekaligus sebuah tujuan.

Pemberdayaan masyarakat sebagai proses diarahkan oleh anggota masyarakat, sedangkan organisasi masyarakat prosesnya lebih diarahkan oleh petugas. Sanders (1958), mengemukakan, bahwa pemberdayaan masyarakat dapat dilihat sebagai suatu proses, metode, program dan gerakan. Pemberdayaan masyarakat sebagai proses diarahkan oleh anggota masyarakat, sedangkan organisasi masyarakat prosesnya lebih diarahkan

(5)

oleh petugas. Menurut Ife (2014) Pemberdayaan tidak bisa tidak adalah tentang kekuasaan yang berarti individu atau kelompok memiliki atau mengunakan kesempatan untuk meraih kekuasaan ke dalam tangan mereka, mendistribusikan kekuasaan dari kaum berpunya kepada kaum tidak berpunya dan seterusnya. Kekuasaan senantiasa hadir dalam setiap hubungan sosial, kekuasaan tercipta dalam relasi sosial.

3. Promosi Kesehatan Dan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan

Keadilan kesehatan membutuhkan pemberdayaan, terutama kelompok yang kurang beruntung secara sosial, untuk meningkatkan kendali kolektif atas determinan kesehatan (Braveman P dan Gruskin S, 2003 dalam Sulaeman 2020). Salah satu kunci dalam mewujudkan visi keadilan kesehatan adalah promosi kesehatan dan pemberdayaan (Sulaeman, 2020).

Istilah promosi kesehatan (health promotion) pertama kali digunakan pada tahun 1974 oleh menteri kesehatan dan kesejahteraan nasional Kanada Mrc Lalonde (Lalonde M, 1974, dalam Sulaeman, 2020). Ia berpendapat bahwa penyebab utama penyakit dan kematian tidak terletak pada karakteristik biologis tetapi pada lingkungan, perilaku dan gaya hidup individu.

Promosi kesehatan bergerak bukan hanya dalam proses penyadaran masyarakat atau pemberian dan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan semata, tetapi juga di dalamnya terdapat usaha untuk memfasilitasi perubahan perilaku (Sulaeman, 2020). Promosi kesehatan adalah proses memampukan orang untuk meningkatkan kendali atas determinan kesehatan dan dengan demikian dapat meningkatkan kesehatan. Pemberdayaan sebagai suatu proses dimana orang memperoleh kendali lebih besar atas keputusan dan tindakan yang mempengaruhi kesehatan.

Istilah promosi kesehatan sering digunakan pada dekade terakhir ini.

Seringkali promosi kesehatan dikaitkan dengan pendidikan kesehatan

(6)

(Tones K, 2002 dalam Sulaeman, 2020). Secara historis terjadi pergeseran makna dari pendidikan kesehatan ke promosi kesehatan. Menurut bahasa, promosi dapat diartikan sebagi kenaikan, kemajuan atau peningkatan.

Dengan demikian promosi kesehatan sebagai upaya peningkatan derajat Kesehatan diwujudkan melalui upaya memperkenalkan, menyebarluaskan, memasarkan, dan menjual informasi, pesan-pesan kesehatan, dan program kesehatan sehingga masyarakat menerima dan melaksanakan pesan-pesan kesehatan. Promosi kesehatan merupakan suatu kesatuan dari upaya kesehatan paripurna (medical comprehensive) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Upaya promotif ditujukan kepada sasaran kelompok orang sehat dan upaya preventif serta kuratif ditujukan kepada kelompok orang yang risiko tinggi terhadap penyakit dan kelompok yang sakit (Sulaeman, 2020).

Promosi kesehatan adalah kombinasi dari pendidikan kesehatan dan faktor lingkungan yang mendukung terciptanya perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan. Promosi kesehatan sesuai Piagam Ottawa adalah proses yang memungkinkan individu dan masyarakat untuk meningkatkan kontrol atas factor-faktor penentu kesehatan dan dengan demikian meningkatkan kesehatan mereka (WHO,1986, Sulaeman, 2014).

Promosi kesehatan yang didefinisikan oleh WHO Regional Office for Europe (1985) dalam Sulaeman, (2014) adalah proses yang memungkinkan seseorang untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan.

Definisi tersebut mengandung arti sebagai suatu proses dan juga sebagai suatu tujuan dengan basis filosofi mengenai pemberdayaan diri sendiri.

Dengan demikian metode meningkatkan kesehatan masyarakat adalah melalui pemberdayaan baik individu, kelompok organisasi, maupun masyarakat, sehingga warga masyarakat mempunyai kendali yang lebih besar atas aspek-aspek kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan kesehatan (Sulaeman,2014).

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1114/MENKES/SK/VII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah, promosi

(7)

kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong diri sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.

Promosi kesehatan adalah ilmu dan seni membantu masyarakat menjadikan gaya hidup mereka sehat optimal. Kesehatan yang optimal didefinisikan sebagai keseimbangan kesehatan fisik, emosi, sosial, spiritual, dan intelektual. Ini bukan sekadar pengubahan gaya hidup saja, namun berkaitan dengan pengubahan lingkungan yang diharapkan dapat lebih mendukung dalam membuat keputusan yang sehat. Pengubahan gaya hidup dapat difasilitasi melalui penggabungan: menciptakan lingkungan yang mendukung, mengubah perilaku dan meningkatkan kesadaran.

Promosi kesehatan adalah kombinasi berbagai dukungan menyangkut pendidikan, organisasi, kebijakan dan peraturan perundang undangan untuk perubahan lingkungan dalam perilaku yang menguntungkan (Green dan Ottoson,1998 dalam Syafrudin, 2013).

Dalam Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan dijelaskan bahwa Promosi Kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui proses pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Pusat Promosi Kesehatan Depkes RI, 2008).

Selanjutnya pusat promosi kesehatan, kemenkes menyebutkan promosi kesehatan adalah proses pemberdayaan masyarakat agar mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Proses pemberdayaan tersebut dilakukan dengan pembelajaran, yaitu upaya untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam bidang kesehatan. Proses pembelajaran tersebut juga dibarengi dengan upaya memengaruhi

(8)

lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan non fisik, termasuk kebijakan dan peraturan perundangan.

Promosi kesehatan pada dasarnya berkaitan dengan tindakan dan advokasi untuk mengatasi berbagai macam faktor penentu yang berpotensi dimodifikasi dalam kesehatan, tidak hanya yang berkaitan dengan tindakan individu, seperti perilaku Kesehatan dan status sosial, tetapi juga faktor-faktor seperti pendapatan dan status sosial, pendidikan, pekerjaan dan kondisi kerja, akses terhadap layanan kesehatan yang sesuai, dan lingkungan fisik (Sulaeman, 2016). Selanjutnya Sulaeman (2014) menjelaskan ruang lingkup promosi kesehatan adalah (1) Pendidikan kesehatan, (2) Pemasaran sosial, (3) Penyuluhan kesehatan, (4) Upaya promotif, (5) Upaya advokasi dibidang kesehatan, (6) Pengorganisasian masyarakat.

Akhir-akhir ini World Health Organization (WHO) terkait promosi kesehatan menggunakan istilah ̋ Kesehatan di Semua Kebijakan ̏ (Health in All Policies) untuk merujuk kepada tindakan-tindakan yang memasukkan kesehatan di semua kebijakan publik (WHO, 2009, Murti, 2018). Promosi kesehatan sejajar dengan keadilan kesehatan dan dapat menjadi fokus NGO (Non Guvement Organization) yang begerak di bidang keadilan sosial dan hak azasi manusia. Promosi kesehatan lebih memusatkan perhatian kepada pelayanan kesehatan preventif daripada model kedokteran kuratif.

