• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Sekaten Di Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi Sekaten Di Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Oleh:

Sudirman 109051000065

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

i Antarbudaya

Tradisi sekaten adalah tradisi untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. Tradisi yang diadakan setiap bulan Rabiul Awal ini telah dilaksanakan sejak kerajaan Islam Demak berdiri di Jawa. Pada intinya, tradisi ini merupakan media dakwah yang dimanfaatkan oleh Wali Sanga dalam melakukan dakwah di tanah Jawa. Dalam dakwahnya tersebut, para wali tidak menggunakan cara frontal serta tidak menolak budaya lama (lokal), namun, sebaliknya para wali tersebut bertindak arif dan bijaksana tanpa menghilangkan unsur budaya, bahkan memberi warna dan nuansa baru Islam. Pada konteks kekinian, perayaan sekaten tidak hanya memperlihatkan tontonan budayanya saja, namun, juga memperlihatkan aspek hiburan dan ekonomi yang dikemas dalam bentuk pasar malam sekaten.

Berdasarkan konteks di atas, maka pertanyaan mayornya adalah bagaimanakah tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta dalam perspektif komunikasi antarbudaya?

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi antarbudaya yaitu akulturasi budaya. Unsur-unsur dari teori tersebut meliputi pesan verbal serta nonverbal. Kemudian, unsur-unsur budaya dalam komunikasi antarbudaya meliputi sistem kepercayaan, nilai-nilai, sikap, pandangan hidup terhadap dunia, dan organisasi sosial masyarakat.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada: pertama, penelitian kepustakaan, kedua, wawancara mendalam kepada pihak-pihak yang terkait dalam tradisi sekaten, ketiga, pengambilan data-data dari media cetak internet.

Sekaten adalah upacara dan ritual penabuhan gamelan Kiai Sekati yang diadakan di keraton Yogyakarta setiap tahun pada tanggal 5-11 Rabiul Awal untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. dan bertujuan untuk menyebarkan agama Islam. Gamelan yang ditabuh setiap pelaksanaan sekaten merupakan media akulturasi budaya antara Islam dengan budaya lokal Jawa. Hasil perpaduan tersebut menghasil suatu kebudayaan baru yang yang disebut sebagai tradisi sekaten. Secara verbal sekaten mengajak umat manusia untuk menerima ajaran Islam secara suka rela dan sungguh-sungguh. Lalu, secara nonverbal sekaten sebagai simbol untuk mengajak umat manusia untuk segera masuk Islam dan melakukan sedekah terhadap harta berlebih yang dimilikinya. Kemudian, eksistensi dari sekaten tentunya tidak lepas dari unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang telah terbentuk sejak sekaten itu ada. Sistem kepercayaan yang berkembang di masyarakat tentunya berpengaruh terhadap cara bersikap masyarakat dalam kehidupan berbudaya.

(6)

ii Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillaahirobbil ‘alamiin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT

atas rahmat, taufik, dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW.

Penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan dengan tujuan untuk memenuhi

tugas akhir pendidikan Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Peneliti menyadari tanpa bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai

pihak, penelitian skripsi ini tidak akan selesai, untuk itu pada kesempatan ini

peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi, Pudek I Dr. Suparto, M. Ed, MA, Pudek II Drs. Jumroni, M.

Si, Pudek III Drs. Wahidin Saputra, M.A.

2. Rachmat Baihaky, MA dan Umi Musyarofah, M.A selaku Ketua Jurusan

dan Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

3. Drs. M. Sungaidi. M.A, selaku pembimbing penulis. Tiada kata yang

pantas terucap selain terimakasih yang sebesar-besanya karena

kesediannya untuk meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya.

4. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang telah

memberikan ilmu yang tak ternilai.

5. Segenap staf akademik dan staf perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu

(7)

iii

7. KRT. Rintaiswara, KRT Drs H. Ahmad M Kamaludiningrat, Ir. Yuwono

Sri Suwito, MM dan Purwodiningrat, selaku narasumber. Terimakasih atas

kesediaan waktunya untuk wawancara dan dalam rangka pengumpulan

data-data penulis.

8. Kedua Orang Tuaku tercinta, Bapak Suprayitno dan Ibu Sismi yang

memiliki peran yang sangat penting dan tak terkira.

9. Teman-teman KPI angkatan 2009 yang telah bersama-sama berjuang dan

menimba ilmu di kampus tercinta ini.

10.Teman-teman Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi yang telah membantu

dalam kelancaran penulisan skripsi ini, jazakallah atas dukungannya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah

diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga penelitian ini dapat berguna dan

bermanfaat bagi semua pihak Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 25 November 2013

(8)

iv

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metodologi Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 11

F. Kerangka Pemikiran ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Komunikasi Antarbudaya ... 17

1. Pengertian Komunikasi ... 17

2. Pengertian Budaya ... 19

3. Pengertian Komunikasi Antarbudaya... 23

B. Pesan Verbal ... 30

C. Pengertian Pesan Nonverbal ... 31

(9)

v

3. Organisasi Sosial ... 39

E. Pengertian Tradisi .... ... 40

BAB III GAMBARAN UMUM KERATON YOGYAKARTA A. Arti Lambang Keraton Yogyakarta ... 42

B. Kondisi Geografis Keraton Yogyakarta ... 43

C. Sejarah Singkat berdirinya Keraton Yogyakarta... 48

D. Struktur Pemerintahan Keraton Yogykarta ... 53

E. Asal-Usul Sekaten ... 58

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Gamelan Sekaten Dalam Proses Akulturasi Budaya ... 62

B. Proses Komunikasi Antarbudaya dalam Sekaten ... 65

C. Prosesi Pelaksanaan Sekaten dalam Pandangan Islam... 74

1. Tahap Persiapan ... 74

2. Tahap Gamelan Sekaten Mulai Dibunyikan ... 77

3. Tahap Gamelan Sekaten Dipindahkan ke Masjid ... 78

4. Tahap Sri Sultan Hadir di Masjid Gedhe Kauman ... 79

5. Tahap Kondur Gongso ... 80

D. Pesan Verbal dalam Tradisi Sekaten ... 82

E. Pesan Nonverbal dalam Tradisi Sekaten ... 84

F. Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya dalam Sekaten ... 87

(10)

vi

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 96

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan. Setiap

daerah mempunyai kebudayaan yang menjadi identitas dari wilayahnya.

Kekayaan tersebut dapat terlihat dari beragamnya jenis tarian, lagu daerah,

upacara adat, jenis makanan, jenis pakaian, bentuk rumah, aturan adat, dan

lain sebagainya. Inilah yang menjadikan Indonesia memiliki ragam

filosofis hidup. Hal tersebut patut dijaga dan dilestarikan oleh generasi

penerusnya agar budaya tersebut tetap menjadi identitas suatu daerah dan

tidak lenyap ditelan modernisasi.

Salah satu kota yang masih sarat dengan warisan tradisi atau

budaya leluhurnya adalah Yogyakarta. Yogyakarta merupakan salah satu

daerah di Indonesia yang masih tetap menjaga tradisi dan nilai-nilai

adiluhung yang diwariskan oleh nenek moyangnya dahulu. Yaitu dimulai

ketika kerajaan Majapahit hingga Mataram Islam dan lainnya menguasai

tanah Jawa. Sampai saat ini pun tradisi-tradisi yang dilakukan leluhurnya

dahulu masih tetap dilaksanakan. Ini merupakan bukti bahwa rakyat

Yogyakarta masih mencintai dan peduli terhadap budaya daerahnya.

Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang masih tetap

menjalankan sistem pemerintahan kerajaan. Ini dimulai ketika Pangeran

Mangkubumi mendirikan keraton di Yogyakarta pada tahun 1756.

(12)

Mataram dibagi menjadi dua yaitu di Surakarta dan kedua adalah di

wilayah Yogyakarta (1755 M).

