• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Pertunjukan Reog Ponorogo Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Jawa Di Desa Kampung Kolam Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Deskriptif Pertunjukan Reog Ponorogo Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Jawa Di Desa Kampung Kolam Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI DESKRIPTIF PERTUNJUKAN REOG PONOROGO PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT JAWA DI DESA KAMPUNG KOLAM TEMBUNG KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI M E D A N

(2)

DISETUJUI OLEH: FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA DEPARTEMEN

Dra. Frida Deliana, M.Si. NIP. 131 785 636

(3)

PENGESAHAN Diterima Oleh:

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam Bidang Etnomusikologi pada Fakultas Sastra USU Medan

Pada Tanggal :

Hari :

FAKULTAS SASTRA USU DEKAN

NIP. 132 098 531

Drs. Syaifuddin, M.A.Ph.D.

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. ………...

2. ...………

3. ...………

4. ..………

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala

berkat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang

ditulis kedalam bentuk skripsi yang berjudul : “STUDI DESKRIPTIF PERTUNJUKAN REOG PONOROGO PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT JAWA DI DESA KAMPUNG KOLAM TEMBUNG KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG.”

Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Kampung

Kolam Tembung, yang merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk

memperoleh gelar Sarjana Seni (S-1) pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas

Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat terselesaikan berkat

bimbingan / dorongan serta petunjuk dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu

pada kesempatan ini penulis dengan penuh hormat dan kerendahan hati yang tulus

mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orangtua tercinta

Ayahanda St. J. Sitopu dan Ibunda B. br. Saragih Garingging yang begitu banyak

berkorban moral materil demi keberhasilan saya, ucapan terima kasih juga saya

sampaikan kepada abangku Ronald Rinaldi Sitopu, Amd yang telah bersedia

menggantarkan kemanapun aku pergi dan buat kedua adikku Melda Maya Sitopu dan

(5)

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas

Sastra USU bapak Drs. Syaifuddin, M.A.Ph.D, dan kepada ketua departemen

Etnomusikologi

Kepada Dra. Rithaony Hutajulu, MA sebagai dosen wali penulis, dan bapak

Prof. Mauly Purba, Ph.D yang telah banyak memberikan masukkan kepada saya juga

kepada seluruh staf pengajar di departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra USU

Medan yang telah banyak membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan

selama masa perkuliahan.

Dra. Frida Deliana, M.Si, juga kepada bapak Drs. Kumalo Tarigan,

sebagai dosen pembimbing I, serta kepada ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd, sebagai

dosen pembimbing II penulis yang telah membimbing dan mengarahkan penulis

dalam penulisan skripsi ini.

Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada dosen

seni tari UNIMED mas Agung Suharyanto, S.Sn beserta istri yang telah banyak

memberikan informasi dan masukkan seputar kesenian reog. Rasa terima kasih juga

penulis haturkan kepada mas Mateus Suwarson, S.Sn beserta keluarga yang bersedia

meminjamkan penulis buku-buku yang berhubungan dengan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua

informan: bapak Suparno selaku pimpinan sanggar Langen Budoyo beserta keluarga,

mbah Miseni selaku sesepuh beserta keluarga, bapak Ngatiman selaku sesepuh

beserta kelurga dan seluruh anggota group Langen Budoyo yang terdiri dari penari,

pemusik yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan

(6)

Kepada semua keluarga yang tak pernah bosan memberikan semangat,

dukungan dan doa kepada penulis, terutama buat bapa godang St. J. Sipayung dan

inang godang L. br. Saragih Garingging, bapa tongah St. J. Purba Siboro dan inang

tongah E. br. Saragih Garingging, bapa tongah J. Silitonga dan inang tongah E. br.

Saragih Garingging, juga buat Almarhum bapa anggian Drs. St. E. Purba, SH dan

inang anggian S. br. Saragih Garingging.

Buat semua saudara-saudaraku yang terkasih: kak Nani Sipayung, Amd dan

bang Rantas Hutapea,Ssi, kak Susi Sipayung, Amkeb dan bang Eben Simarmata

beserta adik kecil yang baru terlahir kedunia si ucok, kak Sanni Sipayung, Spd dan

bang Toni Saragih, ST beserta adik kecil Leonald Davin Saragih, kak Holong

Sipayung, Amd beserta adikku Jonathan, Sumando Sipayung, Amd, Sumual

Sipayung, kak shanty purba, Spd dan bang bahtera Sembiring, Skom, kak Rosli

Purba, Spd, Lusi Purba, Pandi Purba, SE, Sarah Silitonga, Indah Silitonga, Bilton

Purba, Joshua Purba dan Ernita purba yang tak pernah putus mendoakan dan

memberi semangat kepada penulis.

Buat teman-teman Gen 03: Siti, S.Sn, Martahan, Leo, Saridin, Roy, S.Sn,

Alvon, Romiduk, S.Sn, Lisbeth, S.Sn, Hans, Marlan, Frendy, Mandri, Nuel, Yoyok,

Bambang, Indra, #@, dan terkhusus buat ola yang telah menjadi sahabat sejatiku

yang setia menemani kemanapun aq pergi penelitian, buat semua kakak-abang

stambuk 02 terkhusus buat bang Irfas yang banyak memberikan masukkan, buat

kakak-abang stambuk 01 terkhusus buat kak Hetty yang selalu menasehati dan

mengajari aq, buat semua anak-anak Etnomusikologi dari stambuk 04,05,06,07, dan

(7)

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada anak-anak PSM USU dan

alumni , LK USU, special buat bang Beny, sanggar tari Citra Budaya TBSU, special

buat lusi yang centil, putri n Maya yang narsis, serta Ayu yang jaim abizzzz, PS.

Manna Numinous, pemuda / i GKPS Menteng, pemuda / i GKPS Resort Teladan

Medan, special buat teman-teman pengurus: bang Iman selaku ketua yang jail abizzz,

kak Panary selaku sekretaris dan kak Mena selaku bendahara.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan,

karenanya saya menerima saran dan kritik yang membangun dari semua pihak untuk

menyempurnakan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan

dapat menjadi sumbanagan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam

bidang Etnomusikologi.

Kiranya Tuhan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak

yang telah memberikan bantuan kepada saya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Medan, Januari 2009

Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah... 1

1.2Pokok Permasalahan... 10

1.3Tujuan Dan Manfaat Penelitian... 10

1.3.1 Tujuan... 10

1.3.2 Manfaat... 10

1.4 Teori Dan Konsep Yang Digunakan... 11

1.4.1 Konsep... 11

1.4.2 Teori... 13

1.5 Metode Penelitian... 14

1.5.1 Kerja Lapangan... 14

1.5.1.1 Studi Kepustakaan... 14

1.5.1.2 Observasi... 15

1.5.1.3 Wawancara... 15

1.5.1.4 Perekaman... 16

(9)

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian... 16

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DI KABUPATEN DELI SERDANG 2. 1 Sejarah Singkat Masuknya Suku Jawa Di Kabupaten Deli Serdang... 18

2.2 Letak Geografis Lokasi Penelitian... 21

2.3 Keadaan Penduduk... 23

2.3.1 Keadaan Penduduk Menurut Usia Dan Jenis Kelamin... 23

2.3.2 Keadaan Penduduk Menurut Tempat Tinggal... 23

2.3.3 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Kelulusan Pendidikan... 24

2.4 Sistem Kekerabatan... 25

2.5 Sistem Religi... 28

2.6 Mata Pencaharian... 31

2.7 Kesenian... 32 2.8 Bahasa... 33

BAB III KEBERADAAN REOG PONOROGO DI KABUPATEN DELI SERDANG 3.1 Sejarah Reog Ponorogo... 34

3.2 Reog di kabupaten Deli Serdang... 37

3.3 Karakteristik Tokoh... 38

3.3.1 Jathilan... 38

3.3.2 Bujangganong... 39

3.3.3 Barongan... 39

(10)

3.4.1 Kostum... 39

3.4.2 Riasan... 41

3.4.3 Topeng... 42

3.3.4 Pembuatan topeng... 44

3.5 Instrumen Yang Digunakan... 46

3.6 Lagu Pengiring Tarian... 49

3.7 Pelaksana Pertunjukan... 50

3.7.1 Sanggar Langen Budoyo... 50

3.7.2 Sejarah berdirinya... 51

3.7.3 Keanggotaan... 52

3.7.4 Pelatihan... 53

BAB IV PENYAJIAN REOG PONOROGO DALAM UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT JAWA 4.1 Perkawinan Masyarakat Jawa... 54

4.2 Pendukung Pertunjukan... 57

4.2.1 Waktu Dan Tempat Pelaksanaan Pertunjukan... 57

4.2.2 Pemusik... 59

4.2.3 Penari... 60

4.2.4 Penonton... 60

4.3 Deskripsi Jalannya Pertunjukan... 61

(11)

4.4.2 Reog Sebagai Hiburan... 71

BAB V PENUTUP

5.1 Rangkuman... 73

5.2 Kesimpulan... 75

5.3 Saran... 76

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel I Jumlah Penduduk Menurut Usia Dan Jenis Kelamin

