STUDI DESKRIPTIF PERTUNJUKAN REOG PONOROGO PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT JAWA DI DESA KAMPUNG KOLAM TEMBUNG KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI M E D A N
DISETUJUI OLEH: FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA DEPARTEMEN
Dra. Frida Deliana, M.Si. NIP. 131 785 636
PENGESAHAN Diterima Oleh:
Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam Bidang Etnomusikologi pada Fakultas Sastra USU Medan
Pada Tanggal :
Hari :
FAKULTAS SASTRA USU DEKAN
NIP. 132 098 531
Drs. Syaifuddin, M.A.Ph.D.
Panitia Ujian
No. Nama Tanda Tangan
1. ………...
2. ...………
3. ...………
4. ..………
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala
berkat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang
ditulis kedalam bentuk skripsi yang berjudul : “STUDI DESKRIPTIF PERTUNJUKAN REOG PONOROGO PADA UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT JAWA DI DESA KAMPUNG KOLAM TEMBUNG KECAMATAN PERCUT SEI TUAN KABUPATEN DELI SERDANG.”
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Kampung
Kolam Tembung, yang merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk
memperoleh gelar Sarjana Seni (S-1) pada Departemen Etnomusikologi, Fakultas
Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat terselesaikan berkat
bimbingan / dorongan serta petunjuk dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
pada kesempatan ini penulis dengan penuh hormat dan kerendahan hati yang tulus
mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orangtua tercinta
Ayahanda St. J. Sitopu dan Ibunda B. br. Saragih Garingging yang begitu banyak
berkorban moral materil demi keberhasilan saya, ucapan terima kasih juga saya
sampaikan kepada abangku Ronald Rinaldi Sitopu, Amd yang telah bersedia
menggantarkan kemanapun aku pergi dan buat kedua adikku Melda Maya Sitopu dan
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas
Sastra USU bapak Drs. Syaifuddin, M.A.Ph.D, dan kepada ketua departemen
Etnomusikologi
Kepada Dra. Rithaony Hutajulu, MA sebagai dosen wali penulis, dan bapak
Prof. Mauly Purba, Ph.D yang telah banyak memberikan masukkan kepada saya juga
kepada seluruh staf pengajar di departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra USU
Medan yang telah banyak membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan
selama masa perkuliahan.
Dra. Frida Deliana, M.Si, juga kepada bapak Drs. Kumalo Tarigan,
sebagai dosen pembimbing I, serta kepada ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd, sebagai
dosen pembimbing II penulis yang telah membimbing dan mengarahkan penulis
dalam penulisan skripsi ini.
Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada dosen
seni tari UNIMED mas Agung Suharyanto, S.Sn beserta istri yang telah banyak
memberikan informasi dan masukkan seputar kesenian reog. Rasa terima kasih juga
penulis haturkan kepada mas Mateus Suwarson, S.Sn beserta keluarga yang bersedia
meminjamkan penulis buku-buku yang berhubungan dengan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
informan: bapak Suparno selaku pimpinan sanggar Langen Budoyo beserta keluarga,
mbah Miseni selaku sesepuh beserta keluarga, bapak Ngatiman selaku sesepuh
beserta kelurga dan seluruh anggota group Langen Budoyo yang terdiri dari penari,
pemusik yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan
Kepada semua keluarga yang tak pernah bosan memberikan semangat,
dukungan dan doa kepada penulis, terutama buat bapa godang St. J. Sipayung dan
inang godang L. br. Saragih Garingging, bapa tongah St. J. Purba Siboro dan inang
tongah E. br. Saragih Garingging, bapa tongah J. Silitonga dan inang tongah E. br.
Saragih Garingging, juga buat Almarhum bapa anggian Drs. St. E. Purba, SH dan
inang anggian S. br. Saragih Garingging.
Buat semua saudara-saudaraku yang terkasih: kak Nani Sipayung, Amd dan
bang Rantas Hutapea,Ssi, kak Susi Sipayung, Amkeb dan bang Eben Simarmata
beserta adik kecil yang baru terlahir kedunia si ucok, kak Sanni Sipayung, Spd dan
bang Toni Saragih, ST beserta adik kecil Leonald Davin Saragih, kak Holong
Sipayung, Amd beserta adikku Jonathan, Sumando Sipayung, Amd, Sumual
Sipayung, kak shanty purba, Spd dan bang bahtera Sembiring, Skom, kak Rosli
Purba, Spd, Lusi Purba, Pandi Purba, SE, Sarah Silitonga, Indah Silitonga, Bilton
Purba, Joshua Purba dan Ernita purba yang tak pernah putus mendoakan dan
memberi semangat kepada penulis.
Buat teman-teman Gen 03: Siti, S.Sn, Martahan, Leo, Saridin, Roy, S.Sn,
Alvon, Romiduk, S.Sn, Lisbeth, S.Sn, Hans, Marlan, Frendy, Mandri, Nuel, Yoyok,
Bambang, Indra, #@, dan terkhusus buat ola yang telah menjadi sahabat sejatiku
yang setia menemani kemanapun aq pergi penelitian, buat semua kakak-abang
stambuk 02 terkhusus buat bang Irfas yang banyak memberikan masukkan, buat
kakak-abang stambuk 01 terkhusus buat kak Hetty yang selalu menasehati dan
mengajari aq, buat semua anak-anak Etnomusikologi dari stambuk 04,05,06,07, dan
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada anak-anak PSM USU dan
alumni , LK USU, special buat bang Beny, sanggar tari Citra Budaya TBSU, special
buat lusi yang centil, putri n Maya yang narsis, serta Ayu yang jaim abizzzz, PS.
Manna Numinous, pemuda / i GKPS Menteng, pemuda / i GKPS Resort Teladan
Medan, special buat teman-teman pengurus: bang Iman selaku ketua yang jail abizzz,
kak Panary selaku sekretaris dan kak Mena selaku bendahara.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan,
karenanya saya menerima saran dan kritik yang membangun dari semua pihak untuk
menyempurnakan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
dapat menjadi sumbanagan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang Etnomusikologi.
Kiranya Tuhan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan kepada saya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Medan, Januari 2009
Penulis,
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iv
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR... vii
DAFTAR LAMPIRAN... viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah... 1
1.2Pokok Permasalahan... 10
1.3Tujuan Dan Manfaat Penelitian... 10
1.3.1 Tujuan... 10
1.3.2 Manfaat... 10
1.4 Teori Dan Konsep Yang Digunakan... 11
1.4.1 Konsep... 11
1.4.2 Teori... 13
1.5 Metode Penelitian... 14
1.5.1 Kerja Lapangan... 14
1.5.1.1 Studi Kepustakaan... 14
1.5.1.2 Observasi... 15
1.5.1.3 Wawancara... 15
1.5.1.4 Perekaman... 16
1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian... 16
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DI KABUPATEN DELI SERDANG 2. 1 Sejarah Singkat Masuknya Suku Jawa Di Kabupaten Deli Serdang... 18
2.2 Letak Geografis Lokasi Penelitian... 21
2.3 Keadaan Penduduk... 23
2.3.1 Keadaan Penduduk Menurut Usia Dan Jenis Kelamin... 23
2.3.2 Keadaan Penduduk Menurut Tempat Tinggal... 23
2.3.3 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Kelulusan Pendidikan... 24
2.4 Sistem Kekerabatan... 25
2.5 Sistem Religi... 28
2.6 Mata Pencaharian... 31
2.7 Kesenian... 32 2.8 Bahasa... 33
BAB III KEBERADAAN REOG PONOROGO DI KABUPATEN DELI SERDANG 3.1 Sejarah Reog Ponorogo... 34
3.2 Reog di kabupaten Deli Serdang... 37
3.3 Karakteristik Tokoh... 38
3.3.1 Jathilan... 38
3.3.2 Bujangganong... 39
3.3.3 Barongan... 39
3.4.1 Kostum... 39
3.4.2 Riasan... 41
3.4.3 Topeng... 42
3.3.4 Pembuatan topeng... 44
3.5 Instrumen Yang Digunakan... 46
3.6 Lagu Pengiring Tarian... 49
3.7 Pelaksana Pertunjukan... 50
3.7.1 Sanggar Langen Budoyo... 50
3.7.2 Sejarah berdirinya... 51
3.7.3 Keanggotaan... 52
3.7.4 Pelatihan... 53
BAB IV PENYAJIAN REOG PONOROGO DALAM UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT JAWA 4.1 Perkawinan Masyarakat Jawa... 54
4.2 Pendukung Pertunjukan... 57
4.2.1 Waktu Dan Tempat Pelaksanaan Pertunjukan... 57
4.2.2 Pemusik... 59
4.2.3 Penari... 60
4.2.4 Penonton... 60
4.3 Deskripsi Jalannya Pertunjukan... 61
4.4.2 Reog Sebagai Hiburan... 71
BAB V PENUTUP
5.1 Rangkuman... 73
5.2 Kesimpulan... 75
5.3 Saran... 76
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
DAFTAR TABEL
Tabel I Jumlah Penduduk Menurut Usia Dan Jenis Kelamin
Tabel II Jumlah Penduduk Berdasarkan Tempat Tinggal
Tabel III Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Skema Pertunjukan
Lampiran 2 : Peta Desa Kampung Kolam
Lampiran 3 : Peta Kecamatan Percut Sei Tuan
Lampiran 4 : Transkripsi lagu
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kostum yang digunakan pemusik... 40
Gambar 2 Kostum Penari Bujangganong... 40
Gambar 3 Kostum Penari Jathilan... 41
Gambar 4 Properti Eblek... 42
Gambar 6 Topeng Barongan... 44
Gambar 7 Ketipung Dan Kendang... 46
Gambar 8 Kenong... 47
Gambar 9 Gong... 48
Gambar 10 Angklung besar dan kecil... 48
Gambar 11 Slompret dan cara memainkannya... 49
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah Reog1
Kesenian reog berasal dari Jawa Timur di kota Ponorogo. Oleh karena itulah
kesenian ini dinamakan Reog Ponorogo
merupakan seni pertunjukan masyarakat Jawa yang di dalamnya
terdapat unsur-unsur, yang meliputi : tari, drama dan musik. Dalam suatu pertunjukan
kesenian reog disajikan dalam bentuk sendratari, yaitu suatu tarian dramatik yang
tidak berdialog dan diharapkan gerakan-gerakan tarian tersebut sudah cukup untuk
mewakili isi dan tema dari tarian tersebut (Supartha, 1982:38).
