• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM DISTRIBUSI TERNAK DAN HASIL TERNAK SAPI POTONG DI INDONESIA

Bambang Winarso

Pusat Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor [email protected]

ABSTRAK

Aktivitas distribusi penyaluran ternak dan hasil ternak dari daerah produsen ke daerah konsumen merupakan bagian dari kegiatan pemasaran, tidak terlepas dari adanya peran transportasi terutama dalam menyediakan jasa angkutan. Proses pengangkutan ternak maupun hasil ternak tersebut dapat menggunakan moda transportasi laut, darat maupun udara. Oleh karena itu, peran lembaga bisnis yang bergerak dalam bidang tranportasi sangat penting artinya dalam mendukung distribusi barang termasuk hewan ternak dan ikutannya. Keragaan di lapangan menunjukkan bahwa kinerja tranportasi, baik transportasi laut, darat maupun udara kaitannya dengan distribusi ternak hidup maupun hasil ternak sapi potong cukup beragam. Masing-masing jenis moda memiliki permasalahannya sendiri-sendiri, yang membawa konsekuensi mahalnya harga daging di tingkat konsumen, sehingga untuk kepentingan ke depan upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu diupayakan solusinya. Secara metodologis penelitian ini merupakan bagian dari hasil penelitian tentang ―Kajian Efisiensi Moda Transportasi Ternak dan Daging Sapi Dalam Mendukung Program Swasembada Daging Sapi‖ yang dilakukan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, tahun 2013. Adapun lokasi penelitian dilakukan Jawa, Bali, NTT, NTB dan Kalimantan Timur.

Kata kunci: distribusi penyalur, hasil ternak, moda transportasi.

PENDAHULUAN

Indonesia dengan jumlah pulau diperkirakan 17.499 pulau dan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2 dengan panjang garis pantai 81.900 km merupakan Negara kepulauan yang sangat luas (Lemhannas, 2012). Indonesia merupakan negara kepulauan, angkutan ternak dari sentra produksi ke sentra konsumsi terkadang harus menggunakan lebih dari satu moda transportasi, pola yang demikian merupakan pola multi moda. Didalam Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda didefinisikan sebagai angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit dua moda angkutan yang berbeda atas dasar satu kontrak sebagai dokumen angkutan multimoda dari satu tempat diterimanya barang oleh badan usaha angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang kepada penerima barang angkutan multimoda.

53 Keberadaan sarana transportasi tentu erat kaitannya dengan sistem rantai pasok yang ada. Sementara keragaan rantai pasok ternak dan daging sapi di Indonesia menunjukkan bahwa berdasarkan penggunaan akhir, maka ada tiga arah utama. Pertama, rantai pasok perdagangan antar pulau/provinsi. Pada arah ini komoditas yang diperjual-belikan dapat berupa sapi potong, sapi bibit, sapi bakalan, dan produk pangan asal sapi yaitu daging sapi dan produk lainnya. Kedua, rantai pasok perdagangan sapi potong lokal lingkup kota tertentu dan daerah sekitarnya. Pada arah ini komoditas yang diperjual-belikan berupa sapi untuk keperluan pemotongan yang dilakukan di rumah potong hewan. Hasil proses pemotongan berupa daging, karkas, dan produk lainnya umumnya dipasarkan untuk kebutuhan lokal baik untuk konsumsi rumahtangga, rumah makan, supermarket, horeka (hotel, restoran dan catering), dan pengolahan daging dan produknya. Ketiga, rantai pasok perdagangan sapi dengan tujuan akhir peternak itu sendiri. Pada arah ini, sebagai produsen peternak memerlukan sapi bibit sebagai pengganti sapi induk yang dipelihara sudah tidak produktif lagi dan memerlukan sapi bakalan untuk usaha penggemukan.

