• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DI KABUPATEN DEL

2.4 Sistem Kekerabatan

Penduduk desa kampung kolam mayoritas terdiri dari suku Jawa, oleh karena itu penulis menggunakan sistem kekerabatan masyarakat Jawa pada umumnya12

12

Sistem kekerabatan adalah hubungan seseorang dengan yang lain berdasarkan pertalian darah.

. Sistem kekerabatan yang digunakan oleh masyarakat Jawa adalah kekerabatan yang dilihat berdasarkan prinsip bilateral yaitu memperhitungkan keanggotaan kelompok melalui garis keturunan laki-laki maupun garis keturunan perempuan, maka seseorang dapat menjadi anggota kelompok kekerabatan dari pihak ayah dan juga menjadi anggota kelompok kekerabatan dari pihak ibu.

Dalam budaya Jawa sistem bekeluarga dalam arti luas, yaitu keluarga inti, batih, atau keluarga budaya. Sistem kekerabatan ini dilandasi oleh sikap bergotong-royong, dengan konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe, artinya tidak mengharapkan balasan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama.

Dalam hal ini bentuk kelompok kekerabatan yang paling kecil adalah keluarga batih, yang anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya yang belum menikah, apabila keluarga batih mempunyai kerabat satu dengan yang lain maka terbentuklah suatu kelompok kekerabatan yang disebut dengan paseduluran: (1) sedulur tunggal kringkel merupakan saudara lahir dari ibu dan ayah yang sama; (2) sedulur kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama, atau sebaliknya saudara lain ibu nemun ayahnya sama, dan saudara tiri; (3) sedulur misanan merupakan saudara satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung atau tiri; (4) sedulur mindoan adalah saudara satu buyut (orang tau kakek atau nenek) berlaku baik untuk saudara kandung atau tiri, (5) sedulur mentelu yaitu saudara satu canggah (buyutnya ayah dan ibu) baik saudara kandung atau tiri; (6) bala yaitu yang menurut anggapan mereka masih saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak kedudukannya, dan disebabkan oleh interaksi mereka, karena kebutuhan yang erat, misalnya jenis pekerjaan sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; (7) tangga yang konsepnya tidak terbatas pada letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam kepentingan tertentu mereka saling membutuhkan (Lihat Skripsi Martavia).

Dengan istilah-istilah kekerabatan yang berlaku tersebut, maka dapat diketahui status atau kedudukannya dalam kelompok kekerabatan. Istilah-istilah kekerabatan tersebut akan penulis jabarkan sebagai berikut: (1) ego memanggil

ayahnya dengan sebutan bapak dan ibunya dengan sebutan simbok/mbok; (2) untuk menyebut saudara laki-laki yang lebih tua dengan sebutan kangmas/kakang dan untuk saudara perempuan disebut dengan mbakyu/yu, untuk saudara laki-laki yang lebih muda disebut dengan adhi/dhi sedangkan saudara perempuan disebut dengan nok; (3) sebutan untuk kakak kandung ayah laki-laki adalah pakdhe dan yang perempuan budhe/mbokde, sedangkan kepada adik ayah laki-laki disebut dengan istilah paman/pakcik/paklek dan yang perempuan dengan sebutan bibi/bulik/mbok;(4) sebutan terhadap kakek adalah mbah lanang/simbah kakung sedangkan sebutan kepada nenek adalah simbah wedok sebaliknya kakek dan nenek akan menyebut ego adalah ptu/wayah sedangkan ego menyebut orang tua simbah dengan sebutan simbah buyut istilah ini dapat dipakai untuk menyebut orang tua simbah baik laki-laki maupun perempuan (Emi Sujayawati, 2000:28-29).

Selain istilah tersebut diatas masih ada lagi istilah lain dalam kekerabatan masyarakat Jawa, hal ini dikemukakan oleh Bratawijaya (1993:21-23) yang menyatakan istilah lain tersebut adalah keponakan atau ponakan. Mereka ini adalah anak-anak dari kakak ego baik yang berasal dari kakak ego yang laki-laki maupun kakak ego yang perempuan, sebutan ponakan ini dipakai untuk menyebut anak-anak kakak ego baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Prunan/perunan adalah untuk menyebut anak-anak dari adik ego baik yang laki-laki maupun yang perempuan, baik anak adik ego itu laki-laki maupun perempuan. Misan adalah istilah untuk menyebut antara sesama cucu dari orang yang bersaudara sekandung, Mindho adalah istikah untuk menyebut cucu ego dengan cucu saudara sepupu ego. Kemudian ada lagi istilah kekerabatan yang terjadi, karena perkawinan yaitu : besan, mertua,

ipe, peripean. Besan adalah orang tua dari pihak suami ego dengan orang tuanya sendiri atau sebaliknya; mertua adalah hubungan antara ego dengan orang tua suami/istri. Sedangkan hubungan antara orang tua dengan pihak istri/suami anaknya disebut mantu; ipe adalah hubungan antara istri/suami dengan saudara sekandung pihak suami/istri; peripean adalah hubungan antara sesama menantu (Emi Sujayawati, 2000:30).