Pembagian wilayah tersebut tak lepas dari campur tangan Belanda

yang mengadakan perjanjian Giyanti antara Pangeran Mangkubumi, Paku

Buwana III dan Belanda/VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

Pangeran Mangkubumi ketika telah mengetahui hal itu, berusaha keras

untuk menyingkirkan Belanda dari Kerajaan Mataram. Singkat cerita,

karena Belanda terdesak oleh serangan yang dilakukan Pangeran

Mangkubumi, akhirnya Belanda mengadakan perjanjian tersebut. Isi dari

perjanjian Giyanti tersebut adalah bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi

dua yaitu setengah dari wilayah Mataram dipimpin oleh Sri Susuhunan

Paku Buwana III dengan ibu kota Surakarta, setengahnya lagi dipimpin

oleh Sri Susuhunan Kabanaran atau disebut sebagai Sri Sultan Hamengku

Buwana I dengan ibu kota Yogyakarta.1

Daerah Istimewa yang disematkan pada wilayah Yogyakarta, tidak

lepas dari sebuah perundingan yang rumit yaitu pada awal pembentukan

pemerintahan daerah. Namun, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya

Yogyakarta mendapatkan gelar Istimewa tersebut. Pemberian gelar

istimewa tersebut memang layak disematkan kepada Yogyakarta, karena

selain sebagai daerah yang menjalankan sistem monarki, daerah tersebut

juga pernah dijadikan sebagai ibu kota negara Indonesia yaitu ketika

1

Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

(13)

Istimewa, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pelajar, yaitu tempat di

mana para pemuda dan pemudi baik masyarakat Yogyakarta maupun luar

Yogyakarta menuntut ilmu. Kemudian, Yogyakarta juga dikenal sebagai

kota budaya dan juga pariwisata yang cukup terkenal tidak hanya di

Indonesia, bahkan di dunia Internasional. Di tengah perkembangan pesat

itu, Sri Sultan Hamengku Buwono ke-X sebagai kepala pemerintahan

daerah, tetap menjaga keutuhan budaya leluhur yang dilestarikan secara

turun-temurun. Salah satu kebudayaan yang masih dilestarikan dari awal

terbentuknya pemerintahan di Yogyakarta sampai saat ini adalah tetap

dilaksanakannya sebuah ritual tradisi yang disebut dengan sekaten.

Sekaten adalah tradisi untuk memperingati hari kelahiran Nabi

Muhammad s.a.w. Menurut sejarahnya, tradisi ini merupakan salah satu

tradisi Islam yang telah dilaksanakan pada awal pemerintahan kerajaan

Islam Demak. Tradisi ini merupakan pengembangan dari tradisi

sebelumnya yang dilakukan masyarakat Jawa yang berkeyakinan Hindu

dan Budha. Sebelumnya pada masa kerajaan Majapahit masyarakat

melakukan tradisi selamatan, namun, peruntukannya adalah untuk

persembahan sesaji kepada para dewa, disertai dengan mantra-mantra,

sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur. Namun, ketika kerajaan

Majapahit runtuh, dan kemudian berdiri kerajaan Islam Demak, oleh

Raden Patah (Raja Demak pertama) dengan disertai dukungan para wali,

perayaan tersebut selanjutnya diubah menjadi kegiatan yang bernuansa

(14)

ayat Alquran.2

Unsur-unsur budaya dari tradisi yang dilakukan masyarakat pada

masa pemerintahan Majapahit tidak dihilangkan. Para Wali Sanga melihat,

bahwa masyarakat Indonesia pada masa itu tidak bisa meninggalkan

aktivitas jahiliyah tersebut. Oleh karena itu, para Wali Sanga

memodifikasinya menjadi suatu aktivitas budaya yang lebih Islami tanpa

menghilangkan unsur budaya yang telah tertanam dalam hati dan pikiran

masyarakat pada saat itu.

Pada masa pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta,

tradisi ini menjadi suatu agenda rutin yang ditetapkan oleh Sri Sultan

Hamengku Buwana dan Paku Buwana. Prosesi tradisi ini dilaksanakan

setiap tanggal 5 Rabiul Awal sore hari sampai 11 Rabiul Awal malam hari.

Gamelan Kanjeng Kiai Sekati atau yang disebut sebagai Kanjeng Kiai

Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga dikeluarkan dari keraton dan

dibawa menuju Masjid Gedhe Kauman atau Masjid Besar Keraton untuk

dibunyikan pada saat penyelenggaraan sekaten. Gamelan tersebut

digunakan untuk mengiringi gending-gending yang dilantunkan selama

tujuh hari berturut-turut secara bergantian.

Bunyi-bunyian dari gamelan tersebut tidak lain adalah untuk

menarik perhatian pengunjung yang datang ke Masjid Gedhe Kauman

untuk menyaksikan pemukulan gamelan yang diadakan selama tujuh hari.

2

(15)

menyaksikan acara pemukulan gamelan, namun, juga bisa datang ke pasar

malam sekaten yang menjual jajanan khas tradisi sekaten, tentunya hal ini

menambah keriuhan dan kemeriahan dari acara sekaten itu sendiri. Pada

malam hari tanggal 11 Rabiul Awal di Masjid Gedhe Kauman, raja

keraton menghadiri acara pembacaan riwayat Nabi Muhammad s. a. w.

Kemudian, melakukan penyebaran udhik-udhik (berisi uang logam, beras,

dan bunga setaman) oleh sultan yang disebut Pasowanan Malem Garebeg

yang melambangkan sedekah raja kepada rakyatnya. Kemudian, pada hari

esoknya diadakanlah perayaan Garebeg Mulud. Ini merupakan puncak dari

perayaan sekaten. Warga dari berbagai penjuru tidak hanya dari

Yogyakarta, juga ikut memeriahkan acara yang diadakan setahun sekali

ini.

Perayaan sekaten ini telah berlangsung sejak enam abad silam.

Tradisi ini tetap bertahan karena semangat dari raja-raja Islam untuk

menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Perayaan tradisi ini tentunya

juga tidak lepas dari mitos yang berkembang kuat di masyarakat. Peneliti

dalam hal ini melihat komunikasi antarbudaya yang dibangun oleh

ulama-ulama keraton dahulu begitu komunikatif sehingga dapat diterima dengan

baik oleh masyarakat. Kemudian, hal ini juga tidak lepas dari sistem

kepercayaan yang berkembang di masyarakat serta nilai-nilai budaya yang

masih tertanam kuat.

Dengan demikian, peneliti akan menelusuri lebih mendalam

(16)

dalam tradisi sekaten. Oleh karena itu, peneliti membuat skripsi dengan

judul: “Tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif

Komunikasi Antarbudaya”.

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah

a. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti paparkan, peneliti

akan mengidentifikasi masalah yang timbul dalam judul skripsi yang

peneliti susun. Penelitian berkaitan dengan bentuk dan proses

komunikasi antarbudaya yang berlangsung pada tradisi sekaten.

Penelitian ini berangkat dari sejarah asal-usul terbentuknya tradisi

sekaten yang dibawa oleh para wali dalam menyebarkan Islam di tanah

Jawa melalui pendekatan budaya. Salah satunya media komunikasi

yang digunakan para wali untuk berdakwah adalah alat musik

gamelan.

b. Batasan Masalah

Untuk memudahkan dalam penelitian ini, sekaligus agar terfokus

ruang lingkup penelitian, maka penulis perlu membatasi masalah pada

tradisi sekaten yang diadakan di Keraton Yogyakarta yang dikaji

dalam perspektif komunikasi antarbudaya, meliputi pesan verbal dan

nonverbal, sistem kepercayaan, nilai-nilai, sikap dan pandangan hidup

(17)

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang ada,

maka pertanyaan mayornya adalah

Bagaimanakah tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta dalam

perspektif komunikasi antarbudaya?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan

Mengetahui bagaimanakah tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta dalam

perspektif komunikasi antarbudaya.

Manfaat

1. Akademis

Secara akademis penelitian ini akan menambah khasanah ilmu

pengetahuan budaya yaitu tentang tradisi sekaten di Keraton

Yogyakarta.

