E. Orisinalitas Penelitian
3. Sistem Hukum Pidana dan Hukum Adat
a. Perbedaan Sistem Hukum Pidana dan Hukum Adat
Sejak sebelum kedatangan penjajah Belanda, Indonesia telah memiliki hukum yang tidak tertulis (sistem hukum adat) yang berlaku efektif pada masyarakat tradisional, sebagaimana diuraikan oleh van Vollenhoven dalam Adatrecht,54 Bab XI (Adatstrafrecht van Indonesiers), maka terdapat perbedaan-perbedaan pokok antara sistem hukum pidana dan sistem hukum adat delik, yaitu:
1) Suatu pokok dasar KUHP ialah bahwa yang dapat dipidana hanyalah seorang manusia saja. Persekutuan hukum Indonesia, seperti desa, kerabat, atau famili tidak mempunyai tanggung jawab kriminal terhadap delik yang dilakukan oleh seorang warganya. Alam pikiran Indonesia adalah berlainan. Di beberapa daerah Indonesia, seperti di Tanah Gayo, Nias, Minangkabau, Sumatera Selatan, Kalimantan, Gorontalo, Ambon, Bali, Lombok, Papua, dan Timor adalah seringkali terjadi bahwa kampong si penjahat atau kampong tempat terjadinya suatu pembunuhan atau pencurian terhadap orang asing (bukan warga kampung yang bersangkutan) diwajibkan membayar denda atau kerugian kepada kerabat orang yang dibunuh atau kecurian itu. Begitu pun kerabat si penjahat
54 I Dewa Made Suartha, Op. Cit., hlm. 132-134.
diharuskan menanggung hukuman yang dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seorang warganya.
2) Pokok prinsip yang kedua dari KUHP ialah bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila perbuatannya dilakukan dengan sengaja ataupun dengan kealpaan, pendek kata apabila ia mempunyai kesalahan. Dalam hukum pidana adat, unsur kesalahan ini tidak merupakan syarat mutlak, kadang-kadang juga ada delik-delik tertentu dalam hukum adat yang sama sekali tidak perlu adanya pembuktian tentang adanya kesengajaan atau kesalahan.
3) Sistem KUHP mengenal serta membedakan masalah membantu melakukan kejahatan (medeplichtigeheid), membujuk (uitlokking), dan ikut serta (mededaderschap) dalam Pasal 55 dan Pasal 56. Sedangkan sistem hukum adat, siapa saja yang turut serta menentang peraturan hukum adat, diharuskan turut memenuhi usaha yang diwajibkan untuk memulihkan kembali perimbangan hukum.
4) Sistem KUHP menetapkan percobaan sebagai tindak pidana dalam Pasal 53 KUHP. Sistem hukum adat tidak memidana seseorang oleh karena mencoba melakukan delik. Dalam hukum adat, sesuatu reaksi adat akan diselenggarakan, jika perimbangan hukum terganggu, sehingga perlu untuk memulihkan kembali perimbangan tersebut. Jadi, apabila ada
seseorang berkehendak menembak seseorang yang ingin dibunuh, tetapi hasil tembakannya hanya melukai orang lain, maka orang yang menembak itu tidak dijatuhi hukuman adat karena mencoba membunuh, tetapi melukai orang lain. Dan apabila tembakannya itu sama sekali tidak mengenai sasarannya, yang ada hanya melepaskan tembakan terhadap seseorang, perbuatan ini mungkin dapat dianggap sebagai perbuatan yang melanggar ketentraman umum, sehingga merupakan delik biasa.
