• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA DI PAPUA DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA DI PAPUA DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE"

Copied!
346
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE

Law Enforcement against Serious Human Rights Violation in Papua: A Restorative Justice Perspective

YUNUS WONDA P0400313024

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2017

(2)

ii

PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Doktor

Program Studi Ilmu Hukum

Disusun dan diajukan Oleh

YUNUS WONDA

Kepada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2017

(3)
(4)

iv Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Yunus Wonda

Nomor mahasiswa : P0400313024 Program studi : Ilmu Hukum

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan peng- ambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 7 Juni 2017

Yang menyatakan,

YUNUS WONDA

(5)

v

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulisan disertasi dengan judul “Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia di Papua dalam Perspektif Restorative Justice” ini dapat di selesaikan, guna memenuhi persyaratan akademik dalam memperoleh gelar Doktor pada Program Studi S3 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.

Selama mengikuti Program Studi S3 Ilmu Hukum pada Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar sampai dengan penyelesaian disertasi ini, penulis telah menerima bantuan baik berupa pikiran, tenaga, kesempatan, materi maupun dorongan moril dari berbagai pihak. Oleh karenanya pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Abdul Razak, S.H., M.H, selaku Promotor, Prof. Dr.

Muhammad Ashri, S.H., M.H. dan Prof. Dr. Irwansyah, S.H., M.H., masing-masing selaku Ko-Promotor dengan penuh ketulusan telah meluangkan waktu membimbing, mengarahkan, dan memotivasi penulis dalam penyusunan disertasi ini.

2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., M.Si., Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.H., Prof. Dr. S. M. Noor, S.H., M.H.

selaku Tim Penguji yang telah banyak memberikan masukan berupa koreksi dan usulan/saran yang sangat membantu penulis dalam penyusunan disertasi ini.

3. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, M.A. selaku Rektor Universitas Hasanuddin Makassar atas kesempatan yang diberikan kepada penu- lis dalam menempuh dan menyelesaikan studi.

4. Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H., M.S. mantan Direktur Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar atas segala nasihat dan dorongan moril yang telah diberikan kepada penulis hingga selesainya penulisan disertasi ini.

5. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar bersama para Wakil Dekan yang tak henti-hentinya memotivasi penulis untuk menyelesaikan studi.

(6)

6. Prof. Dr. Abdul Razak, S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi S3 Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang telah membantu penulis sehingga selesainya penulisan disertasi ini.

7. Seluruh Dosen dan staf Administrasi pada Program Studi S3 Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar yang selama ini menciptakan proses belajar mengajar yang baik.

8. Dr. Onesimus Sahuleka, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas Cenderawasih Jayapura yang memberikan kesempatan, dorongan moril, dan bantuan finansial kepada penulis dalam menyelesaikan studi pada jenjang S3 Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.

9. Dr. H. J. Hendrik Krisifu, S.H., M.A selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih yang telah memberikan kesempatan, dorongan moril kepada penulis untuk menempuh studi pada jenjang S3 Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.

10. Bapak Lukas Enembe, S.IP., M.H. selaku Gubernur provinsi Papua atas kepercayaan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

11. Bapak Fachrudin Siregar, S.H., M.H., selaku Kepala Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Papua atas segala informasi dan bantuan data dalam materi penulisan disertasi ini.

12. Bapak Abner Banosro, S.H., M.H., selaku Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Papua atas segala informasi dan bantuan data dalam materi penulisan disertasi ini.

13. Bapak Frits B. Ramandey, S.Sos., selaku Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Provinsi Papua atas segala informasi dan bantuan data dalam materi penulisan disertasi ini.

14. Dr Eddy Pelupessy, S.H., M.Hum. selaku Pengelola Kerjasama program S.3 Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.

15. Semua responden yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu karena keterbatasan ruang atas segala informasi yang telah diberikan kepada penulis untuk melengkapi materi penulisan disertasi ini.

16. lstri tercinta Yuliana S. J. Wonda dan anak-anak tersayang Musa Wonda, Indra R. Wonda, Jhohanes K. Wonda, Putri V. Wonda,

(7)

Juventus A. Wonda, Eva G. Wonda, Tiro R. Wonda, Engely Wonda, dan Aleinda C. Wonda, yang selalu memberikan perhatian, semangat, dan doa bagi penulis selama mengikuti pendidikan pada Program Studi S3 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.

17. Sahabat-sahabat mahasiswa Program Studi S3 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, khususnya angkatan 2013.

Penulis menyadari bahwa dalam disertasi ini masih terdapat kekurangan sehingga dengan hati yang terbuka segala masukan ataupun saran akan penulis terima dengan senang hati. Akhir kata, atas perhatian yang telah diberikan kiranya mendapatkan berkat dan rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Makassar, 7 Juni 2017

Penulis

Yunus Wonda

(8)

viii

YUNUS WONDA, Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia di Papua dalam Perspektif Restorative Justice (dibimbing oleh Abdul Razak, Muhammad Ashri, dan Irwansyah).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran berat hak asasi manusia, proses penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia dan langkah-langkah pemerintah serta lembaga penegak hukum untuk mewujudkan restorative justice terhadap korban pelanggaran berat hak asasi manusia di Papua.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empirik karena penelitian ini tidak hanya menyangkut aspek normatif belaka, tetapi juga mengkaji bagaimana hukum itu secara nyata dalam kehidupan masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejahatan pembunuhan, kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Provinsi Papua merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia dan sangat bertentangan dengan nilai Pancasila dan penerapan teori keadilan dari Thomas Aquinas bahwa keadilan akan musnah karena sebuah kebijaksanaan yang tidak bijaksana. Begitupun proses penegakan hukum terhadap pelanggaran berat Hak Asasi Manusia dari perspektif restorative justice belum dilakukan secara maksimal seperti halnya penyelesaian kasus Wamena, kasus Abepura, dan kasus Paniai. Kondisi ini diperparah dengan belum dibentuknya pengadilan Hak Asasi manusia dan Komisi Kebenaran serta rekonsiliasi sebagaimana diamanatkan di dalam Undang- Undang Otonomi Khusus, dan hal ini bertentangan dengan penerapan teori penegakan hukum dari Satjipto Rahardjo.