2. Praktis

Dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberikan masukan

positif bagi para praktisi untuk lebih mengoptimalkan nilai-nilai yang

terdapat dalam suatu kebudayaan. Betapa pentingnya komunikasi

sebagai alternatif yang positif bagi kelangsungan budaya-budaya yang

(18)

1. Paradigma Penelitian

Paradigma Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis.

Menurut Dedy N. Hidayat yang mengacu pada pemikiran Guba yang

dikutip oleh Burhan Bungin bahwa paradigma konstruktivis lebih

bersifat reflektif dan dialektikal.3 Menurut paradigma ini, antara peneliti dan subjek yang diteliti, perlu tercipta empati dan interaksi

dialektis agar mampu merekonstruksi realitas yang diteliti melalui

metode kualitatif seperti observasi partisipasi.

Dalam konteks metodologi, paradigma konstruktivis bersifat

dialektik, di mana konstruksi mental individu dibentuk dalam seting

alamiah. Kriteria kualitas penelitian dalam paradigma ini terletak pada

trustworthiness and authenticity (dapat dipercaya dan valid). Dari

dimensi aksiologi, paradigma konstruktivis menganggap nilai, etika,

dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu

penelitian, peneliti menempatkan diri sebagai fasilitator dari

rekonstruksi, dan penelitian bertujuan untuk memberikan pemahaman

dari rekonstruksi.

2. Pendekatan dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan

kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang

mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam

masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna

3

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi

(19)

dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai

kategorisasi tertentu.

Sasaran kajian dari pendekatan kualitatif adalah pola-pola yang

berlaku sebagai prinsip-prinsip umum yang hidup dalam masyarakat.

Gejala-gejala tersebut dilihat dari satuan yang berdiri sendiri dalam

kesatuan yang bulat dan menyeluruh. Sehingga pendekatan kualitatif

sering disebut sebagai pendekatan holistik terhadap suatu gejala

sosial.4

Kemudian, metode yang digunakan adalah deskriptif analisis

dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Metode deskriptif ini

digunakan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik

populasi tertentu, dalam hal ini bidang secara aktual dan cermat.

Metode deskriptif bukan saja menjabarkan, tetapi juga memadukan.

Bukan saja melakukan klasifikasi tetapi juga organisasi. Metode ini

menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah. Peneliti

bertindak sebagai pengamat. Peneliti hanya membuat kategori pelaku,

mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku observasi. Dengan

suasana ilmiah berarti bahwa peneliti terjun ke lapangan. Peneliti tidak

memanipulasi variabel.5

3. Tempat Penelitian

4

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi

Komunikasi di Masyarakat, h. 306. 5

(20)

wilayah Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta, Masjid Gedhe Keraton,

dan juga wilayah utama Keraton Yogyakarta.

4. Informan

Informan yang dipilih dalam penelitian ini terdiri dari abdi dalem

keraton yang terlibat dalam kegiatan sekaten, ulama keraton,

pemerintah daerah, dan juga organisasi sosial yang turut membantu

mengamankan tradisi sekaten. Informan tersebut antara lain:

a. KRT. Rintaiswara sebagai pengurus kawedanan Hageng

Punokawan Widya Budaya Keraton Yogyakarta. Informan tersebut

berkaitan dengan data makna serta unsur-unsur komunikasi

antarbudaya.

b. Purwodiningrat sebagai Pengageng II Kawedanan Hageng

Punakawan Widya Budaya Keraton Yogyakarta. Informan tersebut

berkaitan dengan data unsur-unsur komunikasi antarbudaya.

c. KRT. Drs. H. Ahmad M. Kamaludiningrat sebagai ulama keraton.

Informan tersebut berkaitan dengan data sejarah sekaten.

d. Ir. Yuwono Sri Suwito sebagai ketua dewan kebudayaan

pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Informan tersebut

berkaitan dengan data akulturasi budaya.

5. Teknik Pengumpulan Data

1) Observasi

Observasi merupakan metode pengumpulan data yang

(21)

ini objek yang diamati adalah perayaan tradisi sekaten di

Keraton Yogyakarta.

2) Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan

mengajukan beberapa pertanyaan yang telah dipersiapkan.

Wawancara yang dilakukan adalah wawacara mendalam

kepada orang-orang yang terlibat dalam tradisi sekaten dengan

tujuan agar mendapat informasi yang lengkap.

3) Dokumentasi

Dukumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak

langsung ditujukan pada subjek penelitian, namun melalui

dokumen.6 Pencarian data-data primer ataupun sekunder yang

dapat mendukung hasil penelitian.

E. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini didapatkan dari perpustakaan

Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, yaitu:

1) Skripsi Rinal Rinoza dengan judul “Perspektif Komunikasi

Antarbudaya dalam Film Al-Kautsar” mahasiswa S1, jurusan

Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

6

(22)

tahun 2010.

2) Skripsi Ani Bela Safitri dengan judul “Pesan Komunikasi Antarbudaya

Seni Musik Gong Si Bolong pada Masyarakat Kota Depok”

mahasiswa S1, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas

Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

3) Skripsi Keriyono dengan judul “Tradisi Samenan pada Masyarakat

Sukamulya dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya” mahasiswa

S1, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah

dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta tahun 2009.

Ketiga skripsi tersebut berbicara tentang komunikasi antarbudaya.

Namun, yang membedakan dengan penelitian penulis adalah terletak pada

subjek dan objeknya. Subjek dari penelitian penulis adalah tradisi sekaten

yang diadakan di Keraton Yogyakarta. Sedangkan objeknya adalah

(23)

Keraton Yogyakarta merupakan tempat di mana raja serta

kerabatnya tinggal serta tempat mengatur jalannya pemerintahan daerah.

Selain itu, keraton ini juga sebagai tempat tujuan pariwisata budaya.

Budaya-budaya yang ada di Yogyakarta saat ini tetap lestari meski

bersanding dengan perkembangan teknologi yang semakin modern. Hal ini

tentunya tidak lepas dari peran raja serta masyarakat Yogyakarta sendiri

dalam menjaga dan melestarikan budaya leluhur.

Salah satu budaya yang masih lestari hingga kini adalah perayaan

sekaten. Perayaan sekaten ini telah ada sejak kerajaan Yogyakarta berdiri

tahun 1755. Sekaten memiliki makna tersendiri yaitu sebagai wujud

kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad s.a.w. Dalam

pelaksanaannya, prosesi sekaten ini dilaksanakan selama tujuh hari

dimulai dari tanggal 5 Mulud (Rabiul Awal) sampai 11 Mulud (Rabiul

(24)

melaksanakan tugasnya secara bergantian. Apabila waktu sholat tiba,

maka pemukulan gamelan dihentikan sejenak.

Yang hadir dalam perayaan sekaten ini tidak hanya dari masyarakat

yang tinggal di Yogyakarta, namun, dari luar Yogyakarta juga ikut

merayakan. Dalam perayaan tersebut tentunya terjadi komunikasi

antarbudaya, yaitu komunikasi yang terjadi antara orang-orang yang

berbeda latar belakang budaya. Namun, perbedaan tersebut tidak

menjadikan pembatas, melainkan menjadikan suatu ikatan yang kuat

seperti yang tertulis dalam lambang burung Garuda yang menjadi lambang

negara Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda

namun tetap satu.

Dalam pelaksanaannya, bunyi gamelan tersebut mempunyai makna

dan pesan tertentu, baik itu pesan secara verbal maupun nonverbal. Intinya

adalah untuk dakwah mengajak umat Islam di Yogyakarta untuk mencintai

dan meneladani Nabi Muhammad s.a.w. Terdapat unsur-unsur budaya

yang memengaruhi berkembangnya tradisi tersebut yaitu sistem

kepercayaan masyarakat, nilai-nilai, sikap, pandangan hidup tentang dunia

dan organisasi sosial.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman terhadap keseluruhan skripsi

ini, maka penulis membuat sistematika penulisan pada skripsi sebagai

(25)

menguraikan latar belakang, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan

sistematika penelitian yang merupakan gambaran umum dalam penulisan

skripsi.

