• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

C. Eksistensi Hutan Adat Ammatoa

1. Sistem Hukum Adat dalam Pengelolaan Hutan

Kelestarian hutan di Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan tak lepas dari payung hukum adat yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi masyarakat adat Kajang yakni, pasang.

Tabel 2

Melalui pasang, masyarakat hukum adat Ammatoa Kajang menghayati bahwa keberadaan mereka merupakan komponen dari suatu sistem yang terkait secara sistemik dengan Turi‟e A‟Ra‟na, pasang

Ammatoa (leluhur pertama), dan tanah yang telah diberikan oleh Turi‟e A‟Ra‟na kepada leluhur mereka. Bagi masyarakat kajang, merawat hutan

merupakan bagian dari ajaran Pasang, karena hutan merupakan bagian dari tanah yang diberikan oleh Turi‟e A‟Ra‟na kepada leluhur suku kajang.

Mereka meyakini bahwa di dalam hutan terdapat kekuatan ghaib yang dapat mensejahterahkan dan sekaligus mendatangkan bencana ketika hutan tersebut tidak dijaga kelestariannya. Kekuatan tersebut menurut mereka berasal dari arwah leluhur masyarakat kajang yang senantiasa menjaga kelestarian hutan agar terbebas dari niat-niat jahat manusia. Jika ada orang yang berani merusak kawasan hutan, misalnya menebang pohon dan membunuh hewan yang ada di dalamnya, maka arwah para leluhur tersebut akan menurunkan kutukan. Kutukan tersebut dapat berupa penyakit yang diderita oleh orang yang bersangkutan, atau juga mengakibatkan berhentinya air yang mengalir di lingkungan tana toa kajang.32

Masyarakat hukum adat Ammatoa disamping memiliki Pasang ri

Kajang juga memiliki Struktur lembaga adat Ammatoa yang dikenal

sebagai appa' pa'gentunna anaya na pa'tungkulu'na langi' (empat penggantung bumi dan penopang langit) yaitu : (1) Ada' yang harus tegas

gattang); (2) Karaeng yang harus menegakkan kejujuran (lambusu); (3)

32

http://ighoelmachete.wordpress.com/2013/01/19/kosmologi-masyarakat-adat-ammatoa-kajang/ Diakses 28 Januari 2014

Sanro (dukun) yang harus pasrah apisona); dan (4) Guru yang harus

sabar sa'bara). Adapun struktur kelembagaan adat Ammatoa menurut Ibrahim, dapat dilihat pada Gambar berikut :

Gambar : Struktur Lembaga Adat Ammatoa

Sumber : Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008

Tugas dan Fungsi dari Struktur Kelembagaan Adat Ammatoa terdiri atas :

a. Ammatoa mempunyai fungsi dan peran menurut Pasang ri Kajang sebagai berikut :

1) Sebagai orang yang dituakan, artinya bahwa Ammatoa adalah pelindung, pengayom dan suri teladan bagi semua warga komunitas.

2) Sebagai penghubung manusia - Tu Rie' A'ra'na dan Tu Rie'

A'ra'na - Manusia. Menghubungkan harapan-harapan

komunitas dan gagasan keilahian (upaya penyelarasannya melalui pa'nganroang).

3) Ammatoa menjadi katup pengaman ketegangan-ketegangan

sosial antar komunitas.

4) Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kelestarian

Pasang ri Kajang.

b. Anrongta ri Pangi dan Anrongta ri Bongkina bertugas mengurus

perlengkapan-perlengkapan pada upacara adat, dan juga bertugas mencari Ammatoa berikutnya.

c. Ada' Limayya, merupakan salah satu perangkat adat yang

statusnya setingkat dengan Karaeng Tallua. Anggotanya sebanyak lima orang dengan tugas-tugas tersendiri. Kelima orang tersebut masing-masing :

1) Galla Pantama bertempat di Bonto Pao memiliki tugas

pa'lamunglamungang, yaitu menentukan waktu mulai

menanam dengan melihat tanda-tanda (tanra). Seperti mulai berbunganya pohon Dande (Hopea dolosa) menandakan mulai diadakannya abborong (musyawarah) yang dipimpin

oleh Galla Pantama untuk menentukan waktu menanam padi.