5) Sistem KUHP berlandaskan pada sistem prae existence regels (pelanggaran hukum yang ditetapkan lebih dahulu). Hukum adat tidak mengenai sistem prae existence regels. Juga hukum adat tidak mengenai peraturan statis. Jadi, dalam hukum adat itu tidak pula bersifat statis. Ini artinya, sesuatu delik itu tidak sepanjang masa tetap merupakan delik adat. Tiap peraturan hukum adat timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan hukum adat yang baru, sedang peraturan yang baru itu sendiri berkembang juga, dan kemudian akan lenyap juga dengan adanya perubahan perasaan keadilan rakyat yang dahulu melahirkan peraturan itu.
b. Hakikat Sanksi Pidana dan Sanksi Adat
Sifat hakikat sanksi pidana secara konvensional dapat diadakan perbedaan antara sanksi positif yang merupakan imbalan
dan sanksi negatif yang berupa hukuman. Kalangan hukum lazimnya beranggapan bahwa hukuman merupakan penderitaan, sedangkan imbalan merupakan suatu kenikmatan, sehingga akibat-akibatnya pada perilaku serta merta akan mengikutinya.55
Sanksi mengandung arti berupa suatu ancaman pidana (strafbedreiging) dan mempunyai tugas norma yang telah ditetapkan dalam hukum dan undang-undang ditaati sebagai akibat hukum atas pelanggaran norma.56 Sanksi juga diartikan sebagai akibat sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari perihal lain yang dilakukan oleh manusia atau organisasi sosial. Sanksi terhadap pelanggaran tatanan hukum yang dapat dipaksakan dan dilaksanakan serta bersifat memaksa yang datangnya dari pemerintah merupakan perbedaan yang menonjol dengan pelanggaran terhadap tatanan lainnya.
Pada hakikatnya, sanksi bertujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang telah terganggu oleh pelanggaran-pelanggaran kaidah dalam keadaan semula. Sanksi bertujuan: a) merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati setiap orang, b) merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma hukum.57
55 Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, 1985, Perihal Kaidah Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 82.
56 Bambang Poernomo, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 36.
57 I Dewa Made Suartha, Op. Cit., hlm. 135.
Sanksi pidana adalah salah satu sarana paling efektif yang digunakan untuk menanggulangi kejahatan, namun pidana bukan satu-satunya sarana, sehingga apabila perlu, maka digunakan kombinasi dengan upaya sosial yang lain. Oleh karena itu, perlu dikembangkan prinsip ultimum remedium, bukan premium remedium.
Pada hakikatnya, sanksi pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: Pidana pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
1. Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
2. Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Secara umum, agar tujuan sanksi benar-benar dapat terwujud, maka operasionalisasi sanksi pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan harus melalui beberapa tahap, yaitu:
1. Tahap formulasi, yaitu tahap perumusan atau penetapan pidana oleh pembuat undang-undang (sebagai kebijakan legislatif);
2. Tahap aplikasi, yaitu tahap pemberian pidana atau penerapan pidana oleh penegak hukum (sebagai kebijakan yudikatif);
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh instansi yang berwewenang (sebagai kebijakan eksekutif).58
4. Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia a. Pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagai Extra Ordinary Crime
Pasal angka 6 Undang-undang HAM menyatakan bahwa:
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang, kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Rumusan mengenai pelanggaran HAM di atas, menurut Titon Slamet Kurnia,59 kurang tepat karena secara teoritis tidak mengacu pada konsep normatif HAM yang melihat faktor kekuasaan negara sebagai masalah. Konsep HAM secara normatif bertujuan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan koersif negara, sehingga frasa “seseorang atau kelompok orang termasuk harus
58 Ibid., hlm. 138.
59 Titon Slamet Kurnia, 2005, Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelang-garan HAM di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 39.
dihilangkan dan digantikan mengenai pelanggaran HAM dan kekuasaan negara, maka terdapat dua jenis pelanggaran HAM yaitu dengan tindakan (action/commission) dan pendiaman (omission), yaitu ketika pelanggaran dilakukan oleh individu atau kelompok orang yang bukan aparat negara, namun negara melalui aparat negara tidak bertindak, baik preventif maupun represif.60
Konferensi Dunia tentang HAM di Wina pada tahun 1993 mengembangkan satu perspektif yang luas tentang HAM yang berimplikasi juga pada lingkup pelanggaran HAM. Pengakuan atas hak asasi manusia yang terdiri atas hak sipil, budaya, ekonomi, politik dan sosial yang saling terkait ditujukan kepada tanggung jawab dari berbagai pelaku swasta dan negara.61 Indonesia melalui rumusan tentang pelanggaran HAM sebagaimana dalam UU Nomor 39 telah mengikuti perspektif yang luas tersebut.