2
. Masuknya kesenian reog di Sumatera Utara
pada tahun 1965 yang di bawa oleh Mbah Miseni. Mbah Miseni adalah seorang
seniman dari Jawa Timur yang pertama sekali membawa masuk kesenian reog ke
Sumatera Utara tepatnya di kabupaten Deli Serdang. Awal beliau datang ke Sumatera
hanya untuk mencari pekerjaan dan beliau datang berdasarkan usahanya sendiri
bukan sebagai kuli kontrak yang di datangkan ke Sumatera Utara. Walaupun beliau
berada di luar daerah asalnya namun beliau tetap melestarikan kesenian
tradisionalnya dengan cara memperkenalkan kepada masyarakat, sampai saat ini
kesenian reog dapat tumbuh dan berkembang ditengah kesenian lain yang ada di
Sumatera Utara.
1
Penyebutan pertama akan di cetak miring, selanjutnya tidak. 2
Etnis terbesar di Sumatera Utara yang banyak membawa beberapa kesenian
dari daerah asalnya adalah etnis Jawa. Kedatangan orang-orang Jawa ke Sumatera
juga diikuti dengan beberapa kesenian yang sampai saat ini masih tetap mereka
pertunjukkan. Misalnya wayang kulit, wayang orang, ketoprak dan reog serta kuda
kepang. Kesenian tersebut tetap eksis di beberapa daerah yang di huni oleh komunitas
orang Jawa seperti di Tembung, Tanjung Morawa, Stabat dan Marelan, walaupun
kesenian tersebut hanya sebagai hiburan belaka.
Sampai saat ini masih banyak orang-orang Jawa yang memelihara dan
mempertunjukkan keseniannya di beberapa daerah yang mayoritas masyarakatnya
tentu saja orang Jawa. Masyarakat Jawa yang berada di Sumatera Utara, banyak
membina kesenian Jawa dalam kelompok-kelompok (perkumpulan) kesenian yang
tersebar di daerah-daerah yang mayoritas masyarakatnya orang Jawa, salah satunya
adalah Sanggar Langen Budoyo di Tembung.
Berbicara mengenai reog, tentu tidak dapat dipisahkan dengan komunitas
yang mendukungnya. Sanggar Langen Budoyo adalah salah satu kelompok kesenian
reog yang sampai sekarang tetap mempertahankan reog sebagai media ekspresi
kesenian mereka. Sanggar yang dibangun untuk memelihara kesenian rakyat Jawa
sebagai warisan keturunan dari orang-orang tua mereka yang datang ke Sumatera.
Mereka terdiri dari orang-orang Jawa yang lahir di Sumatera dengan sebutan
Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera). Sampai sekarang mereka masih
mempertahankan dan mempertunjukkannya di hari-hari tertentu pada pesta
perkawinan, khitanan/sunat, tahun baru Islam (Muharram) dan memperingati hari
Reog merupakan sebuah seni pertunjukan tari tradisional kerakyatan yang
menampilkan sosok penari yang memakai topeng raksasa (dhadhak merak) yang
berukuran: tinggi 240 cm, dan lebarnya 190 cm berwujud kepala seekor macan
dengan seekor merak yang bertengger diatasnya lengkap dengan bulu-bulu ekornya
yang disusun menjulang keatas, (jathilan) adalah para penari perempuan yang
memerankan sosok prajurit berkuda, (warok) adalah penari laki-laki berbadan
gempal berseragam hitam berhias kumis dan jambang yang lebat, (prabu klono
sewandono) adalah seorang penari yang mengenakan topeng berwarna merah,
berhidung mancung, kumis tipis, lengkap dengan mahkota seorang raja, (patih
bujangganong) adalah pendamping raja yang juga bertopeng merah dengan hidung
besar, mata melotot, mulut lebar dan rambut jabrig (Fauzannafi, 2005:13-14).
Dari beberapa buku tentang Pertunjukan Rakyat Jawa (Pigeaud: 1938;
Ahimsa: 2000; Nursilah: 2001), menyatakan bahwa ciri yang paling menonjol dalam
pertunjukan reog adalah menggunakan properti topeng dhadhak merak (topeng
berukuran 50 kg yang memiliki dua kepala harimau dan merak), kuda-kudaan yang
terbuat dari sayatan bambu atau disebut dengan kepang (tiruan binatang kuda yang
terbuat dari anyaman bambu dan berbentuk pipih), dalam kesenian reog terdapat
unsur mistik, pemakaian alat musik Jawa (gamelan), iringan gendhing reogan yang
bentuknya lebih sederhana dari pada gendhing-gendhing tradisonal klasik Jawa yang
lebih rumit dan diulang-ulang selama pertunjukan berlangsung.
Senen (1983: 13), menyatakan bahwa:
dinamika (sifat kontras seperti keras-lirih, patah-patah, mengalun) dan harmoni. Apabila melihat pertunjukan tari, maka tidak akan bisa mengesampingkan musik yang mengiringinya. Pertunjukan tari tanpa iringan musik barangkali akan terlihat hambar, hal ini menjadikan sangat jelas bahwa musik benar-benar sangat berperan dalam mengiringi sebuah pertunjukan tari.
Di Jawa Timur reog merupakan bentuk kesenian rakyat yang dapat
ditampilkan dalam dua versi, pertama ditampilkan pada saat festival reog se
kabupaten. Kedua ditampilkan untuk keperluan adat, desa ataupun perorangan. Reog
yang ditampilkan pada saat festival biasanya membawakan cerita yang
menggambarkan tentang bagaimana perjalanan rombongan prajurit ponorogo yang
akan melamar putri dari kediri, sedangkan reog yang ditampilkan untuk keperluan
adat, desa ataupun perorangan cerita yang di bawakan sesuai dengan hajatan atau
acara yang diadakan. Urutan tarian yang dibawakan dalam setiap pertunjukan adalah
tari Warok (tarian yang menggambarkan tokoh pengawal kerajaan yang berkarakter
kuat, perkasa, dan galak dan memiliki ilmu kesaktian yang mampu menjelma menjadi
harimau, gerakan tari yang dilakukan berupa adu otot), tari Jathilan (tarian yang
menggambarkan tokoh prajurit berkuda yang berkarakter lincah dan gerak tariannya
lemah lembut seperti wanita) , tari Bujangganong (tarian yang menggambarkan tokoh
seorang patih kerajaan yang berkarakter rendah hati, sabar, serta lincah dan gerakan
tari yang dilakukan lebih bersifat akrobatik) , tari Klana Sewandana (tarian yang
menggambarkan tokoh seorang raja yang berkarakter gagah serta berwibawa, gerakan
tari yang dilakukan sesuai dengan karakternya), dan tari Barongan (tarian ini
dilakukan oleh orang yang berbadan kuat dan kekar serta memiliki kekuatan ekstra
Dalam setiap pertunjukannya selalu diiringi dengan alunan musik klasik Jawa
dan menggunakan seperangkat gamelan Jawa3
Pertunjukan reog di kabupaten Deli Serdang sudah sangat berbeda dari bentuk
aslinya yang ada di Jawa Timur, dapat dilihat dari tema cerita yang dibawakan selalu
disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat serta acara yang diadakan,
misalnya pada acara perkawinan cerita yang dibawakan menggambarkan tentang
kisah percintaan. Terkadang tema bukan menjadi hal yang penting pada pertunjukan
yang mereka bawakan bahkan mungkin banyak anggota masyarakat yang tidak
mengetahui jalan ceritanya karena hal yang terpenting bagi mereka adalah
kegembiraan dan keterlibatan para penonton dalam setiap pertunjukan. Urutan tarian
yang ditampilkan menjadi: tari Bujangganong, tari Jathilan, dan tari Barongan
(dhadhak merak) karena hal ini dianggap dapat mempersingkat jalannya pertunjukan.