WHO, (2009) dalam Murti, (2018) menyebutkan tiga elemen kunci promosi kesehatan adalah sebagai berikut : (1) Pemerintahan yang baik.

Promosi kesehatan memerlukan pembuat kebijakan di semua departemen pemerintah untuk menempatkan kesehatan sebagai titik sentral kebijakan pemerintah. (2) Literasi kesehatan. Masyarakat perlu memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan informasi untuk membuat pilihan-pilihan yang sehat. Masyarakat perlu memiliki kesempatan untuk membuat pilihan-pilihan, misalnya tentang memilih makanan yang dikonsumsi, memilih penggunaan layanan kesehatan yang dibutuhkan. (3) Kota sehat.

(9)

Kota memiliki peran penting untuk mempromosikan kesehatan.

Kepemimpinan dan komitmen yang kuat di level kota penting bagi perencanaan kota sehat, dan untuk membangun. Langkah-langkah pencegahan di komunitas dan fasilitas pelayanan kesehatan primer:

a. Strategi promosi kesehatan

Untuk dapat mewujudkan promosi kesehatan, diperlukan suatu strategi atau cara yang digunakan dalam mencapai tujuan promosi kesehatan. Strategi global yang diperkenalkan oleh WHO pada tahun 1984 ada tiga cara yang digunakan (Mubarak et al, 2007) yaitu:

(1) Advokasi (Advocacy). Dalam memberikan batuan kepada masyarakat, maka kegiatan ditujukan kepada pembuat keputusan (decision makers) dan penentu kebijakan (policy makers) dalam bidang kesehatan, maupun sektor lain diluar kesehatan namun mempunyai pengaruh terhadap kesehatan. Bentuk advokasinya berupa lobbying, penyajian isu-isu masalah kesehatan. (2) Dukungan sosial (Social Support). Promosi kesehatan akan mudah dilakukan jika

mendapat dukungan dari berbagai elemen yang ada di masyarakat.

(3) Pemberdayaan masyarakat (Empowerment Community).

Pemberdayaan masyarakat dibutuhkan untuk memberikan daya kepada masyarakat agar dapat melakukan kontrol atas permasalahan mereka sendiri.

b. Tujuan promosi kesehatan

Tujuan promosi kesehatan adalah tersosialisasinya program- program kesehatan, terwujudnya masyarakat yang berbudaya hidup bersih dan sehat, serta terwujudnya gerakan hidup sehat di masyarakat untuk menuju terwujudnya kabupaten/kota sehat, propinsi sehat dan Indonesia sehat (Syafrudin, 2013). Pada prinsipnya promosi kesehatan mengajak masyarakat untuk merubah perilaku yang kurang sehat menjadi perilaku sehat.

(10)

c. Sasaran promosi kesehatan

Menurut Sulaeman (2014) sasaran promosi kesehatan ke dalam tiga kelompok sasaran, yaitu :

1) Sasaran primer yaitu (1) individu yang terkena masalah, (2) individu yang diharapkan akan berperilaku seperti yang diharapkan, (3) individu yang akan memperoleh manfaat paling besar dari hasil perubahan perilaku.

2) Sasaran sekunder yaitu individu atau kelompok individu yang berpengaruh atau disegani oleh sasaran primer, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, serta orang-orang yang memilki kaitan serta berpengaruh penting dalam kegiatan promosi kesehatan yang diharapkan dapat memberikan promosi kesehatan kepada masyakat sekitarnya.

3) Sasaran tersier yaitu para pembuat keputusan (decission marker) atau para penentu kebijakan (policy marker) agar kebijakan yang dibuat dapat memberikan dampak positif terhadap sasaran primer maupun sekunder.

Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan semakin diakui sebagai proses dimana tenaga kesehatan mampu bekerja dengan masyarakat.

WHO mendifinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai suatu proses membuat orang mampu meningkatkan kontrol lebih besar atas keputusan dan tindakan yang memengaruhi kesehatan mereka, dengan tujuan untuk memobilisasi individu dan kelompok rentan dengan memperkuat ketrampilan dasar hidup mereka dan meningkatkan pengaruh mereka pada hal-hal yag mendasari kondisi sosial dan ekonomi (Nutbeam, 1998 dalam Sulaeman, 2016). Menurut Emphatie Consursium (2018) Pasien yang diberdayakan didefinisikan sebagai memiliki kontrol atas pengelolaan kondisi mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan kapasitas untuk berpartisipasi dalam keputusan yang berkaitan dengan kondisi mereka sejauh yang mereka inginkan; untuk menjadi "pengelola

(11)

bersama" dari kondisi mereka dalam kemitraan dengan profesional Kesehatan, dan untuk mengembangkan kepercayaan diri, harga diri dan keterampilan mengatasi untuk mengelola dampak penyakit mereka pada kehidupan sehari-hari. Cara pandang pemberdayaan masyarakat menurut Eko, (2002), dalam Sulaeman, (2016). Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi masyarakat. Dalam arti terbukanya ruang lingkup dan kapasitas, mengembangkan potensi kreasi, mengontrol lingkungan dan sumber dayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menetukan proses politik di ranah negara. Kedua, pemberdayaan secara prinsipil berurusan dengan upaya memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemberdayaan adalah sebuah upaya memenuhi kebutuhan masyarakat di tengah - tengah kelangkaan dan keterbatasan sumber daya. Ketiga, pemberdayaan dimulai dari proses sampai visi ideal.

Dari sisi proses, masyarakat sebagai subyek melakukan tindakan atau gerakan secara kolektif mengembangkan potensi-kreasi, membuat posisi tawar, dan meraih kedaulatan. Dari sisi visi ideal, proses tersebut hendaknya mencapai suatu kondisi dimana masyarakat mempunyai kemampuan dan kemandirian melakukan pilihan, akses dan control terhadap lingkungan, komunitas, sumber daya, dan relasi sosial politik dengan negara. Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan sebagai salah satu subsistem dalam Sistem Kesehatan Nasional merupakan bentuk dan cara penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan, baik perorangan, kelompok, maupun masyarakat secara terencana, terpadu dan berkesinambungan guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi - tingginya.

Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan primer dan pengembangan masyarakat penggunaan pendekatan aspek-aspek partisipasi sangat diperlukan. Partisipasi yang diharapkan disini haruslah partisipasi sejati bukan manipulasi. Kontrol atas pengambilan keputusan oleh anggota masyarakat didorong dan didukung oleh tenaga kesehatan dengan filosofi

(12)

pengembangan masyarakat. Pengambilan keputusan dibagi antara petugas kesehatan, atau bahkan mungkin sepenuhnya diserahkan kepada anggota masyarakat. Dengan berpartisipasi, masyarakat akan memperoleh ketrampilan dalam hal-hal seperti negoisasi, membuat proposal, cara berorganisasi, ketrampilan memanfaatkan media komunikasi. Ketrampilan mengadakan jejaring dan ketrampilan bernegoisasi sangat berharga, dan kadang-kadang lebih berharga dibanding kegiatan kelompok. Masyarakat dilibatkan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, ikut mengontrol dalam kegiatan proyek untuk perubahan. Kelompok masyarakat mengambil tanggung jawab untuk meningkatkan dan melindungi budaya lokal.

Pemberdayaan mempunyai arti yang berbeda untuk orang, negara dan budaya, namun konsep pemberdayaan memiliki kesamaan karakteristik, yaitu (1) berlaku untuk individu, kelompok dan komunitas;

(2) mengkaji masalah kekuasaan dan kendali atas sumber daya dan arah kehidupan; (3) mengembangkan kapasitas dan kepercayaan diri individu dan komunitas; (4) mengembangkan partisipasi aktif (Albertyn R, 2001;

Word Bank, 2002; Sulaeman, 2020). Prinsip pemberdayaan adalah memfasilitasi komunitas lokal untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan sosial bekerja sama antar departemen untuk memecahkan masalah lokal.