Selanjutnya, Kajian Teoritis penulis tempatkan pada Bab II, yaitu

menjelaskan teori-teori yang relevan digunakan dalam penulisan skripsi

untuk menganalisa dan merancang informasi yang diperoleh dari berbagai

sumber seperti buku referensi maupun internet yang menjadi landasan

dalam penulisan skripsi ini di antaranya teori tentang komunikasi

antarbudaya, bahasa, pesan verbal dan nonverbal serta unsur-unsur

komunikasi antarbudaya.

Lebih jauh, Gambaran Umum Keraton Yogyakarta yaitu

membahas tentang kondisi geografis Keraton Yogyakarta, penulis

tempatkan pada Bab III. Selain itu, pada bab ini juga membahas mengenai

arti dari lambang Keraton Yogyakarta. Lalu, membahas kondisi geografis

dari Keraton Yogyakarta. Kemudian, membahas sejarah dari Keraton

Yogyakarta. Terakhir, membahas struktur pemerintahan Keraton

Yogyakarta serta asal-usul tradisi sekaten.

Adapun temuan dan Analisis Data dari keseluruhan skripsi ini ada

pada Bab IV yang membahas hasil dari temuan data dan analisis data

yakni proses komunikasi antarbudaya dalam tradisi sekaten. Unit analisis

yang digunakan adalah pesan verbal dan nonverbal dalam tradisi sekaten

(26)

dalam tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta.

Akhirnya Bab V Penutup, yaitu berisi kesimpulan dari penulisan

skripsi ini dan saran yang diharapkan berguna bagi penulis dan pihak

(27)

17 A. Komunikasi Antarbudaya

1. Pengertian Komunikasi

Dari sudut bahasa komunikasi merupakan terjemahan dari bahasa

Inggris communication.1 Communication ini berasal dari perkataan

Latin:

Communicare, yang berarti: berpartisipasi ataupun

memberitahukan.

Communis, yang berarti: milik bersama ataupun berlaku di

mana-mana.

Communis Opinio, yang berarti: pendapat umum ataupun

pendapat mayoritas.

Pengertian komunikasi secara istilah menurut Roudhonah adalah

suatu proses di mana seseorang komunikator menyampaikan pesannya,

baik dengan lambang bahasa verbal maupun dengan isyarat, yang

antara keduanya sudah terdapat kesamaan makna, dan keduanya dapat

mengerti apa yang sedang dikomunikasikan.

Selanjutnya adalah beberapa pengertian komunikasi menurut

beberapa pendapat para ahli, antara lain:

1

(28)

Carl I. Hovland:

Komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain.2

Raymond S. Ross

Komunikasi adalah proses transaksional yang meliputi

pemisahan, dan pemilahan bersama lambang secara kognitif,

begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan

dari pengalamannya sendiri arti atau respon yang sama dengan

yang dimaksud oleh sumber.3

Saundra Hybels dan Richard L. Weafer II:

Komunikasi merupakan proses pertukaran informasi, gagasan,

dan perasaan.4

Wilbur Schramm:

Komunikasi merupakan kontak antara pengirim dan penerima,

dengan bantuan pesan; pengirim dan penerima memiliki

beberapa pengalaman bersama yang memberi arti pada pesan

dan simbol yang dikirim oleh pengirim, dan diterima serta

ditafsirkan oleh penerima.5

2

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 10.

3

Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 3.

4 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: LkiS,

2003), h. 3.

5

(29)

Everett M. Rogers:

Mengemukakan bahwa komunikasi adalah proses di mana

suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau

lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.6

Theodore M. Newcomb:

Bahwa setiap tindakan komunikasi dipandang sebagai suatu

transmisi informasi, terdiri dari rangsangan yang diskriminatif

dari sumber kepada penerima.7

Kamus Besar Bahasa Indonesia:

Komunikasi diartikan sebagai pesan atau berita antara dua

orang atau lebih sehingga pesan tersebut dapat dipahami dan

dimengerti.8

2. Pengertian Budaya

Secara etimologi9 (bahasa) kebudayaan berasal dari akar kata

budaya (Bahasa Sansekerta) “Bodhya” yang diartikan pikiran dan akal

budi. Secara terminologi10 (istilah), kebudayaan dapat diartikan

sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran, struktur

aturan, kebiasaan, nilai, pengolahan informasi, dan pengalihan

6

Roudhonah, Ilmu Komunikasi, h. 21.

7

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: Rosdakarya, 2007), h. 68.

8

Anton M. Moeliono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan

Nasional (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 585. 9

Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

Aplikasinya (Jakarta: Jala Permata, 2008), h. 32. 10

Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

(30)

pola konvensi (kesepakatan) pikiran, perkataan dan perbuatan/tindakan

yang terjadi pada suatu kelompok masyarakat.

Dalam buku Johanes Mardimin “Jangan Tangisi Tradisi”,11

memberikan definisi

“...Kebudayaan yang dirumuskan melalui pendekatan filosofis dan sosiologis. Secara filosofis, kebudayaan berbicara tentang keistimewaan manusia jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Secara sosiologis dapat dirumuskan bahwa kebudayaan menyangkut seluruh cara hidup manusia yang dianut bersama dalam suatu masyarakat guna mencapai taraf hidup yang lebih baik,...”

Selanjutnya adalah beberapa paparan definisi budaya menurut para

ahli, di antaranya adalah sebagai berikut:

Ki Hajar Dewantara:

Kebudayaan adalah buah budi manusia dalam hidup

bermasyarakat.12

Koentjaraningrat:

Kebudayaan adalah seluruh sistem, gagasan, tindakan dan hasil

karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan

milik diri manusia.13

Sutan Takdir Alisjahbana:

Kebudayaan adalah manisfestasi dari cara berfikir.14

The American Herritage Dictionary:

11

Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat

Indonesia Modern (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 11. 12

Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 24.

13

Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 24.

14

(31)

Kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku

yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni, agama,

kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia atau

suatu kelompok manusia.15

Tylor:

Budaya adalah keseluruhan hal yang kompleks termasuk

pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat dan

kemampuan serta kebiasaan yang lain yang diperoleh manusia

sebagai anggota masyarakat.16

Cialdini:

Kebudayaan sama halnya dengan terminologi, sebuah kepercayaan,

adat-istiadat, kebiasaan, dan bahasa yang diwariskan dalam

kehidupan masyarakat pada situasi dan tempat tertentu.17

Agama Sebagai Sebuah Budaya

Ada pandangan seorang antropolog yang berbicara mengenai

agama sebagai bagian dari budaya. Menurut Edward Norbeck dalam

buku Bustanuddin Agus mengatakan, “...agama adalah buatan manusia

dan di mana pun banyak kesamaannya. Sebagai suatu ciptaan manusia,

agama adalah bagian dari budaya, bagian ciptaan manusia secara

universal,...”18

15

Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 24.

16

Kate Loewhental, Religion, Culture, and Mental Health (USA: Cambridge University Press, 2006 ), h. 4.

17

Kate Loewhental, Religion, Culture, and Mental Health, h.5.

18

Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia : Pengantar Antropologi

(32)

Dari pernyataan yang disebutkan oleh Edward tersebut tentu

menimbulkan kontra di kalangan peneliti antropolog penganut agama

tertentu karena hal tersebut dapat diartikan bahwa ajaran agamanya

hanyalah hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu, pernyataan

tersebut dianggap kurang tepat dengan pendekatan ilmiah. Menurut

Hilman Hadikusuma menyatakan “...agama budaya adalah petunjuk

hidup yang berasal dari pemikiran dan kebudayaan manusia. Ada pula

kebudayaan agama adalah hasil kreasi manusia beragama,...”19

Kemudian, kembali pada definisi tentang budaya sebelumnya.