Pigeaud (1938: 229), menyatakan bahwa:
. Satu group terdiri dari 30 orang, yaitu
12 orang pemusik, 2 orang pembarong, 2 orang warok, 6 orang jathilan, 1 orang
prabu, 2 orang patih, dan 4 orang lagi berperan sebagai orang-orang yang
berteriak-teriak dari belakang panggung untuk menambah marak suasana.
“Tari jathilan adalah semacam tari pertunjukan kuda, karena para penarinya menggunakan properti kuda-kudaan yang terbuat dari bilah-bilah bambu yang ditipiskan dan dianyam (kepang). Ada juga yang menyebutnya pertunjukan kuda kepang, karena bahan untuk membuat kuda-kudaan dari bahan kepang. Ada yang menyebutnya ebeg, ebleg, embleg atau embeg yang biasanya sebutan ini digunakan di daerah Jawa Tengah bagian barat. Makin ke timur sampai ke Surakarta dan Ponorogo, pertunjukan ini disebut reog, akhirnya di daerah Kediri dan di Jawa Timur, namanya adalah jaranan atau jaran kepang”.
3
Lagu yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan adalah gending reogan
dan lagu-lagu campursari, musik pengiringnya tidak menggunakan seperangkat
gamelan Jawa melainkan hanya menggunakan kendang, ketipung, kenong, angklung,
slompret dan gong Gerakan tarian yang dibawakan lebih atraktif dan menghibur4. Keterampilan dan keahlian yang dilakukan pembarong berupa berguling-guling
ditanah serta menaikkan penganten ataupun penonton diatas topeng dhadhak merak
yang dikenakannya. Dalam setiap pertunjukan satu group terdiri dari 20 orang
pemain, yaitu 10 orang pemusik, 2 orang bujangganong, 2 orang pembarong, 2 orang
jathilan, 2 orang sesepuh yang akan melakukan ritual dan 2 orang pemain lagi
berperan sebagai penyemarak yang berteriak-teriak dibelakang panggung5
Biasanya sebelum pertunjukan di mulai ada beberapa ritual yang dilakukan
oleh para sesepuh, yaitu meminta kepada para roh lelehur agar acara dapat berjalan
dengan lancar tanpa ada hambatan sedikitpun. Para sesepuh membakar sesajen berupa
kemenyan di depan semua peralatan yang akan digunakan seperti topeng
bujangganong dan dhadhak merak. Selain dibakar sesajen yang berupa rokok dan
kembang tujuh rupa diselipkan di telinga kepala harimau yang bersatu dengan
dhadhak merak. Setelah itu, kembang tujuh rupa ditaburkan disekitar tempat
pertunjukan berlangsung. Jika ritual itu tidak dilakukan maka topeng yang akan
digunakan para pembarong akan terasa sangat berat dan topeng dhadhak merak
tersebut tidak mau digerakkan oleh pembarong. Hal lain yang akan terjadi adalah .
4
Wawancara dengan bBapak Suparno selaku pimpinan sanggar pada tanggal 08 Maret 2008. 5
para penari akan dimasuki oleh roh nenek moyang yang akan membuat penari
mengalami cidera6
Instrumen musik yang digunakan sebagai pengiring pada pertunjukan reog ini
adalah: 1 buah kendang (membranofon), 1 buah ketipung (membranofon), 2 buah
kenong (idiofon), 1 buah salompret (aerofon), 2 buah angklung(idiofon), dan 1 buah
gong besar (idiofon). Peralatan lain yang di perlukan sebagai pendukung pertunjukan
adalah: eblek / jaranan, topeng Bujangganong, dan Dhadak merak .
7
Menurut Sedyawati (1993:9) pada dasarnya bentuk-bentuk pertunjukan
seperti penyamaran, topeng, barongan, dan sebagainya masih tergolong dalam satu
pertunjukan, yaitu pertunjukan topeng. Unsur pembeda yang menjadi dasar
klasifikasinya adalah dalam hal ukuran dan perwujudan visualnya. Sedyawati juga
menggolongan topeng berdasarkan ukurannya yang terdiri dari : (1) topeng kecil,
meliputi tari topeng pajengan di Bali, tari topeng Cirebon, tari topeng Jawa, dan lain
sebagainya; (2) topeng besar, meliputi tari huda-huda Simalungun dan Karo, tari
Hudo’ di Kalimantan Timur; (3) barong, meliputi reog ponorogo, barong di Bali,
burung enggang pada tari huda-huda, dan sebagainya (Sedyawati 1993:2-3). .
Pertunjukan reog pada upacara perkawinan biasanya disajikan sebagai
arak-arakan, yang diarak adalah pengantin pria beserta keluarga menuju rumah pengantin
wanita. Dalam perjalanan mengarak pengantin pria dinaikkan di atas dhadhak merak
dan reog juga ditampilkan sebagai hiburan bagi para tamu undangan. Pada acara
6
Cidera yang akan dialami para pemain adalah topeng yang mereka kenakan dalam pertunjukan tidak akan bisa dilepaskan dan para pemain juga akan melukai dirinya sendiri. Hal ini terjadi diluar
kesadaran para pemain karena tubuh mereka dimasukki oleh roh-roh nenek moyang. 7
khitanan (sunatan) dilakukan dengan cara mengarak manten sunatnya berkeliling
kampung. Para pemain reog mengarak keliling kampung dengan berjalan kaki
sedangkan manten sunat diarak didepan reog dengan menaikki kendaraan seperti
becak mesin. Pada saat peringatan hari besar nasional pertunjukan reog ponorogo
berfungsi sebagai upacara penyambutan para tamu istimewa, seperti para pejabat
pemerintahan.
Menurut Bapak Suparno keberadaan kesenian reog ini hanya terdapat di dua
daerah yang berbeda, yaitu di desa Kampung Kolam Tembung dan di Kampung
Transmigrasi Stabat. Pertunjukan yang mereka mainkan memiliki persamaan
terkadang di antara kedua group ini sering terjadi peminjaman alat maupun pemain
untuk kebutuhan pertunjukan, hal ini terjadi karena hubungan persaudaraan mereka
yang sangat erat dan saling mendukung satu sama lain.
Di desa Kampung Kolam Tembung terdapat sebuah group kesenian reog
yang dapat melakukan pertunjukan reog. Group kesenian reog tersebut bernama
”Sanggar Langen Budoyo”. Penulis memilih group kesenian ini sebagai bahan
penelitian karena merupakan group yang paling sering mengadakan pertunjukan reog
di berbagai tempat dan acara, seperti upacara perkawinan masyarakat Jawa yang
terdapat di kabupaten Deli Serdang. Oleh karena itu, penulis menganggap group ini
cukup mampu dan berpengalaman dalam melakukan pertunjukan reog. Selain itu,
sanggar ini juga telah memiliki banyak anggota mulai dari orang tua sampai
anak-anak yang ingin melestarikan dan mempertahankan budayanya. Sampai saat ini
kesenian tradisional Jawa selain reog ponorogo yang terdapat dalam sanggar ini
Pertunjukan yang di tampilkan oleh group ini sangat menarik perhatian
masyarakat pendukungnya karena dalam setiap pertunjukannya mereka membawakan
dengan sangat atraktif juga mengibur banyak penonton sehingga dimana pun mereka
melakukan pertunjukan biasanya selalu ramai dikunjungi oleh penonton baik
anak-anak, remaja, sampai orang dewasa8
Berdasarkan keterangan di atas, penulis merasa banyak hal penting yang dapat
dideskripsikan secara lengkap kedalam sebuah tulisan. Seperti upacara adat
perkawinannya, bentuk pertunjukan, tema cerita, urutan tarian, gerakan tarian, tokoh
dan karakternya, properti yang digunakan,musik pengiring, kostum dan riasan yang
dikenakan.
.
Oleh karenanya penulis tertarik membahas lebih dalam lagi tentang kesenian
tradisional khas ponorogo di kabupaten Deli Serdang dan penulis akan menjabarkan
lebih lengkap lagi tentang pertunjukan reog dalam konteks upacara perkawinan
masyarakat Jawa ke dalam tulisan dengan judul : “Studi Deskriptif Pertunjukan Reog Ponorogo Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Jawa Di Desa Kampung Kolam Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”.