Seperti diketahui bahwa sistem pemeliharaan sapi di Indonesia umumnya terkonsentrasi pada peternakan rakyat berskala kecil, hal ini terkadang menjadi salah satu kendala terhadap efisiensi transportasi. Untuk mencapai pasar ternak, biaya transportasi relatif mahal karena pada umumnya ternak tidak diangkut dalam jumlah banyak. Seandainya pedagang pengumpul harus mendatangi peternak, biaya transportasi yang harus dikeluarkan oleh pedagang juga relatif besar. Kalau peternak dapat menjual sapi bersama-sama dengan peternak lainnya sampai pada jumlah tertentu, tentu biaya transportasi menjadi lebih murah, karena saling berbagi. Konsekuensi dari biaya transportasi yang mahal adalah harga jual sapi di tingkat peternak yang murah.

Tidak jarang alat angkut yang digunakan dalam posisi di bawah kapasitas, akibatnya biaya per ekor menjadi tinggi. Pedagang pemotong sapi di kota Bengkulu lebih memilih membeli sapi dari feedlotter (90%) asal Lampung dengan alasan diantaranya: lokasi sapi di Bengkulu terpencar sehingga membeli dari feedlot biaya transportasinya lebih efisien. Keefisienan tersebut disebabkan: (1) harga karkas lebih murah (di Lampung Rp 20.500/kg, di Bengkulu Utara Rp 21.500/kg; (2) berat sapi hidup lebih tinggi (rata-rata 450 kg/ekor dibanding 250 kg/ekor); (3) tidak banyak pungutan selama transportasi dari Lampung ke Kota Bengkulu dibandingkan dari Kabupaten Bengkulu Utara ke Kota bengkulu; (4) waktu yang digunakan untuk

54 mendapatkan sapi lebih efisien karena sapi sudah terkumpul di feedlot, sedangkan di Bengkulu Utara harus dicari pada beberapa lokasi (Ilham, et al. 2009).

Disisi lain aktifitas transportasi ternak dihadapkan pada selain biaya langsung transportasi itu sendiri juga adanya biaya tak langsung. Mayrowani et al. (2003) dengan tujuan meningkatkan pendapatan asli daerah muncul retribusi yang tumpang tindih dalam kegiatan perdagangan komoditas sapi potong, akibatnya biaya perdagangan meningkat dan efisiensi perdagangan dan daya saing produk di sentra konsumen menurun. Kondisi ini tentu makin meningkatkan peluang masuknya produk impor. Belum lagi adanya kebijakan kuota yang dikenakan oleh daerah. Kuota adalah bentuk hambatan perdagangan yang menentukan jumlah maksimum suatu jenis barang yang dapat diimpor dalam satu periode tertentu (Pulungan RE, 2012). Ilham dan Yusdja (2004) mengemukakan bahwa biaya pemasaran sapi potong berkisar 2,30-9,08%, dan komponen biaya transportasi merupakan biaya utama. Mahalnya biaya transportasi disebabkan oleh jarak tempuh yang jauh dan adanya pungutan resmi dan tidak resmi selama perjalanan. Usaha bisnis transportasi merupakan usaha yang sifatnya jangka panjang yang tentunya akan selalu dihadapkan pada resiko-resiko bisnis selama perjalanan panjang tersebut. Secara metodologis penelitian ini merupakan bagian dari hasil penelitian tentang ―Kajian Efisiensi Moda Transportasi Ternak dan Daging Sapi Dalam Mendukung Program Swasembada Daging Sapi‖ yang dilakukan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, thn 2013. Adapun lokasi penelitian dilakukan Jawa, Bali, NTT, NTB dan Kalimantan Timur.