Visi promosi kesehatan dan pemberdayaan adalah terkenalinya determinan kesehatan, terwujudnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada lima tatanan yaitu rumah tangga, sarana kesehatan, sekolah dan kampus, tempat kerja, dan tempat-tempat umum, serta kemandirian Upaya Kesehatan Bersumber daya Masyarakat (UKBM). Stategi promosi kesehatan dan pemberdayaan dilakukan melalui advokasi, memampukan, dan menjembatani ; dilakukan melalui pemberdayaan, bina suasana, advokasi, dan kemitraan; melalui lima aksi yaitu : membangun kebijakan publik yang sehat, menciptakan lingkungan yang mendukung bagi kesehatan, memperkuat gerakan masyarakat, mengembangkan

(13)

kemampuan perorangan, menata kembali pelayanan kesehatan ke arah promosi dan pencegahan kesehatan (WHO, 1986, Sulaeman, 2020).

Proses promosi kesehatan dan pemberdayaan dilakukan pada individu, kelompok, dan komunitas. Pada individu dilakukan melalui konseling dan pendidikan untuk perubahan perilaku ; pada kelompok dilakukan melalui perubahan ekonomi dan legislasi ; dan pada komunitas dilakukan melalui perubahan kebijakan atau organisasi untuk perubahan sosial, ekonomi dan lingkungan (Naibon J dan Wills J, 1994; Sulaeman, 2020). Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat merupakan jantung dari promosi kesehatan. Partisipasi masyarakat yaitu proses memampukan orang untuk menjadi aktif dan turut serta dalam mendifinisikan masalah, membuat keputusan tentang determinan kesehatan, merumuskan, merencanakan, dan mengimplementasikan kebijakan, mengembangkan dan memberikan layanan serta mengambil tindakan untuk perubahan.

Partisipasi masyarakat didorong oleh komitmen ideologis dan politik dari pemerintah, dibingkai hak asasi manusia, diikat oleh strategi pragmatis untuk memanfaatkan layanan, dan jalur untuk pemberdayaan. Pendekatan partisipatif dapat membangun rasa kepemilikan masalah kesehatan serta mendorong masyarakat untuk berkontribusi pada pembangunan kesehatan.

4. Rujukan Teori Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Pada Perilaku Pencegahan Faktor Risiko SM.

Model adalah konstruksi kerangka teoritis yang menggambarkan hubungan antar variabel yang komplek dengan lebih sederhana agar lebih mudah dipahami dari suatu masalah yang mewakili sejumlah obyek atau aktivitas keseluruhan (Sulaeman, 2016). Model perubahan perilaku kesehatan memperlihatkan interaksi diantara faktor yang berhubungan dengan hasil yang dihubungkan dengan proses perubahan perilaku kesehatan (Sulaeman, 2016). Tujuan pemodelan perilaku kesehatan adalah : (1) memudahkan pemahaman kompleksitas dan kerumitan teori.

(14)

(2) memberikan gambaran yang sederhana untuk menjelaskan teori.

(3) membantu merumuskan suatu teori dan menjelaskan hubungan antar unsur-unsurnya. (4) menafsirkan secara abstrak ciri penting teori, unsur, dan sifat sehingga dapat diadaptasi dengan fenomena ataupun realita (Sulaeman, 2016).

Model promosi kesehatan dalam penelitian ini adalah kerangka teoritis yang menggambarkan pengaruh persepsi kerentanan, persepsi keseriusan penyakit, persepsi manfaat, persepsi hambatan, isyarat untuk bertindak, efikasi diri, dukungan dari pemerintah, dukungan teman sebaya, modal sosial, imitasi, colective efficacy, outcome expectation terhadap perilaku pencegahan faktor risiko SM yang dapat diubah untuk membantu masyarakat menjadikan gaya hidup mereka sehat optimal yang merupakan penggabungan teori Health Belief Model oleh Rosenstock, Social Cognitive Theory oleh Albert Bandura dan Social Support.

Berikut adalah beberapa model yang digunakan dalam penelitian ini.

1) Health Belief Model

Health Belief Model merupakan sebuah model psikologi yang dapat digunakan untuk memprediksi sebab munculnya perilaku sehat.

Health Belief Model ini dapat diadopsi untuk mengeksplorasi berbagai perilaku kesehatan jangka panjang dan jangka pendek termasuk perilaku pencegahan faktor risiko SM. Teori health belief model merupakan teori perubahan perilaku kesehatan dan model psikologis yang digunakan untuk memprediksi perilaku kesehatan dengan berfokus pada persepsi dan kepercayaan individu terhadap suatu penyakit. Health Belief Model dikembangkan oleh Hockbaum et al, (1958) dan Rosenstock (1966), kemudian dimodifikasi oleh Becker (1984) dalam Sulaiman (2016) yaitu model yang menjelaskan adanya pengetahuan seseorang terhadap ancaman kesehatan dan pemahaman terhadap perilaku yang disarankan untuk mencegah atau mengatasi masalah kesehatan didasarkan pada penilaian feasibilitas dan

(15)

keuntungan dibandingkan dengan biaya. Menurut Prasetya (2017) health belief model ini merupakan model kognisi yang artinya perilaku individu dipengaruhi proses kognisi dalam dirinya. Proses kognisi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penelitian sebelumnya yaitu variabel demografi, karakteristik sosiopsikologi dan varibel struktural. Variabel demografi meliputi kelas, usia, jenis kelamin. Karakteristik sosiopsikologi meliputi, kepribadian, teman sebaya, dan tekanan kelompok. Variabel strukural yaitu pengetahuan dan pengalaman tentang masalah.

Menurut Murti (2018), Health Belief Model dibuat berdasarkan asumsi bahwa individu akan melakukan perilaku kesehatan jika individu tersebut : (1) merasa bahwa keadaan kesehatan yang buruk (yaitu komplikasi SM) dapat dicegah. (2) memiliki ekspektasi yang positif, bahwa dengan melakukan perilaku yag disarankan dia akan terhindar dari keadaan kesehatan yang lebih buruk (yaitu melakukan aktivitas fisik yang baik, tidak merokok, tidak mengkonsumsi makanan yang berisiko). (3) memiliki keyakinan bahwa dia dapat melakukan perilaku yang disarankan dengan berhasil ( yaitu individu melakukan aktifitas fisik yang baik, berhenti merokok, mengatur asupan makan).

Teori health belief model didasarkan atas 3 faktor esensial yaitu (Sulaiman, 2014) : (1) kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan. (2) adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku. (3) perilaku itu sendiri. Teori health belief model didasarkan pada pemahaman bahwa seseorang akan mengambil tindakan yang akan berhubungan dengan kesehatan berdasarkan persepsi dan kepercayaan individu tanpa memandang apakah persepsi dan kepercayaannya tersebut sesuai atau tidak dengan realitas yang ada. Teori ini dituangkan dalam lima segi pemikiran

(16)

dalam diri individu, yang mempengaruhi upaya yang ada dalam diri individu untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya, yaitu :

(a) Perceived susceptibility (kerentanan yang dirasakan atau diketahui).

Persepsi kerentanan adalah keyakinan seseorang tentang risikonya untuk mengalami penyakit atau masalah kesehatan (Murti, 2018). Risiko pribadi atau kerentanan adalah salah satu persepsi yang lebih kuat dalam mendorong individu untuk mengadopsi perilaku sehat. Memiliki penilaian akan kerentanan tubuh terhadap penyakit membuat seseorang akan lebih berhati- hati dalam membentuk pola hidupnya. Semakin besar risiko yang dirasakan atau semakin rentan yang dirasakan, maka semakin besar kemungkinan individu terlibat dalam perilaku untuk mengurangi risiko. Contoh individu (pasien) percaya bahwa merokok dalam jangka waktu lama dan dalam jumlah banyak (lebih 15 batang/hari), kurang aktivitas dan makan lemak berlebihan menyebabkan terjadinya SM. Maka seseorang tersebut akan berperilaku sehat mengurangi faktor risiko terjadi SM dengan jalan tidak merokok, aktif beraktifitas, dan mengubah pola makan.