Tabel II Jumlah Penduduk Berdasarkan Tempat Tinggal

Tabel III Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Skema Pertunjukan

Lampiran 2 : Peta Desa Kampung Kolam

Lampiran 3 : Peta Kecamatan Percut Sei Tuan

Lampiran 4 : Transkripsi lagu

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kostum yang digunakan pemusik... 40

Gambar 2 Kostum Penari Bujangganong... 40

Gambar 3 Kostum Penari Jathilan... 41

Gambar 4 Properti Eblek... 42

(13)

Gambar 6 Topeng Barongan... 44

Gambar 7 Ketipung Dan Kendang... 46

Gambar 8 Kenong... 47

Gambar 9 Gong... 48

Gambar 10 Angklung besar dan kecil... 48

Gambar 11 Slompret dan cara memainkannya... 49

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah Reog1

Kesenian reog berasal dari Jawa Timur di kota Ponorogo. Oleh karena itulah

kesenian ini dinamakan Reog Ponorogo

merupakan seni pertunjukan masyarakat Jawa yang di dalamnya

terdapat unsur-unsur, yang meliputi : tari, drama dan musik. Dalam suatu pertunjukan

kesenian reog disajikan dalam bentuk sendratari, yaitu suatu tarian dramatik yang

tidak berdialog dan diharapkan gerakan-gerakan tarian tersebut sudah cukup untuk

mewakili isi dan tema dari tarian tersebut (Supartha, 1982:38).

2

. Masuknya kesenian reog di Sumatera Utara

pada tahun 1965 yang di bawa oleh Mbah Miseni. Mbah Miseni adalah seorang

seniman dari Jawa Timur yang pertama sekali membawa masuk kesenian reog ke

Sumatera Utara tepatnya di kabupaten Deli Serdang. Awal beliau datang ke Sumatera

hanya untuk mencari pekerjaan dan beliau datang berdasarkan usahanya sendiri

bukan sebagai kuli kontrak yang di datangkan ke Sumatera Utara. Walaupun beliau

berada di luar daerah asalnya namun beliau tetap melestarikan kesenian

tradisionalnya dengan cara memperkenalkan kepada masyarakat, sampai saat ini

kesenian reog dapat tumbuh dan berkembang ditengah kesenian lain yang ada di

Sumatera Utara.

1

Penyebutan pertama akan di cetak miring, selanjutnya tidak. 2

(15)

Etnis terbesar di Sumatera Utara yang banyak membawa beberapa kesenian

dari daerah asalnya adalah etnis Jawa. Kedatangan orang-orang Jawa ke Sumatera

juga diikuti dengan beberapa kesenian yang sampai saat ini masih tetap mereka

pertunjukkan. Misalnya wayang kulit, wayang orang, ketoprak dan reog serta kuda

kepang. Kesenian tersebut tetap eksis di beberapa daerah yang di huni oleh komunitas

orang Jawa seperti di Tembung, Tanjung Morawa, Stabat dan Marelan, walaupun

kesenian tersebut hanya sebagai hiburan belaka.

Sampai saat ini masih banyak orang-orang Jawa yang memelihara dan

mempertunjukkan keseniannya di beberapa daerah yang mayoritas masyarakatnya

tentu saja orang Jawa. Masyarakat Jawa yang berada di Sumatera Utara, banyak

membina kesenian Jawa dalam kelompok-kelompok (perkumpulan) kesenian yang

tersebar di daerah-daerah yang mayoritas masyarakatnya orang Jawa, salah satunya

adalah Sanggar Langen Budoyo di Tembung.

Berbicara mengenai reog, tentu tidak dapat dipisahkan dengan komunitas

yang mendukungnya. Sanggar Langen Budoyo adalah salah satu kelompok kesenian

reog yang sampai sekarang tetap mempertahankan reog sebagai media ekspresi

kesenian mereka. Sanggar yang dibangun untuk memelihara kesenian rakyat Jawa

sebagai warisan keturunan dari orang-orang tua mereka yang datang ke Sumatera.

Mereka terdiri dari orang-orang Jawa yang lahir di Sumatera dengan sebutan

Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera). Sampai sekarang mereka masih

mempertahankan dan mempertunjukkannya di hari-hari tertentu pada pesta

perkawinan, khitanan/sunat, tahun baru Islam (Muharram) dan memperingati hari

(16)

Reog merupakan sebuah seni pertunjukan tari tradisional kerakyatan yang

menampilkan sosok penari yang memakai topeng raksasa (dhadhak merak) yang

berukuran: tinggi 240 cm, dan lebarnya 190 cm berwujud kepala seekor macan

dengan seekor merak yang bertengger diatasnya lengkap dengan bulu-bulu ekornya

yang disusun menjulang keatas, (jathilan) adalah para penari perempuan yang

memerankan sosok prajurit berkuda, (warok) adalah penari laki-laki berbadan

gempal berseragam hitam berhias kumis dan jambang yang lebat, (prabu klono

sewandono) adalah seorang penari yang mengenakan topeng berwarna merah,

berhidung mancung, kumis tipis, lengkap dengan mahkota seorang raja, (patih

bujangganong) adalah pendamping raja yang juga bertopeng merah dengan hidung

besar, mata melotot, mulut lebar dan rambut jabrig (Fauzannafi, 2005:13-14).

Dari beberapa buku tentang Pertunjukan Rakyat Jawa (Pigeaud: 1938;

Ahimsa: 2000; Nursilah: 2001), menyatakan bahwa ciri yang paling menonjol dalam

pertunjukan reog adalah menggunakan properti topeng dhadhak merak (topeng

berukuran 50 kg yang memiliki dua kepala harimau dan merak), kuda-kudaan yang

terbuat dari sayatan bambu atau disebut dengan kepang (tiruan binatang kuda yang

terbuat dari anyaman bambu dan berbentuk pipih), dalam kesenian reog terdapat

unsur mistik, pemakaian alat musik Jawa (gamelan), iringan gendhing reogan yang

bentuknya lebih sederhana dari pada gendhing-gendhing tradisonal klasik Jawa yang

lebih rumit dan diulang-ulang selama pertunjukan berlangsung.

Senen (1983: 13), menyatakan bahwa:

(17)

dinamika (sifat kontras seperti keras-lirih, patah-patah, mengalun) dan harmoni. Apabila melihat pertunjukan tari, maka tidak akan bisa mengesampingkan musik yang mengiringinya. Pertunjukan tari tanpa iringan musik barangkali akan terlihat hambar, hal ini menjadikan sangat jelas bahwa musik benar-benar sangat berperan dalam mengiringi sebuah pertunjukan tari.

Di Jawa Timur reog merupakan bentuk kesenian rakyat yang dapat

ditampilkan dalam dua versi, pertama ditampilkan pada saat festival reog se

kabupaten. Kedua ditampilkan untuk keperluan adat, desa ataupun perorangan. Reog

yang ditampilkan pada saat festival biasanya membawakan cerita yang

menggambarkan tentang bagaimana perjalanan rombongan prajurit ponorogo yang

akan melamar putri dari kediri, sedangkan reog yang ditampilkan untuk keperluan

adat, desa ataupun perorangan cerita yang di bawakan sesuai dengan hajatan atau

acara yang diadakan. Urutan tarian yang dibawakan dalam setiap pertunjukan adalah

tari Warok (tarian yang menggambarkan tokoh pengawal kerajaan yang berkarakter

kuat, perkasa, dan galak dan memiliki ilmu kesaktian yang mampu menjelma menjadi

harimau, gerakan tari yang dilakukan berupa adu otot), tari Jathilan (tarian yang

menggambarkan tokoh prajurit berkuda yang berkarakter lincah dan gerak tariannya

lemah lembut seperti wanita) , tari Bujangganong (tarian yang menggambarkan tokoh

seorang patih kerajaan yang berkarakter rendah hati, sabar, serta lincah dan gerakan

tari yang dilakukan lebih bersifat akrobatik) , tari Klana Sewandana (tarian yang

menggambarkan tokoh seorang raja yang berkarakter gagah serta berwibawa, gerakan

tari yang dilakukan sesuai dengan karakternya), dan tari Barongan (tarian ini

dilakukan oleh orang yang berbadan kuat dan kekar serta memiliki kekuatan ekstra

(18)

Dalam setiap pertunjukannya selalu diiringi dengan alunan musik klasik Jawa

dan menggunakan seperangkat gamelan Jawa3

Pertunjukan reog di kabupaten Deli Serdang sudah sangat berbeda dari bentuk

aslinya yang ada di Jawa Timur, dapat dilihat dari tema cerita yang dibawakan selalu

disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat serta acara yang diadakan,

misalnya pada acara perkawinan cerita yang dibawakan menggambarkan tentang

kisah percintaan. Terkadang tema bukan menjadi hal yang penting pada pertunjukan

yang mereka bawakan bahkan mungkin banyak anggota masyarakat yang tidak

mengetahui jalan ceritanya karena hal yang terpenting bagi mereka adalah

kegembiraan dan keterlibatan para penonton dalam setiap pertunjukan. Urutan tarian

yang ditampilkan menjadi: tari Bujangganong, tari Jathilan, dan tari Barongan

(dhadhak merak) karena hal ini dianggap dapat mempersingkat jalannya pertunjukan.