2) Galla Lombo bertugas mengurus masalah pemerintahan pada daerah-daerah takluk Ammatoa dan urusan keluar masuk kawasan adat. Sekarang dijabat oleh Kepala Desa Tana Toa.

3) Galla Anjuru bertugas dalam bidang pekerjaan yang berhubungan dengan nelayan (perikanan), menentukan waktu yang baik unrtuk turun ke laut dan menangkap ikan. 4) Galla Kajang bertempat di Pangi, bertugas mengurusi

pesta-pesta adat dan yang berhubungan dengan Pasang keagamaan dan pelanggaran (kriminal).

5) Galla Puto bertempat di Benteng, bertugas sebagai juru bicara Ammatoa dan sebagai pengawas langsung tentang pelaksanaan Pasang ri Kajang. Ada' Limayya pada mulanya dijabat langsung oleh putra-putri Ammatoa pertama. Kemudian setelah mereka meninggal, jabatan itu dipegang oleh keturunan mereka berdasarkan petunjuk Pasang ri

Kajang.

d. Karaeng Tallua sebagai salah satu perangkat adat dalam

struktur lembaga adat Ammatoa, memiliki tiga orang personil, yaitu (1) Karaeng Kajang (labbiriyah); (2) Sullehatang; dan (3)

Tallua yaitu mendampingi Galla Pantama pada setiap berlangsungnya pesta adat.

e. Lompo Ada' (Ada' Buttaya) bertugas dalam bidang-bidang :

1) Ada' ri Tana Lohea. Perangkat adat ini mempunyai lima orang personil yang kesemuanya berasal dari Ada' Limaya dengan tugas tersendiri. Galla Pantama dengan status sebagai penghulu adat atau adat utama; Galla Lombo dengan tugas yang berhubungan dengan urusan perbelanjaan; Galla Kajang bertugas mengurus perkara-perkara dan hukum serta persoalan-persoalan kriminal;

Galla Puto bertugas sebagai juru bicara Ammatoa; dan Galla Anjuru bertugas mengurusi bagian perlengkapan.

2) Adat pelaksana pemerintahan, yang terdiri dari tujuh anggota yaitu : (1) Guru bertugas sebagai pembaca doa dan mantera-mantera; (2) Kadahangnga bertugas dalam bidang pertanian; (3) Lompo Karaeng bertugas membantu Ada'

Limaya ri Tana Lohea dalam pelaksanaan pesta dan

upacara adat; (4) Sanro Kajang, bertugas untuk menjaga dan memelihara kesehatan rakyat; (5) Anrong Guru, bertugas dalam urusan pertahanan dan keamanan; (6)

Lompo Ada' bertugas juga sebagai pendamping adat jika

berlangsung pesta adat; dan (7) Galla Malleleng bertugas dalam urusan perbelanjaan dan keuangan.

f. Ada' Akkeke Butta, terdapat lima anggota dengan tugas pokok memelihara dan memperbaiki saluran air dan pengairan. Itulah sebabnya mereka disebut Ada' Akkeke artinya anggota adat yang bertugas untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan urusan penggalian tanah khususnya menyangkut soal saluran air dan pengairan. Personilnya ialah: (1) Galla Ganta; (2) Galla Sangkala; (3) Galla Sapa; (4) Galla Bantalang; dan (5)

Galla Batu Pajjara.

Suasana kehidupan masyarakat hukum adat Ammatoa penuh dengan berbagai pantangan dan pemali. Mereka meyakini bahwa salah satu pemali yang harus dijaga kesakralannya adalah Pasang ri Kajang itu sendiri. Karenanya, Pasang ri Kajang menurut keyakinan komunitas adat

Ammatoa berisi kebenaran yang pantang untuk diubah. Kebenaran yang

terkandung di dalamnya berlaku sepanjang jaman. Beberapa pantangan dan pemali yang tidak boleh dilakukan di hutan adat Ammatoa yaitu larangan menebang pohon, mengambil rotan dan tali, menangkap udang dan ikan, memburu satwa di Borong Karama' dan mengganggu bani. Larangan-larangan tersebut dibarengi sanksi-sanksi adat. Adapun Hutan adat ke-Ammatoa-an (Boronna I Bohe) dibagi ke dalam tiga zona, yaitu :

a. Hutan Keramat (Borong Karama'), merupakan zona pertama dari hutan adat yang menurut pasang terlarang (kasipalli) untuk dimasuki, ataupun mengganggu flora dan fauna yang ada di dalamnya. Borong Karama' hanya boleh dimasuki oleh

pelantikan Ammatoa, Pa'nganroang). Borong Karama' dibagi menjadi delapan yaitu : Borong Pa'rasangeng Iraja, Borong