Walaupun dalam kasus terakhir pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang terjadi di Kabupaten dapat diselesaikan dengan pendekatan restorative justice, tetapi hal tersebut bukanlah pencapaian maksimal yang telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Puncak, karena masih banyak kasus yang sama belum terselesaikan hingga saat ini. Oleh sebab itu perlu adanya sosialisasi dari institusi terkait tentang perwujudan supermasi hukum melalui restorative justice terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia di Papua.

Kata Kunci: Penegakan hukum, pelanggaran berat hak asasi manusia, restorative justice, Provinsi Papua.

(9)

ix

YUNUS WONDA, Law Enforcement against Serious Human Rights Violation in Papua: A Restorative Justice Perspective (Guided by Abdul Razak, Muhammad Ashri, and Irwansyah).

This study aims to determine the forms of gross violations of human rights, law enforcement process against the perpetrators of gross violations of human rights and the steps the government and law enforcement agencies to bring restorative justice for victims of serious human rights abuses in Papua.

This research is empirical law because the research is not only the mere normative aspect, but also examine how legal it is real in people's lives. The results showed that murder, crimes against humanity that occurred in Papua Province is a gross violation of human rights and is contrary to the values of Pancasila and the application of justice theories of Thomas Aquinas that justice would be destroyed because of a wisdom that is not wise. Likewise, the law enforcement process against berat violations of human rights from the perspective of restorative justice has not been done optimally bleak as the resolution of Wamena, the Abepura case, and the case Paniai. Kondisis is compounded by yet tribunal Human Rights and the Truth and Reconciliation Commission, as mandated in the Special Autonomy Law, and this is incompatible with the application of the theory of Satjipto Rahardjo law enforcement.

Although in the latter case of gross violations of human rights that occurred in the district can be solved with the approach of restorative justice, but it is not the maximum achievement that has been done by the government of the Puncak District, because there are many similar cases have not been resolved to date. Therefore there is need for socialization of relevant institutions of the embodiment of honor law through restorative justice against gross violations of human rights in Papua.

Keywords: Law enforcement, gross violations of human rights, restorative justice, Papua Province.

(10)

x

Halaman

Halaman Judul ... i

Halaman Pengajuan ... ii

Halaman Persetujuan ... iii

Pernyataan Keaslian ... iv

Kata Pengantar ... v

Abstrak ... viii

Abstract ... ix

Daftar Isi ... x

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Orisinalitas Penelitian ... 12

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Landasan Konseptual ... 16

1. Konsep Negara Hukum ... 16

2. Tinjauan Umum Restorative Justice ... 43

a. Konsep Restorative Justice ... 43

(11)

b. Prinsip-prinsip Restorative Justice ... 51

c. Urgensi Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana di Indonesia ... 61

d. Peraturan Terkait dengan Penerapan Restorative Justice dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia... 65

e. Restorative Justice sebagai Sarana Penegakan Hukum ... 69

3. Sistem Hukum Pidana dan Hukum Adat ... 78

a. Perbedaan Sistem Hukum Pidana dan Hukum Adat ... 78

b. Hakikat Sanksi Pidana dan Sanksi Adat ... 80

4. Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia ... 83

a. Pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagai Extraordinary Crime ... 83

b. Pertanggungjawaban Pidana ... 97

c. Tanggung Jawab Negara ... 102

d. Prinsip Tanggung Jawab Negara atas Hak Asasi Manusia ... 106

5. Hukum sebagai Sarana Perubahan ... 117

B. Landasan Teori ... 134

1. Teori Keadilan (Grand Theory) ... 134

2. Teori Penegakan Hukum (Middle Range Theory) .. 156

3. Teori Perlindungan Hukum (Applied Theory) ... 174

C. Kerangka Pikir ... 182

Diagram Kerangka Pikir ... 185

D. Definisi Operasional ... 186

(12)

BAB III : METODE PENELITIAN ... 188

A. Tipe Penelitian ... 188

B. Bentuk dan Jenis Penelitian ... 188

C. Pendekatan Penelitian ... 189

D. Lokasi Penelitian ... 191

E. Jenis dan Sumber Data ... 191

F. Teknik Pengumpulan Data ... 192

G. Analisis Data Penelitian ... 193

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 194

A. Bentuk-bentuk Pelanggaran Berat HAM di Provinsi Papua ... 194

1. Pembunuhan ... 195

a. Peristiwa Wasior ... 195

b. Peristiwa Wamena ... 199

c. Kasus Abepura ... 202

d. Peristiwa di Paniai ... 220

2. Genosida ... 246

3. Kejahatan terhadap Kemanusiaan ... 254

B. Proses Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Pelang- garan Berat HAM di Provinsi Papua dari Perspektif Restorative Justice ... 266

1. Substansi ... 268

2. Kelembagaan ... 279

3. Keadilan ... 286

(13)

C. Langkah-langkah Pemerintah dan Lembaga Penegak Hukum untuk Mewujudkan Restorative Justice Bagi

Korban Pelanggaran Berat HAM di Provinsi Papua .... 304

1. Pelaku ... 304

2. Korban ... 308

3. Masyarakat ... 313

4. Tanggung Jawab Pemerintah ... 316

BAB V : PENUTUP ... 320

A. Kesimpulan ... 320

B. Saran ... 321

DAFTAR PUSTAKA ... 323

(14)

1 A. Latar Belakang Masalah

Sejak bergulirnya zaman reformasi, maka kondisi penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mengalami kemajuan meskipun belum sesuai dengan harapan masyarakat. Melalui UUD 1945, Indonesia adalah negara yang menjunjung hak asasi setiap manusia, yang telah diimplementasikan kedalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya dibaca UU HAM).