1.2 Pokok Bahasan Dan Batasan Masalah
Setelah penulis mengetahui dan mempelajari kesenian reog ponorogo ini ternyata
banyak sekali yang bisa di jadikan bahan penelitian seperti: karakter reog, kostum,
pertunjukan tari yang meliputi pola lantai dan gerak tari, durasi pertunjukan, dan
musik pengiring. Oleh karena itu, saya lebih memfokuskan bahasan kepada beberapa
aspek saja dan saya merasa perlu untuk membatasi masalah sebagaii berikut :
1. Bagaimana bentuk pertunjukan reog ponorogo pada upacara perkawinan
masyarakat Jawa di Desa Kampung Kolam Tembung.
2. Apa sajakah yang menjadi pendukung pertunjukan reog ponorogo.
1.3 Tujuan Dan Manfaat 1.3.1 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mendeskripsikan bentuk pertunjukan reog ponorogo pada upacara
perkawinan masyarakat Jawa di Desa Kampung Kolam Tembung.
b. Untuk menjelaskan komponen-komponen pendukung pertunjukan reog
ponorogo.
1.3.2 Manfaat
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk melestarikan dengan cara memperkenalkan kesenian ini pada
masyarakat pecinta kebudayaan.
2. Sebagai bahan dokumentasi pada jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra
1.4 Konsep Dan Teori 1.4.1 Konsep
Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari
pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa
yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa
Indonesia,1990:456).
Menurut R. Merton dalam Koentjaraningrat (1977:32), konsep merupakan
defenisi dari apa yang perlu diamati. Konsep juga merupakan unsur pokok dari suatu
penelitian (Koentjaraningrat,1977:36).
Dari hasil pengamatan , wawancara, dan literatur yang ada, maka dapat
dikemukakan konsep-konsep sebagai berikut :
Kata deskriptif merupakan kata sifat dari deskripsi. Pengertian studi deskriptif
dapat diartikan sebagai; menguraikan gambaran situasi atau kejadian-kejadian yang
terdapat didalam studi objek ilmiah. Menurut Echols Shadily (1990:179), deskripsi
mempunyai pengertian gambaran atau lukisan. Dalam hal ini penulis mencoba
menguraikan / menggambarkan tentang kesenian reog ponorogo agar dapat dijadikan
informasi bagi para pembaca yang membutuhkan.
Menurut Murgianto (1996:156), pertunjukan adalah sebuah komunikasi yang
dilakukan satu orang atau lebih, pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada
seseorang atau lebih penerima pesan, dan kepada sebuah tradisi yang mereka pahami
bersama melalui seperangkat tingkah laku yang khas. Dalam sebuah pertunjukan
harus ada pemain, penonton, pesan yang dikirim, dan cara penyampaian yang khas.
pertunjukan, karena dalam setiap pertunjukannya ada penyaji (pemain), penonton,
pesan yang dikirim, dan dengan penyampaian yang khas.
Seni pertunjukan merupakan sesuatu yang berlaku dalam waktu dengan maksud
bahwa peristiwa ini memiliki arti hanya pada saat pengungkapan seni itu
berlangsung. Sementara hakikat seni pertunjukan adalah gerak, perubahan keadaan
dengan substansi terletak pada imajinasi serta prosesnya sekaligus, dengan daya
rangkum sebagai sarana, cengkeraman rasa sebagai tujuan seninya dan keterampilan
tehnis sebagai bahan. Selain hal tersebut seni pertunjukan dibagi kedalam dua
kategori yaitu: (1) Seni pertunjukan yang memiliki kegunaan sebagai tontonan, di
mana ada pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton, dan (2) Seni pertunjukan
dengan kegunaan sebagai pengalaman bersama, di mana antara penyaji dan penonton
saling berhubungan (Sediawaty,1981:58-60).
Istilah roeg berasal dari kata rog atau erog, yog atau hoyog, yod atau reyod, yeg
atau riyeg, yod atau reyod yang kesemuanya berarti rusak, goyang goncang atau tidak
tenang (Hartono, 1980:38-40).
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999:836) reyog yang ditulis
dengan kata reog (tanpa huruf y) mempunyai dua pengertian. Pertama, reog dalam bahasa Jawa berarti tarian tradisional di arena terbuka yang berfungsi sebagai hiburan
rakyat, mengandung unsur magis, penari utama adalah orang berkepala singa dengan
hiasan bulu merak, ditambah beberapa penari bertopeng dan berkuda, yang
kesemuanya laki-laki. Kedua, reog dalam bahasa Sunda berarti tontonan tradisional sebagai hiburan rakyat yang mengandung unsur humor dan sindiran. Berkaitan
namun perlu ditinjau lagi dalam perkembangannya sekarang di mana keterlibatan
penari wanita lebih menonjol terutama untuk penari berkuda (jathilan) dan kebenaran
tentang kandungan unsur magis di dalamnya karena tidak semua pementasan
menggunakannya, tetapi hanya untuk fungsi-fungsi tertentu saja.
Melalui keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kata yang dipakai untuk
kesenian ini adalah REOG (tanpa huruf y) karena sesuai dengan ejaan yang terdapat
di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
1.4.2 Teori
Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori
hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu
pengetahuan (Koentjaraningrat,1973:10).
Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan
beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam tulisan ini.
Maka penulis menggunakan teori Edy Sedyawati (1981: 48-66) yang
mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan selalu dikaitkan dengan kondisi
lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut dilaksanakan atau didukung
masyarakatnya. Pergeseran-pergeseran nilai yang terdapat didalam pertunjukan dan
kemungkinan yang muncul dari interaksi setiap orang yaitu penyaji dan penyaji,
penyaji dan penonton.
Untuk melihat apa-apa saja komponen pertunjukan maka penulis
menggunakan teori Milton Siger (dalam MSPI, 1996:164-165) yang Menjelaskan
dan akhir, (3) acara kegiatan yang terorganisir, (4) sekelompok pemain, (5)
sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan dan, (7) kesempatan untuk
mempertunjukannya.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam tulisan ini adalah metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu penelitian yang berdasarkan atas
tujuannya dalam menggambarkan dan menafsirkan data yang dijumpai di lapangan.
Metode ini bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas sifat-sifat suatu individu,
keadaan, gejala, kelompok tertentu, menentukan frekuensi atau penyebaran dari suatu
gejala lain dalam suatu masyarakat (Koentjaraningrat,1990:29).
Penulis juga berpedoman pada disiplin etnomusikologi seperti yang
disarankan Curt Sach dalam Nettll (1964:62) yaitu penelitian etnomusikologi dibagi
dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium
(deks work).
Kerja lapangan meliputi studi kepustakaan, observasi, wawancara dan
perekaman lagu. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pembahasan dan
penganalisisan data yang telah diperoleh selama penelitian.
1.5.1 Kerja Lapangan 1.5.1.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan awal dalam penelitian, yaitu
dengan mengumpulkan literature atau sumber bacaan untuk mendapat informasi dan
pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber bacaan dan literature dapat
buku-buku tentang kesenian reog ponorogo yang telah ditulis oleh peneliti-peneliti
sebelumnya (M. Zamzam Fauzanafi 2005, Nursilah 2001). Studi kepustakaan juga
penulis lakukan terhadap topik-topik lain yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini,
seperti pengetahuan tentang upacara adat perkawinan Jawa, sejarah, etnografi, dan
lain sebagainya.
1.5.1.2 Observasi
Observasi dilakukan untuk mengamati secara langsung kejadian atau
peristiwa yang erat kaitanya dengan pertunjukan reog yang dimainkan sanggar
Langen Budoyo.Dalam hal ini penulis berusaha melihat secara langsung. Dengan
demikian dalam mendeskripsikan pertunjukan Reog Ponorogo, penulis akan lebih
cermat.
1.5.1.3 Wawancara
Wawancara yang dimaksud disini adalah suatu cara yang digunakan seseorang
untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari
seorang responden dan bercakap-cakap serta bertatap muka dengan seseorang
(Koentjaraningrat,1990:129).
Wawancara yang penulis lakukan yaitu: wawancara berfokus (focused
interview) dan wawancara bebas (free interview). Wawancara berfokus, pertanyaan
yang dilakukan berpusat pada aspek permasalahannya saja sedangkan wawancara
bebas pertanyaan yang diajukan tidak berpusat pada suatu pokok permasalahan yang
1.5.1.4 Perekaman
Penggunaan alat bantu sangat penting dalam melakukan penelitian. Alat bantu
yang penulis gunakan pada saat melakukan wawancara adalah tape recorder Sony
TP-VS450 dengan beberapa kaset Sony C-60, kamera digital untuk memotret gambar
ataupun kejadian yang ada pada saat pertunjukan berlangsung. Selain itu, penulis juga
menggunakan handycam untuk merekam jalannya pertunjukan.
1.5.1.5Kerja Laboratorium
Semua data yang di peroleh dilapangan diolah dalam kerja laboratorium
dengan pendekatan etnomusikologi. Dalam mengolah data, penulis melakukan proses
menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan menambahkan data
yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis melakukan pendekatan deskriptif guna
pengolahan dan penganalisisan data.
