• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KEMISKINAN DAN STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN

5.1.3 Sistem Bagi Hasil

Sistem bagi hasil adalah pola pembagian dari hasil penjualan tangkapan setelah melakukan kegiatan menangkap ikan di laut (miyang) dalam satu kali melaut. Sistem bagi hasil ini dilakukan oleh para nelayan karena adanya ketidakpastian hasil dalam usaha penangkapan ikan. Pada waktu dulu sistem bagi hasil yang berlaku pada tiap-tiap peralatan tangkap sama yaitu 50 persen bagi pemilik perahu (juragan) dan 50 persen bagi buruh nelayan (bidak). Namun pada perkembangannya, sistem bagi hasil mengalami perubahan karena jumlah pemilik perahu (juragan) yang semakin bertambah sementara jumlah buruh nelayan relatif tetap, sehingga persaingan antar juragan untuk mendapatkan tenaga kerja buruh nelayan. Untuk mengatasi persaingan antar juragan tersebut, para juragan membuat kesepakatan yang baru tentang sistem bagi hasil yang berlaku.

Limbangan sangat bergantung pada jenis alat tangkap karena pada tiap-tiap alat tangkap sistem bagi hasil yang berlaku berbeda-beda. Perbedaan sistem bagi hasil ini dikarenakan oleh adanya perbedaan harga pada peralatan tangkap. Pada peralatan tangkap yang harganya lebih mahal, maka bagian pemilik parahu (juragan) akan lebih besar bila dibandingkan dengan sistem bagi hasil pada peralatan tangkap yang harganya relatif lebih murah. Selain itu, perbedaan system bagi hasil disebabkan pula oleh adanya perbedaan resiko kerusakan alat tangkap jaring pada saat digunakan dalam kegiatan melaut (miyang). Sepeti terlihat pada uraian berikut ini:

1. Jaring Payang

Setelah proses penjualan hasil tangkapan selesai, hasil penjualan tidak langsung dibagi, tetapi dipotong terlebih dahulu 3 persen untuk pembayaran retribusi kepada petugas TPI. Biaya retribusi ini ditanggung bersama antara nelayan dan bakul. Setelah dipotong biaya retribusi, baru kemudian dilakukan pembagian hasil. Aturan atau ketentuan yang digunakan dalam pembagian hasil untuk menentukan besarnya bagian yang diperoleh setiap komponen yang terlibat dalam hubungan kerja, yaitu sebagai berikut:

a. Jumlah keseluruhan pendapatan atau uang penghasilan dalam sekali melaut mula-mula dipotong untuk biaya retribusi dan biaya perbekalan atau biaya operasional melaut (miyang). Untuk sekarang ini, dengan adanya kenaikan harga BBM, biaya perbekalan pada jenis alat tangkap ini rata-rata sekitar Rp 125.000,00.- mencakup antara lain: biaya solar, oli, minyak tanah, es, makanan dan rokok. Biaya perbekalan tersebut terlebih

selesai biaya perbekalan tersebut akan dibayar dari penjualan hasil tangkapan.

b. Setelah dipotong biaya perbekalan, selanjutnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu satu bagian atau 40 persen untuk pemilik perahu (juragan) dan satu bagian 60 persen untuk buruh nelayan (bidak).

c. Dari keseluruhan bagian para bidak yang besarnnya 60 persen tersebut, dibagi sesuai dengan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut.

Rincian pembagian hasil pada jenis alat tangkap ini dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini:

Tabel 6. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Payang

No Spesialisasi kerja Jumlah orang Bagian 1 2 3 4 5 Juru mudi Pemburit Jembatu Motoris Penabur saya 1 1 1 1 3 – 4 1,5 1,5 1 1 1 Keterangan:

1. Juru mudi, yaitu nelayan yang bertugas mengemudikan perahu pada saat melaut

2. Pemburit, yaitu nelayan yang bertugas menarik jaring

3. Jembatu, yaitu nelayan yang bertugas melemparkan batu pada saat menabur jaring

4. Motoris, nelayan yang bertugas mengopersikan mesin pada perahu

5. Penabur saya, yaitu nelayan yang bertugas menaburkan jaring pada saat melaut (miyang).

Misal hasil kotor penjualan ikan teri dalam satu kali melaut (miyang) adalah Rp 300.000,00. Uang tersebut mula-mula dikurangi biaya retribusi sebesar 3%. Namun karena biaya retribusi ini ditanggung oleh nelayan dan bakul, sehingga nelayan hanya di bebani setengahnya (1,5%) yaitu sebesar Rp 4500,00. Dengan demikian uang yang tersisa adalah Rp 295.500,00. Dari uang yang tersisa tersebut di kurangi biaya perbekalan sebesar Rp 125.000,00, sehingga uang yang tersisa sebesar Rp 170.500,00. Selanjutnya uang tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pemilik parahu (juragan) sebesar 40% (Rp 68.200,00) dan bagian bidak sebesar 60% (Rp 102.300,00). Dari bagian bidak sebesar Rp 102.300,00 ini dibagi sesuai dengan jumlah bidak yang ikut melaut (miyang) dan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut. Apabila bidak yang ikut melaut (miyang) berjumlah 8 orang, maka hasil yang diterima oleh masing-masing bidak adalah sebagai berikut:

a. Juru mudi (1,5 bagian) sebesar Rp 19.000,00 b. Pemburit (1,5 bagian) sebesar Rp 19.000,00 c. Jembatu (1 bagian) sebesar Rp12.800,00 d. Motoris (1 bagian) sebesar Rp 12.800,00

e. Penabur saya masing-masing (1 bagian) sebesar Rp 12.800,00

Pada kasus juragan yang ikut dalam kegiatan melaut (miyang), maka selain bagian juragan sebesar 40% (Rp 68.200,00) juga ditambah bagian jurumudi sebesar1,5 bagian (Rp 19.000,00), sehingga pendapatan total juragan sebesar Rp 87.200,00.

pada gambar 2. perlu dikemukakan disini, bahwa mekanisme pembagian hasil tersebut bisa dijalankan jika hasil yang di dapat dari kegiatan melaut (miyang) telah melewati jumlah nilai untuk menutupi biaya retribusi dan biaya perbekalan. Jika hasil dari melaut (miyang) relatif kecil, maka perhitungan tersebut tidak sepenuhnya dijalankan.

Gambar 2. Bagan Alir Bagi Hasil Pada Jenis Alat tangkap Jaring Payang

2. Jaring Kantong

Setelah proses penjualan hasil tangkapan selesai, kemudian dilakukan pembagian hasil. Aturan atau ketentuan yang digunakan dalam pembagian hasil untuk menentukan besarnya bagian yang diperoleh setiap komponen yang terlibat dalam hubungan kerja, yaitu sebagai berikut:

a. Jumlah keseluruhan pendapatan atau uang penghasilan dalam sekali melaut mula-mula dipotong biaya perbekalan atau biaya operasional melaut (miyang). Besarnya biaya perbekalan pada jenis alat tangkap ini rata-rata sekitar Rp 90.000,00.- mencakup antara lain: biaya solar, oli,

Hasil Tangkapan

Dikurangi biaya retribusi dan operasional/perbekalan

40% juragan 60% Bidak 1. Juru mudi 2. Pemburit 3. Jembatu 4. Motoris 5. Penabur saya

dahulu ditanggung oleh pemilik perahu (juragan), setelah kegiatan melaut selesai biaya perbekalan tersebut akan dibayar dari penjualan hasil tangkapan.

b. Setelah dipotong biaya perbekalan, selanjutnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu satu bagian atau 30 persen untuk pemilik perahu (juragan) dan satu bagian 70 persen untuk bidak.

c. Dari keseluruhan bagian para bidak yang besarnnya 70 persen tersebut, dibagi sesuai dengan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut.