Masyarakat Jawa juga mengenal adanya kelompok kekerabatan yang dinamakan alur waris. Alur waris ini merupakan suatu bentuk kelompok yang berasal dari satu nenek moyang, terdiri dari 6-7 angkatan atau lebih yang berasal dari satu nenek moyang, sehingga diantara anggota kelompok kekerabatan tersebut sulit untuk saling mengenal.

2.5Sistem Religi

Mayoritas penduduk desa kampung kolam memeluk agama Islam, yaitu sebanyak 8.673 orang dari jumlah penduduk. Sisanya sebanyak 1.186 orang memeluk agama Kristen, pemeluk agama Budha sebanyak 95 orang dan pemeluk agam Hindu sebanyak 18 orang. Dari uraian diatas dapat ditekankan bahwa keberadaan agama Islam sangatlah besar.

Mayoritas penduduk desa kampung kolam adalah pemeluk agam Islam. Di desa kampung kolam ini terdapat beberapa tempat ibadah diantaranya: 5 buah Masjid, 13 buah Musollah untuk agama Muslim dan 3 buah Gereja untuk agama Nasrani. Meskipun penduduk desa kampung kolam sudah mengaku sebagai pemeluk agama

Islam namun mereka masih sering melakukan hal-hal lain diluar kepercayaan mereka, jika dilihat berdasarkan persentase yaitu sekitar 50 %. Sampai saat ini mereka juga masih melakukan perbuatan tersebut, yaitu mereka masih saja percaya pada roh nenek moyang dan hal-hal gaib seperti percaya pada makhluk halus penunggu tempat-tempat keramat dan mereka juga masih sering memberikan sesajen13

Sebelum group kesenian reog ini melakukan pertunjukan terlebih dahulu mereka harus melakukan ritual terhadap roh nenek moyang, mereka membakar sesajen didepan topeng dhadhak merak dan menaburi kembang tujuh rupa dan bunga kantil disekitar tempat pertunjukan sambil membacakan doa-doa. Hal ini mereka yakini akan dapat melancarkan jalannya pertunjukan, jika mereka tidak melakukan hal itu maka pertunjukan tidak akan dapat berjalan dengan lancar dan para pemain barongan akan kesurupan karena roh nenek moyang marah dan memasuki tubuhnya dan nantinya akan sulit untuk disuruh keluar

.

14

Bagi masyarakat desa kampung kolam yang akan melakukan hajatan, sebelumnya mereka harus menentukan kapan hajat itu akan dilaksanakan. Untuk melakukan hajat terlebih dahulu mereka harus menentukan hari baik, hal ini dilakukan untuk menghindari naas yaitu hari yang dianggap tidak baik atau pantang. Jika hajat dilakukan bertepatan dengan geblak yaitu saat meninggalnya salah seorang keluarganya, maka hari tersebut harus segera dihindari agar tidak ada kejadian buruk yang akan menimpa mereka.

.

13

Wawancara dengan Mbah edi kucet selaku sesepuh pada 09 Agustus 2008. 14

Umunya masyarakat Jawa membedakan makhluk halus menjadi dua macam, yaitu: makhluk halus yang berasal dari roh leluhur yang disebut dengan bahureksa dan makhluk halus sebagai roh pelundung yang disebut dengan danyang, yaitu suatu kekuatan supranatural yang diyakini oleh masyarakat pendukung sebagai pemimpin para jin atau roh halus yang menguasai daerah tersebut (Emi Sujayawati, 2000:33).

Agar para makhluk halus tersebut mau menuruti mereka maka pada waktu- waktu tertentu mereka harus menyediakan sesajen. Sesajen ini terdiri dari beberapa jenis makanan dan bunga-bungaan berbagai rupa yang akan mereka letakan di tempat-tempat tertentu yang mereka anggap keramat. Dan pada waktu mereka memberikan sesajen harus disertai dengan mantra-mantra ataupun doa-doa.

Berdasarkan tingkat kemurnian dan ketaatan pelaksanaan ajarannya, masyarakat Jawa membedakan pemeluk agama menjadi dua kelompok, yaitu : (1) Wong Putihan, yaitu orang putih yang dimaksud dengan orang putih disini adalah orang-orang yang taat menjalankan ibadah dengan ajaran Islam; (2) Wong Lorek, yaitu orang yang badannya belang-belang hitam dan putih, maksudnya adalah orang yang meyakini terhadap ajaran agama Islam tetapi tidak menjalankan ritual peribadatannya terutama shalat, namun mencampurkan unsur-unsur diluar Islam.