Pa,rasangeng Ilau' Borong Tappalang, Borong Tombolo, Borong Karanjang, Borong Tunikeke, Tuju Erasaya dan Borong Pandingiang. Konon kabarnya, apabila ada orang dari luar yang

masuk di zona ini, orang tersebut tidak bisa keluar. Kalaupun bisa keluar, orang tersebut akan meninggal. Begitu juga dengan anjing, kalau berhasil keluar anjing tersebut tidak bisa menggonggong lagi.

b. Hutan Perbatasan (Borong Battasayya), hutan ini merupakan zona kedua dari Borong Karama'. Antara Borong Karama' dan Borong Battasayya dibatasi oleh jalan setapak yang digunakan oleh Ammatoa dan anggota adat sebagai jalan untuk masuk di Borong Karama' untuk upacara ritual komunitas. Borong Battasayya terdapat di Hutan Pa'rasangeng

Iraja. Di Borong Battasayya, komunitas Ammatoa di Tana Kamase-masea maupun di Tana Kuasayya diperbolehkan

mengambil kayu dengan syarat-syarat tertentu.

c. Borong Luarayya merupakan hutan rakyat yang belum dibebani

hak milik. hutan ini terletak di sekitar kebun masyarakat

ke-Ammatoa- an dengan luas ± 100 Ha. Dari hutan inilah

masyarakat bisa memenuhi kebutuhan mereka terhadap kayu dengan persyaratan yang sama pada pengambilan kayu di

Luas kawasan hutan Tana Toa yang meliputi Hutan Keramat (Borong Karama') dan Hutan Perbatasan (Borong Battasayya) menurut hasil tata batas yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba yaitu 331,17 ha, yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas (HPT).33

Pada perkembangan, masyarakat hukum adat Ammatoa Kajang tersisihkan ketika berhadapan dengan program pembangunan pemerintah. Seringkali dengan alasan demi kepentingan umum, hak-hak mereka dikorbankan pemerintah. Sejak pemerintahan orde baru berbagai UU dan peraturan dibuat guna membatasi keberadaan masyarakat hukum adat.

Kehancuran pengakuan hak atas wilayah adat Kajang makin terasa setelah terbitnya Kepmenhut nomor: 504/Kpts-II/1997 tentang penetapan kawasan hutan adat Kajang seluas 331,17 hektar sebagai hutan produksi terbatas. Kawasan hutan di Tana Towa Kajang ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas, hal tersebut bisa dibaca dalam buku Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 1999.

Dengan status kawasan yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut secara otomatis akan berbenturan dengan pengurusan kawasan hutan yang dilakukan oleh Masyarakat hukum adat Ammatoa Kajang dan sudah berlangsung secara turun-temurun bahkan sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, dimana sudah ada kearifan-kearifan lokal masyarakat adat Kajang.

33

Muh Dassir . Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat Kajang . Jurnal Hutan Dan Masyarakat. Vol. III No. 2 Agustus 2008. Hlm 136-141

Kabid Budaya Pariwisata Hj.Muhammad Nur dan Staf Seni Budaya Daerah Akmal saat diskusi bersama penulis beranggapan memang pada dasarnya hutan adat ammatoa ditetapkan oleh Kepmenhut adalah 331,17 hektar dengan status hutan produksi terbatas, namun dalam hal pengakuan hutan adat semestinya diawali dengan pengakuan masyarakat hukum adat yang diatur terlebih dahulu dalam Peraturan Daerah sebagaimana Pasal 67 Ayat 2 UU Kehutanan, untuk itu perlu perda pengakuan masyarakat hukum adat dan sejalan dengan itu maka diperlukan batas-batas dan luas wilayah masyarakat hukum adat