Indonesia juga memiliki berbagai aturan dan perundang-undangan yang secara substansial mendukung penegakan HAM, dan lembaga yang memperjuangkan hak asasi di bidang masing-masing. Selain Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), Indonesia juga memiliki Komnas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Namun, praktek di lapangan, kasus pelanggaran HAM terus bertambah tanpa diikuti proses hukum yang seimbang dan berkeadilan.

Indonesia juga sudah mengatur adanya pengadilan HAM sesuai yang diamanahkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (selanjutnya dibaca UU Pengadilan HAM). Pengadilan ini bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran berat HAM. Pelanggaran dimaksud adalah genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

(15)

Dalam Penjelasan Umum UU Pengadilan HAM dinyatakan bahwa undang-undang ini diharapkan dapat melindungi hak asasi manusia, baik perseorangan maupun masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan aman baik bagi perseorangan maupun masyarakat, terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.1

Kemajuan dalam upaya menegakkan HAM terutama pasca reformasi patut disyukuri. Namun pemerintah masih perlu melakukan pembenahan terkait legislasi perundang-undangan tentang penegakan hukum HAM maupun implementasi oleh aparat penegak hukum yang berwenang. Semakin banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAM, seharusnya semakin tegas juga penanganan dan putusan-putusan sebagai bentuk penegakan hukum HAM.

Sistem pemidanaan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari aturan tertulis yang bersumber dari hukum pidana peninggalan kolonial Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WVS NI). WVS NI ditetapkan sebagai hukum pidana materiil di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum dan secara resmi diberi nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pemberlakuan WVS Nl sebagai KUHP Indonesia dilakukan dengan beberapa perubahan dan penyesuaian, namun

1 Majda El Muhtaj, 2015, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan Perubahan UUD 1945 Tahun 2002, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hlm. 226.

(16)

demikian sumber pokoknya tetap saja berasal dari KUHP warisan Pemerintahan Kolonial Belanda. Bahkan teks resmi KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia, hingga saat ini masih dalam bahasa Belanda.2

Melihat latar sejarah berlakunya KUHP, maka ada usulan dari beberapa pakar hukum pidana agar KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia perlu dilakukan pembaharuan. Perlunya pembaharuan KUHP juga sejalan dengan hasil Kongres PBB tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan.3 Dalam kongres tersebut dinyatakan bahwa hukum pidana yang selama ini berlaku di berbagai negara pada umumnya berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang telah usang dan tidak adil (obsolete and unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal). Hal ini dikarenakan hukum pidana tersebut tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Di sisi lain, di negara asalnya, hukum pidana tersebut sebenarnya juga telah mengalami beberapa kali perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.

2 Soedarto, Suatu Dilema dalam Sistem Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Semarang, 21 Desember 1974, hlm. 3.

3 Natangsa Surbakti, 2015, Peradilan Restoratif dalam Bingkai Empiri, Teori dan Kebijakan, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 35-38.

(17)

Salah satu materi muatan dalam KUHP yang menjadi sorotan berbagai pihak dan perlu segera dilakukan pembaharuan ialah sistem pemidanaan. Sistem pemidanaan dalam KUHP masih fokus pada penindakan terhadap pelaku kejahatan, belum memerhatikan pemulihan kerugian dan penderitaan korban yang hilang akibat terjadinya kejahatan. Hal ini secara tegas tergambar dan jenis-jenis pemidanaan yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:

1) Pidana pokok, meliputi: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan serta

2) Pidana tambahan, meliputi: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Sistem pemidanaan yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP tersebut pada hakikatnya masih menganut paradigma retributive, yaitu memberikan balasan yang setimpal atas kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Paradigma retributive dengan tujuan untuk memberikan efek jera (deterrent effect) agar pelaku tidak mengulangi lagi kejahatannya dan mencegah atau menangkal (prevency effect) masyarakat melakukan kejahatan. Penggunaan paradigma retributive, ternyata belum mampu memulihkan kerugian dan penderitaan yang dialami korban. Walaupun pelaku telah diputus bersalah dan mendapatkan hukuman, namun kondisi korban tidak dapat kembali seperti semula.

(18)

Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan suatu perwujudan dari perubahan dan pembaruan berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakangi perlunya pembaruan hukum pidana.

Dengan demikian, pembaruan hukum pidana yang tengah dilakukan mengandung makna, sebagai upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural masyarakat. Secara umum, hukum nasional yang hendak diwujudkan harus memerhatikan perbedaan latar belakang sosial budaya dan perbedaan kebutuhan hukum yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu. Oleh karenanya, dimensi pembangunan hukum nasional menuju sistem hukum nasional yang kita cita-citakan yaitu dimensi pemeliharaan, pembaruan, dan penciptaan sedapat mungkin menggunakan wawasan pembangunan hukum nasional.4

Salah satu elemen penting dari negara hukum menurut Frederich Julius Stahl adalah adanya perlindungan hukum terhadap HAM, yang merupakan salah satu dari 4 (empat) pilar negara hukum yang meliputi: perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan peradilan tata usaha negara.5 Hal senada dikemukakan International Commission of Jurists (ICJ) bahwa salah satu prinsip utama negara

4 I Dewa Made Suartha, 2015, Hukum dan Sanksi Adat, Setara Press, Malang, hlm. 296.

5 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 151-152.

(19)

hukum adalah pemerintah harus menghormati hak-hak individu di bawah aturan hukum.6

Dengan adanya kelemahan sistem pemidanaan sebagaimana dikemukakan sebelumnya, muncullah gagasan baru yang berorientasi pada pemulihan kerugian dan penderitaan korban, yang dikenal dengan pendekatan restorative justice.7 Konsep restorative justice dikemukakan untuk menolak sarana koersif dan menggantinya dengan sarana reparatif: restorative justice mengakomodasi kepentingan para pihak, termasuk korban karena korban dilibatkan dalam penentuan sanksi bagi pelaku restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkena pengaruh (korban, pelaku dan

“komunitas mereka”) serta memberikan keutamaan pada kepentingan- kepentingan mereka. Restorative justice mengupayakan untuk me- restore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control. Dengan menganut paradigma restorative justice, diharapkan kerugian dan penderitaan yang dialami korban dan keluarganya dapat dipulihkan dan beban rasa bersalah pelaku kejahatan dapat berkurang karena telah mendapatkan maaf dari korban atau keluarganya.