Rincian pembagian hasil pada jenis alat tangkap ini dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini:

Tabel 7. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Kantong

No Spesialisasi kerja Jumlah orang Bagian 1 2 3 Juru mudi Pemburit Penabur saya 1 1 2 1 1 1

Contoh sistem bagi hasil pada alat tangkap jaring kantong sebagai berikut: Misal hasil kotor penjualan udang dalam satu kali melaut (miyang) adalah Rp 300.000,00. Uang tersebut mula-mula di kurangi biaya perbekalan sebesar Rp 90.000,00, sehingga uang yang tersisa sebesar Rp 210.000,00. Selanjutnya uang tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pemilik parahu (juragan) sebesar 30% (Rp 63.000,00) dan bagian bidak sebesar 70% (Rp 147.00,00). Dari bagian bidak sebesar Rp 147.000,00 ini dibagi sesuai dengan jumlah bidak yang ikut melaut (miyang) dan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut. Apabila bidak yang ikut melaut

adalah sebagai berikut:

a. Juru mudi (1 bagian) sebesar Rp 36.750,00 b. Pemburit (1 bagian) sebesar Rp 36.750,00

c. Penabur saya masing-masing (1 bagian) sebesar Rp 36.750,00

Pada kasus juragan yang ikut dalam kegiatan melaut (miyang), maka selain bagian juragan sebesar 30% (Rp 63.200,00) juga ditambah bagian jurumudi sebesar 1 bagian (Rp 63.000,00), sehingga pendapatan total juragan sebesar Rp 99.750,00.

Bagan alir bagi hasil pada jenis alat tangkap jaring kantong ini dapat terlihat pada gambar 3 berikut ini:

Gambar 3. Bagan Alir Bagi Hasil Pada Jenis Alat tangkap Jaring Kantong

3. Jaring Rampusan/Unyil

Sistem bagi hasil pada jenis alat tangkap ini sama dengan sistem bagi hasil yang berlaku pada jenis alat tangkap jaring kantong, yaitu:

a. Jumlah keseluruhan pendapatan atau uang penghasilan dalam sekali melaut mula-mula dipotong biaya perbekalan atau biaya operasional

Hasil Tangkapan

Dikurangi biaya operasional/perbekalan

30% juragan 70% Bidak

1. Juru mudi 2. Pemburit 3. Penabur saya

rata-rata sekitar Rp 80.000,00.- mencakup antara lain: biaya solar, oli, minyak tanah, es, makanan dan rokok. Biaya perbekalan tersebut terlebih dahulu ditanggung oleh pemilik perahu (juragan), setelah kegiatan melaut selesai biaya perbekalan tersebut akan dibayar dari penjualan hasil tangkapan.

b. Setelah dipotong biaya perbekalan, selanjutnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu satu bagian atau 30 persen untuk pemilik perahu (juragan) dan satu bagian 70 persen untuk bidak.

c. Dari keseluruhan bagian para bidak yang besarnnya 70 persen tersebut, dibagi sesuai dengan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut.

Tabel 8. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Rampusan

No Spesialisasi kerja Jumlah orang Bagian 1 2 3 Juru mudi Pemburit Penabur saya 1 1 2 1 1 1

Contoh sistem bagi hasil pada alat tangkap jaring rampusan/unyil sebagai berikut:

Misal hasil kotor penjualan ikan dalam satu kali melaut (miyang) adalah Rp 200.000,00. Uang tersebut mula-mula di kurangi biaya perbekalan sebesar Rp 80.000,00, sehingga uang yang tersisa sebesar Rp 120.000,00. Selanjutnya uang tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pemilik parahu (juragan) sebesar 30% (Rp 36.000,00) dan bagian bidak sebesar 70% (Rp 84.00,00). Dari bagian bidak sebesar Rp 84.000,00 ini dibagi sesuai dengan jumlah bidak yang ikut melaut (miyang) dan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing

(miyang) berjumlah 4 orang, maka hasil yang diterima oleh masing-masing bidak adalah sebagai berikut:

a. Juru mudi (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00 b. Pemburit (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00

c. Penabur saya masing-masing (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00

Pada kasus juragan yang ikut dalam kegiatan melaut (miyang), maka selain bagian juragan sebesar 30% (Rp 36.000,00) juga ditambah bagian jurumudi sebesar 1 bagian (Rp 21.000,00), sehingga pendapatan total juragan sebesar Rp 57.000,00.