Pigeaud (1938: 229), menyatakan bahwa:

. Satu group terdiri dari 30 orang, yaitu

12 orang pemusik, 2 orang pembarong, 2 orang warok, 6 orang jathilan, 1 orang

prabu, 2 orang patih, dan 4 orang lagi berperan sebagai orang-orang yang

berteriak-teriak dari belakang panggung untuk menambah marak suasana.

“Tari jathilan adalah semacam tari pertunjukan kuda, karena para penarinya menggunakan properti kuda-kudaan yang terbuat dari bilah-bilah bambu yang ditipiskan dan dianyam (kepang). Ada juga yang menyebutnya pertunjukan kuda kepang, karena bahan untuk membuat kuda-kudaan dari bahan kepang. Ada yang menyebutnya ebeg, ebleg, embleg atau embeg yang biasanya sebutan ini digunakan di daerah Jawa Tengah bagian barat. Makin ke timur sampai ke Surakarta dan Ponorogo, pertunjukan ini disebut reog, akhirnya di daerah Kediri dan di Jawa Timur, namanya adalah jaranan atau jaran kepang”.

3

(19)

Lagu yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan adalah gending reogan

dan lagu-lagu campursari, musik pengiringnya tidak menggunakan seperangkat

gamelan Jawa melainkan hanya menggunakan kendang, ketipung, kenong, angklung,

slompret dan gong Gerakan tarian yang dibawakan lebih atraktif dan menghibur4. Keterampilan dan keahlian yang dilakukan pembarong berupa berguling-guling

ditanah serta menaikkan penganten ataupun penonton diatas topeng dhadhak merak

yang dikenakannya. Dalam setiap pertunjukan satu group terdiri dari 20 orang

pemain, yaitu 10 orang pemusik, 2 orang bujangganong, 2 orang pembarong, 2 orang

jathilan, 2 orang sesepuh yang akan melakukan ritual dan 2 orang pemain lagi

berperan sebagai penyemarak yang berteriak-teriak dibelakang panggung5

Biasanya sebelum pertunjukan di mulai ada beberapa ritual yang dilakukan

oleh para sesepuh, yaitu meminta kepada para roh lelehur agar acara dapat berjalan

dengan lancar tanpa ada hambatan sedikitpun. Para sesepuh membakar sesajen berupa

kemenyan di depan semua peralatan yang akan digunakan seperti topeng

bujangganong dan dhadhak merak. Selain dibakar sesajen yang berupa rokok dan

kembang tujuh rupa diselipkan di telinga kepala harimau yang bersatu dengan

dhadhak merak. Setelah itu, kembang tujuh rupa ditaburkan disekitar tempat

pertunjukan berlangsung. Jika ritual itu tidak dilakukan maka topeng yang akan

digunakan para pembarong akan terasa sangat berat dan topeng dhadhak merak

tersebut tidak mau digerakkan oleh pembarong. Hal lain yang akan terjadi adalah .

4

Wawancara dengan bBapak Suparno selaku pimpinan sanggar pada tanggal 08 Maret 2008. 5

(20)

para penari akan dimasuki oleh roh nenek moyang yang akan membuat penari

mengalami cidera6

Instrumen musik yang digunakan sebagai pengiring pada pertunjukan reog ini

adalah: 1 buah kendang (membranofon), 1 buah ketipung (membranofon), 2 buah

kenong (idiofon), 1 buah salompret (aerofon), 2 buah angklung(idiofon), dan 1 buah

gong besar (idiofon). Peralatan lain yang di perlukan sebagai pendukung pertunjukan

adalah: eblek / jaranan, topeng Bujangganong, dan Dhadak merak .

7

Menurut Sedyawati (1993:9) pada dasarnya bentuk-bentuk pertunjukan

seperti penyamaran, topeng, barongan, dan sebagainya masih tergolong dalam satu

pertunjukan, yaitu pertunjukan topeng. Unsur pembeda yang menjadi dasar

klasifikasinya adalah dalam hal ukuran dan perwujudan visualnya. Sedyawati juga

menggolongan topeng berdasarkan ukurannya yang terdiri dari : (1) topeng kecil,

meliputi tari topeng pajengan di Bali, tari topeng Cirebon, tari topeng Jawa, dan lain

sebagainya; (2) topeng besar, meliputi tari huda-huda Simalungun dan Karo, tari

Hudo’ di Kalimantan Timur; (3) barong, meliputi reog ponorogo, barong di Bali,

burung enggang pada tari huda-huda, dan sebagainya (Sedyawati 1993:2-3). .

Pertunjukan reog pada upacara perkawinan biasanya disajikan sebagai

arak-arakan, yang diarak adalah pengantin pria beserta keluarga menuju rumah pengantin

wanita. Dalam perjalanan mengarak pengantin pria dinaikkan di atas dhadhak merak

dan reog juga ditampilkan sebagai hiburan bagi para tamu undangan. Pada acara

6

Cidera yang akan dialami para pemain adalah topeng yang mereka kenakan dalam pertunjukan tidak akan bisa dilepaskan dan para pemain juga akan melukai dirinya sendiri. Hal ini terjadi diluar

kesadaran para pemain karena tubuh mereka dimasukki oleh roh-roh nenek moyang. 7

(21)

khitanan (sunatan) dilakukan dengan cara mengarak manten sunatnya berkeliling

kampung. Para pemain reog mengarak keliling kampung dengan berjalan kaki

sedangkan manten sunat diarak didepan reog dengan menaikki kendaraan seperti

becak mesin. Pada saat peringatan hari besar nasional pertunjukan reog ponorogo

berfungsi sebagai upacara penyambutan para tamu istimewa, seperti para pejabat

pemerintahan.

Menurut Bapak Suparno keberadaan kesenian reog ini hanya terdapat di dua

daerah yang berbeda, yaitu di desa Kampung Kolam Tembung dan di Kampung

Transmigrasi Stabat. Pertunjukan yang mereka mainkan memiliki persamaan

terkadang di antara kedua group ini sering terjadi peminjaman alat maupun pemain

untuk kebutuhan pertunjukan, hal ini terjadi karena hubungan persaudaraan mereka

yang sangat erat dan saling mendukung satu sama lain.

Di desa Kampung Kolam Tembung terdapat sebuah group kesenian reog

yang dapat melakukan pertunjukan reog. Group kesenian reog tersebut bernama

Sanggar Langen Budoyo”. Penulis memilih group kesenian ini sebagai bahan

penelitian karena merupakan group yang paling sering mengadakan pertunjukan reog

di berbagai tempat dan acara, seperti upacara perkawinan masyarakat Jawa yang

terdapat di kabupaten Deli Serdang. Oleh karena itu, penulis menganggap group ini

cukup mampu dan berpengalaman dalam melakukan pertunjukan reog. Selain itu,

sanggar ini juga telah memiliki banyak anggota mulai dari orang tua sampai

anak-anak yang ingin melestarikan dan mempertahankan budayanya. Sampai saat ini

kesenian tradisional Jawa selain reog ponorogo yang terdapat dalam sanggar ini

(22)

Pertunjukan yang di tampilkan oleh group ini sangat menarik perhatian

masyarakat pendukungnya karena dalam setiap pertunjukannya mereka membawakan

dengan sangat atraktif juga mengibur banyak penonton sehingga dimana pun mereka

melakukan pertunjukan biasanya selalu ramai dikunjungi oleh penonton baik

anak-anak, remaja, sampai orang dewasa8

Berdasarkan keterangan di atas, penulis merasa banyak hal penting yang dapat

dideskripsikan secara lengkap kedalam sebuah tulisan. Seperti upacara adat

perkawinannya, bentuk pertunjukan, tema cerita, urutan tarian, gerakan tarian, tokoh

dan karakternya, properti yang digunakan,musik pengiring, kostum dan riasan yang

dikenakan.

.

Oleh karenanya penulis tertarik membahas lebih dalam lagi tentang kesenian

tradisional khas ponorogo di kabupaten Deli Serdang dan penulis akan menjabarkan

lebih lengkap lagi tentang pertunjukan reog dalam konteks upacara perkawinan

masyarakat Jawa ke dalam tulisan dengan judul : “Studi Deskriptif Pertunjukan Reog Ponorogo Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Jawa Di Desa Kampung Kolam Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”.

(23)

1.2 Pokok Bahasan Dan Batasan Masalah

Setelah penulis mengetahui dan mempelajari kesenian reog ponorogo ini ternyata

banyak sekali yang bisa di jadikan bahan penelitian seperti: karakter reog, kostum,

pertunjukan tari yang meliputi pola lantai dan gerak tari, durasi pertunjukan, dan

musik pengiring. Oleh karena itu, saya lebih memfokuskan bahasan kepada beberapa

aspek saja dan saya merasa perlu untuk membatasi masalah sebagaii berikut :

1. Bagaimana bentuk pertunjukan reog ponorogo pada upacara perkawinan

masyarakat Jawa di Desa Kampung Kolam Tembung.