1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan
Lokasi penelitian reog dalam tulisan ini adalah desa Kampung Kolam
Kecamatan Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Alasan
penulis memilih lokasi penelitian ini karena daerah ini merupakan daerah komunitas
suku Jawa dan di daerah ini juga banyak ditemukan kesenian-kesenian tradisional
Jawa seperti Reog Ponorogo, Jaran Kepang, Kuda Lumping, Wayangan, Ludruk dan
masih banyak kesenian Jawa lainnya.
Sebelum melaksanakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari informan.
Mencari informan adalah suatu hal penting karena informan dapat memberikan
informasi yang sesuai untuk keperluan penelitian tersebut. Informan yang penulis cari
kenal sebelum melakukan penelitian yang mengetahui tentang kesenian reog ini.
Informan pangkal yang membantu penulis dalam penelitian ini adalah Bapak Imam
Safei (25 thn) dan Bapak Jumadi (27 thn).
Setelah mendapatkan informan pangkal, penulis menentukan informan kunci.
Informan kunci adalah orang yang memberikan informasi kepada penulis mengenai
bahan penelitian penilis, diantaranya Bapak Ngatiman (55 thn) dan Bapak Suparno
(53 thn). Melalui informan kunci ini, penulis banyak memperoleh masukan mengenai
permasalahan yang ada dalam tulisan ini dan beberapa informan lain juga seperti
tokoh masyarakat yang telah di tuakan oleh masyarakat Jawa desa tersebut yang
mengerti dan memahami betul tentang kesenian tradisional Jawa ini khususnya
BAB II
TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN
2.1Sejarah Singkat Masuknya Suku Jawa Di Kabupaten Deli Serdang
Sumatera Utara merupakan Propinsi yang banyak di huni oleh berbagai suku
dan etnis, baik yang berasal dari Pulau Jawa maupun dari luar Pulau Jawa.
Masyarakat Jawa Timur merupakan salah satu kelompok etnis pendatang yang ada di
Indonesia di antaranya berdiam di Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara.
Pada awal abad ke- 20 masyarakat Jawa datang dan memasuki wilayah
Sumatera Utara dengan menjadi kuli kontrak (koeli contarct)9
Pada tahun 1863, Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha Belanda yang telah
lama tinggal di Batavia, datang ke Deli dan mendapat kontrak dari Sultan Deli untuk
menanam tembakau selama 20 tahun di Sumatera Timur. Nienhuys mulai membuka
sebuah ladang di Martubung dengan 88 orang kuli Cina dan 23 kuli Melayu (Sinar
2006:207). Hasil tembakau dari kebun Martubung ini mendapat sambutan yang baik hal lain yang menjadi
faktor utama masyarakat Jawa datang ke Sumatera Utara adalah tidak terlepas dari
perkembangan daerah Sumatera Utara sebagai daerah perkebunan yang dikelola
perusahaan perkebunan Belanda bermodal asing yang dilengkapi dengan perangkat
administrasi nya, yang disebut dengan onderneming-onderneming yang berdiri
sekitar tahun 1864 (Karl J. Pelzer, 1985:12).
9
oleh Belanda karena dianggap tembakau yang berkualitas sangat baik (van
Papenrecht 1927 dalam Sinar 2006:207). Pada tahun 1866, Janssen dan Clemen
memberikan bantuan modal kepada Neienhuys untuk mendirikan sebuah perusahaan
perkebunan tembakau yang diberi nama Deli Maatschapij.
Pada saat itu pasar tembakau di Eropa sedang meningkat pesat, dan tembakau
yang dihasilkan oleh perkebunan Deli mampu menembus pasaran Eropa karena
tembakau Deli memiliki kualitas yang sangat baik. Maka Nienhuys memperpanjang
kontraknya dengan Sultan Deli pada tanggal 8 April 1867 selama 99 tahun. Nienhuys
juga membuka perkebunan tembakaunya yang lain di Sunggal pada tahun 1869 dan
Sungai Besar dan Kelumpang pada tahun 1875, karena semakin luas dan semakin
bertambahnya kebun sehingga memerlukan semakin banyak kuli (Sinar, 2006:207).
Sejak dibukanya perkebunan pertama, kebutuhan kuli dapat dipenuhi dengan
mendatangkan kuli orang Cina dan India dari P. Pinang dan Singapura. Saat itu Cina
sedang mengalami kelebihan penduduk dan krisis pengangguran yang sangat parah.
Sehingga perusahaan-perusahaan swasta di Hindia-Belanda pada saat itu dengan
mudah mengimpor kuli melalui agen-agen dan makelar buruh.
Tahun berikutnya merupakan tahun yang penting bagi perkembangan
perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Sampai tahun 1884 telah berdiri 12
perusahaan perkebunan tembakau di wilayah Marindal, Medan, Petersburg, Tanjung
Jati, Bandar Khalipah, Deli Tua, Kwala Begumit, Bekalia, Belawan, Lubuk Dalam,
Buluh Cina, dan Kota Limbaru. Asosiasi dari ke dua belas perusahaan perkebunan ini
dinamakan Kongsi XII. Perkembangan ini semakin memantapkan Sumatera Timur
Setelah masa kolonial Belanda berakhir maka kontrak-kontrak mereka pun
berakhir, namun masyarakat Jawa tersebut tidak kembali ke Jawa, mereka tetap
menjadi penduduk setempat sama seperti masyarakat-masyarakat pendatang lainnya.
Kemudian mereka membentuk kelompok yang mendirikan komunitas-komunitas
bagi kelangsungan hidup sosial dan budaya mereka.
Walaupun banyak orang-orang Jawa datang ke Sumatera Utara sebagai koeli
kontrak, namun para anggota group kesenian reog ponorogo bukan berasal dari
keturunan para koeli kontrak bahkan bukan juga sebagai koeli kontrak. Kebanyakan
mereka datang ke Sumatera Utara berdasarkan usaha sendiri dengan dana sendiri dan
bertujuan untuk mencari pekerjaan10
Semakin banyak orang Jawa menetap di Sumatera Utara, semakin besar pula
niat mereka untuk melestarikan budayanya dengan cara memperkenalkan kesenian
tradisional mereka kepada masyarakat yang ada di Sumatera Utara. Selain itu, ada
juga beberapa organisasi yang terbentuk untuk mendukung perkembangan kesenian
mereka dan salah satu organisasi tersebut adalah Forum Masyarakat Jawa Deli. .
Dalam komunitas barunya tersebut, masyarakat Jawa mendirikan
kelompok-kelompok kesenian. Kesenian yang mereka bawa dari daerah asalnya ini mereka
jadikan sebagai penghibur dan pengusir rasa lelah setelah seharian bekerja juga
sebagai pengobat rasa rindu pada kampung halaman mereka. Salah satu kesenian
tersebut adalah seni tari tradisional Reog Ponorogo yang terdapat di desa Kampung
Kolam Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
10
2.2Letak Georafis Lokasi Penelitian
Desa Kampung Kolam yang merupakan lokasi penelitian penulis terletak di
kawasan Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Propinsi
Sumatera Utara, tepatnya di jalan Pardamean pasar XVI no.64. Dengan jarak pusat
pemerintahan ± 5 Km dari Ibukota Kecamatan, ± 20 Km dari Ibukota Kabupaten dan
± 20 Km dari Ibukota Propinsi.
Lokasi tersebut dapat dicapai dari Tembung dengan naik angkutan umum
selama ± 15 menit. Angkutan umum tersebut hanya sampai pasar XVI saja karena
tidak ada angkutan umum yang dapat langsung sampai ke tempat tujuan penelitian.
Setelah itu penulis melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki selama ± 20 menit.
Alat transportasi yang digunakan para penduduk desa kampung kolam untuk
menempuh perjalanan dengan sepeda dan sepeda motor.
Adapun batas-batas wilayah desa Kampung Kolam adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan PTP IX
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bandar Klippa
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Batang Kuis
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bandar Setia.
Desa kampung kolam rata-rata barada pada ketinggian 5 meter dari
permukaan laut, dengan suhu udara rata-rata 37 derajat celcius. Ditinjau dari segi
desa, maka desa kampung kolam termasuk pedesaan yang memiliki 13 dusun /
Desa Kampung Kolam adalah salah satu Desa dari 20 Desa / Kelurahan yang
ada di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Luas daerah sekitar
598,65 Ha, dengan pembagian sebagai berikut :
1. Tanah sawah : 466,69 Ha
2. Tanah kering :131,96 Ha
Menurut penggunaan, maka pembagian luas tanah sebagai berikut :
1. Pertanian sawah : 204 Ha
2. Perkebunan : 0,4 Ha
3. Pekuburan : 0,5 Ha
4. Fasilitas Umum : 2 Ha
Desa Kampung Kolam dulunya merupakan tanah perkebunan tembakau milik
Belanda pada masa penjajahan, namun sekarang ini perkebunan tersebut merupakan
milik PTP II yang merupakan perkebunan tebu dan sawit. Pemukiman penduduk
berada di belakang area perkebunan tersebut. Setiap musim hujan daerah ini selalu
mengalami kebanjiran yang mengakibatkan desa ini tergenang seperti kolam, hal ini
dikarenakan saluran air yang tidak berfungsi dengan baik sehingga tidak dapat
menyerap banyaknya air hujan. Oleh karena itulah daerah ini dinamakan Desa
Kampung Kolam11.