PEMBAHASAN

Secara legislasi seperti diketahui bahwa UU yang terkait dengan transportasi ternak sapi adalah UU 23/2007 tentang Perkeretaapian, UU 17/2008 tentang Pelayaran (Menkumham, 2008) dan UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Menkumham, 2009). Dari UU tersebut ada juga beberapa PP, diantaranya PP 18/2011 tentang Multimoda (Menkumham, 2011). Pada UU 23/2007 pasal 1 dan pasal 3, sama sekali tidak disebutkan angkutan ternak, jasa pelayanan Kereta Api hanya mengangkut penumpang dan/atau barang (Menkumham, 2007). Pada pasal 139 (2) angkutan barang tidak termasuk ternak tetapi terdiri dari: angkutan barang umum, angkutan barang khusus, angkutan bahan berbahaya dan beracun, dan angkutan limbah bahan berbahaya dan beracun. Tidak dijelaskan apa saja yang masuk kelompok barang khusus. Dengan

55 demikian, hingga saat ini memang belum ada amanah jasa kereta api untuk mengangkut ternak, khususnya ternak sapi (Ilham, et al. 2013).

Transportasi adalah kegiatan pemindahan barang (muatan) dan penumpang dari suatu tempat ke tempat lain. Transportasi memiliki lima unsur pokok yang saling berkaitan, yang pertama ‗Manusia‘, sebagai yang membutuhkan transportasi, salain itu ada ‗barang‘, sebagai kebutuhan manusia yang akan di pindahkan selain manusia itu sendiri, selanjutnya ‗kendaraan‘, sebagai sarana atau alat yang digunakan. Selanjutnya ‗jalan‘, sebagai prasarana transportasi, serta ‗organisasi‘, sebagai pengelola transportasi (Abbas, 2006). Moda transportasi dibagi menjadi tiga macam, yaitu transportasi darat, transportasi udara, dan transportasi laut. Biaya transportasi dipengaruhi oleh ketersediaan dan efisiensi moda transportasi yang digunakan. Menurut Abubakar (2011), moda transportasi merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan alat angkut yang digunakan untuk berpindah tempat dari satu tempat ketempat lain. Ragam moda transportasi dapat dikelompokkan atas moda yang berjalan di darat, berlayar di perairan laut dan pedalaman serta moda yang terbang di udara. Efisiensi transportasi dipengaruhi oleh karakteristik mode angkutan yang digunakan, sebagai contoh suatu kapal akan semakin efisien kalau ukuran kapalnya semakin besar untuk perjalanan jarak jauh dan permintaannya besar.

Transportasi angkutan Laut

Moda transportasi laut pada dasarnya merupakan bagian dari pada moda transportasi lewat air. Tranportasi air disamping dapat dilakukan lewat laut, juga dapat dilakukan lewat sungai dan danau. Adapun sarana yang digunakan untuk transportasi/pengangkutan di laut berupa kapal, feri dan sampan. Beberapa jenis kapal dapat dilihat dari mesin penggerak yaitu kapal motor, kapal layar, kapal uap dan kapal nuklir, sedangkan dilihat dari bahannya adalah kapal kayu, baja, serat kaca dan komposit. Sebagai sarana angkutan laut yang sering digunakan adalah kapal. Sarana angkutan laut sendiri dapat didefinisikan sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah laut, kapal, fasilitas kesyahbandaran/pelabuhan, angkutan laut, navigasi transpotasi laut, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.

Dalam hal transportasi ternak sapi potong, peranan syahbandar adalah memfasilitasi dan menangani tatacara pemuatan ternak ke kapal angkut yang ada di pelabuhan. Sementara peryaratan yang menyangkut kesehatan ternak, bobot ternak,

56 jumlah ternak dan persyaratan teknis lainnya sepenuhnya ada di tangan karantina ternak dan hewan Dinas Peternakan. Sedangkan keselamatan ternak saat di perjalanan baik saat menuju kapal, saat di kapal maupun turun dari kapal sepenuhnya ada di tangan pemilik barang. Untuk menjaga ternak selama di perjalanan, pemilik ternak menugaskan petugas pengawas (Kleder) yang mengawasi ternak baik dalam memenuhi kebutuhan pakan, minum, kesehatan maupun kebutuhan lainnya saat dalam perjalanan.