2. Apa sajakah yang menjadi pendukung pertunjukan reog ponorogo.

1.3 Tujuan Dan Manfaat 1.3.1 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mendeskripsikan bentuk pertunjukan reog ponorogo pada upacara

perkawinan masyarakat Jawa di Desa Kampung Kolam Tembung.

b. Untuk menjelaskan komponen-komponen pendukung pertunjukan reog

ponorogo.

1.3.2 Manfaat

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk melestarikan dengan cara memperkenalkan kesenian ini pada

masyarakat pecinta kebudayaan.

2. Sebagai bahan dokumentasi pada jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra

(24)

1.4 Konsep Dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari

pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa

yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa

Indonesia,1990:456).

Menurut R. Merton dalam Koentjaraningrat (1977:32), konsep merupakan

defenisi dari apa yang perlu diamati. Konsep juga merupakan unsur pokok dari suatu

penelitian (Koentjaraningrat,1977:36).

Dari hasil pengamatan , wawancara, dan literatur yang ada, maka dapat

dikemukakan konsep-konsep sebagai berikut :

Kata deskriptif merupakan kata sifat dari deskripsi. Pengertian studi deskriptif

dapat diartikan sebagai; menguraikan gambaran situasi atau kejadian-kejadian yang

terdapat didalam studi objek ilmiah. Menurut Echols Shadily (1990:179), deskripsi

mempunyai pengertian gambaran atau lukisan. Dalam hal ini penulis mencoba

menguraikan / menggambarkan tentang kesenian reog ponorogo agar dapat dijadikan

informasi bagi para pembaca yang membutuhkan.

Menurut Murgianto (1996:156), pertunjukan adalah sebuah komunikasi yang

dilakukan satu orang atau lebih, pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada

seseorang atau lebih penerima pesan, dan kepada sebuah tradisi yang mereka pahami

bersama melalui seperangkat tingkah laku yang khas. Dalam sebuah pertunjukan

harus ada pemain, penonton, pesan yang dikirim, dan cara penyampaian yang khas.

(25)

pertunjukan, karena dalam setiap pertunjukannya ada penyaji (pemain), penonton,

pesan yang dikirim, dan dengan penyampaian yang khas.

Seni pertunjukan merupakan sesuatu yang berlaku dalam waktu dengan maksud

bahwa peristiwa ini memiliki arti hanya pada saat pengungkapan seni itu

berlangsung. Sementara hakikat seni pertunjukan adalah gerak, perubahan keadaan

dengan substansi terletak pada imajinasi serta prosesnya sekaligus, dengan daya

rangkum sebagai sarana, cengkeraman rasa sebagai tujuan seninya dan keterampilan

tehnis sebagai bahan. Selain hal tersebut seni pertunjukan dibagi kedalam dua

kategori yaitu: (1) Seni pertunjukan yang memiliki kegunaan sebagai tontonan, di

mana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan (2) Seni pertunjukan

dengan kegunaan sebagai pengalaman bersama, di mana antara penyaji dan penonton

saling berhubungan (Sediawaty,1981:58-60).

Istilah roeg berasal dari kata rog atau erog, yog atau hoyog, yod atau reyod, yeg

atau riyeg, yod atau reyod yang kesemuanya berarti rusak, goyang goncang atau tidak

tenang (Hartono, 1980:38-40).

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999:836) reyog yang ditulis

dengan kata reog (tanpa huruf y) mempunyai dua pengertian. Pertama, reog dalam bahasa Jawa berarti tarian tradisional di arena terbuka yang berfungsi sebagai hiburan

rakyat, mengandung unsur magis, penari utama adalah orang berkepala singa dengan

hiasan bulu merak, ditambah beberapa penari bertopeng dan berkuda, yang

kesemuanya laki-laki. Kedua, reog dalam bahasa Sunda berarti tontonan tradisional sebagai hiburan rakyat yang mengandung unsur humor dan sindiran. Berkaitan

(26)

namun perlu ditinjau lagi dalam perkembangannya sekarang di mana keterlibatan

penari wanita lebih menonjol terutama untuk penari berkuda (jathilan) dan kebenaran

tentang kandungan unsur magis di dalamnya karena tidak semua pementasan

menggunakannya, tetapi hanya untuk fungsi-fungsi tertentu saja.

Melalui keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kata yang dipakai untuk

kesenian ini adalah REOG (tanpa huruf y) karena sesuai dengan ejaan yang terdapat

di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

1.4.2 Teori

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori

hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu

pengetahuan (Koentjaraningrat,1973:10).

Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan

beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan

dibahas dalam tulisan ini.

Maka penulis menggunakan teori Edy Sedyawati (1981: 48-66) yang

mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan selalu dikaitkan dengan kondisi

lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut dilaksanakan atau didukung

masyarakatnya. Pergeseran-pergeseran nilai yang terdapat didalam pertunjukan dan

kemungkinan yang muncul dari interaksi setiap orang yaitu penyaji dan penyaji,

penyaji dan penonton.

Untuk melihat apa-apa saja komponen pertunjukan maka penulis

menggunakan teori Milton Siger (dalam MSPI, 1996:164-165) yang Menjelaskan

(27)

dan akhir, (3) acara kegiatan yang terorganisir, (4) sekelompok pemain, (5)

sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan dan, (7) kesempatan untuk

mempertunjukannya.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam tulisan ini adalah metode

deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu penelitian yang berdasarkan atas

tujuannya dalam menggambarkan dan menafsirkan data yang dijumpai di lapangan.

Metode ini bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas sifat-sifat suatu individu,

keadaan, gejala, kelompok tertentu, menentukan frekuensi atau penyebaran dari suatu

gejala lain dalam suatu masyarakat (Koentjaraningrat,1990:29).

Penulis juga berpedoman pada disiplin etnomusikologi seperti yang

disarankan Curt Sach dalam Nettll (1964:62) yaitu penelitian etnomusikologi dibagi

dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium

(deks work).

Kerja lapangan meliputi studi kepustakaan, observasi, wawancara dan

perekaman lagu. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pembahasan dan

penganalisisan data yang telah diperoleh selama penelitian.

1.5.1 Kerja Lapangan 1.5.1.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan awal dalam penelitian, yaitu

dengan mengumpulkan literature atau sumber bacaan untuk mendapat informasi dan

pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber bacaan dan literature dapat

(28)

buku-buku tentang kesenian reog ponorogo yang telah ditulis oleh peneliti-peneliti

sebelumnya (M. Zamzam Fauzanafi 2005, Nursilah 2001). Studi kepustakaan juga

penulis lakukan terhadap topik-topik lain yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini,

seperti pengetahuan tentang upacara adat perkawinan Jawa, sejarah, etnografi, dan

lain sebagainya.

1.5.1.2 Observasi

Observasi dilakukan untuk mengamati secara langsung kejadian atau

peristiwa yang erat kaitanya dengan pertunjukan reog yang dimainkan sanggar

Langen Budoyo.Dalam hal ini penulis berusaha melihat secara langsung. Dengan

demikian dalam mendeskripsikan pertunjukan Reog Ponorogo, penulis akan lebih

cermat.

1.5.1.3 Wawancara

Wawancara yang dimaksud disini adalah suatu cara yang digunakan seseorang

untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari

seorang responden dan bercakap-cakap serta bertatap muka dengan seseorang

(Koentjaraningrat,1990:129).

Wawancara yang penulis lakukan yaitu: wawancara berfokus (focused

interview) dan wawancara bebas (free interview). Wawancara berfokus, pertanyaan

yang dilakukan berpusat pada aspek permasalahannya saja sedangkan wawancara

bebas pertanyaan yang diajukan tidak berpusat pada suatu pokok permasalahan yang

(29)

1.5.1.4 Perekaman

Penggunaan alat bantu sangat penting dalam melakukan penelitian. Alat bantu

yang penulis gunakan pada saat melakukan wawancara adalah tape recorder Sony

TP-VS450 dengan beberapa kaset Sony C-60, kamera digital untuk memotret gambar

ataupun kejadian yang ada pada saat pertunjukan berlangsung. Selain itu, penulis juga

menggunakan handycam untuk merekam jalannya pertunjukan.

1.5.1.5Kerja Laboratorium

Semua data yang di peroleh dilapangan diolah dalam kerja laboratorium

dengan pendekatan etnomusikologi. Dalam mengolah data, penulis melakukan proses

menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data

yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis melakukan pendekatan deskriptif guna

pengolahan dan penganalisisan data.

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan

Lokasi penelitian reog dalam tulisan ini adalah desa Kampung Kolam

Kecamatan Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Alasan

penulis memilih lokasi penelitian ini karena daerah ini merupakan daerah komunitas

suku Jawa dan di daerah ini juga banyak ditemukan kesenian-kesenian tradisional

Jawa seperti Reog Ponorogo, Jaran Kepang, Kuda Lumping, Wayangan, Ludruk dan

masih banyak kesenian Jawa lainnya.

Sebelum melaksanakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari informan.