6 Bambang Waluyo, 2016, Penegakan Hukum Di Indonesia, Penerbit Sinar Gra- fika, Jakarta, hlm. 2.

7 Bandingkan: Muladi dan Diah Sulistyani RS, 2016, Kompleksitas Perkembang- an Tindak Pidana dan Kebijakan Kriminal, PT. Alumni, Bandung, hlm. 114.

(20)

Dalam pandangan restorative justice, timbulnya kejahatan adalah sebagai akibat pelanggaran terhadap kepentingan individu dan hubungan antara warga masyarakat. Oleh sebab itu pelanggaran hukum menciptakan dan membebankan kewajiban bagi pelaku untuk memberikan pemulihan kerugian kepada korban. Pemikiran positivisme hukum yang criminal justice (sentralnya adalah pelaku) tidak akan bisa memahami persoalan korban jikalau negara dengan sifat hukum pidananya tidak membuka diri dengan jalan menciptakan hukum yang humanistik demi kepentingan korban kejahatan terkait penanganan kasus tindak pidananya.

Konsep restorative justice melalui sarana penal dan non penal ini tentunya tidak dapat dilepaskan dan karakteristik hukum pidana untuk mencapai tujuan upaya penanggulangan kejahatan dengan pemberian sanksi istimewa jikalaupun dimungkinkan dalam hal-hal tertentu peluang diversi diperluas terhadap kejahatan tertentu. Tetapi paling tidak di setiap mekanismenya diberikan peluang dan jalan bagi korban untuk memperoleh keadilan. Mekanisme ini tentunya menjadi konsep yang praktis dan efisien terhadap kepentingan korban dengan tentunya tidak melanggar rambu-rambu kepastian hukum dalam hukum pidana dan kepentingan penyelesaian tindak pidananya karena bagaimanapun juga negara harus menegakkan wibawa hukum dan tidak sesederhana bahwa hal ini hanya merupakan persoalan antar individu dan hanya menuntut penyelesaian sepihak antara pelaku dan

(21)

korban. Lebih dari itu bahwa hukum pidana mempunyai tujuan yang lebih luas yakni menegakkan wibawa hukum, wibawa pemerintah atas norma hukum pidana yang dilanggar tanpa memandang status eko- nomi dan sosial pelaku, melindungi kepentingan negara, masyarakat dan individu serta mencegah terjadinya kejahatan secara meluas.

Upaya pemerintah untuk menyelesaikan perkara pelanggaran berat HAM melalui upaya rekonsiliasi terutama ditujukan untuk perkara pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum berlakunya UU Peng- adilan HAM. Hal ini telah dikemukakan pada saat pembahasan tentang dasar yuridis terutama mengenai undang-undang tersebut. Dalam pembahasan tersebut telah dikemukakan bahwa saat ini Pemerintah berupaya membentuk Komite Gabungan Pengungkap Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan enam kasus dari tujuh kasus pelang- garan berat HAM masa lalu yang telah diselidiki Komnas HAM, yaitu:

penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari di Lampung tahun 1989, penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998, keru- suhan Mei 1998, peristiwa Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II.8 Ber- bagai kasus tersebut akan diselesaikan melalui jalur non yudisial, yaitu rekonsiliasi. Hal ini dilakukan karena adanya kesulitan dalam pencarian barang bukti, saksi, dan tersangka, sebab kasus pelanggaran berat HAM tersebut termasuk sudah sangat lama kejadiannya.

8 Zainal Abidin, 2012, “Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dan Negara-Negara Lain”, Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. VIII No. 1 Tahun 2012, hlm. 55.

(22)

Pelanggaran HAM yang terjadi khususnya di Provinsi Papua sejak tahun 1962 hingga kini tercatat 19 kasus yang direkomendasikan untuk ditindaklanjuti oleh Pemerintah Pusat. Tiga dari 19 kasus yang menjadi prioritas utama yakni Kasus Pelanggaran HAM di Wasior tahun 2001, Kasus Pelanggaran HAM di Wamena tahun 2003, dan Kasus Penembakan Warga Sipil di Kabupaten Paniai tahun 2014.9

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua melalui mekanisme penyelesaian di luar pengadilan dengan menerapkan pendekatan keadilan restoratif menjadi alternatif yang menarik, setelah Pengadilan HAM untuk Kasus Abepura tahun 2000, dinilai gagal menghadirkan keadilan.10

Nilai-nilai restorative justice dalam UU Pengadilan HAM dapat dilihat pada ketentuan Bab VI mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Pasal 35 undang-undang tersebut mengatur bahwa setiap korban pelanggaran berat HAM dan/atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi tersebut dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM, yang selanjutnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008.