11
2.3Keadaan Penduduk
2.3.1 Keadaan Penduduk Menurut Usia Dan Jenis Kelamin
Jumlah penduduk desa kampung kolam adalah sebanyak 9972 Jiwa yang
terdiri laki-laki sebanyak 5215 dan perempuan sebanyak 4757 Jiwa (data
kependudukan kantor desa tahun 2008) dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel I
Jumlah Penduduk Desa Kampung Kolam Menurut Usia dan Jenis Kelamin
Umur/tahun
Sumber : Data Statistik Kantor Kepala Desa Kampung Kolam Tahun 2008
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa penduduk desa kampung kolam
terdapat lebih banyak penduduk yang berjenis kelamin perempuan daripada laki-laki,
para anggota group kesenian reog yang masih muda rata-rata berusia 19-24 tahun,
dewasa rata-rata berusia 25-55, dan para sesepuh group kesenian ini rata-rata berusia
56-79.
2.3.2 Keadaan Penduduk Menurut Tempat Tinggal
Penduduk desa kampung kolam termasuk juga para anggota group kesenian
reog mempunyai tempat tinggal yang tersebar di 13 dusun / lorong desa kampung
kolam. Untuk keterangan lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut di bawah
Jumlah Penduduk Desa Kampung Kolam menurut Tempat Tinggal
Sumber : Data Statistik Kantor Kepala Desa Kampung Kolam Tahun 2008
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah KK terbanyak terdapat
pada dusun I, para anggota group kesenian reog ini memiliki tempat tinggal yang
berada di dusun X dengan jumlah penduduk 101 KK.
2.3.3 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Penduduk desa kampung kolam kebanyakan hanya tamatan SD, hal ini dapat
di lihat pada tabel berikut ini : Tabel III
Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Kelulusan Pendidikan
Lulusan Jumlah
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa kebanyakan penduduk desa
kampung kolam hanya tamatan SD saja, awalnya penulis merasa kesulitan untuk
berkomunikasi dengan para sesepuh dan para pemain reog karena sebagian besar dari
mereka tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik mereka hanya dapat
berkomunikasi dengan bahasa Jawa.
Para anggota group kesenian reog ponorogo yang hanya tamatan SD adalah
para sesepuh, pemusik serta pemain lain yang saat ini usianya sudah tua, sedangkan
anggota lain yang saat ini usianya masih muda kebanyakan sudah mengenyam
pendidikan hingga kebangku perkuliahan. Pada saat penulis melakukan wawancara
dengan para sesepuh penulis mendapat kesulitan dalam hal berkomunikasi karena
mereka hanya dapat berkomunikasi dengan bahasa Jawa saja, namun penulis tidak
merasa putus asa karena penulis dibantu oleh para pemain lain yang bisa
menggartikannya kedalam bahasa Indonesia.
2.4 Sistem Kekerabatan
Penduduk desa kampung kolam mayoritas terdiri dari suku Jawa, oleh karena
itu penulis menggunakan sistem kekerabatan masyarakat Jawa pada umumnya12
12
Sistem kekerabatan adalah hubungan seseorang dengan yang lain berdasarkan pertalian darah.
.
Sistem kekerabatan yang digunakan oleh masyarakat Jawa adalah kekerabatan yang
dilihat berdasarkan prinsip bilateral yaitu memperhitungkan keanggotaan kelompok
melalui garis keturunan laki-laki maupun garis keturunan perempuan, maka
seseorang dapat menjadi anggota kelompok kekerabatan dari pihak ayah dan juga
Dalam budaya Jawa sistem bekeluarga dalam arti luas, yaitu keluarga inti,
batih, atau keluarga budaya. Sistem kekerabatan ini dilandasi oleh sikap
bergotong-royong, dengan konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe, artinya tidak
mengharapkan balasan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama.
Dalam hal ini bentuk kelompok kekerabatan yang paling kecil adalah keluarga
batih, yang anggotanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya yang belum menikah,
apabila keluarga batih mempunyai kerabat satu dengan yang lain maka terbentuklah
suatu kelompok kekerabatan yang disebut dengan paseduluran: (1) sedulur tunggal
kringkel merupakan saudara lahir dari ibu dan ayah yang sama; (2) sedulur
kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama, atau sebaliknya saudara lain
ibu nemun ayahnya sama, dan saudara tiri; (3) sedulur misanan merupakan saudara
satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung atau tiri; (4) sedulur
mindoan adalah saudara satu buyut (orang tau kakek atau nenek) berlaku baik
untuk saudara kandung atau tiri, (5) sedulur mentelu yaitu saudara satu canggah
(buyutnya ayah dan ibu) baik saudara kandung atau tiri; (6) bala yaitu yang menurut
anggapan mereka masih saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak
kedudukannya, dan disebabkan oleh interaksi mereka, karena kebutuhan yang erat,
misalnya jenis pekerjaan sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; (7) tangga
yang konsepnya tidak terbatas pada letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam
kepentingan tertentu mereka saling membutuhkan (Lihat Skripsi Martavia).
Dengan istilah-istilah kekerabatan yang berlaku tersebut, maka dapat
diketahui status atau kedudukannya dalam kelompok kekerabatan. Istilah-istilah
ayahnya dengan sebutan bapak dan ibunya dengan sebutan simbok/mbok; (2) untuk
menyebut saudara laki-laki yang lebih tua dengan sebutan kangmas/kakang dan untuk
saudara perempuan disebut dengan mbakyu/yu, untuk saudara laki-laki yang lebih
muda disebut dengan adhi/dhi sedangkan saudara perempuan disebut dengan nok; (3)
sebutan untuk kakak kandung ayah laki-laki adalah pakdhe dan yang perempuan
budhe/mbokde, sedangkan kepada adik ayah laki-laki disebut dengan istilah
paman/pakcik/paklek dan yang perempuan dengan sebutan bibi/bulik/mbok;(4)
sebutan terhadap kakek adalah mbah lanang/simbah kakung sedangkan sebutan
kepada nenek adalah simbah wedok sebaliknya kakek dan nenek akan menyebut ego
adalah ptu/wayah sedangkan ego menyebut orang tua simbah dengan sebutan simbah
buyut istilah ini dapat dipakai untuk menyebut orang tua simbah baik laki-laki
maupun perempuan (Emi Sujayawati, 2000:28-29).
Selain istilah tersebut diatas masih ada lagi istilah lain dalam kekerabatan
masyarakat Jawa, hal ini dikemukakan oleh Bratawijaya (1993:21-23) yang
menyatakan istilah lain tersebut adalah keponakan atau ponakan. Mereka ini adalah
anak-anak dari kakak ego baik yang berasal dari kakak ego yang laki-laki maupun
kakak ego yang perempuan, sebutan ponakan ini dipakai untuk menyebut anak-anak
kakak ego baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Prunan/perunan adalah
untuk menyebut anak-anak dari adik ego baik yang laki-laki maupun yang
perempuan, baik anak adik ego itu laki-laki maupun perempuan. Misan adalah istilah
untuk menyebut antara sesama cucu dari orang yang bersaudara sekandung, Mindho
adalah istikah untuk menyebut cucu ego dengan cucu saudara sepupu ego. Kemudian
ipe, peripean. Besan adalah orang tua dari pihak suami ego dengan orang tuanya
sendiri atau sebaliknya; mertua adalah hubungan antara ego dengan orang tua
suami/istri. Sedangkan hubungan antara orang tua dengan pihak istri/suami anaknya
disebut mantu; ipe adalah hubungan antara istri/suami dengan saudara sekandung
pihak suami/istri; peripean adalah hubungan antara sesama menantu (Emi
Sujayawati, 2000:30).
Masyarakat Jawa juga mengenal adanya kelompok
kekerabatan yang dinamakan alur waris. Alur waris ini
merupakan suatu bentuk kelompok yang berasal dari satu
nenek moyang, terdiri dari 6-7 angkatan atau lebih yang
berasal dari satu nenek moyang, sehingga diantara anggota
kelompok kekerabatan tersebut sulit untuk saling
mengenal.
2.5Sistem Religi
Mayoritas penduduk desa kampung kolam memeluk agama Islam, yaitu
sebanyak 8.673 orang dari jumlah penduduk. Sisanya sebanyak 1.186 orang memeluk
agama Kristen, pemeluk agama Budha sebanyak 95 orang dan pemeluk agam Hindu
sebanyak 18 orang. Dari uraian diatas dapat ditekankan bahwa keberadaan agama
Islam sangatlah besar.