Sebagai gambaran angkutan ternak sapi potong menunjukkan bahwa PT. CBA merupakan salah satu pelaku bisnis dalam melayani angkutan laut. Jumlah kapal yang dikuasai sebanyak 30 unit dengan berbagai ukuran tonase dari 500 ton sampai dengan > 1000 ton. Operasional pengangkutan barang yang selama ini dilakukan lebih didominasi pengangkutan barang ke Indonesia bagian timur. Pengangkutan barang dari Surabaya ke Jakarta atau ke kawasan barat hampir tidak pernah dilakukan dengan alasan kurang efisien. Usaha pengangkutan ternak sapi potong dilakukan sudah lama terutama dari daerah sentra produsen seperti NTT, NTB, Bali ke tempat-tempat yang membutuhkan terutama di kawasan timur Indonesia seperti ke Papua, Kalimantan, utamanya ke Surabaya. Tujuan utama dari kegiatan mengangkut sapi potong lebih didasarkan pada upaya menjaga hubungan bisnis yang selama ini telah dilakukan terutama dengan pelanggan lain yang memanfaatkan jasa pelayaran PT CBA.

Secara umum kapal besi mengangkut ternak sekitar 300 ekor-400 ekor/trip. Biaya yang dikeluarkan menyangkut biaya bahan bakar (solar) dengan harga non subsidi, biaya masuk pelabuhan dan biaya operasional ABK. Sehingga keuntungan yang didapat dari hasil angkut ternak secara umum hanya bisa untuk menutupi biaya operasional kapal pulang pergi dari NTT ke Surabaya. Akan tetapi kapal dari Surabaya ke NTT umumnya mengangkut semen, beras atau barang lainnya. Sementara sistem angkutan secara tradisional saat ini masih tetap berjalan. Pengangkutan ternak dengan menggunakan kapal kayu tetap berjalan. Hal ini wajar mengingat kapal kayu mampu melayari sampai ke pedalaman atau daerah-daerah terpencil. Seperti hasil kajian Moerdianto B. dan T. Achmadi (2013) menunjukkan bahwa pengiriman sapi dengan menggunakan Kapal Layar Motor terdapat dua jenis tarif yaitu sapi dewasa dengan tarif Rp 350.000/ekor serta sapi muda dan anak Rp 250.000/ekor. Pada kenyataanya kapal kayu mampu beroperasi sampai ke Kalimantan dan tempat-tempat lain.

Hal ini dapat dilakukan dengan cara berlayar dengan menyusuri perairan dekat pantai, agar keselamatan kapal dapat terjaga. Transportasi pengangkutan ternak sapi potong dengan menggunakan kapal kayu tersebut diatas sifatnya adalah one way satu

57 arah juga dari wilayah sentra produksi ternak (NTT/NTB) diangkut menuju wilayah konsumen terutama ke wilayah provinsi di Kalimantan baik Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan maupun Kalimantan Barat. Disamping itu realisasi juga menunjukkan bahwa kontinuitas ketersediaan barang yang akan diangkut (ternak sapi) juga sering tidak menentu keberadaannya, terutama jumlah batas minimal ternak yang bisa diangkut. Jasa angkutan laut yang tidak mengutamakan standar angkutan ternak dan jadwal yang tidak teratur menyebabkan biaya pemasaran meningkat akibat penyusutan berat badan ternak dan biaya tambahan lainnya (Ilham, N. dan Y. Yusdja, 2004). Hal diatas menunjukkan indikasi bahwa angkutan ternak lewat laut belum ditangani secara maksimal. Hasil kajian KPK menunjukkan bahwa 1990 – 2000 pengiriman sapi dari wilayah timur masih mengarah ke Jabodetabek dan mulai menggunakan jalur darat dan pada periode tahun 2000 – 2012 pengiriman sapi dari wilayah timur mulai bergeser ke Kalimantan (KPK, 2013). Permasalahan adalah jadwal keberangkatan kapal juga sangat dipengaruhi disamping oleh ketersediaan barang yang akan diangkut juga keadaan cuaca yang terkadang masih menjadikan kendala. Hasil kajian yang dilakukan oleh Lemhannas (2012), jika Indonesia tidak meningkatkan fasilitas pelabuhan-pelabuhannya dan manajemen kepelabuhan, maka lalu lintas barang antar pulau akan terhambat dan para operator internasional akan menguasai sektor transportasi laut nasional (Lemhannas, 2012. pg 34).