a. Bentuk Kejahatan Terhadap HAM
Sebagaimana telah dinyatakan oleh Titon Slamet Kurnia,62 bahwa pelanggaran HAM dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu by commission (tindakan untuk melakukan) oleh pihak negara atau pihak lain, atau by omission (tindakan untuk
60 Satya Arinanto, Op. Cit., hlm. 8.
61 Judith Dueck, et al., sebagaimana dikutip oleh M. M. Billah dalam “Tipologi dan Praktek Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia,” Makalah yang disajikan pada seminar hukum Nasional ke VIII Tahun 2003 dengan tema “Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Nasional yang Berkelanjutan” yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl, 14-18 Juli 2003 di Denpasar, hlm. 4-6.
62 Titon Slamet Kurnia, Loc. Cit.
tidak melakukan apa pun) oleh negara. Pelanggaran HAM oleh negara, baik by commission maupun by omission, dapat dilihat dari kegagalan negara dalam memenuhi tiga jenis kewajiban yang berbeda yaitu kewajiban untuk menghormati, kewajiban untuk melindungi, dan kewajiban untuk memenuhi.63
1) Kewajiban untuk Menghormati (the Obligation to Respect) Kewajiban ini menuntut negara dan agen atau aparaturnya untuk tidak pernah melakukan tindakan yang dapat melanggar integritas individu atau kelompok atau pelanggaran atas kebebasan mereka. Contoh dari pelanggaran HAM ini adalah pembunuhan di luar hukum, penahanan nonprosedural dan lain-lain.
2) Kewajiban untuk Melindungi (the Obligation to Protect)
Kewajiban ini menuntut negara dan agen atau aparatnya melakukan segala tindakan yang ditujukan dalam rangka melindungi warga individu maupun kelompok serta mencegah terjadinya pelanggaran HAM terhadap mereka oleh pihak-pihak lain. Contoh ketidakberhasilan negara dalam menjalankan kewajiban ini antara lain berupa kegagalan untuk bertindak ketika terjadi penyerangan oleh suatu kelompok masyarakat kepada kelompok lain,
63 Ibid., hlm. 7-9.
kegagalan untuk memaksa suatu perusahaan untuk melakukan ganti rugi dan Iain-lain.
3) Kewajiban untuk Memenuhi (the Obligation to Fulfil)
Kewajiban tersebut menuntut negara untuk melaku-kan tindamelaku-kan yang memadai dalam memberimelaku-kan peluang secara yuridis kepada semua pihak sebagai warga negara-nya, untuk mencapai kepuasan bagi yang memerlukan, yang kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh upaya pribadi.
Contoh dari pelanggaran terhadap kewajiban ini, antara lain kegagalan pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan yang terjangkau bagi warga negaranya, kegagalan dalam menyediakan fasilitas pendidikan dasar yang murah bagi warga masyarakat, dan Iain-lain.
Tiga kewajiban negara tersebut di atas dalam implemen-tasinya tidak berdiri sendiri, melainkan bersifat simultan.64 Sebagai contoh adalah hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Kewajiban negara terkait dengan hak dimak-sud adalah: (a) Menghormati: Polisi tidak boleh menggunakan cara-cara yang menyiksa dalam proses interogasi; (b) Melindungi: Negara harus melakukan penuntutan hukum terha-dap tindak penyiksaan; dan (c) Memenuhi: Negara/Pemerintah
64 L. G. Saraswati, et al., 2006, Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus, Filsa-fat UI Press, Jakarta, hlm. 197-198.
harus mendidik Polisi agar profesional dan tidak menggunakan cara-cara penyiksaan dalam menjalankan tugasnya.
Di samping tiga kewajiban tersebut di atas, terdapat ke-wajiban untuk Mengembangkan/Meningkatkan (the Obligation to Promote).65 Kewajiban ini menuntut negara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak-hak dasar yang mereka miliki sampai pada pemahaman mengenai mekanisme penegakan-nya. Selain itu juga, negara dituntut untuk mewujudkan suatu kondisi lingkungan yang memungkinkan adanya pengembangan dan penegakan hukumnya. Contoh dari pelanggaran atas kewajiban ini adalah ketidakseriusan pemerintah dalam melakukan sosialisasi maupun advokasi dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersebut.