Budaya adalah hasil cipta, karya dan karsa manusia. Agama yang ada

di bumi dibagi menjadi dua kategori yaitu ada yang disebut sebagai

agama Samawi dan agama Ardhi. Agama samawi adalah agama yang

diturunkan dari Allah SWT melalui malaikat Jibril disampaikan

kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan disebar kepada umat Islam. Lalu,

agama Ardhi adalah agama yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.

Dari kacamata agama, Islam bukanlah suatu kebudayaan, karena

Islam bukanlah hasil dari produk manusia. Islam merupakan agama

yang isi ajaran-ajarannya berasal dari Allah SWT. Namun, dalam

Islam itu sendiri mengajarkan kepada penganutnya untuk menjadi

manusia yang berbudaya. Islam mendorong para pemeluknya untuk

menciptakan kebudayaan dari berbagai segi. Namun, dari kacamata

budaya Islam dapat dikatakan sebagai bagian dari budaya karena

19

Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia : Pengantar Antropologi

(33)

dalam Islam tersebut terdapat nilai-nilai serta ajaran-ajaran yang

bepengaruh terhadap kehidupan manusia.

Atas dasar telah diakuinya sebagian adat-istiadat menjadi bagian

dari ajaran Islam, pada masa Nabi Muhammad s.a.w., Khulafaur

Rasyidin, dan Imam Mazhab, maka, pada kurun waktu berikutnya para

ahli fiqih memformulasikan kaidah hukum yang berbunyi al-‘addah

muhakkamah (adat dapat menjadi sumber penetapan hukum). Para ahli

fiqih melihat bahwa prinsip-prinsip adat merupakan salah satu sumber

hukum Islam yang sekunder, bukan yang primer.20 Artinya sumber

hukum adat dapat berlaku ketika sumber hukum primer (Alquran dan

Hadis) tidak dapat menjawab permasalahan yang muncul.

Selanjutnya menurut Nourouzzaman Shiddiqi yang dikutip oleh

Muhaimin, ciri-ciri kebudayaan Islam adalah:21

a. Bernafaskan tauhid, karena tauhid yang menjadi pokok dari

ajaran Islam.

b. Hasil buah pikir dan pengolahannya adalah dimasukkan untuk

meningkatkan kesejahteraan dan membahagiakan umat

manusia.

3. Pengertian Komunikasi Antarbudaya

Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan terletak pada variasi

langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia

20

Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah

Pertentangan? (Solo: Inti Medina, 2009), h. 7. 21

(34)

atau kelompok sosial. Perlintasan komunikasi tersebut menggunakan

kode-kode pesan, baik secara verbal dan nonverbal, yang secara

alamiah digunakan dalam semua konteks komunikasi.22

Larry A. Samovar23 dalam bukunya Understanding Intercultural

Communication menyatakan bahwa komunikasi antaretnik biasanya

terjadi pada situasi di mana komunikator dan komunikan yang

memiliki kesamaan ras tetapi berbeda asal usul etnik atau latar

belakang. Ras24 merupakan sekelompok orang yang ditandai dengan

ciri-ciri biologis yang sama. Kemudian, kelompok etnik25 adalah

kelompok orang yang ditandai dengan bahasa dan asal usul yang sama.

Komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi yang

dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan yang

berbeda.26 Dalam komunikasi yang terjadi antara dua budaya yang

berbeda itu, maka aspek budaya seperti bahasa, isyarat nonverbal,

sikap, kepercayaan, watak, nilai, dan orientasi pikiran akan lebih

banyak ditemukan sebagai perbedaan yang besar yang sering kali

mengakibatkan terjadinya distorsi dalam komunikasi. Namun, dalam

masyarakat yang bagaimanapun berbeda kebudayaan, tetap akan

22

Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 12.

23

Larry A. Samovar, Understanding Intercultural Communication (USA: Wadsworth Publishing Company, 1981), h. 35.

24

Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

Aplikasinya, h. 18. 25

Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

Aplikasinya, h. 18. 26

Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

(35)

terdapat kepentingan-kepentingan bersama untuk melakukan

komunikasi.27

Selanjutnya adalah beberapa definisi komunikasi antarbudaya

menurut beberapa ahli, di antaranya yaitu:

Definisi menurut Gerhard Maletzke:

Komunikasi antarbudaya diartikan sebagai komunikasi

antarmanusia yang berbeda budayanya.28

Definisi menurut Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa:

Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang

yang berbeda kebudayaan.29

Samovar dan Porter:

Komunikasi antarbudaya terjadi di antara produsen pesan dan

penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.30

Charley H. Dood:

Komunikasi antarbudaya melibatkan peserta komunikasi yang

mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan

pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang memengaruhi

perilaku komunikasi para peserta.31

27

Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), h. 16.

28

Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya,, h. 16.

29

Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

Aplikasinya, h. 20. 30

Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 10.

31

(36)

Komunikasi adalah transaksi.32 Dengan transaksi dimaksudkan

bahwa komunikasi merupakan suatu proses, bahwa

komponen-komponennya saling terkait, dan bahwa para komunikatornya beraksi

dan bereaksi sebagai suatu kesatuan atau keseluruhan. Jadi, pada

hakikatnya proses komunikasi antarbudaya sama dengan proses

komunikasi lain, yakni proses yang interaktif dan transaksional serta

dinamis.33

Berlangsungnya komunikasi antarbudaya adalah jika antara

komunikator dan komunikan mengadakan kesamaan makna/arti

dengan orang yang diajak komunikasi. Menurut Wilbur Schramm

seperti yang dikutip oleh Roudhonah menyatakan “...komunikasi akan

berhasil apabila pesan yang disampaikan komunikator cocok dengan

kerangka acuan (frame of reference) yakni kumpulan pengalaman dan

makna (collection of experiences and meanings) yang pernah diperoleh

komunikan,...”34 Oleh karena itu, apabila antara komunikator dengan

komunikan atau antara salah satunya saja sudah saling mengerti

perbedaan di antara masing-masing, maka komunikasi akan terjalin

dengan baik.

Mohammad Shoelhi dalam bukunya “Komunikasi Internasional”,

fungsi-fungsi komunikasi antarbudaya adalah sebagai berikut:

a. Fungsi identitas sosial

32

Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia (Tangerang Selatan: Karisma, 2011), h. 47.

33

Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, h. 24.

34

(37)

Dalam komunikasi antarbudaya terdapat berberapa perilaku

komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan

identitas diri maupun identitas sosial.35

b. Fungsi kognitif

Tidak dapat dibantah bahwa komunikasi dapat menambah dan

memperkaya pengetahuan bersama.36

c. Melepaskan diri

Kadang-kadang kita berkomunikasi dengan orang lain sekedar

untuk melepaskan diri dari berbagai masalah yang

menghimpit.37

d. Integrasi sosial

Esensi dari integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan

persatuan antarpribadi, antarkelompok, namun, tetap mengakui

perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur dalam

kelompok sosial.38

e. Sosialisasi nilai

Tanpa disadari ketika ada pergelaran wayang golek atau tarian

Jawa atau pertunjukkan musik rock, di situ ada nilai-nilai yang

ditransformasikan kepada penonton.39

f. Pengawasan

35

Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009) h. 38.

36

Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 38.

37

Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 38.

38

Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 39.

39

(38)

Komunikasi juga berfungsi untuk melakukan pengawasan.40

g. Menjembatani

Komunikasi juga berfungsi sebagai jembatan atas perbedaan

antara para peserta komunikasi yang saling berupaya

menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga

hubungan dapat terjalin dengan baik melalui simbol-simbol

yang bermakna sama.41

Akultusari Budaya

Akulturasi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendatang

untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya lokal.42

Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang pendatang.

Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi

lambang-lambang masyarakat lokal yang signifikan. Sebagaimana orang-orang

pribumi memperoleh pola-pola budaya pendatang lewat komunikasi.

Sebaliknya, seorang pendatang pun memperoleh pola-pola budaya

pribumi lewat komunikasi.