Salah satu kelemahan mendasar pada UU Pengadilan HAM ialah, sama sekali tidak mengatur kewajiban hukum penyelidik,

9 Pelanggaran HAM: Pusat Diminta Tindak Lanjuti 19 Kasus, dalam: Harian Umum Kompas, Sabtu, 16 April 2016.

10 Zainal Abidin, Loc. Cit.

(23)

penyidik, penuntut umum, dan pengadilan HAM untuk memastikan terjaminnya perlindungan korban dan saksi. Undang-undang ini hanya mengatur hak korban dan saksi atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun, seperti ditegaskan pada Pasal 34 Ayat (1).11

HAM sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep negara hukum berimplikasi pada adanya pengakuan konstitusional bahwa jaminan perlindungan HAM merupakan elemen konstruk Indonesia moderen.12

Sebagaimana yang dialami oleh berbagai negara lainnya pada masa transisi politik, di Indonesia pada era reformasi telah muncul berbagai tuntutan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM.13Juga terkait dengan tuntutan terhadap adanya ikhtiar konkret untuk melindungi kelompok-kelompok rentan tertentu dalam masyarakat kita, misalnya kaum perempuan, anak-anak, orang tua, penduduk asli, dan sebagainya.14

Dalam hal terjadinya pelanggaran berat HAM, negara harus bertanggung jawab sebagai dua pihak sekaligus, yaitu pihak yang bertanggung jawab untuk menegakan HAM di satu sisi, dan bertanggung jawab atas pelanggaran yang telah dilakukan baik by

11 Suparman Marzuki, 2015, Tragedi Politik Hukum HAM, PUSHAM Ull, Yogyakarta, hlm. 347.

12 Majda El Muhtaj, 2015, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, PT Radjagrafindo Perkasa, Jakarta, hlm. 59.

13 Satya Arinanto, 2005, Hak Asasi Manusia, dalam Transisi Politik Di Indonesia, Pusat Studi HTN Universitas Indonesia, hlm. 279.

14 Hamid Awaludin, 2012, HAM : Politik, Hukum, Kemunafikan Internasional, KOMPAS, Jakarta, hlm. 8.

(24)

commission maupun by omission oleh para oknum atas nama negara.

Jamil Salmi menjelaskan betapa semua bentuk kejahatan HAM yang terjadi pada ujungnya adalah menyangkut kewajiban negara baik untuk penegakan HAM maupun sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas pelanggaran yang terjadi.15

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan permasalahannya meliputi:

1. Bagaimanakah bentuk pelanggaran berat HAM di Provinsi Papua?

2. Bagaimanakah proses penegakan hukum terhadap pelaku pelang- garan berat HAM di Provinsi Papua dari perspektif restorative justice?

3. Bagaimanakah langkah-langkah Pemerintah (pusat dan daerah) dan lembaga penegak hukum untuk mewujudkan restorative justice terhadap korban pelanggaran berat HAM di Provinsi Papua?

C. Tujuan Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diharapkan mencapai tujuan, yaitu:

1. Untuk mengetahui bentuk pelanggaran HAM berat di Provinsi Papua dari perspektif penegakan hukum.

15 Majda El Muhtaj, Op. Cit., hlm. 69.

(25)

2. Untuk mengetahui proses penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran berat HAM di Provinsi Papua dari perspektif restorative justice.

3. Untuk mengetahui langkah-langkah Pemerintah (pusat dan daerah) dan lembaga penegak hukum untuk mewujudkan restorative justice terhadap korban pelanggaran berat HAM di Provinsi Papua.

D. Manfaat Penelitian 1. Teoretik/konseptual

Memberikan kontribusi dalam pengembangan konseptual mengenai penegakan hukum dengan menggunakan perspektif restorative justice, khususnya dalam penyelesaian masalah pelanggaran HAM yang berat.

2. Praktikal

Memberikan alternatif dalam penyelesaian pelanggaran berat HAM yang selama ini menjadi satu masalah yang belum terselesaikan bagi masyarakat Papua khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.

E. Orisinalitas Penelitian

Pelanggaran berat HAM dan pendekatan restorative justice pada umumnya, telah diteliti oleh beberapa pihak dan dituangkan dalam berbagai bentuk karya tulis, disertasi, buku, artikel, laporan, antara lain sebagai berikut:

(26)

1. Bambang Waluyo, Fungsi Kejaksaan Mewujudkan Hakikat Restorative Justice pada Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan. Disertasi pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 2015.

2. Dedy Siswadi, Esensi Penegakan Hukum Pelanggaran Berat HAM sebagai Upaya Rekonsiliasi di Indonesia. Disertasi pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 2016

3. Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif Indonesia: Studi tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Praktik Penegakan Hukum Pidana. Disertasi Doktor pada Program Pasca sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

4. Irsyad Dhahri, Kajian Restorative justice dalam Pelaksanaan Prinsip Restrospektif Hak Asasi Manusia di Indonesia. Disertasi pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2012.

5. Sukardi, Konstruksi Prinsip-prinsip Restorative Justice Dalam Konsep Penegakan Hukum Pidana Oleh Kepolisian Republik Indonesia. Disertasi pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2014.

6. G. Ida Widiartana, Keadilan Restoratif pada Kebijakan Penanggu- langan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan Hukum Pidana.

(27)

Disertasi pada Program Doktor llmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2011.

Penelitian mengenai pelanggaran berat HAM dengan menggu- nakan konsep Restorative justice khususnya menyangkut daerah Papua, juga dilaksanakan oleh Nur Asmarani dan dituangkan dalam bentuk disertasi berjudul, Konsep Restorative justice dalam Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di Papua.

Disertasi tersebut diajukan kepada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, dan dipertahankan pada tahun 2015.

Meskipun demikian, penelitian ini memiliki spesifikasi yang berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaan dimaksud antara lain menyangkut (a) rumusan masalah, (b) pendekatan penelitian, dan (c) perspektif yang dipergunakan.

Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian dalam disertasi yang disebut terakhir. Disertasi Nur Asmarani menjawab masalah: (1) Bagaimanakah konsep Restorative justice dalam sistem hukum nasional; (2) Bagaimanakah penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui mekanisme pengadilan; (3) Bagaimanakah penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui mekanisme prinsip-prinsip kearifan lokal masyarakat Papua.

Selain rumusan masalah yang berbeda sehingga tujuan penelitian pun berbeda, penelitian ini juga menggunakan variabel dan

(28)

indikator yang berbeda. Dengan demikian, pembahasan atau analisis penelitian ini dipastikan berbeda dengan analisis dalam penelitian- penelitian sebelumnya.

(29)

16 A. Landasan Konseptual

1. Konsep Negara Hukum

Konsep negara hukum pada awalnya dikemukakan oleh Plato kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya Aristoteles.