Mencari informan adalah suatu hal penting karena informan dapat memberikan

informasi yang sesuai untuk keperluan penelitian tersebut. Informan yang penulis cari

(30)

kenal sebelum melakukan penelitian yang mengetahui tentang kesenian reog ini.

Informan pangkal yang membantu penulis dalam penelitian ini adalah Bapak Imam

Safei (25 thn) dan Bapak Jumadi (27 thn).

Setelah mendapatkan informan pangkal, penulis menentukan informan kunci.

Informan kunci adalah orang yang memberikan informasi kepada penulis mengenai

bahan penelitian penilis, diantaranya Bapak Ngatiman (55 thn) dan Bapak Suparno

(53 thn). Melalui informan kunci ini, penulis banyak memperoleh masukan mengenai

permasalahan yang ada dalam tulisan ini dan beberapa informan lain juga seperti

tokoh masyarakat yang telah di tuakan oleh masyarakat Jawa desa tersebut yang

mengerti dan memahami betul tentang kesenian tradisional Jawa ini khususnya

(31)

BAB II

TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2.1Sejarah Singkat Masuknya Suku Jawa Di Kabupaten Deli Serdang

Sumatera Utara merupakan Propinsi yang banyak di huni oleh berbagai suku

dan etnis, baik yang berasal dari Pulau Jawa maupun dari luar Pulau Jawa.

Masyarakat Jawa Timur merupakan salah satu kelompok etnis pendatang yang ada di

Indonesia di antaranya berdiam di Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara.

Pada awal abad ke- 20 masyarakat Jawa datang dan memasuki wilayah

Sumatera Utara dengan menjadi kuli kontrak (koeli contarct)9

Pada tahun 1863, Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha Belanda yang telah

lama tinggal di Batavia, datang ke Deli dan mendapat kontrak dari Sultan Deli untuk

menanam tembakau selama 20 tahun di Sumatera Timur. Nienhuys mulai membuka

sebuah ladang di Martubung dengan 88 orang kuli Cina dan 23 kuli Melayu (Sinar

2006:207). Hasil tembakau dari kebun Martubung ini mendapat sambutan yang baik hal lain yang menjadi

faktor utama masyarakat Jawa datang ke Sumatera Utara adalah tidak terlepas dari

perkembangan daerah Sumatera Utara sebagai daerah perkebunan yang dikelola

perusahaan perkebunan Belanda bermodal asing yang dilengkapi dengan perangkat

administrasi nya, yang disebut dengan onderneming-onderneming yang berdiri

sekitar tahun 1864 (Karl J. Pelzer, 1985:12).

9

(32)

oleh Belanda karena dianggap tembakau yang berkualitas sangat baik (van

Papenrecht 1927 dalam Sinar 2006:207). Pada tahun 1866, Janssen dan Clemen

memberikan bantuan modal kepada Neienhuys untuk mendirikan sebuah perusahaan

perkebunan tembakau yang diberi nama Deli Maatschapij.

Pada saat itu pasar tembakau di Eropa sedang meningkat pesat, dan tembakau

yang dihasilkan oleh perkebunan Deli mampu menembus pasaran Eropa karena

tembakau Deli memiliki kualitas yang sangat baik. Maka Nienhuys memperpanjang

kontraknya dengan Sultan Deli pada tanggal 8 April 1867 selama 99 tahun. Nienhuys

juga membuka perkebunan tembakaunya yang lain di Sunggal pada tahun 1869 dan

Sungai Besar dan Kelumpang pada tahun 1875, karena semakin luas dan semakin

bertambahnya kebun sehingga memerlukan semakin banyak kuli (Sinar, 2006:207).

Sejak dibukanya perkebunan pertama, kebutuhan kuli dapat dipenuhi dengan

mendatangkan kuli orang Cina dan India dari P. Pinang dan Singapura. Saat itu Cina

sedang mengalami kelebihan penduduk dan krisis pengangguran yang sangat parah.

Sehingga perusahaan-perusahaan swasta di Hindia-Belanda pada saat itu dengan

mudah mengimpor kuli melalui agen-agen dan makelar buruh.

Tahun berikutnya merupakan tahun yang penting bagi perkembangan

perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Sampai tahun 1884 telah berdiri 12

perusahaan perkebunan tembakau di wilayah Marindal, Medan, Petersburg, Tanjung

Jati, Bandar Khalipah, Deli Tua, Kwala Begumit, Bekalia, Belawan, Lubuk Dalam,

Buluh Cina, dan Kota Limbaru. Asosiasi dari ke dua belas perusahaan perkebunan ini

dinamakan Kongsi XII. Perkembangan ini semakin memantapkan Sumatera Timur

(33)

Setelah masa kolonial Belanda berakhir maka kontrak-kontrak mereka pun

berakhir, namun masyarakat Jawa tersebut tidak kembali ke Jawa, mereka tetap

menjadi penduduk setempat sama seperti masyarakat-masyarakat pendatang lainnya.

Kemudian mereka membentuk kelompok yang mendirikan komunitas-komunitas

bagi kelangsungan hidup sosial dan budaya mereka.

Walaupun banyak orang-orang Jawa datang ke Sumatera Utara sebagai koeli

kontrak, namun para anggota group kesenian reog ponorogo bukan berasal dari

keturunan para koeli kontrak bahkan bukan juga sebagai koeli kontrak. Kebanyakan

mereka datang ke Sumatera Utara berdasarkan usaha sendiri dengan dana sendiri dan

bertujuan untuk mencari pekerjaan10

Semakin banyak orang Jawa menetap di Sumatera Utara, semakin besar pula

niat mereka untuk melestarikan budayanya dengan cara memperkenalkan kesenian

tradisional mereka kepada masyarakat yang ada di Sumatera Utara. Selain itu, ada

juga beberapa organisasi yang terbentuk untuk mendukung perkembangan kesenian

mereka dan salah satu organisasi tersebut adalah Forum Masyarakat Jawa Deli. .

Dalam komunitas barunya tersebut, masyarakat Jawa mendirikan

kelompok-kelompok kesenian. Kesenian yang mereka bawa dari daerah asalnya ini mereka

jadikan sebagai penghibur dan pengusir rasa lelah setelah seharian bekerja juga

sebagai pengobat rasa rindu pada kampung halaman mereka. Salah satu kesenian

tersebut adalah seni tari tradisional Reog Ponorogo yang terdapat di desa Kampung

Kolam Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.

10

(34)

2.2Letak Georafis Lokasi Penelitian

Desa Kampung Kolam yang merupakan lokasi penelitian penulis terletak di

kawasan Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Propinsi

Sumatera Utara, tepatnya di jalan Pardamean pasar XVI no.64. Dengan jarak pusat

pemerintahan ± 5 Km dari Ibukota Kecamatan, ± 20 Km dari Ibukota Kabupaten dan

± 20 Km dari Ibukota Propinsi.

Lokasi tersebut dapat dicapai dari Tembung dengan naik angkutan umum

selama ± 15 menit. Angkutan umum tersebut hanya sampai pasar XVI saja karena

tidak ada angkutan umum yang dapat langsung sampai ke tempat tujuan penelitian.

Setelah itu penulis melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki selama ± 20 menit.

Alat transportasi yang digunakan para penduduk desa kampung kolam untuk

menempuh perjalanan dengan sepeda dan sepeda motor.

Adapun batas-batas wilayah desa Kampung Kolam adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan PTP IX

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bandar Klippa

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Batang Kuis

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bandar Setia.

Desa kampung kolam rata-rata barada pada ketinggian 5 meter dari

permukaan laut, dengan suhu udara rata-rata 37 derajat celcius. Ditinjau dari segi

desa, maka desa kampung kolam termasuk pedesaan yang memiliki 13 dusun /

(35)

Desa Kampung Kolam adalah salah satu Desa dari 20 Desa / Kelurahan yang

ada di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Luas daerah sekitar

598,65 Ha, dengan pembagian sebagai berikut :

1. Tanah sawah : 466,69 Ha

2. Tanah kering :131,96 Ha

Menurut penggunaan, maka pembagian luas tanah sebagai berikut :

1. Pertanian sawah : 204 Ha

2. Perkebunan : 0,4 Ha

3. Pekuburan : 0,5 Ha

4. Fasilitas Umum : 2 Ha

Desa Kampung Kolam dulunya merupakan tanah perkebunan tembakau milik

Belanda pada masa penjajahan, namun sekarang ini perkebunan tersebut merupakan

milik PTP II yang merupakan perkebunan tebu dan sawit. Pemukiman penduduk

berada di belakang area perkebunan tersebut. Setiap musim hujan daerah ini selalu

mengalami kebanjiran yang mengakibatkan desa ini tergenang seperti kolam, hal ini

dikarenakan saluran air yang tidak berfungsi dengan baik sehingga tidak dapat

menyerap banyaknya air hujan. Oleh karena itulah daerah ini dinamakan Desa

Kampung Kolam11.