(b) Perceived seriousility (bahaya/kesakitan yang dirasakan)

Persepsi bahaya/kesakitan berkaitan dengan keyakinan atau kepercayaan individu tentang keseriusan atau keparahan penyakit.

Persepsi ini merupakan penilaian subyektif individu tentang seberapa parah individu tersebut merasakan sakit, dan akibat dari penyakit tersebut apabila tidak dicegah atau diobati. Persepsi ini didasarkan pada informasi medis atau pemberian informasi dari provider, sehingga individu punya keyakinan bahwa ia akan mendapat kesulitan karena penyakit tersebut yang dapat berakibat hidupnya akan semakin susah, misalnya apakah penyakit tersebut mengancam jiwa, menyebabkan kecacatan, rasa nyerinya akan

(17)

bertambah hebat, maupun dampak sosial misalnya, tidak bisa bekerja, timbulnya stikma sosial, hubungan sosial, oleh karena itu maka individu akan berusaha mengindari dampak tersebut dengan merubah perilakunya dari perilaku kurang sehat menjadi perilaku sehat. Contoh individu tersebut percaya bahwa orang yang menderita SM penyakitnya akan bertambah parah bila ia merokok, kurang aktivitas dan pola makan yang berlebihan, oleh sebab itu maka ia harus menghindarinya.

(c) Perceived benefit of action (manfaat yang dirasakan dari tindakan yang diambil)

Perceived benefit berkaitan dengan manfaat yang akan dirasakan jika mengadopsi perilaku yang dianjurkan. Persepsi manfaat merujuk kepada penilaian seseorang tentang nilai atau efikasi dari melakukan perilaku sehat untuk menurunkan risiko mengalami penyakit (Murti, 2018). Jika individu mempunyai persepsi positif tentang nilai atau kegunaan dari suatu perilaku baru dalam mengurangi risiko terkena penyakit, maka individu tersebut akan mengadopsi perilaku baru tersebut. Individu mempunyai keyakinan terhadap perilaku yang dianjurkan tersebut bermanfaat yaitu merubah perilaku buruk menuju perilaku sehat.

Contoh individu (pasien) akan berhenti merokok, akan beraktivitas secara teratur dan akan mengatur pola makannya, karena kesemuanya itu bermanfaat terhadap kesembuhan penyakitnya.

(d) Perceived barrier (hambatan yang dirasakan).

Persepsi hambatan merujuk kepada penilaian subyektif yang meliputi persepsi tentang hambatan-hambatan untuk melakukan perubaan perilaku (Murti, 2018). Hambatan yang dirasakan adalah hambatan yang ada dalam diri seseorang untuk berperilaku sehat. Apabila individu mempunyai persepsi bahwa untuk melakukan perilaku baru hambatannya sangat tinggi, maka

(18)

individu tersebut akan enggan melakukannya, namun apabila indvidu tersebut mempunyai persepsi bahwa hambatan rendah, maka individu tersebut akan bersedia untuk melakukan perilaku baru tersebut.

Perubahan perilaku tidak semudah seperti membalik telapak tangan, dalam kenyataannya ada saja hambatan yang dirasakan untuk melakukan perubahan. Individu harus percaya bahwa mengadopsi perilaku baru manfaatnya lebih besar bila dibandingkan dengan melanjutkan perilaku lama. Contoh individu yang sudah terbiasa merokok bila dianjurkan untuk berhenti merokok akan terasa susah merasa tidak bisa berpikir, individu yang terbiasa bermalas malasan kurang beraktivitas akan terasa berat bila dianjurkan untuk aktif beraktivitas, karena sudah terbiasa merasa nyaman, individu yang terbiasa berpola makan nasi porsi besar, lemak tinggi, dan gula akan sulit dianjurkan untuk mengurangi makanan tersebut, karena merasakan kurang kenyang, makanan kurang enak.

(e) Cues to action (isyarat untuk melakukan tindakan)

Isyarat untuk bertindak adalah peristiwa dan kejadian yang menggerakkan individu untuk merubah perilaku dari perilaku buruk menuju perilaku sehat. Cues to action merupakan rangsangan yang diperlukan sesorang untuk memicu proses pengambilan keputusan agar terjadi perilaku sehat (Murti, 2018).

Dalam teori health belief model dijelaskan bahwa kampanye mass media, artikel, majalah, atau perbuatan seseorang, merupakan faktor pencetus untuk melakukan tindakan preventif. Contoh : individu (pasien) bersedia merubah perilaku buruknya setelah melihat pasien lain yang menderita penyakit seperti dirinya mampu berhenti merokok, aktif berolah raga secara teratur dan menghindari pola makan berlebihan dan makanan yang berlemak ternyata kesehatannya lebih baik. Hal tersebut dilakukan dengan

(19)

tujuan self efficacy atau upaya diri sendiri untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya. Efikasi diri dapat dipandang sebagai keyakinan seseorang tentang sejauh mana dirinya mampu mengendalikan motivasi, perilaku, dan lingkungan sosial, yang diperlukan untuk menghasilkan suatu perilaku (Murti, 2018).

(f) Efikasi diri ( self-efficacy )

Efikasi diri merupakan keyakinan seseorang tentang kemampuannya melakukan perilaku yang diperlukan untuk menghasilkan capaian kinerja tertentu ( Bandura, 1977, Murti, 2018 ). Efikasi diri dapat dipandang sebagai keyakinan seseorang tentang sejauhmana dirinya mampu mengedalikan motivasi, perilaku, dan lingkungan sosialnya, yang diperlukan untuk menghasilkan suatu perilaku (Murti, 2018). Efikasi diri ikut mempengaruhi individu dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan. Individu yang mempunyai efikasi diri tinggi akan mampu mengendalikan motivasi, perilaku, dan lingkungan sosialnya, yang diperlukan untuk menghasilkan suatu perilaku walaupun dirasakan sulit. Sementara individu dengan efikasi diri rendah cenderung mudah menyerah.

(g) Variabel Demografi, Psikologi, dan Sosial

Variabel demografi (umur, gender, ras, etnik, pendidikan, dan sebagainya) dan psikologi sosial (kepribadian, kelas sosial, pengaruh kelompok rujukan, dan sebagainya) dapat mempengaruhi persepsi individu, sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku kesehatan. Variabel demografi, psikologi, dan sosial tersebut berperan sebagai faktor pengubah besarnya pengaruh (modifiying factor). (Murti, 2018).

Seorang pasien penderita SM akan melakukan perilaku pencegahan terhadap penyakitnya bila ia berpikir bahwa ia berisiko terhadap penyakitnya, ia berfikir penyakitnya tersebut parah, dan konsekwensinya juga berat bila tidak melakukan

(20)

pencegahan faktor risikonya, ia berpikir bahwa melakukan tindakan pengendalian akan bermanfaat dan tidak terlalu banyak konsekwensi negatif, ia juga terdorong untuk melakukan pengendalian setelah melihat orang lain yang menderita penyakit yang sama mampu melakukan perubahan perilaku dari negatif (perilaku tidak sehat) ke positif (perilaku sehat), selanjutnya ia mempunyai keyakinan dan percaya bahwa ia bisa melakukan pengendalian terhadap penyakitnya (Self Efficacy). Model Health Belief dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Health Belief Model (Revisi Rosenstock, Strecker, dan Becker, 1988)

LATAR BELAKANG

PERSEPSI

Faktor sosio- demografi (seperti, umur,

jenis kelamin, pendidikan, suku, etnis)

Ancaman

• Kerentanan yang dirasakan (atau menerima diagnosis)

• Keparahan / keseriusan yang dirasakan dari keadaan sakit-sehat

Harapan

• Manfaat / keuntungan yang dirasakan dari aksi (minus)

• Hambatan yang dirasakan dari aksi

• Efikasi diri yang dirasakan untuk melakukan tindakan

Pencetus aksi

• Media

• Pengaruh personal

• Pengingat

Perilaku untuk mengurangi ancaman berbasis

pada harapan AKSI

(21)

2) Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory)

Teori ini diperkenalkan oleh Albert Bandura pada tahun 1977.

