• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.5. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem informasi geografis (SIG) dapat digunakan dalam aplikasi manajemen sumberdaya di wilayah pesisir. Sistem informasi geografis (SIG) mempunyai kemampuan memberikan gambaran secara bersamaan dari berbagai faktor yang kompleks dengan proses tumpang susun (overlay operation) (Aronoff

dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir. Kemampuan sistem informasi geografis (SIG) dalam analisis keruangan dan pemantauan dapat digunakan untuk mempercepat dan mempermudah penataan ruang (pemetaan potensi) sumberdaya wilayah pesisir yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya (Maguire 1999; Barus dan Wiradisastra 2000).

Menurut Gunawan (1998), tipe penggunaan sistem informasi geografis (SIG) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu antara lain untuk: (i)mengetahui tingkat eksploitasi sumberdaya alam (SDA); (ii) mempertemukan keinginan manusia yang bervariasi, dan (iii) menjaga keberadaan /kelangsungan ekosistim pesisir. Sistem informasi geografis (SIG) paling tidak terdiri atas subsistem pemrosesan, subsistem analisis data dan subsistem yang menggunakan informasi; (iv) membantu memfasilitasi berbagai pihak sektoral, swasta dan pemerintah daerah dalam perencanaan sesuatu, pemetaan, dan pengintegrasian untuk mengetahui pilihan – pilihan manajemen dan alternatif perencanaan yang optimal; (v) merupakan alat yang digunakan untuk menunjang pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan.

Gambar 6. Tipe penggunaan sistem informasi geografis (SIG) dalam pengelolaan wilayah pesisir (Gunawan 1998)

Beberapa kriteria utama yang harus menjadi pertimbangan dalam melakukan evaluasi kesesuaian lahan dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG) bagi pengelolaan wilayah pesisir antara lain (Dahuri 1998) :

TUJUAN PERENCANAAN Keseimbangan dari : Prospek ekspliotasi Mempertemukan keinginan masyarakat Menjaga Keberadaan INFORMASI KERUANGAN PROSPEK : - Lokasi sumberdaya - Kualitas sumberdaya KEINGINAN : -Rencana tertulis -Rencana tidak tertulis KEBERADAAN : -Penggunaan lahan/laut -Penutupan lahan/laut ANALISIS : Kepentingan Konflik Jika apa KEPUTUSAN : Pengembangan Pemanfaatan Pemantauan dan Perlindungan Pemecahan Konflik

(2). Data spasial maupun non spasial yang telah tersusun, dapat diperbaiki, disimpan, diambil pada saat tertentu dan dapat ditampilkan secara efisien dan efektif .

(3). Tersedianya peralatan dengan kemampuan analisis spasial untuk pemodelan wilayah pesisir, yang dapat melakukan proses–proses analisis dan pemodelan tersebut.

Sistem informasi geografis (SIG) pertama kali digunakan dalam bidang perikanan budidaya pada tahun 1980-an (Kapetsky et al. 1987; Raharjo 1996). Pemanfaatan data penginderaan jauh (Landsat TM, Landsat 7 ETM+, SPOT,

IKONOS, QUICKBIRD) yang dipadukan dengan SIG akan membantu membentuk

data base terutama penutupan atau penggunaan lahan di wilayah pesisir. Sistem

informasi geografis (SIG) mempunyai keunggulan dalam penerapannya dibidang sumberdaya perikanan budidaya dengan menyederhanakan pemasalahan dan pemanfaatan waktu yang lebih efektif dan efisien.

Aplikasi sistem informasi geografis (SIG) dalam pengelolaan basis data sumberdaya alam seperti areal konservasi dan perikanan budidaya mempunyai beberapa keuntungan (Kam et al.1992; Lo 1996): (i) mampu mengintegrasikan data dari berbagai format (grafik, teks) dari berbagai sumber; (ii)mampu bertukar data diantara berbagai disiplin ilmu dan lembaga; (iii)mampu memproses dan menganalisis data secara lebih efesien dan efektif; (iv)mampu melakukan pemodelan, pengujian dan perbandingan beberapa altematif kegiatan sebelum diaplikasikan di Iapangan; (v)mampu melakukan pembaruan data secara efesien terutama grafik; dan (vi)mampu menampung data dalam jumlah besar.