11

(36)

2.3Keadaan Penduduk

2.3.1 Keadaan Penduduk Menurut Usia Dan Jenis Kelamin

Jumlah penduduk desa kampung kolam adalah sebanyak 9972 Jiwa yang

terdiri laki-laki sebanyak 5215 dan perempuan sebanyak 4757 Jiwa (data

kependudukan kantor desa tahun 2008) dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel I

Jumlah Penduduk Desa Kampung Kolam Menurut Usia dan Jenis Kelamin

Umur/tahun

Sumber : Data Statistik Kantor Kepala Desa Kampung Kolam Tahun 2008

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa penduduk desa kampung kolam

terdapat lebih banyak penduduk yang berjenis kelamin perempuan daripada laki-laki,

para anggota group kesenian reog yang masih muda rata-rata berusia 19-24 tahun,

dewasa rata-rata berusia 25-55, dan para sesepuh group kesenian ini rata-rata berusia

56-79.

2.3.2 Keadaan Penduduk Menurut Tempat Tinggal

Penduduk desa kampung kolam termasuk juga para anggota group kesenian

reog mempunyai tempat tinggal yang tersebar di 13 dusun / lorong desa kampung

kolam. Untuk keterangan lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut di bawah

(37)

Jumlah Penduduk Desa Kampung Kolam menurut Tempat Tinggal

Sumber : Data Statistik Kantor Kepala Desa Kampung Kolam Tahun 2008

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah KK terbanyak terdapat

pada dusun I, para anggota group kesenian reog ini memiliki tempat tinggal yang

berada di dusun X dengan jumlah penduduk 101 KK.

2.3.3 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Penduduk desa kampung kolam kebanyakan hanya tamatan SD, hal ini dapat

di lihat pada tabel berikut ini : Tabel III

Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Kelulusan Pendidikan

Lulusan Jumlah

(38)

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa kebanyakan penduduk desa

kampung kolam hanya tamatan SD saja, awalnya penulis merasa kesulitan untuk

berkomunikasi dengan para sesepuh dan para pemain reog karena sebagian besar dari

mereka tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik mereka hanya dapat

berkomunikasi dengan bahasa Jawa.

Para anggota group kesenian reog ponorogo yang hanya tamatan SD adalah

para sesepuh, pemusik serta pemain lain yang saat ini usianya sudah tua, sedangkan

anggota lain yang saat ini usianya masih muda kebanyakan sudah mengenyam

pendidikan hingga kebangku perkuliahan. Pada saat penulis melakukan wawancara

dengan para sesepuh penulis mendapat kesulitan dalam hal berkomunikasi karena

mereka hanya dapat berkomunikasi dengan bahasa Jawa saja, namun penulis tidak

merasa putus asa karena penulis dibantu oleh para pemain lain yang bisa

menggartikannya kedalam bahasa Indonesia.

2.4 Sistem Kekerabatan

Penduduk desa kampung kolam mayoritas terdiri dari suku Jawa, oleh karena

itu penulis menggunakan sistem kekerabatan masyarakat Jawa pada umumnya12

12

Sistem kekerabatan adalah hubungan seseorang dengan yang lain berdasarkan pertalian darah.

.

Sistem kekerabatan yang digunakan oleh masyarakat Jawa adalah kekerabatan yang

dilihat berdasarkan prinsip bilateral yaitu memperhitungkan keanggotaan kelompok

melalui garis keturunan laki-laki maupun garis keturunan perempuan, maka

seseorang dapat menjadi anggota kelompok kekerabatan dari pihak ayah dan juga

(39)

Dalam budaya Jawa sistem bekeluarga dalam arti luas, yaitu keluarga inti,

batih, atau keluarga budaya. Sistem kekerabatan ini dilandasi oleh sikap

bergotong-royong, dengan konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe, artinya tidak

mengharapkan balasan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama.

Dalam hal ini bentuk kelompok kekerabatan yang paling kecil adalah keluarga

batih, yang anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya yang belum menikah,

apabila keluarga batih mempunyai kerabat satu dengan yang lain maka terbentuklah

suatu kelompok kekerabatan yang disebut dengan paseduluran: (1) sedulur tunggal

kringkel merupakan saudara lahir dari ibu dan ayah yang sama; (2) sedulur

kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama, atau sebaliknya saudara lain

ibu nemun ayahnya sama, dan saudara tiri; (3) sedulur misanan merupakan saudara

satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung atau tiri; (4) sedulur

mindoan adalah saudara satu buyut (orang tau kakek atau nenek) berlaku baik

untuk saudara kandung atau tiri, (5) sedulur mentelu yaitu saudara satu canggah

(buyutnya ayah dan ibu) baik saudara kandung atau tiri; (6) bala yaitu yang menurut

anggapan mereka masih saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak

kedudukannya, dan disebabkan oleh interaksi mereka, karena kebutuhan yang erat,

misalnya jenis pekerjaan sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; (7) tangga

yang konsepnya tidak terbatas pada letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam

kepentingan tertentu mereka saling membutuhkan (Lihat Skripsi Martavia).

Dengan istilah-istilah kekerabatan yang berlaku tersebut, maka dapat

diketahui status atau kedudukannya dalam kelompok kekerabatan. Istilah-istilah

(40)

ayahnya dengan sebutan bapak dan ibunya dengan sebutan simbok/mbok; (2) untuk

menyebut saudara laki-laki yang lebih tua dengan sebutan kangmas/kakang dan untuk

saudara perempuan disebut dengan mbakyu/yu, untuk saudara laki-laki yang lebih

muda disebut dengan adhi/dhi sedangkan saudara perempuan disebut dengan nok; (3)

sebutan untuk kakak kandung ayah laki-laki adalah pakdhe dan yang perempuan

budhe/mbokde, sedangkan kepada adik ayah laki-laki disebut dengan istilah

paman/pakcik/paklek dan yang perempuan dengan sebutan bibi/bulik/mbok;(4)

sebutan terhadap kakek adalah mbah lanang/simbah kakung sedangkan sebutan

kepada nenek adalah simbah wedok sebaliknya kakek dan nenek akan menyebut ego

adalah ptu/wayah sedangkan ego menyebut orang tua simbah dengan sebutan simbah

buyut istilah ini dapat dipakai untuk menyebut orang tua simbah baik laki-laki

maupun perempuan (Emi Sujayawati, 2000:28-29).

Selain istilah tersebut diatas masih ada lagi istilah lain dalam kekerabatan

masyarakat Jawa, hal ini dikemukakan oleh Bratawijaya (1993:21-23) yang

menyatakan istilah lain tersebut adalah keponakan atau ponakan. Mereka ini adalah

anak-anak dari kakak ego baik yang berasal dari kakak ego yang laki-laki maupun

kakak ego yang perempuan, sebutan ponakan ini dipakai untuk menyebut anak-anak

kakak ego baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Prunan/perunan adalah

untuk menyebut anak-anak dari adik ego baik yang laki-laki maupun yang

perempuan, baik anak adik ego itu laki-laki maupun perempuan. Misan adalah istilah

untuk menyebut antara sesama cucu dari orang yang bersaudara sekandung, Mindho

adalah istikah untuk menyebut cucu ego dengan cucu saudara sepupu ego. Kemudian

(41)

ipe, peripean. Besan adalah orang tua dari pihak suami ego dengan orang tuanya

sendiri atau sebaliknya; mertua adalah hubungan antara ego dengan orang tua

suami/istri. Sedangkan hubungan antara orang tua dengan pihak istri/suami anaknya

disebut mantu; ipe adalah hubungan antara istri/suami dengan saudara sekandung

pihak suami/istri; peripean adalah hubungan antara sesama menantu (Emi

Sujayawati, 2000:30).

Masyarakat Jawa juga mengenal adanya kelompok

kekerabatan yang dinamakan alur waris. Alur waris ini

merupakan suatu bentuk kelompok yang berasal dari satu

nenek moyang, terdiri dari 6-7 angkatan atau lebih yang

berasal dari satu nenek moyang, sehingga diantara anggota

kelompok kekerabatan tersebut sulit untuk saling

mengenal.

2.5Sistem Religi

Mayoritas penduduk desa kampung kolam memeluk agama Islam, yaitu

sebanyak 8.673 orang dari jumlah penduduk. Sisanya sebanyak 1.186 orang memeluk

agama Kristen, pemeluk agama Budha sebanyak 95 orang dan pemeluk agam Hindu

sebanyak 18 orang. Dari uraian diatas dapat ditekankan bahwa keberadaan agama

Islam sangatlah besar.

Mayoritas penduduk desa kampung kolam adalah pemeluk agam Islam. Di

desa kampung kolam ini terdapat beberapa tempat ibadah diantaranya: 5 buah Masjid,

13 buah Musollah untuk agama Muslim dan 3 buah Gereja untuk agama Nasrani.