Dalam teori ini faktor sosial dan kognitif serta faktor pelaku memainkan peran penting dalam pembelajaran. Faktor ini bisa saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi lingkungan, faktor person/kognitif mempengaruhi perilaku. Teori Bandura berdasarkan tiga asumsi (Priyoto, 2014) yaitu : (a) bahwa individu melakukan pembelajaran dengan meniru apa yang ada di lingkungannya, terutama perilaku orang lain. Perilaku orang lain yang ditiru disebut sebagai model atau perilaku contoh (Imitasi), (b) bahwa pembelajaran terjadi dalam keterkaitan antara lingkungan, perilaku dan faktor faktor pribadi, (c) bahwa hasil pembelajaran adalah berupa kode perilaku visual dan verbal yang diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Bandura mengidentifikasi tiga model dasar pembelajaran melalui observasi atau pengamatan, yaitu model langsung dimana individu mendemonstrasikan perilaku yang diinginkan, model instruksi verbal yang melibatkan deskripsi dan penjelasan sebuah perilaku, dan model simbolis yang melibatkan karakter nyata atau fiktip yang disajikan dalam media massa seperti buku, film, televisi, atau media daring (Ambar, 2018).

Menurut Sulaeman, (2016) model ini memfokuskan pada tiga pengaruh pada perilaku yaitu : (a) penentu timbal balik (reciprocal diterminan) yaitu tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan. Individu bertingkah laku dengan mengontrol lingkungan, tetapi individu tersebut juga dikontrol oleh lingkungan, (b) norma sosial (social norms) yaitu efek sosial dan budaya yang lazim berpengaruh pada perilaku, dan (c) faktor kesadaran (cognitive factors) yang meliputi pembelajaran observasional, harapan, dan efikasi diri. Teori pembelajaran sosial

(22)

telah memberi penekanan tentang bagaimana perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan sekitar melalui penguatan dan pembelajaran peniruan serta cara berfikir yang kita miliki terhadap sesuatu dan juga sebaliknya, yaitu bagaimana tingkah laku kita mempengaruhi orang yang ada disekitar dan menghasilkan penguatan dan peluang untuk diperhatikan oleh orang lain.

Menurut teori kognitif sosial individu merubah perilaku negatif ke perilaku positif juga dipengaruhi oleh adanya penguatan (reiforcements) dari penguatan atas apa yang dialami orang lain tetapi dirasakan seseorang sebagai pengalamannya sendiri (vicarious reinforcement). Vicarious reinforcement terjadi karena adanya konsep pengharapan hasil (outcome expectations). Outcome expectations menunjukkan bahwa ketika kita melihat seorang model diberi penghargaan dan dihukum, kita akan berharap mendapatkan hasil yang sama jika kita melakukan perilaku yang sama dengan model tersebut. Outcome expectation yang positif akan meningkatkan perilaku, sedangkan outcome expectation yang negatif akan menurunkan perilaku (Murti, 2018).

Teori Kognitif Sosial digunakan untuk promosi kesehatan yang memberikan sebuah penjelasan tentang bagaimana perilaku bisa dibentuk melalui pengamatan pada model-model yang ditampilkan oleh media massa. Efek dari pemodelan ini meningkat melalui pengamatan tentang imbalan dan hukuman yang dijatuhkan pada model, melalui identifikasi dari individu pada model tersebut, dan melalui sejauh mana individu memiliki efikasi diri tentang perilaku yang dicontohkan di media.

(23)

Gambar berikut mengilustrasikan segitiga sebab-akibat timbal balik hubungan faktor personal internal (kognitif dan afektif), lingkungan dan periaku.

Sumber Bandura, A (2002) dalam Sulaiman (2016) Gambar 2.2 : Skema Model Social Cognitive Theory

Sumber : Bandura (2004). Health Promotion by Social Cognitive Means. Health Education & Behavior, 31 (2): 143-164.

Gambar 2.3. Jalur pengaruh dalam teori kognitif sosial Cognition Internal

personal factors : cognitive, afective

Behavior External

Environment

EFIKASI DIRI

HARAPAN HASIL FISIK

SOSIAL

EVALUASI DIRI

FAKTOR SOSIO-STRUKTURAL FASILITATOR

HAMBATAN

TUJUAN PERILAKU

(24)

3) Teori Social Support ( Dukungan Sosial)

Dalam lingkungan alam dukungan sosial muncul dari perilaku hubungan pribadi. Memang hubungan itu sendiri memberi makna yang mendukung pada perilaku dan sebaliknya, perilaku yang mendukung dapat membawa makna hubungan ke dalam interaksi.

Saksikan memburuknya hubungan dekat dimana ketika dukungan emosional telah terkikis dan pembentukan serta penguatan ikatan dukungan sosial tak terwujud. Oleh karena itu, dukungan sosial bukanlah komoditas yang berada di penyedia dan diberikan kepada penerima, tetapi itu adalah ekspresi dari karakteristik mutualitas dan kasih sayang dari hubungan antara para pihak. Hubungan dekat cenderung menghasilkan lebih banyak jenis dukungan dari pada kenalan biasa, dan ikatan sosial yang lebih ketat cenderung memberikan dukungan yang lebih khusus (Gottlieb, 2009).

Dukungan sosial berarti memiliki teman dan orang lain, termasuk keluarga, untuk berpaling pada saat dibutuhkan atau krisis untuk memberi seseorang fokus yang lebih luas dan citra diri yang positif.

Dukungan sosial meningkatkan kualitas hidup dan menyediakan penyangga terhadap peristiwa kehidupan yang merugikan.

Menurut Bakken (2016) ada berbagai bentuk dukungan social : (a) Dukungan emosional (kadang-kadang disebut non-nyata) mengacu pada tindakan yang dilakukan orang untuk membuat orang lain merasa diperhatikan. (b) Dukungan instrumental mengacu pada fisik, seperti uang dan rumah tangga. (c) Dukungan informasional berarti memberikan informasi untuk membantu seseorang. Salah satu penelitian paling awal tentang manfaat kesehatan fisik dan psikologis dari dukungan sosial adalah pada tahun 1905. Dr. Joseph Pratt, seorang internis dari Boston, mengumpulkan sekelompok pasien tuberkulosis bersama untuk mendidik mereka tentang kebersihan dalam kaitannya dengan penyakit mereka. Kelompok pendukung ini memberikan bukti awal tentang kekuatan dukungan

(25)

psikologis dalam kesehatan fisik dan penyembuhan. Dukungan sosial, baik dari kelompok yang dipercaya atau individu yang berharga, telah terbukti mengurangi konsekuensi psikologis dan fisiologis dari stres, dan dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh.