Prinsip bisnis yang ditempuh perusahaan dalam kegiatan pengangkutan ternak adalah kecepatan waktu dan safety. Mengangkut ternak dibutuhkan kelaikan kapal yang prima sehingga keterlambatan dalam hal waktu bisa ditekan. Disamping itu keamanan terhadap ternak harus benar-benar terjaga, sedapat mungkin ternak tidak ada yang mati dalam perjalanan. Yang masih menjadi kendala adalah hal-hal yang sifatnya post mejeur seperti cuaca tidak baik yang menyebabkan pelayaran sering ditunda. Kegiatan pengangkutan ternak selama ini memang termasuk kurang menguntungkan apabila tidak diimbangi dengan bisnis pengangkutan barang lainnya. Pengangkutan sapi hidup tetap menjadi, hal ini berdasarkan alasan bahwa sapi hidup lebih praktis tidak perlu menyediakan box pendingin (refer container) yang harganya sangat mahal.

Kegiatan pengangkutan ternak sapi potong dari sentra produsen dilakukan lebih didasarkan perhitungan bisnis semata. Daripada kapal kembali ke Surabaya dalam keadaan kosong, maka lebih baik dimanfaatkan untuk mengangkut ternak sapi. Kegiatan pengangkutan ternak sapi potong tidak bisa dijadikan andalan, sebab disamping volumenya tidak menentu, saat ini ada kecenderungan semakin terbatas. Hal ini

58 disebabkan disamping jumlah (populasi) sapi yang akan diangkut semakin menurun juga disebabkan jumlah kapal pesaing juga semakin meningkat. Berdasarkan informasi dari pihak perusahaan bahwa dalam kegiatan proses pengangkutan ternak sapi potong dari NTT ke Surabaya sifatnya adalah carter. Sehingga apabila kapal telah mengangkut ternak sapi potong, maka tidak bisa mengangkut barang lainnya termasuk barang hasil pertanian seperti kopra, mete atau barang hasil pertaanian lainnya.

Tabel 1. Pangsa struktur ongkos distribusi ternak sapi oleh pedagang sapi antar pulau di lokasi penelitian, 2013. (dalam %)

No Jalur Transpor Admntrsi Tng

Krja Krntina Kesrawan Susut Pungli

1 Kupang-Jakarta 56,57 3,26 6,13 1,79 27,81 4,42 0,01 2 Bima-Banjarmasin 38,77 5,01 3,95 1,89 16,19 32,57 1,62 3 Bojonegoro-Bogor 42,52 5,81 24,92 - 23,82 0,00 2,93 4 Yogyakarta-Bndung 49,91 18,15 2,84 - 26,66 0,00 2,45 5 Lombok-Gorontalo 74,97 5,47 0,11 3,32 13,47 - 2,65 Transportasi Darat

Moda yang di darat juga masih bisa dikelompokkan atas moda jalan, moda kereta api dan moda pipa. Keberadaan sarana transportasi dimaksudkan agar kegiatan distribusi bisa lebih efisien. Efisiensi transportasi adalah suatu ukuran besarnya biaya (dalam rupiah, waktu, energi atau tambahan lainnya) untuk menggerakkan sesuatu dalam hal ini ternak dan daging sapi satu tempat ke tempat lain (Wikipedia, 2011).

