• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG

2.5 Sistem Kekerabatan

Sebelum penulis menguraikan tentang sistem kekerabatan pada masyarakat Jawa secara umum, terlebih dahulu akan penulis kemukakan defenisi

48

masyarakat menurut Koentjaraningrat (1977:103) yang mengatakan bahwa masayarakat adalah kesatuan hidup manusia yang terikat oleh suatu sistem adat-istiadat tertentu.

Orang-orang Jawa memiliki sistem kekerabatan, yang disebut bebrayat. Menurut Bapak Subanindyo Hadiluwih, seorang tokoh masyarakat Jawa di Sumatera Utara, bebrayat berasal dari kata brayat berarti sistem berkeluarga dalam arti luas, yaitu keluarga inti, batih, atau keluarga budaya. Sistem kekerabatan ini di landasi oleh sikap gotong royong, dengan konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe, artinya tidak mengharapkan balasan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama. Dengan menggunakan sistem ini, mereka meyakini bahwa semua manusia adalah keluarga, namun dalam penjabaran tanggung jawab selalu di konsepkan dengan paseduluran: sedulur tunggal kringkel merupakan saudara lahir daripada ibu dan ayah yang sama; sedulur kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama, atau sebaliknya saudara lain ibu namun ayahnya sama, dan saudara tiri; sedulur misanan merupakan saudara satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung atau tiri; sedulur mindoan adalah saudara satu buyut (orang atau kakek atau nenek) berlaku baik untuk saudara kandung atau tiri; sedulur mentelu yaitu saudara canggah (buyutnya ayah dan ibu) baik saudara kandung atau tiri; bala yaitu menurut anggapan mereka masih saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak kedudukannya, dan di sebabkan oleh interaksi mereka, karena kebutuhan yang erat, misalnya pekerjaan yang sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; tangga yang konsepnya tidak terbatas pada letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam kepentingan tertentu mereka saling membutuhkan.

49

Orang-orang Jawa yang ada di Sumatera Utara sekarang, secara umum mengalami transformasi-transformasi budaya. Di satu sisi mereka ingin mempertahankan budaya leluhurnya yang berasal daripada pulau Jawa, di sisi lain mereka juga harus berinteraksi dengan berbagai etnik setempat dan pendatang lainnya di Sumatera Utara yang pesat perkembangan ekonominya. Orang-orang Jawa ini mata pencaharian utamanya adalah bertani dengan menggarap lahan untuk perkebunan kelapa sawit, getah karet, dan kopra.

Sistem kekerabatan masyarakat Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Semua kakak laki-laki serta kakak perempuan ayah dan ibu, beserta istri dan suami mereka masing-masing di klarifikasikan menjadi satu, yaitu dengan istilah siwa atau uwa. Sedangkan adik-adik dari ayah atau ibu diklarifikasikan kedala dua golongan yang berbeda menurut jenis kelamin, yaitu paman bagi adik laki-laki dan bibi bagi adik perempuan.

Pada masyarakat berlaku adat-adat yang menentukan bahwa dua orang tidak boleh saling menikah apabila: saudara kandung, yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki-laki, pancer lanang, yaitu: pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya dari pihak perempuan. Adapun perkawinan yang di perbolehkan adalah perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan-hubungan kekerabatan seperti tersebut di atas. Dalam perkawinan masyarakat Jawa dikenal beberapa istilah sebagai berikut: ngarang wulu, yaitu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik almarhum istrinya, wayuh, yaitu perkawinan lebih dari seorang istri (poligami), kumpul kebo, yaitu laki-laki dan perempuan yang tinggal dalam satu rumah, sudah atau belum mempunyai anak dalam kurun waktu tertentu tetapi belum menikah secara agama dan sosial. Hal

50

ini merupakan suatu bentuk perkawinan menyimpang dari tradisi dan ajaran agama, pisah kebo, yaitu berpisahnya suami-istri tetapi tidak diikuti oleh perceraian secara resmi.

Sistem istilah panggilan kekerabatan suku Jawa biasanya dibatasi oleh kedudukan seorang sebagai anggota kelompok kerabatnya, yang dapat di mengerti dari sebutan atau istilah-istilah yang di gunakan dalam kelompok kerabatnya. Hal ini dapat di lihat dalam kehidupan sehari-hari untuk menyapa seseorang. Untuk istilah panggilan kekerabatan pada suku Jawa, penulis melihat tulisan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1977:16-20) seperti berikut:

1. Mbah canggah/eyang canggah: orang tua laki-laki atau perempuan yang berada tiga tingkat di atas ayah atau ibu.

2. Mbah buyut : orang tua laki-laki atau perempuan yang berada dua tingkat di atas ayah atau ibu.

3. Mbah eyang: orang tua kandung ayah atau ibu.

4. Bapak/rama: ayah kandung, mertua laki-laki, besan (orang tua laki-laki menantu).

5. Ibu/si mbok : ibu kandung, mertua perempuan, besan (orang tua permpuan menantu).

6. Pakde: saudara laki-laki kandung/sepupu ayah atau ibu yang umur lebih tua, suami bude.

7. Bude: saudara perempuan kandung/ sepupu ayah atau ibu yang umurnya lebih tua, istri pakde.

8. Paman/paklik: saudara laki-lai kandung/sepupu ayah atau ibu yang umurnya lebih muda, suami buklik.

51

9. Bibi/buklik: saudara perempuan kandung/sepupu ayah atau ibu yang umurnya lebih muda, istri paklik.

10. Mas/kakang mas: abang kandung, abang ipar, anak laki-laki pakde/bukde (walaupun umurnya lebih muda).

11. Mbak/mbakyu: kakak kandung, kakak ipar, anak perempuan pakde/bude (walaupun umurnya masih muda).

12. Adhi/dhimas: adik kandung laki-laki, adik ipar laki-laki, anak laki-laki paklik/buklik (walaupun umurnya lebih tua).

13. Adhi/dhiajeng: adik kandung perempuan, adik ipar perempuan, anak perempuan paklik/buklik (walaupun umurnya lebih tua).

2.6 Kesenian

2.6.1 Musik Campur Sari

Musik campur sari adalah perpaduan antara alat musik gamelan dengan alat musik di luar kebudayaan Jawa. Alat musik ini antara lain adalah keyboard, drum, bass, gitar, gendang. Perpaduan ini membuat musik yang berbeda, karena kedua jenis musik antara gamelan dengan campur sari mempunyai gaya, teknik permainan, karakteristik nada yang berbeda. Dalam permainannya kedua musik ini saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Perpaduan antara alat musik tradisi gamelan dengan alat musik modern menghasilkan nada-nada yang baru dan indah. Inilah yang dimaksud dengan campur sari.

Dalam perkembangannnya musik campur sari ini menyebar keberbagai daerah yang ada di Indonesia di lingkungan masyarakat Jawa pada khususnya. Terutama daerah yang ada masyarakat Jawa termasuk kota Medan. Di mana

52

daerah kota Medan banyak terdapat masyarakat Jawa. Baik yang datang secara merantau dari pulau Jawa ataupun yang lahir di Medan.

Musik campur sari berkembang di Kota Medan berawal pada tahun 2000. Ketika seorang pegawai Dinas Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sekaligus pemusik yang bernama Bapak Sunardi berkunjung ke pulau Jawa, Sepulang dari Jawa, muncul ide ingin membuat musik campur sari di kota Medan. Keinginan ini di wujudkan dengan membentuk group musik yang bernama Krido Laras. Pada awalnya, kegiatan musik Krido Laras hanya untuk tempat berkumpulnya pemusik dan sebagai sarana latihan antara Bapak Sunardi dengan teman-temannya yang aktif di paguyuban warga Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu, group Krido Laras mulai tampil di acara paguyuban Yogya yang ada di Kota Medan. Musik yang di tampilkan hanya untuk di konsumsi oleh sesama mereka yang tergabung dalam paguyuban (lebih jauh lihat skripsi Manrihot M. Sinaga, Deskripsi Musik Campur sari Krido Laras dalam Konteks Hiburan Pada Masyarakat Jawa dikota Medan, 2010).

2.6.2 Kuda Lumping

Berbicara mengenai kesenian tradisonal masyarkat Jawa, kesenian Kuda Lumping merupakan salah satu warisan budaya peninggalan nenek moyang masyakarat Jawa dalam bentuk kesenian tradisional. Kesenian Kuda lumping juga terdapat di berbagai daerah di Indonesia, dengan versi yang berbeda-beda terutama yang ada di Kota Medan, Khususnya Medan Selayang sering menyebutnya sebagai kuda kepang. Kesenian Kuda Lumping menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggah kuda yang terbuat dari bambu yang di

53

anyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan adegan prajuroit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis. Seperti aktraksi memakan beling kaca dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut (Purwadi, 2005:33).

Alat musik yang di pakai lebih sederhana dari seni karawitan, hanya terdiri dari kendang, gong, gamelan pelog, dan kenong yang bahan materialnya berasal dari sisa drum yang telah di olah melalui sistematika pembuatannya, dan selompret (terompet khas kuda lumping). Kesenian tari kuda lumping ini yang di ketahui berasal dari Jawa Timur sangat popular di kota Medan khususnya di Kecamatan Medan Selayang. Biasanya kuda lumping ini di tampilkan dalam acara-acara tertentu misalnya menyambut tamu kehormatan, pesta sunatan, acara khusus misalnya pada hari kemerdekaan, sebagai acara syukuran atas doa yang di kabulkan Yang Maha Kuasa.

Dengan demikian masyarakat Jawa yang ada di Sumatera Utara, termasuk yang ada di Kecamatan Medan Selayang Kota Medan, dalam proses strategi budayanya adalah tetap mempertahankan budaya Jawa, sebagai budaya leluhurnya di satu sisi. Namun di sisi lainnya, mereka juga berusaha untuk beradaptasi dengan situasi sosial dan budaya yang terdapat di Sumatera Utara. Konteks yang sedemikian rupa ini adalah sebagai sebuah upaya mempertahankan identitas etnik dan juga sekaligus sebagai bagian dari masyarakat Sumatera Utara yang heterogen secara etnik tersebut. Termasuk juga dalam penyelenggaraan upacara perkawinan adat jawa yang penulis teliti ini.

54 BAB III

DESKRIPSI JALANNYA UPACARA PERKAWINAN ADAT

Dokumen terkait