Jejaring sosial, baik formal (seperti kelompok keagamaan atau klub sosial) atau informal (bertemu dengan teman) memberikan rasa memiliki, keamanan, dan komunitas. Faktanya, dukungan sosial sekarang terbukti menjadi penyelamat hidup secara harfiah. Orang- orang yang didukung oleh hubungan dekat dengan teman, keluarga, atau sesama anggota kelompok keagamaan, pekerjaan, atau kelompok pendukung lainnya kurang rentan terhadap kesehatan yang buruk dan kematian dini. Individu yang menderita leukemia atau penyakit jantung memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi jika mereka memiliki dukungan sosial yang luas. Ada juga ikatan yang kuat antara dukungan sosial dan ukuran kesejahteraan.

Mereka yang memiliki hubungan pribadi yang dekat mengatasi lebih baik berbagai stresor, termasuk kehilangan, kehilangan pekerjaan, pemerkosaan, dan penyakit (Salovey, 2000). Dengan jaringan dukungan sosial apa pun, individu merasa nyaman dengan keyakinan, praktik, dan harapan kelompok. Meskipun tidak realistis untuk berpikir bahwa idividu tidak akan pernah mengalami perselisihan dengan teman, keluarga, atau jaringan dukungan sosial lainnya.

Dukungan sosial sangat diperlukan oleh individu dalam berhubungan dengan orang lain demi melangsungkan hidupnya di tengah tengah pergaulan masyarakat. Rook (1987) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu fungsi dari ikatan sosial, dan ikatan-ikatan sosial tersebut menggambarkan tingkat kualitas umum dari hubungan interpersonal. Ikatan dan persahabatan dengan orang lain dianggap sebagai aspek yang memberikan kepuasan secara emosional dalam kehidupan individu. Pengertian

(26)

dukungan sosial secara umum mengacu pada penerimaan rasa aman, peduli, penghargaan atau bantuan yang diterima seseorang dari orang lain atau kelompok. Safarino (2002) berpendapat bahwa dukungan sosial umumnya digunakan untuk merujuk pada yang dirasakan kenyamanan, kepedulian, penghargaan atau bantuan yang diterima seseorang dari orang atau kelompok lain. Dukungan sosial tersebut dapat berasal dari sumber-sumber yang berbeda, seperti dari pasangan atau orang yang dicintai, keluarga, teman, tenaga profesional, psikolog atau anggota organisasi.

Dengan adanya dukungan sosial dari berbagai sumber, individu akan merasa yakin bahwa dirinya dicintai dan disayangi, dihargai, bernilai dan menjadi bagian dari jaringan sosial. Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat yang mampu memberikan tingkat dukungan sosial yang lebih tinggi memiliki tingkat kesehatan yang lebih tinggi, bahwa dukungan sosial merupakan elemen penting dari kesejahteraan komunitas, dan bahwa dukungan sosial dapat menjadi faktor kunci dalam mengendalikan perilaku yang kurang sehat.

Penelitian dukungan sosial dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan psikologis di tempat kerja telah dilakukan oleh House (1981).

Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa dukungan sosial membantu menurunkan masalah yang berkaitan dengan kesehatan mental seseorang. Seperti yang dilaporkan oleh Cutrona et al. (1990) pada populasi lansia yang diteliti, hasil mereka menunjukkan bahwa individu lanjut usia yang memiliki hubungan di mana harga diri mereka meningkat cenderung tidak mengalami penurunan kesehatan.

Pada saat stres, dukungan sosial membantu orang mengurangi tekanan psikologis (misalnya, kecemasan atau depresi). Dukungan sosial secara bersamaan dapat berfungsi sebagai fokus masalah (misalnya menerima informasi nyata yang membantu menyelesaikan masalah) dan strategi koping yang berfokus pada emosi (misalnya

(27)

digunakan untuk mengatur respons emosional yang muncul dari peristiwa yang membuat stres). (Uchino, 2009).

Sarafino (2002) mengungkapkan pada dasarnya ada lima jenis dukungan sosial: (a). Dukungan Emosi. Dukungan jenis ini meliputi ungkapan rasa empati, kepedulian dan perhatian terhadap individu.

Biasanya, dukungan ini diperoleh dari pasangan atau keluarga, seperti memberikan pengertian terhadap masalah yang sedang dihadapi atau mendengarkan keluhannya. Adanya dukungan ini akan memberikan rasa nyaman, kepastian, perasaan memiliki dan dicintai kepada individu. (b). Dukungan Penghargaan. Dukungan ini terjadi melalui ungkapan positif atau penghargaan yang positif pada individu, dorongan untuk maju atau persetujuan akan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan yang positif individu dengan orang lain (Sarafino,2002). Biasanya dukungan ini diberikan oleh atasan dan rekan kerja. Dukungan jenis ini, akan membangun perasaan berharga, kompeten dan bernilai. (c). Dukungan Instrumental atau Konkrit. Dukungan jenis ini meliputi bantuan secara langsung. Biasanya dukungan ini, lebih sering diberikan oleh teman atau rekan kerja, seperti bantuan untuk menyelesaikan tugas yang menumpuk atau meminjamkan uang atau lain-lain yang dibutuhkan individu.

Menurut Jacobson (1986) adanya dukungan ini, menggambarkan tersedianya barang-barang (materi) atau adanya pelayanan dari orang lain yang dapat membantu individu dalam menyelesaikan masalahnya. Selanjutnya hal tersebut akan memudahkan individu untuk dapat memenuhi tanggung jawab dalam menjalankan perannya sehari-hari. (d). Dukungan informasi.

Dukungan jenis ini meliputi pemberian nasehat, saran atau umpan balik kepada individu. Dukungan ini, biasanya diperoleh dari sahabat, rekan kerja, atasan atau seorang profesional seperti dokter atau psikolog. Adanya dukungan informasi, seperti nasehat atau

(28)

saran yang diberikan oleh orang-orang yang pernah mengalami keadaan yang serupa akan membantu individu memahami situasi dan mencari alternatif pemecahan masalah atau tindakan yang akan diambil. (e). Dukungan Jaringan Sosial. Dukungan jaringan sosial dengan memberikan perasaan bahwa individu adalah anggota dari kelompok tertentu dan memiliki minat yang sama. Rasa kebersamaan dengan anggota kelompok merupakan dukungan bagi individu yang bersangkutan. Adanya dukungan jaringan sosial akan membantu individu untuk mengurangi stres yang dialami dengan cara memenuhi kebutuhan akan persahabatan dan kontak sosial dengan orang lain. Hal tersebut juga akan membantu individu untuk mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran terhadap masalah yang dihadapinya atau dengan meningkatkan suasana hati yang positif.

Hubungan interpersonal sangat berarti bagi individu dalam usahanya mengatasi situasi yang tidak diinginkan.

Dukungan sosial memiliki efek yang positif pada kesehatan, yang mungkin terlihat bahkan ketika tidak berada dibawah tekanan yang besar. Menurut Cohen & Habermen (1983) dukungan sosial ada beberapa bentuk yaitu : (a). Appreisal Support ; yaitu bantuan berupa nasehat untuk pemecahan masalah untuk membantu mengurangi stressor. (b). Tangibel support ; yaitu bantuan fisik dan layanan nyata, untuk menyelesaikan tugas. (c). Self Esteem Support ; yaitu dukungan yang diberikan terhadap perasaan atau harga diri sebagai bagian dari anggota kelompok. (d). Belonging Support ; yaitu menunjukkan perasaan diterima sebagai bagian dari kelompok dan kebersamaan. Teori ini sangat penting untuk dipahami oleh orang yang akan memberikan dukungan sosial, karena tidak selamanya dukungan sosial dapat memberikan keuntungan bagi kesehatan.

Dalam Sarafino (2006) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial, antara lain: (a). Dukungan yang

(29)

tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan.