Pelanggaran HAM juga dapat dilakukan oleh satuan-satuan nonpemerintah, misalnya pembunuhan penduduk sipil oleh pada pemberontak, serangan bersenjata oleh suatu pihak kepada pihak lain dan Iain-lain. Sedangkan dalam hal hak ekonomi dan sosial-budaya yang mungkin dilanggar oleh agen nonpemerintah, misalnya merancang tingkat upah lebih rendah dari ketentuan undang-undang, kebijakan diskriminasi dalam hal
65 Lilian Chenwi, Strengthening the legal Status of Economic, Sosial and Cultural Rights in the Constitution and National Legal System: Possibilities and Challenges (An Overview of the African Experience), makalah disampaikan dalam Seminar Nasional
“Menuju Perlindungan dan Pemantauan yang Efektif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia,” PUSHAM UII, Yogyakarta, 16-17 April 2007, hlm. 3.
ketentuan undang-undang, kebijakan diskriminasi dalam hal perburuhan, pencemaran lingkungan, dan Iain-lain.
Perbedaan pendapat tentang pelanggaran HAM hanya dapat dilakukan oleh negara dan agen-agennya ataukah dapat juga dilakukan oleh satuan non pemerintah masih saja terjadi.
Ketika melihat satu rangkaian pembunuhan, tentu tidak bisa menyangkal bahwa itu adalah pelanggaran HAM, meskipun yang melakukan adalah bukan negara dan agennya. Akan tetapi, bagi yang berpendapat bahwa pelanggaran HAM harus selalu dilekatkan kepada negara, melihat rangkaian pembunuhan tersebut sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam memenuhi kewajibannya melindungi warga negaranya.
Dalam hal terjadinya pelanggaran berat HAM, negara wajib bertanggung jawab sebagai dua pihak sekaligus, yaitu pihak yang bertanggung jawab untuk menegakan HAM di satu sisi, dan bertanggung jawab atas pelanggaran yang telah dilakukan baik by commission maupun by omission oleh para oknum atas nama negara. Jamil Salmi menjelaskan bahwa semua bentuk kejahatan HAM yang terjadi pada ujungnya adalah menyangkut kewajiban negara baik untuk penegakan HAM maupun sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas pelanggaran yang terjadi. Beliau memberikan makna
kekerasan sebagai bentuk pelanggaran HAM dalam konteks luas dan membaginya dalam empat66 kategori besar, yaitu:
(a) Kekerasan langsung, yaitu kekerasan yang merujuk pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis seseorang secara langsung, seperti pembunuhan, pengusiran paksa, pemerkosaan dan Iain-lain yang kesemuanya mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia yang paling dasar, yaitu hak untuk hidup;
(b) Kekerasan tidak langsung, yaitu tindakan yang membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang sampai ancaman kematian, tetapi tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak yang bertanggung jawab.
Jenis ini ada dua subkategori, yaitu kekerasan dengan pembiaran dan kekerasan yang terintimidasi. Kekerasan dengan pembiaran (violence by omission) dapat digambarkan dengan kondisi seseorang yang dalam keadaan bahaya dan tidak ada orang atau pihak yang menolongnya. Sementara itu, kekerasan yang termediasi adalah hasil intervensi manusia secara sengaja terhadap lingkungan alam atau sosial yang membawa pengaruh secara tidak langsung pada manusia lain, contoh, penghancuran lingkungan hidup;
66 Jamil Salmi, 2005, Violence and Democratic Society; Hologonisme dan Ma-syarakat Demokrasi, Cetakan Pertama, Pilar Humania, Yogyakarta, hlm. 31-43.
(c) Kekerasan represif, yaitu kekerasan yang berkaitan dengan pencabutan hak-hak dasar, selain hak untuk bertahan hidup dan hak untuk dilindungi dari kesakitan dan penderitaan.