(42)

Islam namun mereka masih sering melakukan hal-hal lain diluar kepercayaan mereka,

jika dilihat berdasarkan persentase yaitu sekitar 50 %. Sampai saat ini mereka juga

masih melakukan perbuatan tersebut, yaitu mereka masih saja percaya pada roh

nenek moyang dan hal-hal gaib seperti percaya pada makhluk halus penunggu

tempat-tempat keramat dan mereka juga masih sering memberikan sesajen13

Sebelum group kesenian reog ini melakukan pertunjukan terlebih dahulu

mereka harus melakukan ritual terhadap roh nenek moyang, mereka membakar

sesajen didepan topeng dhadhak merak dan menaburi kembang tujuh rupa dan bunga

kantil disekitar tempat pertunjukan sambil membacakan doa-doa. Hal ini mereka

yakini akan dapat melancarkan jalannya pertunjukan, jika mereka tidak melakukan

hal itu maka pertunjukan tidak akan dapat berjalan dengan lancar dan para pemain

barongan akan kesurupan karena roh nenek moyang marah dan memasuki tubuhnya

dan nantinya akan sulit untuk disuruh keluar

.

14

Bagi masyarakat desa kampung kolam yang akan melakukan hajatan,

sebelumnya mereka harus menentukan kapan hajat itu akan dilaksanakan. Untuk

melakukan hajat terlebih dahulu mereka harus menentukan hari baik, hal ini

dilakukan untuk menghindari naas yaitu hari yang dianggap tidak baik atau pantang.

Jika hajat dilakukan bertepatan dengan geblak yaitu saat meninggalnya salah seorang

keluarganya, maka hari tersebut harus segera dihindari agar tidak ada kejadian buruk

yang akan menimpa mereka.

.

13

Wawancara dengan Mbah edi kucet selaku sesepuh pada 09 Agustus 2008. 14

(43)

Umunya masyarakat Jawa membedakan makhluk halus menjadi dua macam,

yaitu: makhluk halus yang berasal dari roh leluhur yang disebut dengan bahureksa

dan makhluk halus sebagai roh pelundung yang disebut dengan danyang, yaitu suatu

kekuatan supranatural yang diyakini oleh masyarakat pendukung sebagai pemimpin

para jin atau roh halus yang menguasai daerah tersebut (Emi Sujayawati, 2000:33).

Agar para makhluk halus tersebut mau menuruti mereka maka pada

waktu-waktu tertentu mereka harus menyediakan sesajen. Sesajen ini terdiri dari beberapa

jenis makanan dan bunga-bungaan berbagai rupa yang akan mereka letakan di

tempat-tempat tertentu yang mereka anggap keramat. Dan pada waktu mereka

memberikan sesajen harus disertai dengan mantra-mantra ataupun doa-doa.

Berdasarkan tingkat kemurnian dan ketaatan pelaksanaan ajarannya,

masyarakat Jawa membedakan pemeluk agama menjadi dua kelompok, yaitu : (1)

Wong Putihan, yaitu orang putih yang dimaksud dengan orang putih disini adalah

orang-orang yang taat menjalankan ibadah dengan ajaran Islam; (2) Wong Lorek,

yaitu orang yang badannya belang-belang hitam dan putih, maksudnya adalah orang

yang meyakini terhadap ajaran agama Islam tetapi tidak menjalankan ritual

peribadatannya terutama shalat, namun mencampurkan unsur-unsur diluar Islam.

Faktor utama yang menjadi pembeda antara wong putihan dan wong lorek

adalah ketaatannya menjalankan ritual agama Islam yaitu berupa shalat. Seseorang

yang menjalankan shalat lima waktu dengan rajin digolongkan kedalam kelompok

wong putihan meskipun dalam praktek kehidupan keagamaanya mencampur dengan

(44)

mengaku Islam tetapi tidak mau menjalankan ritual secara Islam terutama shalat

(Nursilah, 2001:51).

Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jawa

didesa kampung kolam termasuk kedalam golongan wongputihan. Walupun mereka

taat beragama mereka juga masih melakukan hal-hal lain diluar Islam, misalnya

seperti melakukan ritual sebelum pertunjukan.

2.6 Mata pencaharian

Berdasarkan data desa tahun 2008, penduduk desa kampung kolam

mempunyai mata pencaharian sebagai berikut :

1. Buruh : 1581 orang

2. Petani : 1143 orang

3. Pedagang : 301 orang

4. Supir : 213 orang

5. PNS : 120 orang

6. Pengusaha : 14 orang

7. Peternak : 5 orang

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa mata pencaharian penduduk desa

kampung kolam kebanyakan buruh. Keadaan ini sesuai dengan lingkungan yang

mereka diami masih banyak terdapat perkebunan, persawahan dan pabrik, juga sesuai

dengan kebiasaan masyarakat lapisan bawah yang menjadi buruh kasar dan buruh

tani, dan juga sebagai buruh bangunan yang hasilnya hanya cukup untuk memenuhi

(45)

Sebagai petani masyarakat desa kampung kolam menanam padi, pisang, dan

ubi kayu karena hanya jenis tanaman itulah yang sesuai dengan iklim daerah desa

kolam tersebut. Di desa kampung kolam juga terdapat pabrik dan bangunan-bangunan

yang akan dikerjakan oleh masyarakat. Selain itu penduduk desa kampung kolam

dapat memperoleh tambahan dengan mengikuti group kesenian reog ini, dari hasil

pentas keliling itulah mereka mendapatkan uang untuk membantu biaya hidup

mereka masing-masing.

Koentjaraningrat menyatakan bahwa “di dalam kenyataan hidup orang Jawa,

orang yang masih membeda-bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari pegawai

negeri dan kaum terpelajar dengan orang-orang kebanyakan yang disebut wong cilik,

seperti petani-petani, tukang-tukang, dan pekerja kasar lainnya di samping keluarga

keraton dan keturunan bangsawan atau bendera-bendera. Dalam rangka susunan

masyarakat ini, secara bertingkat yang berdasarkan gensi-gensi itu, kaum priyayi dan

bendera merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan masyarakat

bawah” ( Heristina Dewi,1992:38).

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat Jawa

yang ada di desa kampung kolam masih berstatus sosial rendah, namun istilah wong

cilik tidak berlaku bagi masyarakat Jawa didesa kampung kolam karena mereka

menganggap mereka semua sama. Aktivitas masyarakat Jawa didesa kampung kolam

kebanyakan sebagai buruh dan petani.

2.7 Kesenian

Masyarakat yang tinggal di desa-desa yang berbatasan dengan desa kampung

(46)

kesenian reog, Sanggar Langen Budoyo berada di bawah naungan Forum Masyarakat

Jawa Deli. Masyarakat suku Jawa tetap menampilkan ciri etnisnya dan mereka juga

tetap menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi mereka sehari-hari,

walaupun masyarakat Jawa tersebut sudah berdampingan dengan berbagai suku yang

tinggal menetap di desa kampung kolam. Mereka juga masih melakukan peristiwa

budaya seperti ritual upacara perkawinan, serta menghidupkan dan mempertahankan

kesenian tradisional mereka seperti : Ludruk, Ketoprak, Kuda Lumping, Wayangan,

Jaran Kepang dan Reog Ponorogo.

2.8 Bahasa

Bahasa pengantar dikalangan masyarakat Jawa didesa kampung kolam adalah

bahasa Jawa. Namun, sebagian besar masyarakat Jawa didesa kampung kolam

menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan etnis lain. Para pemain

kesenian reog ponorogo ada yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik ada juga

yang tidak bisa sama sekali, biasanya pemain yang tidak bisa berbahasa Indonesia

adalah para sesepuh dan yang bisa para pemain yang lahir dan besar diseda kampung

kolam tersebut. Kromo inggil merupakan tata cara berbahasa paling tinggi atau

dengan kata lain yang paling halus. Bahasa kromo ini sering digunakan oleh

orang-orang yang berpangkat, orang-orang-orang-orang sederajat, anak terhadap orang-orang tuanya, murid

terhadap guru, bawahan terhadap atasan, dan buruh terhadap majikan. Bahasa

sehari-hari yang dipergunakan oleh penduduk desa kampung kolam adalah bahasa Ngoko

karena merupakan bahasa Jawa biasa yang sering dipergunakan oleh orang tua

terhadap anak, antar teman sebaya, atasan terhadap bawahan, dan majikan terhadap

(47)

BAB III

KEBERADAAN REOG PONOROGO DI KABUPATEN DELI SERDANG

3.1 Sejarah Reog Ponorogo

Menurut Poerbajtaraka (1969: 404), pada dasarnya adalah perkawinan antara

putri Kediri dengan raja seberang. Mungkin saja legenda ini tidak begitu diketahui

secara detil oleh masyarakat Jawa yang hidup di Sumatera. Akan tetapi sebagai

sebuah referensi, mungkin saja akan sangat berguna bagi kelompok atau sanggar

yang masih melestarikan pertunjukan reog di kabupaten Deli Serdang. Secara singkat

di sini akan diceritakan legenda yang sangat dipercayai oleh masyarakat Ponorogo

(Nursilah, 2001: 201-202).

Kerajaan Kediri-Daha dengan rajanya yang sudah tua bernama Sri Gentayu

yang mempunyai dua orang anak yaitu seorang putri bernama Dewi Sanggalagit dan

seorang putra bernama Raden Pujangga Anom. Sang raja ingin menyerahkan tahta

kepada anak laki-lakinya, akan tetapi keinginan itu ditolak karena sang putra merasa

belum mampu untuk naik tahta dan ingin memperdalam ilmu lagi sebelum naik tahta.