Aristoteles dalam buku karyanya Politea berpendapat bahwa suatu negara yang baik adalah negara diperintah oleh konstitusi dan berkedaulatan hukum. Lebih lanjut dikatakan oleh Aristoteles, ada tiga unsur dari pemerintahan berkonstitusi, yaitu:

a. Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;

b. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasar- kan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat sewenang-wenang yang mengesampingkan konvesi dan konstitusi;

c. Pemerintahan berkonstitusi adalah pemerintah yang dilaksa- nakan atas kehendak rakyat, bukan paksaan/tekanan.16 Philipus Hadjon masih mempermasalahkan istilah negara hukum yang dipersamakan dengan konsep pengakuan harkat dan martabat Indonesia sebagai negara hukum. Alasannya karena dalam periode kehidupan politik Orde Lama dan Orde Baru, istilah tersebut

16 I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 43-49.

(30)

hanya sering digunakan sebagai slogan semata.17Oleh karena itu secara tegas Hadjon berpendapat bahwa:13

… negara hukum bukan sekadar suatu terminologi terjemahan dari “rechtsstaat” ataupun “the rule of law” tetapi merupakan suatu “konsep”, dan di pihak lain tidak terlalu mudah menganggap dan menerima begitu saja “negara hukum (Pancasila)” adalah “rechtsstaat” ataupun “the rule of law”.

Dalam era reformasi sekarang dengan diadakannya berbagai perubahan terutama terhadap konstitusi atau UUD NRI Tahun 1945, secara tegas menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara hukum.

Hal ini tidak lagi dinyatakan dalam penjelasan UUD NRI 1945 tetapi sudah dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (3) hasil amandemen ketiga tahun 2003.

Sangat jelas uraian konsep negara hukum erat kaitannya dengan pembahasan tentang perlindungan hukum, bahkan substansi negara hukum adalah adanya jaminan perlindungan terhadap hukum dan HAM.

Istilah negara hukum “atau negara berdasarkan hukum” dalam kepustakaan Indonesia hampir selalu dipadamkan dengan istilah-istilah asing antara lain “rechtsstaat, “etat de droit, “the state according to law”

“legal state”, dan “the rule of law”. Selain itu dikenal juga istilah “the principle of socialist legality”. Konsep negara rule of law merupakan konsep negara yang dianggap paling ideal saat ini, meskipun konsep tersebut dijalankan dengan persepsi yang berbeda-beda. Terhadap

17 Philipus M. Hadjon, Op.Cit., hlm. 65.

(31)

istilah “rule of law” ini dalam bahasa Indonesia sering juga diterjemahkan sebagai “supremasi hukum” (supremacy of law) atau

“pemerintahan berdasarkan atas hukum”. Di samping itu, istilah

“negara hukum” (government by law) atau rechtsstaat, juga merupakan istilah yang sering digunakan untuk itu.18

Berdasarkan pada uraian di atas maka yang dimaksud dengan negara hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan pada warga negaranya,19 di mana keadilan ini merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup bagi warga negaranya, dan sebagai dasar dan keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar Ia menjadi warga negara yang baik, demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.20

Pengakuan kepada suatu negara sebagai negara hukum (government by law) sangat penting, karena kekuasaan negara dan politik bukanlah tidak terbatas (tidak absolut). Perlu pembatasan- pembatasan terhadap kewenangan dan kekuasaan negara dan politik

18 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar RI 1945 menyebutkan bahwa “Negara Indonesia negara hukum” negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (MPR-RI Panduan Pemasyarakatan UUD 1945), hlm. 46.

19 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, hlm. 153.

20 Ibid.

(32)

tersebut, untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dari pihak penguasa.

Dalam negara hukum tersebut, pembatasan terhadap kekuasaan negara dan politik haruslah dilakukan dengan jelas, yang tidak dapat dilanggar oleh siapapun. Karena itu, dalam suatu negara, hukum memainkan peranannya yang sangat penting, dan berada di atas kekuasaan negara dan politik. Karena itu pula, kemudian muncul istilah “pemerintah di bawah hukum” (government under the law). Maka terkenallah konsep yang di negara-negara yang berlaku Common Law disebut sistem “pemerintahan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan (kehendak) manusia” (government by law, not by men). Atau sistem pemerintahan yang berdasarkan rule of law atau supremasi hukum, bukan rule of men. Sedangkan di Negara-negara Eropa Kontinental dikenal konsep “negara hukum” (rechtsstaat), sebagai lawan dari

“negara kekuasaan” (machsstaat).

Rechtsstaat ini adalah istilah bahasa Belanda yang punya pengertian yang sejajar dengan pengertian rule of law di negara- negara yang berlaku sistem Anglo Saxon. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai “negara hukum”, atau yang dalam bahasa Jerman disebut juga dengan istilah “rechtsstaat”, dalam bahasa Perancis disebut dengan “etat de droit” sedangkan dalam bahasa Italia disebut dengan “stato di diritto”. Dalam konsep negara hukum versi Eropa Kontinental ini, prinsip supremasi hukum (supremacy of law)

(33)

merupakan inti utamanya. Makna dari supremasi hukum, dengan mengutip hukum klasik dari pengadilan-pengadilan di Inggris, bahwa Hukum menduduki tempat tertinggi, lebih tinggi dari kedudukan raja, terhadapnya raja dan pemerintahannya harus tunduk dan tanpa hukum maka tidak ada raja dan tidak ada pula kenyataan hukum ini.21

Sejak kelahirannya, konsep Negara Hukum atau rule of law ini memang dimaksudkan sebagai usaha untuk membatasi kekuasaan pe- nguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk menin- das rakyatnya (abuse of power, abus de droit), sehingga dapat dikata- kan bahwa dalam suatu negara hukum, semua orang harus tunduk kepada hukum secara sama, yakni tunduk kepada hukum yang adil.22

21 Menurut Jimly Asshidiqie, Dalam sistem konstitusi di Indonesia, cita Negara Hukum itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide “rechtsstaat”, bukan

“machtsstaat”. Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” (Jimly Asshidiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, /Makalah/Jimly.com), diakses 7 Februari 2017.