Meskipun demikian, pemanfaatan sistem informasi geografis (SIG) dalam bidang perikanan budidaya masih sangat terbatas dan ada beberapa hal penyebab keterbatasan dalam pemanfaatan sistem informasi geografis (SIG) (Nurwadjedi 1995; Nath et al.2000 dalam Perez et al. 2003; Radiarta et al. 2003), yaitu: (1) kurang dirasakannya keuntungan SIG ini dalam bidang perikanan budidaya; (2) terbatasnya pengetahuan akan dasar – dasar SIG dan meotodologinya; (3) interaksi antar pengguna SIG.

budidaya udang. Ada dua alasan yang menjadikan kondisi kualitas perairan menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan (Soewardi 2002), yaitu : (i) menciptakan kondisi lingkungan perairan tambak yang bersih dan nyaman bagi udang untuk tumbuh dan berkembang secara optimal guna mendukung keberhasilan pemeliharaan udang; (ii) untuk menghasilkan air buangan tambak dengan kualitas yang masih aman bagi ekosistem perairan pesisir atau masih dalam batas – batas yang diperbolehkan berdasarkan standar baku mutu air laut untuk kegiatan perikanan budidaya. Kriteria kualitas air untuk kegiatan budidaya tambak dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria kualitas air yang diperbolehkan untuk kegiatan budidaya tambak udang No Parameter Nilai Batas Optimum 1. Suhu (oC) 21-32 29-30 2. Salinitas (ppt) 0-35 15-25 3. TSS (ppm) 25-500 25-80 4. Kecerahan (cm) 25-60 30-40 5. pH 6.5 – 8. 5 7.5 – 8.5 6. Alkalinitas (ppm) > 50 > 100 7. Kesadahan (ppm) > 40 20 – 300 8. Oksigen terlarut (ppm) > 2 ≥ 3 9. NH+3-N (mg/l) 1,0 0 10. NO2-N (mg/l) 0,25 0 11. Total Phosphate (ppm) 0.05 – 0.50 0,5 12. BOD5 (ppm) < 25 < 25 13. COD (ppm) 40 - 80 < 40 14. H2S (ppm) 0.001 0 15. Cu (ppm) - 16. Cd (ppm) 0.013 – 0.328 < 0.01 17. Pb (ppm) 0.001-1.157 <0.01 18. Zn (ppm) - 19. Hg (ppm) 0.051 – 0.167 < 0.003 20. Fe (ppm) 0.03 0.01 21. Deterjen (ppm) - <0.1 22. Organoclorin (ppm) - <0.02

Sumber : Poernomo (1992); MenKLH (2004); Widigdo (2002); Soewardi (2002) Gambaran hubungan antara kemampuan perairan tambak dalam memproduksi oksigen dan kebutuhan mikroba akan oksigen untuk keperluan

30-40 kg/ha/hari maka perairan tidak akan mampu lagi mempertahankan kualitasnya (Boyd 1992). Selanjutnya dikatakan juga bahwa penggunaan aerasi dan pergantian air yang dilakukan secara maksimum, maka kapasitas maksimal untuk 1 ha tambak untuk menerima pakan adalah 100 – 150 kg per hari dan jika pemberian pakannya berlebih maka perairan sudah tidak akan mampu lagi untuk mempertahankan kualitasnya dalam menunjang kebutuhan hidup udang di tambak.

Selain pasok air yang cukup (kuantitasnya cukup), kesempurnaan pengeluaran air buangan dan air limbah keperairan umum serta pelaksanan pengeringan dasar tambak secara sempurna akan lebih baik dibandingkan dengan yang jauh dari laut, asalkan lokasi disepanjang pantai tersebut tidak berlumpur yang disebabkan oleh siltasi (Poernomo 1992). Mutu air tambak juga harus diperhatikan seperti: suhu, salinitas, DO, logam berat, dan zat – zat pencemar lainnya. Dalam mengelola kualitas air, pembudidaya sering menggunakan berbagai senyawa kimia seperti zeolit, alum, chlorin, formalin, bakterisida seperti bahan antibiotik, sediaan iodine, sulfida, fosfat, dll, bahkan dalam beberapa tahun terakhir telah banyak digunakan produk bakteri dan enzym probiotik (Boyd 1995 diacu dalam Cholik et al.1998). Aplikasi bahan – bahan kimia tersebut harus dilakukan dengan sangat hati – hati untuk menjaga keberlanjutan usaha budidaya dan hal ini dapat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan.

2.7. Beban Limbah Budidaya Tambak Udang dan Dampaknya Terhadap