Penolakan itu menyebabkan sang raja luar biasa marah, sehingga pada suatu malam

sang putra melarikan diri sampai ke lereng gunung Lawu. Di situ dia berteman

dengan saudara satu perguruan bernama Prabu Klono Sewandono yang sama-sama

berguru pada seorang pertapa di gunung Lawu. Prabu Klana Sewandana adalah

seorang raja dari kerajaan Bantarangin yang sakti mandraguna, memiliki senjata

berupa cambuk bernama Pecut Samandiman atau Gendir Wuluh Gading.

(48)

Di kerajaan Bantarangin pada masa itu diceritakan sedang terjadi masa suram

yaitu paceklik yang berkepanjangan. Menurut nasehat pendeta, kesusahan ini bisa

berakhir apabila sang raja segera kawin dengan putri dari kerajaan Kediri. Maka

diutuslah Pujangga Anom untuk melamar putri dari Kediri. Sesampainya di Kediri,

raja Sri Gentayu terkejut mengetahui maksud Pujanga Anom untuk melamar sang

putri bagi rajanya. Pada saat itu Pujangga Anom menyamar dengan memakai topeng

berwajah raksasa. Raja tidak percaya, karena kalau patihnya berwajah raksasa,

demikian juga dengan rajanya. Karena ketidak percayaan sang raja, maka

Bujangganong terpaksa mengaku bahwa dia adalah putra raja. Raja tidak percaya dan

mengutuk Bujangganong menjadi raksasa, kutukan menjadi kenyataan sehingga

berubah menjadi berwajah raksasa dan tidak bisa kembali ke bentuk semula. Atas

kejadian itu, sang raja menyesal dan akhirnya meneriman lamaran tersebut, akan

tetapi dengan tiga syarat, yaitu calon pengantin harus diiringi harimau dan hutan

lainnya untuk mengisi taman. Kedua harus dicarikan gamelan yang di dunia belum

pernah ada. Ketiga, diberikan persembahan berupa manusia yang berkepala harimau.

Usai mendengar permintaaan itu, Bujangganong kembali ke Wengker menyampaikan

hasil yang didapat untuk diberitahukan dan dibicarakan dengan prabu Klono

Sewandono.

Sepeninggal Bujangganong, kerajaan Kediri didatangi oleh Singalodra dengan

maksud yang sama. Raja dan putrinya tidak suka dan sebetulnya menolak, akan tetapi

penolakannya disampaikan untuk tidak sampai menyinggung Singalodra, yaitu

berterus terang bahwa sang putri sudah dilamar oleh raja dari Bantarangin. Oleh

(49)

bala tentaranya, maka lamarannya bisa diterima. Singalodra menyetujui hal itu dan

menghadang di tengah hutan Roban yang menjadi perbatasan antara Bantarangin

dengan Kediri.

Persyaratan yang diajukan membuat pihak Prabu Klono Sewandono

keberatan, akan tetapi Bujanganong bersedia untuk melengkapi persyaratan itu. Maka

berangkatlah Bujangganong ke hutan Roban yang atas kesaktiannya mampu

mengumpulkan seluruh hewan dalam sekejab. Syarat kedua dibuatlah gamelan yang

berasal dari bambu bernada pentatonis, sedangkan syarat ketiga akan dicarikan

kemudian.

Rombongan dari Bantarangin berangkat ke Kediri dan sesampai di hutan

Roban dihadang oleh Singalodra. Terjadilah perang antara prajurit dari Bantarangin

melawan Singalodra yang dimenangkan oleh pasukan dari Bantarangin. Singalodra

masih juga mau melawan dengan menjelma menjadi harimau. Dengan dicambuk oleh

senjata Pecut Samandiman atau Gendir Wuluh Gading, hilanglah segala kesaktian

dan kekuatan Singalodra. Dia memohon ampun dan menyerah kalah, namun

tubuhnya tidak bisa berubah menjadi manusia lagi. Prabu Klono Sewandono berusaha

menyembuhkan, akan tetapi tidak berhasil dengan sempurna, sehingga hanya

badannya saja yang bisa kembali menjadi manusia dan kepalanya tetap harimau.

Justru dengan demikian, tiga persyaratan yang diajukan oleh Raja Kediri menjadi

terpenuhi. Rombongan meneruskan perjalanan ke Kediri untuk melamar sang putri.

Iring-iringan yang menjadi persyaratan putri Kediri ini akhirnya menjadi satu bentuk

(50)

3.2 Reog di kabupaten Deli Serdang

Keberadaan kesenian reog di Deli Serdang karena adanya masyarakat Jawa

yang merantau dan ingin tetap melestarikan kesenian dari daerah asalnya. Kesenian

reog yang ada di kabupaten Deli Serdang sudah mengalami banyak perubahan.

Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada : (1) tokoh yang dimainkan, reog di

Jawa Timur memainkan 5 tokoh, yaitu: warok, jathilan, bujangganong, barongan,

prabu Klono Sewandono. Sedangkan reog di Deli Serdang hanya memainkan 3 tokoh

saja, yaitu: jathilan, bujangganong, dan barongan hal ini dilakukan untuk

mempersingkat jalannya pertunjukan; (2) kostum dan riasan, di Jawa Timur kostum

yang digunakan sangat lengkap serta riasannya menggunakan make up karakter sama

seperti tokoh yang diperankan sedangkan di Deli Serdang kostum dan riasan yang

digunakan hanya biasa saja tidak selengkap kostum yang di Jawa Timur; (3) Tema

cerita, reog di Jawa Timur selalu membawakan tentang cerita kerajaan dan

pertarungan para prajurit sedangkan di Deli Serdang tema disesuaikan dengan acara

yang sedang berlangsung; (4) alat musik dan lagu pengiring yang digunakan, di Jawa

Timur alat musik pengiring menggunakan seperangkatan gamelan Jawa serta

lagu-lagu pengiring yang dimainkan adalah lagu-lagu-lagu-lagu klasik Jawa sedangkan di Deli

Serdang alat musik yang digunakan hanya 5 saja serta lagu-lagu yang mengiringi

adalah gending reogan (mengiringi arak-arakan), gending sampak (mengiringi tari

(51)

3.3 Karakteristik Tokoh

Ada beberapa tokoh yang dimainkan dalam setiap pertunjuka reog ponorogo

dan masing-masing tokoh mempunyai sifat yang berbeda-beda sesuai dengan

karakternya. Adapun tokoh-tokoh yang terdapat dalam pertunjukan reog ponorogo

adalah :

3.3.1 Jathilan

Jathilan merupakan gambaran tokoh prajurit berkuda yang sedang berperang.

Dulunya yang memerankan jathilan ini adalah anak laki-laki yang berprofesi sebagai

seorang gemblak yang dipelihara oleh warok. Syarat untuk menjadi seorang gemblak

adalah anak laki-laki yang masih muda, berpenampilan menarik, putih bersih dan

ganteng. Anak laki-laki ini kemudian dilamar kepada orang tuanya secara baik-baik

oleh warok setelah orang tuanya memberikan anaknya maka anak ini dididik dan

dipelihara untuk menjadi seorang gemblak selama 3 tahun dan tugasnya adalah

melayani dan mendamping warok kemana pun dia pergi layaknya sebagai seorang

istri. Selama 3 tahun itulah sang anak dibiayai hidupnya oleh warok dan diberikan

fasilitas jika masa kontrak warok sudah habis maka ia dipulangkan kepada orang

tuanya dan sebagai imbalan warok memberikan satu ekor lembu. Tradisi

pemeliharaan gemblak ini berakhir pada tahun 1965 karena dianggap bertentangan

dengan ajaran agama. Sampai saat ini baik di Jawa maupun di Sumatera gemblak

sudah tidak ada lagi. Pada masa sekarang ini jathilan ditarikan oleh anak perempuan

Gambar

Gambar 6      Topeng Barongan......................................................................
gambar dibawah ini:

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang menjadi faktor dominan pernikahan usia muda di Dusun IX Seroja Pasar VII Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan dikarenakan hamil di luar

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan mengenai sejarah kcsen inn kuda lumping scbagai salah satu jenis seni pertunjukan ; mengctahui tahapan-tahapan dalam seni

Faktor dominan pernikahan usia muda di Dusun IX Seroja Pasar VII Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang dikarenakan hamil diluar nikah (Marrige

Penelitian ini di laksanakan di Desa Bandar Khalifa, Desa Kolam, dan Desa Bandar Setia di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang yang di mulai

Gambar 6.15 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Berat Badan Lahir di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2010 ... 81 Gambar 6.16 Diagram

Barbagai kajian tentang kesenian Reog Ponorogo dan pertunjukan kesenian lainnya di Sumatera Utara dalam paradigma teori-teori budaya serta kajian tentang orang Jawa di Sumatera

Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang menjadi faktor dominan pernikahan usia muda di Dusun IX Seroja Pasar VII Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan dikarenakan hamil di luar

saling ketergantungan satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, begitu juga dengan peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak menerima dukungan dan masukan dari