22 Hifdzil Alim, Konsep Negara Hukum Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam Blog Pusat Kajian Anti Korupsi. posted 5 July 2008. dan dalam www.kesimpulan.com, diakses 7 Februari 2017. Dalam banyak diskusi tentang konsep negara hukum, banyak yang menyamakan antara rechtsstaat dengan rule of law, padahal antara keduanya terdapat perbedaan pada unsur peradilan administrasi. Dalam negara-negara Anglo Saxon penekanan terhadap prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law) lebih ditonjolkan, sehingga dipandang tidak perlu untuk menyediakan sebuah peradilan khusus untuk pejabat administrasi negara, karena prinsip equality before the law menghendaki persamaan antara rakyat dengan pejabat administrasi negara, harus tercermin juga di lapangan peradilan, artinya pejabat pemerintah dengan rakyat harus sama-sama tunduk pada hukum, dan bersamaan kedudukannya dihadapan hukum. Berbeda dengan negara-negara Eropa Kontinental yang memasukkan unsur peradilan administratif sebagai salah satu unsur dari rechtsstaat, hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga negara terhadap sikap dan tindakan pemerintah yang melanggar hak asasi dalam

(34)

Tidak ada seorang pun termasuk penguasa negara yang kebal terhadap hukum. Dalam hal ini, konsep negara hukum sangat tidak bisa mentolerir baik terhadap sistem pemerintahan totaliter, diktator atau fascis, maupun terhadap sistem pemerintahan yang berhaluan anarkis, karena sistem negara yang totaliter/diktator sering memperlakukan rakyat dengan semena-mena tanpa memerhatikan harkat, martabat, dan hak-haknya maka perlindungan hak-hak fundamental dari rakyat menjadi salah satu hal esensi dari suatu negara hukum. Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan negara hukum adalah suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu konstitusi, di mana semua orang dalam negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk pada hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan setiap orang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional, tanpa memandang perbedaan warna kulit, ras, gender, agama, daerah dan kepercayaan. Kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak

lapangan administrasi negara, sekaligus melindungi juga administrasi negara yang bertindak benar dan sesuai dengan hukum. Dalam negara hukum harus diberikan perlindungan yang sama kepada warga dan pejabat administrasi negara. Meskipun dalam perkembangannya dewasa ini perbedaan tersebut tidak begitu dipermasalahkan lagi karena antara keduanya mempunyai satu tujuan yaitu perlindungan terhadap hak- hak asasi manusia.

(35)

rakyat, oleh karena itu kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan peranannya secara demokratis.

Adalah sifat alami makhluk hidup (termasuk manusia) di mana yang kuat atau mayoritas cenderung melanggar hak pihak yang lemah atau minoritas. Tetapi kepada makhluk manusia diberikan suatu kelebihan karena dia dapat berfikir dan berperasaan, sehingga ketidakadilan tidak boleh di biarkan terus berlangsung, antara lain untuk memberikan perlindungan kepada pihak yang lemah atau pihak minoritas inilah, akhirnya dalam teori ketatanegaraan kemudian muncul teori-teori yang berkenaan dengan rule of law, atau dengan berbagai julukan lainnya. Jadi, kehidupan manusia harus teratur dan oleh karenanya agar timbul keteraturan hidup, manusia harus diatur oleh hukum. Sesuai dengan pandangan hukum alam bahwa alam itu bergerak dengan teratur dan tertib, sehingga manusia yang merupakan bagian dari alam juga harus hidup dan bergerak secara teratur dan tertib pula. Konsekuensinya, manusia harus diatur oleh hukum. Dalam hal ini, hukum buatan manusia harus sejalan dengan hukum ciptaan alam, atau hukum buatan Tuhan bagi mereka yang beragama. Karena itu pula, seperti yang dikatakan oleh A.V. Dicey, bahwa ada tiga arti dari rule of law, yaitu:

a. Supremasi absolut ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau prerogatif penguasa;

(36)

b. Berlakunya prinsip persamaan dalam hukum (equality before the law), dimana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorangpun yang berada di atas hukum (above the law); dan

c. Konstitusi merupakan dasar dari segala hukum bagi negara, artinya hukum berdasarkan konstitusi harus melarang setiap pelanggaran terhadap hak dan kemerdekaan rakyat.23

Menurut Jimly Asshiddiqie24 di zaman modern ini, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan oleh lmmanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat”. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A. V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah “rechtsstaat” itu mencakup empat elemen penting, yaitu:

a. Perlindungan hak asasi manusia;

b. Pembagian kekuasaan (trias politica);

c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatighed van bestuur); dan

d. Peradilan Tata usaha Negara.

23 Munir Fuady, 2009, Negara Hukum Modern, PT. Refika Aditama, Jakarta, hlm. 3.

24 Jimly Asshidiqqie, Op. Cit., hlm. 2.

(37)

Selanjutnya A. V. Dicey25 menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap negara hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:

a. Supremacy of Law;

b. Equality before the law; dan c. Due Process of Law.

Menurut Jimly Asshidiqqie26 bahwa Keempat prinsip

“rechtsstaat” yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip “Rule of Law”

yang dikembangkan oleh Albert Venn Dicey untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurists”, prinsip-prinsip negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang semakin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.

Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting negara hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah:

a. Negara harus tunduk pada hukum;

b. Pemerintah menghormati hak-hak individu; dan c. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

25 Ibid., hlm. 3.

26 Ibid.

(38)

Utrecht membedakan negara hukum formil atau negara hukum klasik, dan negara hukum materiel atau negara hukum modern.

Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu negara hukum materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Oleh karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya “Law in a Changing Society” membedakan antara “rule of law” dalam arti formil yaitu dalam arti “organized public power”, dan “rule of law” dalam arti materiel yaitu

“the rule of just law”.27

Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenal hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel.

Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif. Karena itu, di samping istilah “the rule of law” oleh Friedman juga dikembangkan istilah “the rule of just law” untuk memastikan bahwa dalam pengertian tentang

“the rule of law” tercakup pengertian keadilan yang lebih esensial daripada sekedar menfungsikan peraturan perundang-undangan

27 E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Unpad, Bandung, hlm. 9.

(39)

dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap “the rule of law”, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan di cakup dalam istilah “the rule of law” yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang negara hukum di zaman sekarang.28

Dari uraian-uraian di atas, Jimly Asshidiqqie29 mengembangkan atau merumuskan kembali adanya tiga belas prinsip pokok negara hukum (Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Ketiga belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara hukum yang modern sehingga dapat disebut sebagai negara hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya sebagai berikut.

a. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)

Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan

28 Menurut Jimly Asshidiqqie terlepas dari perkembangan pengertian dan konsep negara hukum tersebut di atas, konsepsi tentang Negara Hukum di kalangan kebanyakan ahli hukum masih sering terpaku kepada unsur-unsur pengertian sebagaimana dikembangkan pada abad ke-19 dan abad ke-20. Sebagai contoh, tatkala merinci unsur- unsur pengertian Negara Hukum (Rechtsstaat), para ahli selalu saja mengemukakan empat unsur “rechtsstaat”, dimana unsurnya yang keempat adalah adanya

“administratieve rechtspraak” atau Peradilan Tata Usaha Negara sebagai ciri pokok Negara Hukum. Tidak ada yang mengaitkan unsur pengertian Negara Hukum Modern itu dengan keharusan adanya kelembagaan atau setidak-tidaknya fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengadilan tata negara.

29 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 2-9.

(40)

normatif mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang “supremen”. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai “kepala negara”. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidensial, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

b. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan- tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan

“affirmative action‟s” guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui

(41)

“affirmative action‟s” yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adat tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.

c. Asas Legalitas (Due Process of Law)

Dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau “rules and procedures” (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban.

Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip “freies ermessen” yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri “beleid-regels” atau “policy rules” yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka

(42)

menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

d. Pembatasan Kekuasaan

Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal.

Sesuai dengan hukum dan kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang- wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat “checks and balances” dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertikal. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

e. Organ-organ Eksekutif yang Independen

Dalam rangka membatasi kekuasaan, di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat “independen”, seperti bank sentral, organisasi tentara,

(43)

organisasi kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, ada pula lembaga- lembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum, Lembaga Ombudsman, Komisi Penyiaran, dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ- organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi prodemokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber keuangan yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu pula lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan kekuasaan.

Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.

f. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak

(44)

memihak ini mutlak harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran tersebut, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dan lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan.

Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai “mulut” atau corong undang-undang, melainkan juga “mulut” atau corong keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

g. Peradilan Tata Usaha Negara

Meskipun Peradilan Tata Usaha Negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama negara hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap negara hukum, harus terbuka

(45)

kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi negara, dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Dalam kenyataannya banyak terjadi kesewenangan yang dibuat oleh pejabat administrasi negara yang merugikan warga negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak dizalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha negara itu benar-benar dijalankan oleh para pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. Sudah tentu keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip “independent and impartial judiciary” tersebut di atas.

h. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court)

Disamping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, negara hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan pembentukan mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Pentingnya Mahkamah Konstitusi (constitutional courts) ini adalah dalam upaya memperkuat sistem

“checks and balances” antara cabang-cabang kekuasaan yang

(46)

sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini diberi fungsi untuk melakukan pengujian atas konstitusionalitas undang-undang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang- cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya negara hukum modern.

i. Perlindungan Hak Asasi Manusia

Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak- hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi.

Demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara yang disebut sebagai negara hukum.

Jika dalam suatu negara, hak asasi manusia terabaikan atau

(47)

dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya.

j. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat)

Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/ atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Dengan demikian, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah “absolute rechtsstaat”, melainkan “democratische rechtsstaat” atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum harus menjamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap negara demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.

(48)

k. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat)

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar “ruIe-driven” melainkan tetap “mission driven”, tetapi

“mission driven” yang tetap didasarkan atas aturan.

l. Transparansi dan Kontrol Sosial

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam

Referensi

Dokumen terkait

66 Layanan Tridharma di Perguruan Alat Pendidikan Pendu- Pengadaan Buku Perpustakaan 1 THN Pekanbaru 500.000.000 APBN Kemdikbud PBJ Maret 2012 9 Bulan. Tinggi kung Pembelajaran

Untuk masing-masing item tes kesegaran jasmani yang diteskan pada siswa kelas IV, V dan VI putra SD Negeri 04 Surajaya kecamatan Pemalang menunjukkan skor nilai tertinggi adalah

Pada data klien cedera kepala yang meninggal didapatkan hasil bahwa jumlah klien terbanyak yang mengalami cedera kepala pada kelompok usia 20 – 40 tahun yaitu 57 klien atau

Hasil penelitian ini menyimpulkan: (1) Pendidikan dalam perspektif PUI: memandang pentingnya pendidikan bagi semua manusia, menerapkan pendidikan integrasi

(13) Candi Gelung /Kurung atau Kori Agung di pembatas antara wilayah Utama Mandala dengan Madya Mandala yang berfungsi sebagai tempat keluar masuk para dewa dari

Dalam analisis kualitas website infobdg penulis menggunakan metode webqual karena metode ini mengukur kualitas website berdasarkan presepsi pengguna, metode ini

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas informasi website alumni terdapat pada indikator

Setelah dilakukan program penghematan energi tersebut, kemudian dihitung kembali nilai IKE, dan dari hasil perhitungan seperti yang terlihat pada gambar 6,