(b). Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu. (c). Sumber dukungan memberikan contoh yang buruk pada individu seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat. (d). Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa, hal ini terjadi karena satu hal, meskipun social support tersedia untuk seseorang namun ia tidak merasa bahwa itu adalah sebuah dukungan. Dukungan sosial bukan sekedar tersedia bagi individu yang membutuhkan, tetapi yang terpenting adalah persepsi akan keberadaan (avalibility) dan ketepatan (adequency) dari dukungan (Cohen dan Wills, dalam Namora, 2009). Dukungan kelompok sosial dapat menjadi sumber dukungan informasi, dengan memberikan informasi pendidikan yang berharga, dan dukungan emosional, termasuk dorongan dari orang-orang yang mengalami keadaan serupa ( Gottlieb, 1988).

Komponen dukungan sosial. (1). Kerekatan sosial. Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan seseorang memperoleh kerekatan emosional, sehingga menimbulkan rasa aman bagi yang menerimanya. Sumber dukungan sosial semacam ini paling sering dan adalah diperoleh dari pasangan hidup , anggota keluarga, teman dekat, sanak keluarga yang akrab dan memiliki hubungan yang harmonis. (2). Integrasi sosial. Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan invidu untuk memperoleh perasaan memiliki suatu kelompok yang memungkinkannya untuk membagi minat perhatian serta melakukan kegiatan yang sifatnya rekreatif atau bermain secara bersama-sama. Sumber dukungan semacam ini memungkinkan individu mendapatkan rasa aman, nyaman serta merasa memiliki dan

(30)

dimiliki oleh kelompok. (3). Adanya pengakuan. Pada dukungan sosial jenis ini individu mendapat pengakuan atas kemampuan dan keahliannya serta mendapatkan penghargaan dari orang lain atau lembaga.

Sumber dukungan semacam ini dapat berasal dari keluarga, lembaga atau sekolah, perusahaan atau organisasi dimana invidu pernah bekerja. (4). Ketergantungan yang dapat diandalkan. Dalam dukungan sosial jenis ini inividu mendapat dukungan berupa jaminan bahwa ada orang yang dapat diandalkan bantuannya ketika individu membutuhkan bantuan tersebut. Dukungan sosial jenis ini pada umumnya berasal dari keluarga diri sendiri. (5). Bimbingan.

Dukungan sosial jenis ini adalah adanya hubungan kerja ataupun hubungan sosial yang memungkinkan invidu mendapatkan informasi, saran atau nasihat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Jenis dukungan ini bisa berasal dari guru, alim ulama, tokoh masyarakat, figure yang diidolakan dan orang tua yang berpengaruh.

(6). Kesempatan untuk mengasuh. Suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal akan perasaan dibutuhkan orang lain. Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan individu untuk memperoleh perasaan bahwa orang lain tergantung padanya untuk memperoleh kesejahteraan.

5. Sindroma Metabolik (SM)

Pada saat ini SM semakin menjadi perhatian dikalangan praktisi kesehatan, karena prevalensinya terus meningkat diseluruh dunia seiring dengan meningkatnya jumlah individu yang mengalami obesitas.

Diperkirakan antara 20 sampai 25 persen populasi individu mengalami SM yang berisiko dua kali terhadap kematian dan berisiko tiga kali untuk mendapat serangan jantung atau stroke dibanding dengan mereka yang tidak mengalami SM (Sihombing dkk, 2015). Pada tahun 1988, Reaven

(31)

menunjukkan konstelasi faktor risiko pada pasien dengan resistensi insulin yang dihubungkan dengan penyakit kardiovaskuler yang disebut sindroma X, dan pada akhirnya sindroma X tersebut dikenal sebagai sindroma resistensi insulin atau disebut SM (Hermayudi, 2017). SM, yang juga disebut resistensi insulin, merupakan suatu kumpulan faktor-faktor yang berperan terhadap peningkatan morbiditas penyakit kardiovaskuler (Shahab, 2017). Sedangkan resistensi insulin merupakan suatu kondisi dimana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin, sehingga terjadi peningkatan insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas (Hermayudi, 2017).

a. Diagnosa SM (Hermayudi, 2017)

Berdasarkan The National Cholesterol Education Program Thrit Adult Treatment Panel (NCEP-ATP III) diagnosa SM ditegakkan apabila seseorang memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut :

1) Obesitas abdominal (lingkar pinggang ≥ 88 cm pada wanita dan

≥ 102 cm pada pria).

2) Peningkatan kadar trigliserida darah (≥ 150 mg/dl).

3) Penurunan kadar kolesterol HDL (˂ 40 mg/dl pada pria dan

˂ 50 mg/dl pada wanita).

4) Resistensi insulin.

5) Hipertensi.

b. Epidemiologi

Prevalensi SM berdasarkan data dari the Third National Health and Nutrition Examinatin Survey bervariasi dari 16 persen pada laki-laki kulit hitam sampai 37 persen pada perempuan hispanik. Prevalensi SM meningkat dengan bertambahnya usia dan berat badan. SM juga merupakan prediktor kuat untuk terjadinya diabetes millitus tipe dua (Shahab, 2017).

c. Patofisiologi

Penyebab SM belum dapat diketahui dengan pasti. Suatu hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari SM adalah resisitensi insulin.

(32)

Insulin berperan menurunkan kadar glukosa darah dengan cara merangsang ambilan glukosa di dalam jaringan perifer yang sensitif terhadap insulin seperti otot-otot rangka, lemak, dan jantung. Insulin juga menghambat produksi glukosa di hati, ginjal, dan usus halus untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Resistensi insulin terjadi apabila jaringan yang sensitif mangalami kegagalan merespon rangsangan insulin. Kegagalan ini terjadi akibat adanya hambatan dalam jalur sinyal insulin. Resistensi insulin akan menyebabkan hiperinsulinemia sebagai kompensasi dari sel-sel beta pankreas yang memproduksi insulin dalam jumlah besar sebagai upaya mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal. Seiring perjalanan waktu, sel-sel beta pankreas makin lama akan mengalami kegagalan memproduksi insulin lebih lanjut, sehingga mulailah terjadi gangguan toleransi glukosa yang merupakan stadium awal terjadinya Diabetes Melitus tipe 2 (Shahab, 2017).

d. Faktor Risiko SM

1) Faktor yang tidak dapat dimodifikasi : (a) Faktor Usia

Kerentanan terhadap SM meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Penelitian yang dilakukan oleh Sihombing (2015) menyatakan risiko SM meningkat seiring dengan bertambahnya umur yaitu pada umur 35 - 44 tahun berisiko 1,84 kali, umur 45 -54 tahun berisiko 3,34 kali dan umur 55 - 65 tahun berisiko hampir empat kali dibanding dengan umur 25 - 34 tahun.

(b) Faktor Keturunan Dari Keluarga

Faktor genetik lebih dekat dengan adanya tiga faktor risiko utama SM yaitu : pertama, resistensi insulin yang ditandai dengan peningkatan gula darah, kedua hipertensi dan ketiga adanya kenaikan berat badan yang tidak terkontrol yang ditandai dengan obesitas sentral. Ketiga faktor tersebut sangat

(33)

dipengaruhi oleh adanya faktor genetik. Dalam penelitian Sterm dan Mitchell menyimpulkan bahwa bukti substansial adanya dasar genetik, insulin sangat dekat dengan kejadian SM walaupun gen yang terkait dengan insulin memiliki efek pleiotropic yang menjelaskan pengelompokan dengan kelainan misalnya hipertropi dan obesitas (Prabhakaran, Anand, 2004 dalam Ranti et al. 2013). Penelitaian studi case control yang dilakukan Sudaryanato (2014) menyatakan ada hubungan antara genetik terhadap kejadian diabetes melitus tipe II, p 0,00 ˂ α 0.05 dan didaptakan hasil OR= 25, dapat diinterpretasikan bahwa responden dengan riwayat keluarga diabetes melitus memiliki 25 kali lipat risiko terhadap kejadian diabetes melitus tipe II.