Akulturasi mengacu pada proses di mana kultur seseorang

dimodifikasi melalui kontak dan pemaparan langsung dengan kultur

lain. Menurut Kim dalam buku Komunikasi Antarmanusia menyatakan

bahwa “...penerimaan kultur baru bargantung pada sejumlah faktor.

Imigran yang datang dari kultur yang mirip dengan kultur tuan rumah

40

Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 39.

41

Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 39.

42

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

(39)

akan terakulturasi lebih mudah. Demikian pula mereka yang terdidik

dan lebih muda lebih cepat terakulturasi dari pada mereka yang lebih

tua dan kurang berpendidikan. Faktor kepribadian juga berpengaruh.

Orang yang senang mengambil resiko dan berpikiran terbuka, lebih

mudah terakulturasi,...”43

Potensi akulturasi seorang pendatang sebelum bermigrasi dapat

mempermudah akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi.

Potensi akulturasi ditentukan oleh faktor-faktor berikut.

1. Kemiripan antara budaya asli (pendatang) dan budaya lokal.

2. Usia pada saat bermigrasi.

3. Latar belakang pendidikan.

4. Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan

toleransi.

5. Pengetahuan tentang budaya lokal sebelum bermigrasi.

Asimilasi (Pembauran)

Asimilasi adalah tujuan penting akulturasi yang secara teoritis

mungkin terjadi. Bagi kebanyakan imigran, asimilasi adalah tujuan

sepanjang hidup. Mengutip makna asimilasi dari skripsi Ali Abdul

Rodzik “...asimilasi adalah proses sosial yang timbul apabila ada

golongan-golongan manusia dengan latar kebudayaan berbeda-beda,

saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama,

sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi

43

(40)

masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan

campuran,...”44

Hasil dari proses asimilasi yaitu semakin tipisnya batas perbedaan

antarindividu dalam suatu kelompok, atau bisa juga batas-batas

antarkelompok. Selanjutnya, individu melakukan identifikasi diri

dengan kepentingan bersama. Artinya, menyesuaikan kemauannya

dengan kemauan kelompok. Demikian pula antara kelompok yang satu

dengan kelompok yang lain.45

Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga persyaratan berikut:

1. Terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan

berbeda

2. Terjadi pergaulan antarindividu atau kelompok secara intensif

dan dalam waktu yang relatif lama

3. Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah

dan menyesuaikan diri

B. Pesan Verbal

Pesan verbal dapat diartikan sebagai pesan-pesan komunikasi

dalam bentuk kata-kata. Pesan tersebut bisa dalam bentuk tulisan maupun

44

Ali Abdul Rodzik, “Akulturasi Budaya Betawi Dengan Tionghoa (Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah),” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008), h. 18.

45

(41)

ucapan lisan dari komunikator kepada komunikan. Secara etimologis,46

kata verbal berasal dari verb (bahasa Latin) yang berarti word (kata). Word

merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, rhema, yang berarti ‘sesuatu’

yang digunakan untuk menggambarkan tindakan, eksistensi, kejadian atau

peristiwa, atau ‘sesuatu’ yang digunakan sebagai pembantu atau

penghubung sebuah predikat. Kata verbal sendiri berasal dari bahasa

Latin, verbalis, verbum yang sering pula dimaksudkan dengan ‘berarti’

atau ‘bermakna melalui kata’, atau yang berkaitan dengan ‘kata’ yang

digunakan untuk menerangkan fakta, ide, atau tindakan yang lebih sering

berbentuk percakapan lisan dari pada tulisan.

Pesan komunikasi verbal adalah sarana utama untuk menyatakan

pikiran, perasaan, dan harapan kepada orang lain. Pesan verbal

menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas

yang ada pada diri seseorang. Kata-kata sebagai ungkapan perasaan dapat

dikemas dalam dua cara yaitu secara vokal atau lisan atau nonvokal atau

tertulis. Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan cara

menyampaikan pesan kata-kata yang diucapkan.47

C. Pesan Nonverbal

Secara sederhana, komunikasi nonverbal adalah proses

penyampaian pesan tidak menggunakan kata-kata (bahasa) melainkan

46

Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 135.

47

(42)

dengan isyarat-isyarat yang dapat dipahami.48 Pesan nonverbal berupa

isyarat, simbol, lambang yang dikirim oleh seseorang kepada orang lain,

dapat berupa isyarat bersuara (verbal) maupun tanpa suara (nonverbal).49

Kemudian, menurut Tubb dan Carter seperti yang dikutip oleh

Suranto AW,50 memberikan definisi “jika suatu pesan tidak diucapkan

secara lisan maupun tertulis maka pesan tersebut diungkapkan dengan

menggunakan bahasa nonverbal”. Sementara itu, Arni Muhammad

mengatakan yang dimaksud komunikasi nonverbal adalah penciptaan dan

pertukaran pesan dengan tidak menggunakan kata-kata, melainkan

menggunakan bahasa isyarat seperti gerakan tubuh, sikap tubuh, vokal

yang bukan kata-kata, kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak,

sentuhan dan sebagainya.

Menurut Back seperti yang dikutip oleh Alo Liliweri,51 bahwa

pesan nonverbal itu sangat penting bagi pengembangan perilaku sosial,

khususnya dalam menyatakan emosi. Friedman juga mengembangkan

gagasan ini dalam sejumlah paper yang menekankan pada kemampuan

yang berbeda-beda dari manusia dalam menggunakan bahasa nonverbal.

Konsep ini banyak disetujui meskipun harus diakui bahwa konsep ekspresi

itu sendiri sangat berimplikasi psikologis, karena meliputi karakteristik

personal.

48

Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

Aplikasinya, h. 57. 49

Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 145.

50

Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 146.

51

(43)

Selanjutnya adalah fungsi komunikasi nonverbal, menurut Mark L.

Knapp yang dikutip oleh Suranto AW,52 menyebut lima fungsi pesan

nonverbal yang dihubungkan dengan pesan verbal:

1. Repetisi (repetition), yaitu mengulang kembali gagasan

yang sudah disajikan secara verbal.

2. Substitusi (substitution), yaitu menggantikan

lambang-lambang verbal.

3. Kontradiksi (contradiction), menolak pesan verbal atau

memberi makna yang lain terhadap pesan verbal.

4. Komplemen (complement), yaitu melengkapi dan

memperkaya makna pesan nonverbal.

5. Aksentuasi (accentuating), yaitu menegaskan pesan verbal

atau menggarisbawahinya.

D. Unsur-Unsur Komunikasi Antarbudaya

Jalaluddin Rakhmat berpendapat bahwa terdapat tiga unsur sosial

budaya yang mempunyai pengaruh besar atas makna-makna yang kita

bangun dalam persepsi kita. Unsur-unsur tersebut adalah sistem

kepercayaan, nilai, sikap, pandangan hidup tentang dunia, dan organisasi

sosial. Kita semua mungkin melihat entitas sosial yang sama dan

menyetujui entitas sosial tersebut dengan menggunakan istilah-istilah yang

52

(44)

objektif, tetapi makna objek atau peristiwa tersebut bagi kita mungkin

sebagai individu sangat berbeda.53

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih,

mengevaluasi dan mengorganisasikan stimulasi dari lingkungan eksternal.

Diartikan juga sebagai proses internal untuk mengubah energi fisik

lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna yang membentuk

perilaku tertentu. Keberhasilan dan cara mempersepsi dunia perilaku ini

adalah hasil pengalaman budaya.54

Berikut adalah penjabaran unsur sosial budaya yang berpengaruh

terhadap komunikasi antarbudaya, di antaranya:

1. Sistem Kepercayaan

Jalaluddin Rakhmat berpendapat kepercayaan dapat dipandang

sebagai kemungkinan-kemungkinan subjektif yang diyakini individu

bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik-karakteristik

tertentu.55 Dalam buku Richley H. Crapo56 dijelaskan mengenai arti

dari kepercayaan dalam bukunya Cultural Anthropology: Understanding

Ourselves & Others bahwa kepercayaan adalah suatu alat yang mana

seseorang menciptakan suatu faham atau arti dari pengalamannya;

berasal dari suatu pemikiran atau gagasan yang dipercaya menjadi

suatu kebenaran, berdasarkan fakta atau kenyataan.