Kereta api

PT KAI merupakan salah satu lembaga yang bergerak di bidang moda transportasi darat dalam kegiatan bisnisnya telah melakukan kerjasama binis dengan beberapa perusahaan yang membutuhkan jasa angkutan kereta api. Kereta api merupakan alat transportasi darat yang paling cepat dan efisien baik dilihat dari segi ketepatan waktu maupun biaya. Proses pengangkutan barang dengan menggunakan kereta api dapat dikatakan hampir tidak ada hambatan dan biaya pungutan liar selama diperjalanan disamping barang yang diangkut dapat dilakukan dalam jumlah besar. Beberapa kelebihan menggunakan jasa tansportasi kereta api adalah: (1) risiko kecelakaan yang terjadi menjadi tanggungan perusahaan angkutan kereta api, (2) selama perjalanan tidak ada pungutan baik resmi maupun tidak resmi, (3) ongkos relatif murah jika dibandingkan dengan menggunakan truk.

Untuk melayani jasa angkutan barang, pihak PT KAI telah memfokuskan pada investasi gerbong datar type PPCW yaitu type gerbong datar yang multifungsi yang

59 tidak tentu barang yang akan diangkut. Menurut rencana akan dibangun gerbong datar type PPCW sebanyak 3000 unit, akan tetapi saat ini sudah tersedia gerbong yang sama sebanyak 1200 unit. Semua gerbong berdinding dan beratap sudah tidak ada. Semua barang diangkut dengan peti kemas. Selama ini antara rangkaian gerbong barang dan penumpang memungkinkan untuk disatukan. Dimana posisi gerbong barang diletakkan pada urutan pertama dan terakhir. Rangkaian demikian disebut kereta aling-aling yang difungsikan sebagai Barang Hantaran Potongan dan tetap bekerjasama dengan pihak ekspeditur. Semua jenis barang dapat diangkut kecuali B3 dan ternak. Diantara barang yang diangkut adalah semen, meubel, perabot rumah tangga, elektronik, motor, sparepart, material bangunan, dll. Sehingga kalaupun ada kerjasama pengangkutan, maka lebih ke arah pengangkutan hasil ternak berupa daging beku dengan menggunakan reefer container. Dalam merintis bisnis angkutan barang (daging beku), maka ada 3 opsi yang sedang dibangun oleh pihak PT KAI yaitu : (a) dari pihak pengusaha ternak agar menghubungi ekpeditur eksisting, (b) pihak pengusaha ternak dapat bekerja dengan/secara grouping (perserikatan) dengan para pedagang daging, (c) pengusaha ternak dapat memilih ekpeditur lain yang belum bekerjasama dengan PT KAI. Hal ini perlu dilakukan sebab apabila ada kerjasama dalam bentuk container, maka pihak PT KAI perlu membangun sarana-sarana yang memenuhi persyaratan angkutan barang terutama persyaratan BHP (Barang Hantaran Potongan) (Ilham dan Yusdja, 2004).

Berdasarkan informasi bahwa biaya/ongkos angkut yang dikenakan dari Surabaya s/d Jakarta per Teus Rp1.6 juta. Dimana 1 Teus setara dengan 20 feet), 1 gerbong memuat 2 kontainer, 1 kontainer = 2,5 ton, 1 rangkaian kereta barang memuat barang kurang lebih sekitar 42 ton. Dalam satu rangkaian kereta api jumlah gerbong yang ditarik oleh 1 lokomotif adalah sebanyak antara 16 /d 20 gerbong barang. Biaya angkutan dari Surabaya ke Jakarta adalah setara dengan 1500 Teus dengan biaya sekitar Rp 2,4 miliar. Setelah adanya kenaikan BBM, maka biaya pengiriman juga mengalami kenaikan yang semula Rp 1,6 juta menjadi > Rp 1,6 juta.