(c) Faktor Jenis kelamin

Pengaruh jenis kelamin terhadap prevalensi SM hampir sama antara laki-laki dan perempuan. Namun prevalensi untuk laki-laki lebih tinggi dibanding dengan perempuan. Hal tersebut disebabkan laki-laki mempunyai lingkar pinggang yang lebih besar dibanding perempuan. Lingkar pinggang lebih dari 90 cm pada laki-laki dan lebih dari 85 cm pada perempuan merupakan salah satu tanda adanya obesitas sentral. Analisis Data Riskesdas Indonesia Tahun 2007 memberikan kesimpulan, didaerah perkotaan Indonesia wanita lebih berpeluang mempunyai SM, hiperglikemia 2 jam PP, hipokolesterolemia HDL dibanding pria, sementara pria lebih berpeluang untuk menderita Hipertensi (Bantas, 2014).

2) Faktor Risiko Yang Dapat Diubah SM (a) Faktor Perokok

Rokok merupakan penyebab penyakit kardiovaskuler yang merupakan komplikasi SM. Kira-kira 20 persen dari semua kematian karena penyakit kardiovaskuler dan hampir 50

(34)

persen dari serangan jantung pada wanita berusia di bawah 55 tahun disebabkan karena merokok. Para perokok juga membuat mereka yang ikut menghirup asapnya berisiko mengalami masalah pada jantung. Penelitian menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak merokok yang tinggal dengan para perokok memiliki tambahan resiko serangan jantung.

Faktor risiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap per hari, dan bukan pada lama merokok. Seseorang yang merokok lebih dari satu pak sehari menjadi dua kali lebih rentan terhadap penyakit kardiovaskuler dari pada mereka yang tidak merokok. Yang diduga menjadi penyebab adalah pengaruh nikotin terhadap pelepasan katekolamin oleh sistem syaraf otonom. Merokok telah terbukti sebagai faktor risiko penting dari penyakit kardiovaskular. Rokok mengandung berbagai zat kimia termasuk nikotin dan karbon monoksida. Beberapa zat kimia tersebut merusak lapisan dalam dinding arteri sehingga kolesterol dapat masuk lewat dinding arteri dengan cepat. Merokok juga dapat menyebabkan pembekuan darah dalam arteri yang mengakibatkan serangan jantung. Selain itu, merokok meningkatkan kadar low density lipoprotein (LDL), menurunkan kadar high density lipoprotein (HDL), meningkatkan kekakuan arteri koroner. Nikotin mempercepat denyut jantung dan meningkatkan tekanan darah (Jafri, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research Program Prevalence Study menunjukkan bahwa mereka yang merokok 20 batang atau lebih perhari mangalami penurunan HDL sekitar 11 persen untuk laki-laki dan 14 persen untuk perempuan, dibanding dengan mereka yang tidak merokok (Sholeh, 2015).

(35)

(b) Obesitas

Obesitas adalah suatu keadaan ketidak seimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar dalam jangka waktu yang lama. Banyaknya konsumsi energi dari makanan yang dicernak melebihi energi yang digunakan untuk metabolisme dan aktivitas sehari-hari. Kelebihan energi ini akan disimpan dalam bentuk lemak dan jaringan lemak sehingga dapat berakibat terjadinya obesitas (Hermayudi, 2017). Penelitian dengan rancangan case control yang dilakukan oleh Wiardani (2011) hasil analisis statistik menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara status obesitas dengan kejadian SM. Sampel yang mengalami obesitas memiliki risiko 6.3 kali lebih besar terhadap kejadian SM dibanding dengan subyek yang tidak obesitas (OR = 6.32 ). Resistensi insulin mempunyai korelasi dengan timbunan lemak viseral yang dapat ditentukan dengan pengukuran lingkar pinggang (Shahab, 2017).Pengukuran lingkar pinggang merupakan prediktor yang lebih baik terhadap SM. Ketentuan dikatakan obesitas menurut WHO (1999) dalam Shahab (2017) adalah lingkar pinggang lebih dari 90 cm pada laki-laki dan lebih dari 85 cm pada perempuan. Hubungan antara resistensi insulin dan penyakit kardiovaskuler diduga dimediasi oleh terjadinya stres oksidatif yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskular dan pembentukan ateroma.

Hipotesis menyatakan bahwa terjadi perubahan hormonal yang mendasari terjadinya obesitas abdominal. Suatu studi membuktikan bahwa pada individu yang mengalami peningkatan kadar kortisol di dalam serum yang disebabkan oleh stres kronik mengalami obesitas abdominal, resistensi insulin, dan dislipidemia (Shahab, 2017).

(36)

(c) Asupan Gizi

Konsumsi tinggi karbohidrat lebih dari 60 persen dari total kalori yang dikonsumsi meningkatkan risiko SM. Konsumsi tinggi karbohidrat meningkatkan kadar trigliserida yang merupakan salah satu kriteria SM (Liu S. et al. 2001, dalam Sholeh, 2015). Hasil penelitian Ismaillzadeh (2006) dalam Sholeh (2015) di Teheran Iran dijelaskan bahwa konsumsi sayur yang tinggi dihubungkan dengan rendahnya risiko kejadian SM. Penelitian dengan metoda survey epidemiologi case control yang dilakukan oleh Sargono D. (2011), pada remaja di Kota Malang, menunjukkan bahwa komposisi diet yang mempunyai hubungan kausal dengan sindroma matabolik adalah berturut-turut : jumlah total kalori lemak dan karbohidrat (p = 0.0052 < α 0,05).

Penelitian yang dilakukan oleh Utami Y.M.(2014) tentang gambaran asupan gizi penderita SM, menggambarkan jumlah asupan energi berlebihan sebagai pemicu terjadinya SM. Semakin banyak asupan makanan, maka kejadian SM semakin meningkat. Indikator komposisi asupan makanan yang mempunyai nilai tertinggi adalah kalori total. Konsumsi makanan tinggi kalori akan meningkatkan massa lemak di daerah abdomen pada individu yang rentan yang mengakibatkan terjadinya obesitas sentral.

Disamping itu tingginya asupan karbohidrat yang berlebih akan mengakibatkan hipergligemia yang dapat meningkatkan stres osidatif yang memicu terjadinya kerusakan endotel berdampak pada penyakit vaskuler.

Kelebihan asupan karbohidrat juga akan disimpan dalam bentuk jaringan adiposa yang menyebabkan obesitas.

Makanan tinggi lemak tidak memberikan rasa kenyang, hanya memberikan rasa gurih, agar terasa kenyang maka

Gambar

Gambar 2.1.    Kerangka Konsep Health Belief Model (Revisi Rosenstock,  Strecker, dan Becker, 1988)

Referensi

Dokumen terkait

(2) Dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 50 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang

Edukasi pada program acara Asyik Belajar Biologi dalam Mata Pelajaran. IPA

Berdasarkan permasalahan di atas, pada artikel ini dibahas hasil penelitian mengenai pengaruh penyuluhan kesehatan gigi dan mulut dengan cara demonstrasi cara menyikat

Masalah yang ada dalam mengevaluasi siswa terbaik adalah belum menggunakan metode yang dapat menentukan prioritas dari banyak kriteria dan belum adanya pembobotan untuk

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Menurut Indra Lesmana Karim, upaya penanggulangan terhadap pengulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anak adalah melalui lingkungan yang terkecil

Untuk tujuan ini, baik Fakultas maupun Sekolah menyediakan sumber daya akademik maupuan sumber daya pendukung akademik (laboratorium, studio, perpustakaan), bukan

Peran dan Fungsi Tenaga Kesehatan Pada Home Care.. Kondisi