53

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, h. 26. 54

Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 57.

55

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, h. 26. 56

(45)

Menurut Daniel E. Hebding dan Leonard Glick yang dikutip Alo

Liliweri dalam bukunya “Makna Budaya Dalam Komunikasi

Antarbudaya” bahwa kepercayaan dapat diartikan sebagai gagasan

yang dimiliki oleh orang tentang sebagian atau keseluruhan realitas

dunia yang mengelilingi dia.57 Kepercayaan melibatkan hubungan

antara objek yang dipercayai dan karakteristik-karakteristik yang

membedakannya. Derajat tingkat kepercayaan kita mengenai suatu

peristiwa atau suatu objek yang memiliki karakteristik-karakteristik

tertentu menunjukkan tingkat kemungkinan subjektif kita dan

konsekuensinya juga menunjukkan kedalaman atau intensitas

kepercayaan kita.58

Sistem kepercayaan erat kaitannya dengan nilai-nilai yang ada,

sebab nilai-nilai itu adalah aspek evaluatif dari sistem kepercayaan,

nilai dan sikap yang meliputi kualitas atau asas-asas sebagai berikut:59

a. Kemanfaatan

b. Kebaikan

c. Keindahan (estetika)

d. Kemampuan memuaskan kebutuhan dan kesenangan

Sistem kepercayaan agama sekelompok orang agak bergantung

pada tingkat perkembangan kemanusiaan mereka, suku-suku bangsa

57

Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 56.

58

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, h. 26. 59

(46)

primitif cenderung percaya pada ketakhayulan dan praktik sihir

merupakan hal yang biasa.60

2. Nilai-nilai, Sikap, dan Pandangan Dunia Nilai-nilai

Nilai-nilai adalah aspek evaluatif dari sistem kepercayaan, nilai dan

sikap. Nilai-nilai budaya biasanya berasal dari isu-isu filosofis lebih

besar yang merupakan bagian dari suatu milieu (lingkungan pergaulan)

budaya. Nilai-nilai itu umumnya normatif dalam arti bahwa nilai-nilai

tersebut menjadi rujukan seorang anggota budaya tentang apa yang

baik dan apa yang buruk, yang benar dan yang salah, yang sejati dan

palsu, positif dan negatif, dan sebagainya.61

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa setiap kebudayaan harus

memiliki nilai-nilai dasar yang merupakan pandangan hidup dan

sistem kepercayaan di mana semua pengikutnya berkiblat. Nilai dasar

itu membuat para pengikutnya melihat diri mereka ke dalam, dan

mengatur bagaimana caranya mereka melihat keluar. Nilai dasar itu

merupakan filosofi hidup yang mengantar anggotanya ke mana dia

harus pergi.62

Di antara nilai-nilai ada yang sudah membaku dan meresap lama

melalui proses internalisasi kepada individu-individu yaitu yang

dinamakan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini erat kaitannya

60

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, h. 62. 61

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, h. 27. 62

(47)

dengan nilai agama sehingga sering istilahnya digabung menjadi

sistem nilai-nilai budaya dan nilai agama. Umumnya nilai budaya dan

nilai agama ini membaku dalam norma-norma apa yang baik dan apa

yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah, yang asli dan yang

palsu, yang positif dan yang negatif, yang bermanfaat dan yang

mubazir, dan sebagainya.

Keseluruhan nilai dan norma tersebut adalah aspek evaluatif dari

sistem kepercayaan yang selanjutnya menentukan perilaku-perilaku

mana yang baik dan buruk, mana yang dituruti dan dihindari.

Nilai-nilai inilah yang disebut Nilai-nilai normatif karena dianggap sudah diterima

menjadi peraturan yang berlaku, seperti di bidang agama, lalu lintas

ataupun di kantor. Yang penting dalam komunikasi antarbudaya bahwa

nilai normatif itu dapat dikenal dalam perilaku-perilaku normatif

sehari-hari sebagai pedoman bagi individu dan kelompok untuk

mengurangi dan mengatasi suatu konflik.63

Sikap

Perilaku dan sikap mempunyai hubungan erat dalam komunikasi

antarpribadi. Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan

yang mendukung atau memihak ataupun perasaan tidak mendukung

objek tersebut. Jika dihubungkan dengan komunikasi antarbudaya,

sikap adalah kesiapan jawaban (respons) perilaku kita sehari-hari

terhadap dunia, manusia, dan peristiwa di lingkungan kita. Kesiapan

63

(48)

sikap perilaku tersebut adalah hasil dan cara belajar merespons

lingkungan dalam kawasan budaya tertentu.64

Proses terbentuknya kecenderungan-kecenderungan sikap secara

integratif itu meliputi tiga unsur:

• Unsur kognisi dan keyakinan

• Unsur evaluasi

• Unsur intensitas dan harapan

Intensitas sikap (unsur ketiga) berdasarkan tingkat perkembangan

sikap keyakinan (unsur pertama) dan unsur evaluasi (unsur kedua).

Ketiga unsur tersebut berintegrasi dalam proses kejiwaan yang

menciptakan kecenderungan-kecenderungan bereaksi terhadap

lingkungan.65

Pandangan Dunia

Pandangan hidup adalah unsur terpenting dan sangat berpengaruh

dalam aspek-aspek perseptual komunikasi antarbudaya. Berbeda

dengan unsur budaya lainnya, seperti cara makan, berpakaian, gaya

hidup sehari-hari yang mudah disimak oleh panca indera kita. Cara

pemahaman pandangan hidup mengenai dunia itu adalah melalui

substansi dan kerumitan dari pengaruh kuatnya terhadap kebudayaan

masyarakat, bangsa-bangsa, yang seringkali tidak kentara dan tidak

disadari.66

64

Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 60.

65

Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 60.

66

(49)

3. Organisasi Sosial

Organisasi sosial sebagai unsur budaya, merupakan cara

bagaimana suatu budaya mengorganisasikan dirinya dan bagaimana

lembaga-lembaganya memengaruhi cara anggota-anggota budaya itu

mempersepsi dunia serta bagaimana pula mereka berorganisasi.67

Pengertian lain mengenai organisasi sosial dalam buku “Sejarah

Kebudayaan Indonesia” adalah bagian dari masyarakat yang

mendukung kelangsungan masyarakat tersebut sesuai kebutuhan

kelompok atau keseluruhan dan memperlihatkan hubungan dinamis

yang berbeda satu dari yang lain.68

Organisasi sosial dalam suatu negeri paling utama akan berkaitan

dengan organisasi sosial yang memiliki hubungan dengan

kelembagaan birokrasi, keagamaan, ekonomi (termasuk di dalamnya

pemasaran, dan kegiatan eksploitasi atau produksi), pendidikan,

pertahanan dan keamanan, dan lain sebagainya.69 Ada dua faktor yang

berpengaruh dalam peranan keorganisasiannya: pertama, bahwa

persepsinya akan berbeda-beda, dan kedua, apa yang dikomunikasikan

adalah pencerminan dari apa yang dipersepsikan oleh

kebudayaannya.70

67

Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 63.

68

Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia Sistem Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 9.

69

Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia Sistem Sosial, h. 9-10.

70

(50)

Terdapat dua jenis bentuk pengorganisasian masyarakat yang

memengaruhi komunikasi antarbudaya, di antaranya:71

a. Kebudayaan geografis di lingkungan batas-batas wilayah:

negara, suku bangsa, kasta, sekte keagamaan dan sebagainya.

b. Kebudayaan dalam kedudukan dan peranan sosialnya yang

berkaitan dengan cara-cara berperilaku, profesi dan ideologi

tertentu. Kesemuanya berpengaruh terhadap komunikasi

antarbudaya.