Mayoritas penduduk desa kampung kolam adalah pemeluk agam Islam. Di
desa kampung kolam ini terdapat beberapa tempat ibadah diantaranya: 5 buah Masjid,
13 buah Musollah untuk agama Muslim dan 3 buah Gereja untuk agama Nasrani.
Islam namun mereka masih sering melakukan hal-hal lain diluar kepercayaan mereka,
jika dilihat berdasarkan persentase yaitu sekitar 50 %. Sampai saat ini mereka juga
masih melakukan perbuatan tersebut, yaitu mereka masih saja percaya pada roh
nenek moyang dan hal-hal gaib seperti percaya pada makhluk halus penunggu
tempat-tempat keramat dan mereka juga masih sering memberikan sesajen13
Sebelum group kesenian reog ini melakukan pertunjukan terlebih dahulu
mereka harus melakukan ritual terhadap roh nenek moyang, mereka membakar
sesajen didepan topeng dhadhak merak dan menaburi kembang tujuh rupa dan bunga
kantil disekitar tempat pertunjukan sambil membacakan doa-doa. Hal ini mereka
yakini akan dapat melancarkan jalannya pertunjukan, jika mereka tidak melakukan
hal itu maka pertunjukan tidak akan dapat berjalan dengan lancar dan para pemain
barongan akan kesurupan karena roh nenek moyang marah dan memasuki tubuhnya
dan nantinya akan sulit untuk disuruh keluar
.
14
Bagi masyarakat desa kampung kolam yang akan melakukan hajatan,
sebelumnya mereka harus menentukan kapan hajat itu akan dilaksanakan. Untuk
melakukan hajat terlebih dahulu mereka harus menentukan hari baik, hal ini
dilakukan untuk menghindari naas yaitu hari yang dianggap tidak baik atau pantang.
Jika hajat dilakukan bertepatan dengan geblak yaitu saat meninggalnya salah seorang
keluarganya, maka hari tersebut harus segera dihindari agar tidak ada kejadian buruk
yang akan menimpa mereka.
.
13
Wawancara dengan Mbah edi kucet selaku sesepuh pada 09 Agustus 2008. 14
Umunya masyarakat Jawa membedakan makhluk halus menjadi dua macam,
yaitu: makhluk halus yang berasal dari roh leluhur yang disebut dengan bahureksa
dan makhluk halus sebagai roh pelundung yang disebut dengan danyang, yaitu suatu
kekuatan supranatural yang diyakini oleh masyarakat pendukung sebagai pemimpin
para jin atau roh halus yang menguasai daerah tersebut (Emi Sujayawati, 2000:33).
Agar para makhluk halus tersebut mau menuruti mereka maka pada
waktu-waktu tertentu mereka harus menyediakan sesajen. Sesajen ini terdiri dari beberapa
jenis makanan dan bunga-bungaan berbagai rupa yang akan mereka letakan di
tempat-tempat tertentu yang mereka anggap keramat. Dan pada waktu mereka
memberikan sesajen harus disertai dengan mantra-mantra ataupun doa-doa.
Berdasarkan tingkat kemurnian dan ketaatan pelaksanaan ajarannya,
masyarakat Jawa membedakan pemeluk agama menjadi dua kelompok, yaitu : (1)
Wong Putihan, yaitu orang putih yang dimaksud dengan orang putih disini adalah
orang-orang yang taat menjalankan ibadah dengan ajaran Islam; (2) Wong Lorek,
yaitu orang yang badannya belang-belang hitam dan putih, maksudnya adalah orang
yang meyakini terhadap ajaran agama Islam tetapi tidak menjalankan ritual
peribadatannya terutama shalat, namun mencampurkan unsur-unsur diluar Islam.
Faktor utama yang menjadi pembeda antara wong putihan dan wong lorek
adalah ketaatannya menjalankan ritual agama Islam yaitu berupa shalat. Seseorang
yang menjalankan shalat lima waktu dengan rajin digolongkan kedalam kelompok
wong putihan meskipun dalam praktek kehidupan keagamaanya mencampur dengan
mengaku Islam tetapi tidak mau menjalankan ritual secara Islam terutama shalat
(Nursilah, 2001:51).
Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jawa
didesa kampung kolam termasuk kedalam golongan wongputihan. Walupun mereka
taat beragama mereka juga masih melakukan hal-hal lain diluar Islam, misalnya
seperti melakukan ritual sebelum pertunjukan.
2.6 Mata pencaharian
Berdasarkan data desa tahun 2008, penduduk desa kampung kolam
mempunyai mata pencaharian sebagai berikut :
1. Buruh : 1581 orang
2. Petani : 1143 orang
3. Pedagang : 301 orang
4. Supir : 213 orang
5. PNS : 120 orang
6. Pengusaha : 14 orang
7. Peternak : 5 orang
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa mata pencaharian penduduk desa
kampung kolam kebanyakan buruh. Keadaan ini sesuai dengan lingkungan yang
mereka diami masih banyak terdapat perkebunan, persawahan dan pabrik, juga sesuai
dengan kebiasaan masyarakat lapisan bawah yang menjadi buruh kasar dan buruh
tani, dan juga sebagai buruh bangunan yang hasilnya hanya cukup untuk memenuhi
Sebagai petani masyarakat desa kampung kolam menanam padi, pisang, dan
ubi kayu karena hanya jenis tanaman itulah yang sesuai dengan iklim daerah desa
kolam tersebut. Di desa kampung kolam juga terdapat pabrik dan bangunan-bangunan
yang akan dikerjakan oleh masyarakat. Selain itu penduduk desa kampung kolam
dapat memperoleh tambahan dengan mengikuti group kesenian reog ini, dari hasil
pentas keliling itulah mereka mendapatkan uang untuk membantu biaya hidup
mereka masing-masing.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa “di dalam kenyataan hidup orang Jawa,
orang yang masih membeda-bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari pegawai
negeri dan kaum terpelajar dengan orang-orang kebanyakan yang disebut wong cilik,
seperti petani-petani, tukang-tukang, dan pekerja kasar lainnya di samping keluarga
keraton dan keturunan bangsawan atau bendera-bendera. Dalam rangka susunan
masyarakat ini, secara bertingkat yang berdasarkan gensi-gensi itu, kaum priyayi dan
bendera merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan masyarakat
bawah” ( Heristina Dewi,1992:38).
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat Jawa
yang ada di desa kampung kolam masih berstatus sosial rendah, namun istilah wong
cilik tidak berlaku bagi masyarakat Jawa didesa kampung kolam karena mereka
menganggap mereka semua sama. Aktivitas masyarakat Jawa didesa kampung kolam
kebanyakan sebagai buruh dan petani.
2.7 Kesenian
Masyarakat yang tinggal di desa-desa yang berbatasan dengan desa kampung
kesenian reog, Sanggar Langen Budoyo berada di bawah naungan Forum Masyarakat
Jawa Deli. Masyarakat suku Jawa tetap menampilkan ciri etnisnya dan mereka juga
tetap menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi mereka sehari-hari,
walaupun masyarakat Jawa tersebut sudah berdampingan dengan berbagai suku yang
tinggal menetap di desa kampung kolam. Mereka juga masih melakukan peristiwa
budaya seperti ritual upacara perkawinan, serta menghidupkan dan mempertahankan
kesenian tradisional mereka seperti : Ludruk, Ketoprak, Kuda Lumping, Wayangan,
Jaran Kepang dan Reog Ponorogo.
2.8 Bahasa
Bahasa pengantar dikalangan masyarakat Jawa didesa kampung kolam adalah
bahasa Jawa. Namun, sebagian besar masyarakat Jawa didesa kampung kolam
menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan etnis lain. Para pemain
kesenian reog ponorogo ada yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik ada juga
yang tidak bisa sama sekali, biasanya pemain yang tidak bisa berbahasa Indonesia
adalah para sesepuh dan yang bisa para pemain yang lahir dan besar diseda kampung
kolam tersebut. Kromo inggil merupakan tata cara berbahasa paling tinggi atau
dengan kata lain yang paling halus. Bahasa kromo ini sering digunakan oleh
orang-orang yang berpangkat, orang-orang-orang-orang sederajat, anak terhadap orang-orang tuanya, murid
terhadap guru, bawahan terhadap atasan, dan buruh terhadap majikan. Bahasa
sehari-hari yang dipergunakan oleh penduduk desa kampung kolam adalah bahasa Ngoko
karena merupakan bahasa Jawa biasa yang sering dipergunakan oleh orang tua
terhadap anak, antar teman sebaya, atasan terhadap bawahan, dan majikan terhadap
BAB III
KEBERADAAN REOG PONOROGO DI KABUPATEN DELI SERDANG
3.1 Sejarah Reog Ponorogo
Menurut Poerbajtaraka (1969: 404), pada dasarnya adalah perkawinan antara
putri Kediri dengan raja seberang. Mungkin saja legenda ini tidak begitu diketahui
secara detil oleh masyarakat Jawa yang hidup di Sumatera. Akan tetapi sebagai
sebuah referensi, mungkin saja akan sangat berguna bagi kelompok atau sanggar
yang masih melestarikan pertunjukan reog di kabupaten Deli Serdang. Secara singkat
di sini akan diceritakan legenda yang sangat dipercayai oleh masyarakat Ponorogo
(Nursilah, 2001: 201-202).