Meskipun pelanggaran ini tidak membahayakan hidup, tetapi merupakan pelanggaran berat dalam mengekang kebebasan, martabat manusia dan kesamaan hak bagi setiap manusia. Kekerasan ini terkait dengan hak sipil politik, maupun hak ekonomi sosial dan budaya;
(d) Kekerasan alternatif, yaitu kekerasan yang merujuk pada pencabutan hak-hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak pertumbuhan kejiwaan, budaya, atau intelektual. Hal ini terkait bahwa keberadaan manusia juga membutuhkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan nonmaterial. Contoh konkret kekerasan ini, yaitu adanya kebijakan yang rasis, seperti politik apartheid di Afrika Selatan.
Keempat jenis kekerasan tersebut sangat potensial untuk dilakukan oleh negara yang memiliki otoritas tertinggi, meskipun dapat pula dilakukan oleh individu atau kelompok, Dalam hal ini, sekali lagi, negara dihadapkan dalam kewajiban sebagai penegak hukum dan HAM, juga sekaligus sebagai pihak yang harus bertanggung jawab sebagai pelaku, baik itu bersifat pasif maupun aktif, jika memang terbukti dilakukan oleh para oknum pejabat yang mengatasnamakan negara.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelanggaran terhadap HAM dapat dikualifikasi sebagai extraordinary crime.
Ungkapan extraordinary crime di Indonesia masih memiliki banyak penafsiran dan belum ada standarisasi yang baku, dalam artian, kejahatan seperti apa yang patut untuk dimasukkan dalam kategori extraordinary crime. Muladi mencoba mengemukakan beberapa dasar pemikiran pengelompokan sebuah kejahatan termasuk kategori extraordinary crime. Kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang kriminogen dan victimogen dan secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan, dari keamanan ketertiban, sistematis atau terorganisasi, mengancam stabilitas politik, masa depan pembangunan dan Iain-lain. Beliau memberikan contoh korupsi yang termasuk dalam kategori extraordinary crime, karena potensial mengakibatkan kerugian dalam berbagai dimensi. Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan Muladi, yaitu:
a. Ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat;
b. Merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan, bersifat diskriminatif dan etika dan kompetensi bisnis yang jujur;
c. Mencederai pembangunan berkelanjutan dan “the rule of law”
d. Kemungkinan keterkaitan antara korupsi dengan bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi dan
kejahatan ekonomi termasuk “money laundering” (tindak pidana korupsi merupakan “predicate crime”), terorisme, perdagangan manusia dan Iain-lain;
e. Tindak pidana korupsi yang besar (high level corruption) berpotensi merugikan keuangan atau perekonomian negara dalam jumlah besar sehingga dapat menggangu sumber daya pembangunan dan membahayakan stabilitas politik;
f. Korupsi tidak mustahil sudah bersifat “transnasional” dengan memberdayakan sarana-sarana canggih;
g. Menimbulkan bahaya terhadap “human security” termasuk dunia pendidikan, pelayanan pendidikan, fungsi-fungsi pelayanan sosial, dan;
h. Merusak mental pejabat dan mereka yang bekerja dalam wilayah kepentingan umum.67
Untuk menilai kejahatan terhadap HAM apakah termasuk extraordinary crime dapat menggunakan kategori yang tersebut di atas. Sedangkan Agung Yudhawiranata mengemukakan bahwa pelanggaran HAM memiliki karakteristik tersendiri, yaitu, “Jenis kejahatan yang diatur dalam KUHP tersebut adalah jenis kejahatan yang sifatnya biasa (ordinary crime) yang jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang berat harus memenuhi beberapa unsur atau karakteristik tertentu yang sesuai dengan Statuta Roma 1999
67 Muladi, Solusi Memerangi Suap, dalam www.habibicentre.or.id., diakses 22 Februari 2017.
untuk bisa diklarifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Pelanggaran berat HAM itu sendiri merupakan extraordinary crime yang mempunyai perumusan dan sebab timbulnya kejahatan yang berada dengan kejahatan atau tindak pidana umum.”68
Senada dengan yang dikemukakan Agung, Zainal Abidin berdasarkan pendapat Muladi menambahkan bahwa sesuai dengan prinsip Intent Court, khususnya prinsip universal yang tidak mungkin memperlakukan pelanggaran berat HAM sebagai ordinary crime dan adanya kualifikasi universal tentang crime against humanity, mengharuskan didayagunakannya Pengadilan HAM yang bersifat khusus dan mengandung pula acara pidana yang bersifat khusus.69
Berdasarkan pada keterangan di atas, dapat dirumuskan bahwa kejahatan serius terhadap HAM adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena memiliki kekhususan seperti dikemukakan di bawah ini.