E. Tradisi

Kita adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, di mana

kebudayaan kita terima sebagai warisan yang diturunkan tanpa surat

wasiat. Kita merunduk jika berpapasan dengan orang tua, menahan kentut

dalam suatu pertemuan, kita beranggapan tidak sopan berdiri di dekat

orang lebih tua yang sedang duduk, dan sebagainya. Itu adalah

kebiasaan-kebiasaan yang kita warisi dari generasi pendahulu kita. Itu semua

merupakan bagian-bagian terkecil dari kebudayaan manusia. Kebiasaaan

yang turun-temurun dalam suatu masyarakat itu disebut tradisi.72

Tradisi adalah tatanan keyakinan dan tata cara yang diwarisi dari

masa lalu, sehingga ketika diupayakan reinterpretasi terhadap masa lalu,

tradisi tersebut menjadi berubah. Adapun tradisionalisme merupakan

paham yang mengagung-agungkan masa lalu, segala sesuatu yang datang

71

Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 64.

72

Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat

(51)

dari masa lalu dianggap tidak bisa berubah. Kaum yang menganut

tradisionalisme menganggap tradisi mereka bersifat tetap, tak berubah dan

mereka memaksakan kepada orang lain agar melakukan seperti yang ia

lakukan sebelumnya.73

73

(52)

42

[image:52.612.105.510.188.577.2]

A. Arti Lambang Keraton Yogyakarta1

Gambar 1: Lambang Keraton Yogyakarta

Keterangan:

1. Songkok: Topi/mahkota kelengkapan busana prajurit, melambangkan

sifat dan sikap kesatria serta kedudukan raja sebagai panglima atau

senapati perang.

2. Sumping: hiasan yang dipakai di telinga terdiri dari motif ceplik bentuk

bunga matahari artinya hidup harus bermanfaat bagi sesamanya. Daun

kluwih artinya raja harus mempunyai kelebihan atau linuwih dibanding

yang lainnya. Makara artinya mempunyai daya untuk menangkal

bahaya sehingga berakibat menambah ketenaran keraton.

1

(53)

3. Praba: sinar artinya selalu memancarkan cahaya penerang bagi

masyarakat luas terutama sekali pada masa sulit, gelap dan

ketidakpastian.

4. Lar: sayap artinya melambangkan cita-cita tinggi mengangkasa.

5. Tameng: melambangkan sikap melindungi dan mengayomi

kewula/rakyat dengan sesanti hamemayu hayuning bawana.2

6. Ha Ba: inisial atau singkatan dari gelar sultan yaitu Hamengku

Buwana yang berarti Hamangku, Hamengku, dan Hamengkoni.3

7. Teratai: melambangkan keterkaitan kehidupan dunia akhirat.

8. Sulur: melambangkan bahwa kehidupan manusia itu berlangsung

turun-temurun sepanjang masa.

B. Kondisi Geografis Keraton Yogyakarta

Secara morfologis kata “keraton” terbentuk dari kata ‘ratu’ dengan

mendapat awalan ka dan akhiran –an (ke-ratu-an) yang kemudian melebur

2

Dalam filosofi ”Hamemayu Hayuning Bawana” terkandung di dalamnya kewajiban Tri

Satya Brata. Pertama, rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa (kesejahteraan dunia

tergantung manusia yang memiliki ketajaman hati), menunjuk pada harmoni hubungan antara manusia dengan alam, baik dalam lingkup dunia sebagai kewajiban ”Hamangku Bumi”, maupun lingkup yang lebih luas dalam seluruh alam semesta (universe) sebagai kewajiban ”Hamengku

Buwana”. Kedua, darmaning manungsa mahanani rahayuning negara (tugas hidup manusia

adalah menjaga keselamatan negara), sebagai kewajiban manusia selama hidup di dunia, di mana kehidupan merupakan dinamika manusia, yaitu ”Hamengku Nagara”. Ketiga, rahayuning

manungsa dumadi karana kamanungsane (keselamatan manusia oleh kemanusiaannya sendiri).

Sehingga dapat dimengerti filosofi ”Hamemayu Hayuning Bawana” itu menyandang misi akbar bagi manusia di dunia dalam tiga substansi tersebut, yaitu: ”Hamengku Nagara, Hamangku Bumi,

Hamengku Buwana.” 3

(54)

menjadi ‘keraton/kraton’. Kata ‘ratu’ kata ratu berarti raja. Adapun kata

“keraton” berarti ‘tempat tinggal raja’.4

Di Yogyakarta ada dua buah tempat tinggal raja yang dikenal

dengan sebutan ‘Keraton Kasultanan’ dan ‘Pura Pakualaman’. ‘Keraton

Kasultanan’ merupakan tempat tinggal sultan (Sri Sultan Hamengku

Buwana) sedangkan ‘Pura Pakualaman’ adalah tempat tinggal Paku Alam

(Sri Paduka Paku Alam). Letak Keraton Kesultanan Yogyakarta adalah di

tengah kota Yogyakarta. Dahulu wilayah yang masih termasuk daerah

keraton terbentang antara sungai Code dan sungai Winongo. Berbataskan

Tugu di sebelah utara dan Krapyak di sebelah selatan. Pada masa kini,

daerah keraton hanya terbatas dalam wilayah kecamatan Keraton. Dahulu

luas daerah keraton adalah 14.000 km². Pada masa kini hanya 1 km².5

Kompleks keraton dikelilingi oleh tembok segi empat yang disebut

benteng. Tinggi benteng 3,5 m, dengan kelebaran antara tiga sampai empat

meter. Dahulu kala, bagian luar benteng dikelilingi oleh sebuah parit yang

lebar dan dalam. Pintu gerbang benteng yang disebut plengkung ada lima

buah. Setiap pintu gerbang dihubungkan dengan jembatan yang dapat

ditarik ke atas. Pada masa kini sebagian dari benteng itu sudah rusak dan

sebagian besar bagian dalam dari benteng-benteng tersebut sudah

dijadikan perumahan oleh penduduk. Demikian pula parit yang

mengelilingi benteng sudah lama ditimbun dengan tanah dan dijadikan

4

Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa (Yogyakarta: Kepel Press, 2008), h. 11.

5

Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Bud

Gambar

Gambar 1: Lambang Keraton Yogyakarta
Gambar 2: Denah Keraton Yogyakarta
Gambar 3: Struktur Organisasi Keraton Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

Food bar adalah campuran bahan pangan (blended food) yang diperkaya dengan nutrisi, kemudian dibentuk menjadi bentuk padat dan kompak (a food bar form). Tujuan

Value Added Intellectual Coefficient (VAIC TM ) yang diproksi dengan Value Added of Capital Employed (VACA), Value Added Human Capital (VAHU), dan Structural Capital

Oleh karena galur Obs-1653/Ps] clan Obs-1656/Ps] mempunyai produksi tinggi, tahan terhadap hama wereng coklat biotipe 1 clan 2 dan agak tahan biotipe 3 serta tahan

Karena pada umumunya masyarakat menganggap sangatlah tidak adil jika perkara-perkara tersebut diancam dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara sebagaimana diatur dalam pasal

Termasuk yang juga bisa menolong untuk khusyu’ dalam shalat, yaitu tidak mengganggu orang lain dengan bacaan al Qur`an, tidak shalat dengan pakaian atau baju yang ada

3) dilaporkan dalam neraca dengan klasifikasi (classification) akun yang tepat dan periode akuntansi yang sesuai dengan terjadinya transaksi (cutoff). Bagian flowchart yang

Kualifikasi Pendidikan yang dibutuhkan diutamakan Sarjana/Magister Ilmu Olah Raga, Ilmu Pariwisata, Ekonomi Pembangunan, Manajemen, Administrasi Keuangan, Kesekretariatan,

Untuk itulah maka seharusnya perusahaan menerapkan Activity Based Management System (ABM) dalam proses produksi dan perhitungan biaya aktivitas produksinya agar