Faktor utama yang menjadi pembeda antara wong putihan dan wong lorek adalah ketaatannya menjalankan ritual agama Islam yaitu berupa shalat. Seseorang yang menjalankan shalat lima waktu dengan rajin digolongkan kedalam kelompok wong putihan meskipun dalam praktek kehidupan keagamaanya mencampur dengan unsur-unsur diluar Islam. Sedangkan wong lorek diberikan kepada orang yang

mengaku Islam tetapi tidak mau menjalankan ritual secara Islam terutama shalat (Nursilah, 2001:51).

Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jawa didesa kampung kolam termasuk kedalam golongan wongputihan. Walupun mereka taat beragama mereka juga masih melakukan hal-hal lain diluar Islam, misalnya seperti melakukan ritual sebelum pertunjukan.

2.6 Mata pencaharian

Berdasarkan data desa tahun 2008, penduduk desa kampung kolam mempunyai mata pencaharian sebagai berikut :

1. Buruh : 1581 orang 2. Petani : 1143 orang 3. Pedagang : 301 orang 4. Supir : 213 orang 5. PNS : 120 orang 6. Pengusaha : 14 orang 7. Peternak : 5 orang

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa mata pencaharian penduduk desa kampung kolam kebanyakan buruh. Keadaan ini sesuai dengan lingkungan yang mereka diami masih banyak terdapat perkebunan, persawahan dan pabrik, juga sesuai dengan kebiasaan masyarakat lapisan bawah yang menjadi buruh kasar dan buruh tani, dan juga sebagai buruh bangunan yang hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang sangat sederhana.

Sebagai petani masyarakat desa kampung kolam menanam padi, pisang, dan ubi kayu karena hanya jenis tanaman itulah yang sesuai dengan iklim daerah desa kolam tersebut. Di desa kampung kolam juga terdapat pabrik dan bangunan-bangunan yang akan dikerjakan oleh masyarakat. Selain itu penduduk desa kampung kolam dapat memperoleh tambahan dengan mengikuti group kesenian reog ini, dari hasil pentas keliling itulah mereka mendapatkan uang untuk membantu biaya hidup mereka masing-masing.

Koentjaraningrat menyatakan bahwa “di dalam kenyataan hidup orang Jawa, orang yang masih membeda-bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar dengan orang-orang kebanyakan yang disebut wong cilik, seperti petani-petani, tukang-tukang, dan pekerja kasar lainnya di samping keluarga keraton dan keturunan bangsawan atau bendera-bendera. Dalam rangka susunan masyarakat ini, secara bertingkat yang berdasarkan gensi-gensi itu, kaum priyayi dan bendera merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan masyarakat bawah” ( Heristina Dewi,1992:38).

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat Jawa yang ada di desa kampung kolam masih berstatus sosial rendah, namun istilah wong cilik tidak berlaku bagi masyarakat Jawa didesa kampung kolam karena mereka menganggap mereka semua sama. Aktivitas masyarakat Jawa didesa kampung kolam kebanyakan sebagai buruh dan petani.

2.7 Kesenian

Masyarakat yang tinggal di desa-desa yang berbatasan dengan desa kampung kolam mayoritas suku Jawa. Namun hanya desa kampung kolam yang mempunyai

kesenian reog, Sanggar Langen Budoyo berada di bawah naungan Forum Masyarakat Jawa Deli. Masyarakat suku Jawa tetap menampilkan ciri etnisnya dan mereka juga tetap menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi mereka sehari-hari, walaupun masyarakat Jawa tersebut sudah berdampingan dengan berbagai suku yang tinggal menetap di desa kampung kolam. Mereka juga masih melakukan peristiwa budaya seperti ritual upacara perkawinan, serta menghidupkan dan mempertahankan kesenian tradisional mereka seperti : Ludruk, Ketoprak, Kuda Lumping, Wayangan, Jaran Kepang dan Reog Ponorogo.

2.8 Bahasa

Bahasa pengantar dikalangan masyarakat Jawa didesa kampung kolam adalah bahasa Jawa. Namun, sebagian besar masyarakat Jawa didesa kampung kolam menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan etnis lain. Para pemain kesenian reog ponorogo ada yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik ada juga yang tidak bisa sama sekali, biasanya pemain yang tidak bisa berbahasa Indonesia adalah para sesepuh dan yang bisa para pemain yang lahir dan besar diseda kampung kolam tersebut. Kromo inggil merupakan tata cara berbahasa paling tinggi atau dengan kata lain yang paling halus. Bahasa kromo ini sering digunakan oleh orang- orang yang berpangkat, orang-orang sederajat, anak terhadap orang tuanya, murid terhadap guru, bawahan terhadap atasan, dan buruh terhadap majikan. Bahasa sehari- hari yang dipergunakan oleh penduduk desa kampung kolam adalah bahasa Ngoko karena merupakan bahasa Jawa biasa yang sering dipergunakan oleh orang tua terhadap anak, antar teman sebaya, atasan terhadap bawahan, dan majikan terhadap kuli.

Dokumen terkait