4. Jaring Kopet

Sistem bagi hasil pada jenis alat tangkap ini juga sama dengan sistem bagi hasil yang berlaku pada jenis alat tangkap jaring kantong dan jaring rampusan, yaitu:

a. Jumlah keseluruhan pendapatan atau uang penghasilan dalam sekali melaut mula-mula dipotong biaya perbekalan atau biaya operasional melaut (miyang). Besarnya biaya perbekalan pada jenis alat tangkap ini rata-rata sekitar Rp 80.000,00.- mencakup antara lain: biaya solar, oli, minyak tanah, es, makanan dan rokok. Biaya perbekalan tersebut terlebih dahulu ditanggung oleh pemilik perahu (juragan), setelah kegiatan melaut selesai biaya perbekalan tersebut akan dibayar dari penjualan hasil tangkapan.

yaitu satu bagian atau 30 persen untuk pemilik perahu (juragan) dan satu bagian 70 persen untuk bidak.

c. Dari keseluruhan bagian para bidak yang besarnnya 70 persen tersebut, dibagi sesuai dengan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut.

Tabel 9. Pembagian Hasil Bidak pada Jenis Alat Tangkap Jaring Kopet

No Spesialisasi kerja Jumlah orang Bagian 1 2 3 Juru mudi Pemburit Penabur saya 1 1 1 1 1 1

Contoh sistem bagi hasil pada alat tangkap jaring kopet sebagai berikut: Misal hasil kotor penjualan ikan dalam satu kali melaut (miyang) adalah Rp 200.000,00. Uang tersebut mula-mula di kurangi biaya perbekalan sebesar Rp 80.000,00, sehingga uang yang tersisa sebesar Rp 120.000,00. Selanjutnya uang tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pemilik parahu (juragan) sebesar 30% (Rp 36.000,00) dan bagian bidak sebesar 70% (Rp 84.00,00). Dari bagian bidak sebesar Rp 84.000,00 ini dibagi sesuai dengan jumlah bidak yang ikut melaut (miyang) dan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing bidak menurut perannya dalam bertugas di laut. Apabila bidak yang ikut melaut (miyang) berjumlah 4 orang, maka hasil yang diterima oleh masing-masing bidak adalah sebagai berikut:

a. Juru mudi (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00 b. Pemburit (1 bagian) sebesar Rp 21.000,00

selain bagian juragan sebesar 30% (Rp36.000,00) juga ditambah bagian jurumudi sebesar 1 bagian (Rp 21.000,00), sehingga pendapatan total juragan sebesar Rp 57.000,00.

5. Jaring Kejer

Pada jenis alat tangkap ini tidak terdapat bagi hasil. Namun hanya membayar uang sewa perahu kepada pemilik perahu (juragan) sebesar Rp 2.000-Rp 3.000 perkilogram untuk biaya pemeliharaan perahu dan mesin. Dalam pengoperasiannya para bidak menggunakan alat tangkap sendiri-sendiri.

Contoh pembayaran sewa pada jenis alat tangkap jaring kejer sebagai berikut:

Misal dalam kegiatan melaut (miyang) dilakukan oleh 4 orang terdiri seorang juragan dan 3 orang bidak, dari masing-masing 4 orang tesebut menghasilkan rajungan sebanyak 10 kg, jika juragan menentukan harga sewa perkilogramnya sebesar Rp 3.000,00, maka masing-masing bidak tersebut akan mengeluarkan biaya sewa sebesar Rp 30.000,00. Dengan demikian seorang juragan medapatkan total biaya sewa sebesar Rp 90.000,00.