Truk

Dalam upaya mendukung kegiatan distribusi ternak sapi potong dari daerah produsen ke daerah konsumen, maka dalam sistem distribusi penggunaan kendaraan truk sangat umum digunakan. Untuk angkutan jarak jauh lebih didominasi oleh truk ukuran besar maupun sedang. Sementara untuk jarak pendek dan skala yang diangkut tidak terlalu banyak, alat angkut yang digunakan biasanya menggunakan kendaraan

60 kecil bak terbuka. Truk merupakan sarana transportasi darat yang saat ini paling banyak digunakan sebagai alat pengangkut ternak sapi potong. Disamping sarana ini mampu melayani semua jalur lintas ternak sapi potong, maka sarana angkutan tersebut disamping tidak terlalu sulit untuk mendapatkannya, maka ongkos sewanya juga terjangkau. Kemudahan proses sewa-menyewa serta kemudahan untuk mendapatkan sarana angkutan yang layak, aman dan terjangkau merupakan pilihan bagi banyak pengguna jasa angkutan darat. Hasil pengamatan dilapang baik di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat maupun di lokasi lainnya menunjukkan bahwa sarana ini memang merupakan sarana transportasi utama yang digunakan sebagai alat angkut ternak sapi potong.

Sementara sarana angkutan yang digunakan untuk mendukung transaksi-transaksi dalam skala menengah biasanya menggunakan kendaraan skala menengah dan kecil. Kegiatan ditribusinya sendiri relatif terbatas yaitu antar kabupaten, antar kecamatan atau bahkan desa-desa di sekitar sentra transaksi (pasar) dengan jarak tempuh < 300km. Dalam pola pemasaran seperti ini sarana angkutan yang digunakan umumnya kendaraan kecil bak terbuka dengan kapasitas angkut maksimal 4 ekor sapi ukuran sedang/trip, sedang untuk sapi ukuran besar hanya mampu mengangkut 2 ekor/trip. Akan tetapi untuk sapi ukuran kecil (pedet sapihan) bisa memuat 8 ekor – 10 ekor/trip. Truk besar merupakan tulang punggung dalam mendukung aktivitas distribusi. Karakteristik truk besar adalah kendaraan truk ukuran besar dengan kapasitas daya angkut sampai dengan 21 ekor ternak sapi ukuran sedang per sekali angkut, dan mampu menempuh jarak jauh. Bagi pedagang ternak sapi potong, sarana kendaraan ini dipandang cukup efisien dan dapat diandalkan ketersediaannya manakala dibutuhkan.

Kegiatan distribusi ternak sapi potong juga menggunakan truk ukuran sedang. Sebagai konsekwensi bahwa truk ukuran sedang memiliki kapasitas daya angkut ternak sapi potong tidak sebanyak truk ukuran besar. Dalam satu kali angkut mampu mengangkut ternak sapi potong sebanyak 10 s/d 14 ekor ukuran sedang. Digunakannya alat angkut jenis truk ukuran sedang, disamping ongkos sewa lebih murah, maka daya jangkau lebih fleksibel artinya bisa digunakan dalam jarak jauh maupun jarak dekat. Kasus angkutan ternak sapi potong dari Tuban ke Jakarta, Bogor dan Bandung maupun dari daerah-daerah sentra ternak sapi potong di Jawa Timur ke Jawa Barat juga sering menggunakan truk ukuran sedang. Pengunaan truk ukuran sedang biasanya digunakan untuk mengangkut ternak sapi ukuran kecil sampai sedang yang biasanya merupakan ternak yang masih diperdagangkan dan bukan sapi ukuran besar yang biasanya untuk

61 dibawa ke RPH (Rumah Potong Hewan) untuk dipotong. Selain dua jenis kendaraan diatas maka untuk sarana angkutan ternak dan hasil ternak sapi potong digunakan mobil bak terbuka. Mobil jenis ini merupakan sarana angkutan yang digunakan untuk