Kerajaan Kediri-Daha dengan rajanya yang sudah tua bernama Sri Gentayu
yang mempunyai dua orang anak yaitu seorang putri bernama Dewi Sanggalagit dan
seorang putra bernama Raden Pujangga Anom. Sang raja ingin menyerahkan tahta
kepada anak laki-lakinya, akan tetapi keinginan itu ditolak karena sang putra merasa
belum mampu untuk naik tahta dan ingin memperdalam ilmu lagi sebelum naik tahta.
Penolakan itu menyebabkan sang raja luar biasa marah, sehingga pada suatu malam
sang putra melarikan diri sampai ke lereng gunung Lawu. Di situ dia berteman
dengan saudara satu perguruan bernama Prabu Klono Sewandono yang sama-sama
berguru pada seorang pertapa di gunung Lawu. Prabu Klana Sewandana adalah
seorang raja dari kerajaan Bantarangin yang sakti mandraguna, memiliki senjata
berupa cambuk bernama Pecut Samandiman atau Gendir Wuluh Gading.
Di kerajaan Bantarangin pada masa itu diceritakan sedang terjadi masa suram
yaitu paceklik yang berkepanjangan. Menurut nasehat pendeta, kesusahan ini bisa
berakhir apabila sang raja segera kawin dengan putri dari kerajaan Kediri. Maka
diutuslah Pujangga Anom untuk melamar putri dari Kediri. Sesampainya di Kediri,
raja Sri Gentayu terkejut mengetahui maksud Pujanga Anom untuk melamar sang
putri bagi rajanya. Pada saat itu Pujangga Anom menyamar dengan memakai topeng
berwajah raksasa. Raja tidak percaya, karena kalau patihnya berwajah raksasa,
demikian juga dengan rajanya. Karena ketidak percayaan sang raja, maka
Bujangganong terpaksa mengaku bahwa dia adalah putra raja. Raja tidak percaya dan
mengutuk Bujangganong menjadi raksasa, kutukan menjadi kenyataan sehingga
berubah menjadi berwajah raksasa dan tidak bisa kembali ke bentuk semula. Atas
kejadian itu, sang raja menyesal dan akhirnya meneriman lamaran tersebut, akan
tetapi dengan tiga syarat, yaitu calon pengantin harus diiringi harimau dan hutan
lainnya untuk mengisi taman. Kedua harus dicarikan gamelan yang di dunia belum
pernah ada. Ketiga, diberikan persembahan berupa manusia yang berkepala harimau.
Usai mendengar permintaaan itu, Bujangganong kembali ke Wengker menyampaikan
hasil yang didapat untuk diberitahukan dan dibicarakan dengan prabu Klono
Sewandono.
Sepeninggal Bujangganong, kerajaan Kediri didatangi oleh Singalodra dengan
maksud yang sama. Raja dan putrinya tidak suka dan sebetulnya menolak, akan tetapi
penolakannya disampaikan untuk tidak sampai menyinggung Singalodra, yaitu
berterus terang bahwa sang putri sudah dilamar oleh raja dari Bantarangin. Oleh
bala tentaranya, maka lamarannya bisa diterima. Singalodra menyetujui hal itu dan
menghadang di tengah hutan Roban yang menjadi perbatasan antara Bantarangin
dengan Kediri.
Persyaratan yang diajukan membuat pihak Prabu Klono Sewandono
keberatan, akan tetapi Bujanganong bersedia untuk melengkapi persyaratan itu. Maka
berangkatlah Bujangganong ke hutan Roban yang atas kesaktiannya mampu
mengumpulkan seluruh hewan dalam sekejab. Syarat kedua dibuatlah gamelan yang
berasal dari bambu bernada pentatonis, sedangkan syarat ketiga akan dicarikan
kemudian.
Rombongan dari Bantarangin berangkat ke Kediri dan sesampai di hutan
Roban dihadang oleh Singalodra. Terjadilah perang antara prajurit dari Bantarangin
melawan Singalodra yang dimenangkan oleh pasukan dari Bantarangin. Singalodra
masih juga mau melawan dengan menjelma menjadi harimau. Dengan dicambuk oleh
senjata Pecut Samandiman atau Gendir Wuluh Gading, hilanglah segala kesaktian
dan kekuatan Singalodra. Dia memohon ampun dan menyerah kalah, namun
tubuhnya tidak bisa berubah menjadi manusia lagi. Prabu Klono Sewandono berusaha
menyembuhkan, akan tetapi tidak berhasil dengan sempurna, sehingga hanya
badannya saja yang bisa kembali menjadi manusia dan kepalanya tetap harimau.
Justru dengan demikian, tiga persyaratan yang diajukan oleh Raja Kediri menjadi
terpenuhi. Rombongan meneruskan perjalanan ke Kediri untuk melamar sang putri.
Iring-iringan yang menjadi persyaratan putri Kediri ini akhirnya menjadi satu bentuk
3.2 Reog di kabupaten Deli Serdang
Keberadaan kesenian reog di Deli Serdang karena adanya masyarakat Jawa
yang merantau dan ingin tetap melestarikan kesenian dari daerah asalnya. Kesenian
reog yang ada di kabupaten Deli Serdang sudah mengalami banyak perubahan.
Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada : (1) tokoh yang dimainkan, reog di
Jawa Timur memainkan 5 tokoh, yaitu: warok, jathilan, bujangganong, barongan,
prabu Klono Sewandono. Sedangkan reog di Deli Serdang hanya memainkan 3 tokoh
saja, yaitu: jathilan, bujangganong, dan barongan hal ini dilakukan untuk
mempersingkat jalannya pertunjukan; (2) kostum dan riasan, di Jawa Timur kostum
yang digunakan sangat lengkap serta riasannya menggunakan make up karakter sama
seperti tokoh yang diperankan sedangkan di Deli Serdang kostum dan riasan yang
digunakan hanya biasa saja tidak selengkap kostum yang di Jawa Timur; (3) Tema
cerita, reog di Jawa Timur selalu membawakan tentang cerita kerajaan dan
pertarungan para prajurit sedangkan di Deli Serdang tema disesuaikan dengan acara
yang sedang berlangsung; (4) alat musik dan lagu pengiring yang digunakan, di Jawa
Timur alat musik pengiring menggunakan seperangkatan gamelan Jawa serta
lagu-lagu pengiring yang dimainkan adalah lagu-lagu-lagu-lagu klasik Jawa sedangkan di Deli
Serdang alat musik yang digunakan hanya 5 saja serta lagu-lagu yang mengiringi
adalah gending reogan (mengiringi arak-arakan), gending sampak (mengiringi tari
3.3 Karakteristik Tokoh
Ada beberapa tokoh yang dimainkan dalam setiap pertunjuka reog ponorogo
dan masing-masing tokoh mempunyai sifat yang berbeda-beda sesuai dengan
karakternya. Adapun tokoh-tokoh yang terdapat dalam pertunjukan reog ponorogo
adalah :
3.3.1 Jathilan
Jathilan merupakan gambaran tokoh prajurit berkuda yang sedang berperang.
Dulunya yang memerankan jathilan ini adalah anak laki-laki yang berprofesi sebagai
seorang gemblak yang dipelihara oleh warok. Syarat untuk menjadi seorang gemblak
adalah anak laki-laki yang masih muda, berpenampilan menarik, putih bersih dan
ganteng. Anak laki-laki ini kemudian dilamar kepada orang tuanya secara baik-baik
oleh warok setelah orang tuanya memberikan anaknya maka anak ini dididik dan
dipelihara untuk menjadi seorang gemblak selama 3 tahun dan tugasnya adalah
melayani dan mendamping warok kemana pun dia pergi layaknya sebagai seorang
istri. Selama 3 tahun itulah sang anak dibiayai hidupnya oleh warok dan diberikan
fasilitas jika masa kontrak warok sudah habis maka ia dipulangkan kepada orang
tuanya dan sebagai imbalan warok memberikan satu ekor lembu. Tradisi
pemeliharaan gemblak ini berakhir pada tahun 1965 karena dianggap bertentangan
dengan ajaran agama. Sampai saat ini baik di Jawa maupun di Sumatera gemblak
sudah tidak ada lagi. Pada masa sekarang ini jathilan ditarikan oleh anak perempuan