Pertama, kejahatan berat HAM adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dengan latar belakang motif kekuasaan, dilakukan secara sistematis dan meluas. Dengan karakteristik seperti ini, maka kejahatan berat HAM tidak bisa dikategorikan sebagai
68 Agung Yudhawiranata, 2006, Makalah Training Hukum HAM untuk Dosen Pengajar Hukum HAM di Fakultas Hukum Negeri dan Swasta di Indonesia, diselenggarakan oleh PUSHAM UIJ dan Norwegian Center for Human Rights (NCHR) Di Yogyakarta, 23-27 Januari 2006. hlm. 1.
69 Zainal Abidin, 2005, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dalam Seri Bahan Baca-an Kursus HAM, Elsam, Jakarta, hlm. 3.
kejahatan biasa, penyelesaiannya pun harus dengan tindakan luar biasa.
Kedua, kejahatan berat HAM berakibat pada terkoyaknya nurani kemanusiaan, karena begitu dahsyatnya akibat yang ditimbulkan.
Ketiga. kejahatan berat HAM merupakan pengkianatan manusia yang terbesar atas kemanusiaannya dan jika yang melakukan adalah negara beserta agen-agennya, maka itu adalah pengkianatan luar biasa atas tanggung jawab yang seharusnya ditunaikan.
Keempat, kejahatan berat HAM mengakibatkan timbulnya teror, rasa khawatir dan ketakutan pada diri masyarakat, dan dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap negara beserta aparatnya atas kegagalan yang terjadi.
Kelima, kejahatan berat HAM diakui oleh dunia sebagai kejahatan paling serius yang harus diselesaikan oleh seluruh negara dan bahkan menjadi yurisdiksi internasional jika penyelesaiannya tidak dapat diselesaikan pada tingkat nasional.
Dunia Internasional mengakui adanya empat jenis pelanggaran berat HAM, yang menjadi yurisdiksi internasional, sehingga semua negara yang menghormati HAM dapat melakukan penuntutan melalui International Criminal Court (ICC). Keempat bentuk kejahatan tersebut diatur dalam Statuta Roma tentang
International Criminal Court pada tahun 1998 di Roma yang meliputi, kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.70
Indonesia tidak melakukan adopsi keempat jenis kejahatan tersebut untuk diatur dalam undang-undang, namun hanya meng-adopsi dua jenis kejahatan HAM yang berat yaitu kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan, yang diatur dalam UU Pengadilan HAM.71 Secara jelas pengaturan kedua jenis kejahatan tersebut sebagai berikut.
a. Kejahatan Genosida
Antonio Cassese, mengemukakan bahwa istilah
“genosida” (genocide) diciptakan oleh Raphael Lemkin untuk memperlihatkan berbagai kekejaman yang sedang dilakukan oleh orang-orang Nazi di Eropa, namun gejala itu sendiri, seperti diketahui, bukanlah hal yang baru. Pada masa-masa yang paling kuno, pemusnahan seluruh kelompok manusia yang memiliki ciri umum seperti etnis, ras, atau agama, merupakan suatu praktek yang sering terjadi, yang dari waktu ke waktu dikaitkan dengan salah satu dari ketiga faktor tersebut.72
70 Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court), Pasal 5 (1).
71 Pasal 7 UU Pengadilan HAM.
72 Antonio Cassese, 2005, Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah (Human Rights in a Changing World), diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 99.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
1. membunuh anggota kelompok;
2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4. memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.73
b. Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistemik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
1. Pembunuhan;
2. Pemusnahan;
73 Pasal 8 UU Pengadilan HAM.