• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sekaten adalah suatu tradisi yang telah ada sejak zaman kerajaan Demak. Sultan Agung sebagai raja Demak memprakarsai perayaan sekaten dan sampai saat ini masih dilestarikan di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Dalam tradisi kerajaan Demak, upacara sekaten diselenggarakan sebagai usaha untuk memperluas serta memperdalam rasa jiwa ke-Islaman bagi segenap masyarakat Jawa. Usaha ini dilaksanakan oleh para wali yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga.25

Para wali memahami dan yakin bahwa rakyat menggemari bunyi gamelan. Sunan Giri, salah seorang dari Wali Sanga, memahami teknik pembuatan gamelan. Beliau lalu membuat seperangkat gamelan yang dinamakan Kiai Sekati. Selain membuat gamelan, Sunan Giri juga menciptakan gending untuk alat penyebaran agama Islam. Gamelan Kiai Sekati itu setiap setahun dibunyikan untuk memeriahkan peringatan hari lahir Nabi Muhammad s.a.w.

Mengenai nama sekaten ada beberapa pendapat, antara lain:

1. Sekaten berasal dari kata sekati, yaitu nama gamelan keramat dari Keraton Yogyakarta yang terdiri atas dua jenis gamelan, Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga. Adapun di Keraton Surakarta, dua gamelan itu bernama, Kiai Gunturmadu dan Kiai Guntursari. Mengenai kisah gamelan yang tersimpan di Keraton Kasultanan Yogyakarta, ia diyakini sebagai hasil karya cipta Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja ketiga Mataram Islam. Gamelan ini hanya ditabuh khusus pada peringatan Maulid, hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. setiap tahunnya. Gamelan ini ditabuh sejak tanggal 5 Mulud (Rabiul Awal) sampai dengan tanggal 11 Mulud

25

Wali Sanga atau Wali Songo dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

(Rabiul Awal). Gamelan tersebut dibunyikan secara terus-menerus selama seminggu untuk mengiringi gending hasil dari ciptaan para wali. Jadi, dinamakan sekaten sebab dirangkaian acaranya ditabuh gamelan pusaka keraton yang bernama Kiai Sekati.26

2. Ada yang mengatakan sekaten berasal dari kata suka dan ati yang jika digabungkan menjadi sekaten, yang berarti senang hati. Hal ini mengandung pengertian bahwa masyarakat Jawa sangat senang hatinya menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. pada tanggal 12 Rabiul Awal. Sebagai ungkapan kecintaan mereka kepadanya, mereka kemudian mengadakan acara sedekah berupa hasil bumi, makanan dan pakaian.27

3. Sekaten berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat. Pengertian ini didasarkan pada sejarah sekaten yang diadakan oleh Wali Sanga yang bertujuan untuk menarik orang Jawa agar masuk Islam. Mereka yang datang ke acara sekaten kemudian dengan sukarela mengucapkan kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam.28

4. Sekaten berasal dari kata Sakhataini yang berarti menanamkan dua hal, yaitu beribadah kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya dan berbudi baik dalam kehidupan keseharian kepada sesama manusia. Juga menghilangkan dua perkara buruk, yaitu menghilangkan semua watak kehewanan dan nafsu setan. Bagi manusia, dengan menyadari secara mendalam makna beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia, ia akan menjadi manusia yang dalam kehidupannya pasrah pada takdir Allah, ikhlas menjalani kehidupan, dan menghormati sesama manusia. Tidak berbuat kerusakan dan keresahan dalam masyarakat.29

Menurut Ahmad Kamaludiningrat, tradisi sekaten ini terbentuk berdasarkan pendekatan budaya yang dilakukan oleh para wali.30 Sunan Kalijaga melihat bahwa dengan melalui pendekatan budaya, maka, kegiatan dakwah akan dengan mudah dilakukan di tengah-tengah

26

Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah

Pertentangan? (Solo: Inti Medina, 2009), h. 44-45. 27

Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah

Pertentangan?, h. 45. 28

Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah

Pertentangan?, h. 45-46. 29

Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah

Pertentangan?, h 46. 30

masyarakat Jawa saat itu. Sebelumnya, Sultan Agung sebagai raja Demak menitahkan kepada masyarakatnya agar meninggalkan kebiasaan hidupnya berkaitan dengan sistem kepercayaan animisme serta dinamisme yang bertentangan dengan akidah Islam. Tentu titah tersebut akhirnya membuat masyarakatnya resah dan gelisah, karena sudah terbiasa menjalani kehidupan yang diwariskan oleh nenek moyangnya.

Akhirnya, timbullah inisiatif dari wali sanga untuk merancang strategi agar masyarakat tetap bisa menjalani kebiasaan hidupnya, namun, dalam setiap aktivitasnya disisipi oleh ajaran-ajaran ke-Islaman. Misalnya trradisi selamatan yang dihubungkan dengan sadaqah, ujub atau penyerahan tersebut yang ditujukan kepada roh nenek moyang, diganti untuk memperingati hari kelahiran Nabi dan para wali. Kemudian, puji-pujian kepada selain Allah SWT, diganti tahlil. Para wali menetapkan perubahan ini pada tahun 1463, pada muktamar yang kedua di Demak, menurut Kitab Kanzul Ulum karya Ibnu Bathuthah.31

Cara yang bijaksana yang dilakukan para wali dalam menyebarkan Islam bisa diterima oleh masyarakat. Karena unsur budaya lokal tidak dihilangkan, justru tetap dipertahankan dengan ditambah ajaran-ajaran ke-Islaman. Kembali pada asal usul sekaten, Ahmad Kamaludiningrat32 menceritakan secara singkat bahwa Islam bisa diterima karena melalui pendekatan budaya. Sunan Kalijaga saat itu melihat, hal yang disukai oleh masyarakat Jawa saat itu adalah bunyi-bunyian gamelan. Kemudian,

31

Syariful Alim, HAKEKAT TUHAN DAN MANUSIA: Perspektif Pujangga Muslim

Jawa (Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2013), h. 3. 32

dibuatlah gamelan oleh Sunan Giri yang pandai dalam hal membuat gamelan.

Setelah gamelan selesai dibuat, dibawalah gamelan tersebut menuju halaman Masjid Demak untuk dibunyikan. Tentunya ini telah berdasarkan musyawarah antara para wali sebelumnya berkaitan dengan tempat pemukulan di halaman masjid.33 Pemukulan gamelan tersebut diringi oleh gending-gending atau lagu yang diciptakan oleh para wali. Setelah dibunyikan semakin keras dan nyaring, masyarakat yang datang semakin banyak dan merasa senang. Dan pada saat itulah kesempatan bagi Sunan Kalijaga untuk berdakwah.

Kemudian, Sunan Kalijaga berdiri di ambang gerbang masjid sambil menguraikan tentang keutamaan agama Islam disertai tentang kesamaannya dengan agama Budha, tanpa mencela sama sekali terhadap agama Budha. Banyak masyarakat yang tertarik, lalu mendekati halaman masjid.34 Akhirnya, masyarakat tertarik dengan Islam, kemudian masyarakat berbondong-bondong masuk Islam secara suka rela dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Itulah sebabnya, ada pengertian yang menyebutkan bahwa sekaten berasal dari kata syahadat karena banyak orang yang masuk Islam secara sukarela dengan mengucapkan syahadat.

33

Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 35.

34

Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 36.

62