5.1.4. Kemiskinan Nelayan

Kemiskinan dipahami secara beragam oleh masyarakat nelayan di Desa Limbangan. Misalnya rumahtangga Bapak Dkm memahami kemiskinan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Menurtnya ”Kemiskinan dicirikian oleh susahnya memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Rumahtangga miskin biasanya mengkonsumsi makanan dengan lauk tempe dan tahu, sedangkan orang kaya mengkonsumsi makanan dengan lauk-pauk yang beraneka ragam”.

dalam bidang pendidikan. Menurutnya ”Kemiskinan ini di cirikan oleh rendahnya tingkat pendidikan keluarga nelayan, sehingga tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mencukupi untuk memenuhi syarat bekerja di sektor lain yang memiliki penghasilan yang besar. Rumahtangga Bapak Usm memahami kemiskinan sebagai ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan pangan, sandang dan papan. Menurutnya ”Kemiskinan di cirikan oleh kondisi tempat tinggal yang sangat sederhana yaitu berupa rumah semi permanen atau gubuk yang berlantaikan tanah, dan tidak memiliki perabotan rumahtangga yang mewah seperti TV, tape, kulkas, serta tidak memiliki barang-barang kekayaan seperti perhiasan emas, dan alat transportasi (mobil dan motor).

Secara umum, kemiskinan dipahami oleh masyarakat nelayan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan akan sandang, pangan dan papan serta keterbatasan dalam menjangkau pelayanan pendidikan. Kemiskinan nelayan di Desa Limbangan dapat dicirikan secara fisik dan sosial. Secara fisik kemiskinan nelayan dicirikan oleh kondisi rumah tempat tinggal nelayan yang sangat sederhana, yaitu berupa rumah-rumah semi permanen atau rumah-rumah yang terbuat dari dinding anyaman bambu. Selain itu kurangnya pemilikan perabotan rumahtangga serta tidak memiliki barang-barang berharga yang dapat menunjukkan status sosial yang tinggi seperti perhiasan emas, perabotan rumahtangga yang mewah, alat trasportasi, dan lain-lain.

Gambar 4. Rumah Tempat Tinggal Nelayan Bidak

Secara sosial, kemiskinan nelayan di Desa Limbangan dicirikan oleh tingkat pendidikan anggota rumahtangga yang masih rendah. Sebagian besar nelayan di Desa Limbangan hanya mampu menempuh pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD), bahkan ada pula sebagian nelayan yang sama sekali tidak pernah mengenyam bangku pendidikan, sehingga tidak mempunyai kemampuan baca tulis. Hal ini sangat logis, karena orang tua mereka dulu sangat miskin sehingga tidak mampu membiayai mereka sekolah tinggi-tinggi, selain itu, anak-anak mereka diharapkan bisa membantu pekerjaan orangtuanya di laut untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari meskipun harus berhenti sekolah.

”Kula lagi waktu cilik cuma bisa sekolah sampe kelas siji SD, sawise kuwen langsung menggawe ning laut, karena pada waktu semono wong tua kula wis tua lan sakit-sakitan, dadi kula selaku anak kang paling gede terpaksa kudu luruh duit kanggo nyukupi kebutuan wong tua lan ketelu adine kula (Ksd/Juragan)”

(Saya pada waktu kecil hanya bisa sekolah sampai kelas satu SD, setelah itu langsung bekerja melaut, karena pada waktu itu orang tua saya sudah tua dan sakit-sakitan, sehingga saya sebagai anak yang paling tua terpaksa harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhan orang tua dan ketiga adik saya).

Selain itu, kemiskinan dapat pula dicirikan oleh kesehatan anggota rumahtangga yang masih rendah. Hal ini dapat terlihat dari menu makanan sehari-hari dan perawatan kesehatan anggota rumahtangga. Bagi rumahtangga nelayan

lima sempurna. Selain itu, Rumahtangga nelayan miskin di Desa Limbangan biasanya hanya memeriksakan kesehatannya di puskesmas pembantu yang ada di Desa atau hanya kepada paranormal. Sedangkan orang yang kaya biasanya memeriksakan kesehatannya di rumah sakit atau dokter spesialis yang ada di kota-kota seperti Indramayu, Cirebon dan lain-lain. Hal ini seperti diungkapkan oleh salah seorang responden sebagai berikut:

”Wong ora duwe mah mangane cuma karo oncom lan tau bae, ora kaya wong sugih mangane laue macem-macem (Wnh/Istri nelayan bidak)”.

(Orang miskin itu makannya hanya dengan tempe dan tahu saja, tidak seperti orang kaya makannya dengan lauk yang bermacam-macam).

5.2. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan

Dokumen terkait