• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSKRIPSI DAN ANALISIS GENDHING GAMELAN PENGIRING UPACARA PANGGIH

4.2 Analisis Musik

4.4.1 Analisis Notasi Kepatihan

4.4.1.1 Sistem Pelarasan

Tangga nada dalam bahasa Jawa secara umum disebut laras atau secara lengkap disebut titi laras, istilah titi dapat diartikan sebagai angka, tulis, tanda, notasi atau lambang sedangkan istilah laras dalam pengertian ini berarti susunan nada, atau tangga nada. Dan dalam bahasa Indonesia titilaras berarti tangga nada.

Dengan demikian istilah Titilaras mempunyai pengertian suatu notasi tulis, huruf, angka atau lambang yang menunjuk pada ricikan tanda-tanda nada menurut suatu nada tertentu. Dalam penggunaan sehari-hari istilah titi laras sering disingkat menjadi laras. Laras ini mempunyai 2 macam, yaitu ada 2 jenis titilaras yaitu:

149

(1) Laras Slendro, secara umum suasana yang dihasilkan dari laras slendro adalah suasana yang bersifat riang, ringan, gembira dan terasa lebih ramai. Hal ini dibuktikan banyaknya adegan perang, perkelahian atau baris diiringi gending laras slendro. Penggunaan laras slendro dapat memberikan kesan sebaliknya, yaitu sendu, sedih atau romantis. Misalnya pada gendhing yang menggunakan laras slendro miring. Nada miring adalah nada laras slendro yang secara sengaja dimainkan tidak tepat pada nada-nadanya. Oleh karena itu banyak adegan rindu, percintaan kangen, sedih, sendu, kematian, merana diiringi gendhing yang berlaras slendro miring.

(2) Laras Pelog, secara umum menghasilkan suasana yang bersifat memberikan kesan gagah, agung, keramat dan sakral khususnya pada permainan gendhing yang menggunakan laras pelog nem. Oleh karena itu, banyak adegan persidangan agung yang menegangkan, adegan masuknya seorang Raja ke sanggar pamelegan (tempat pemujaan). adegan marah, adegan yang menyatakan sakit hati atau adegan yang menyatakan dendam diiringi gendhing-gendhing laras pelog. Tetapi pada permainan nada-nada tertentu laras pelog dapat juga memberi kesan gembira, ringan dan semarak. misalnya pada gendhing yang dimainkan pada laras pelog barang.

150

Malm (1977:22) mengatakan bahwa ada dua dasar tangga nada di Jawa yaitu tangga nada yang terdiri dari lima nada yang disebut Slendro dan tangga nada yang terdiri dari tujuh nada yang disebut Pelog. Perbedaan dari dua jenis tangga nada pada musik gamelan dapat dilihat dari penggunaan alat-alat musik pembawa melodi yang terpisah, dilaras dengan cara masing-masing untuk melengkapi suatu ensambel. Macam-macam nada dalam Notasi Kepatihan adalah sebagai berikut:

Penanggul yaitu nada 1 : Siji dibaca ji. Gulu yaitu nada 2 : Loro dibaca ro. Dhada yaitu nada 3 : Telu dibaca lu. Pelog yaitu nada 4 : Papat dibaca pat. Lima yaitu nada 5 : Lima dibaca mo. Nem yaitu nada 6 : Enem dibaca nem. Barang yaitu nada 7 : Pitu dibaca pi.

Selanjutnya Becker (1980:xv) menjelaskan bahwa sistem Slendro mempunyai lima nada dalam satu oktaf. Nada-nada tersebut adalah:

Nada 1 2 3 5 6 1

151

Kemudian sistem Pelog mempunyai tujuh nada dalam satu oktaf, nada-nada yang dimaksud adalah:

Nada 1 2 3 4 5 6 7

Pelog Ji Ro Lu Pat Ma Nem Pi

Setiap komposisi musik gamelan dapat dimainkan oleh sistem Slendro atau sistem Pelog, atau penggabungan antara sistem Slendro dan sistem Pelog. Dalam penelitian ini gendhing gamelan yang diputar secara rekaman menggunakan sistem laras pelog. Dalam kaitannya dengan kedua komposisi gendhing ini digolongkan kedalam sistem pelog.

4.3.1.3 Pathet

Pathet adalah tingkatan tangga nada (tinggi-rendahnya) suatu lagu dalam Seni Karawitan. Becker (1980:11) mengemukakan bahwa pathet adalah dasar nada. Pathet pada setiap sistem laras terdiri dari atas 3 bagian. Hal ini juga dikemukakan oleh Malm (1977:32) bahwa di Jawa setiap tangga nada mempunyai tiga buah pathet. Pathet pada laras slendro terdiri atas pathet nem (6), pathet songo (9), dan pathet barang/mayura. Pathet pada laras pelog terdiri dari pathet nem (6), pathet limo (5), dan pathet barang/mayuro (becker, 1980:78).

Untuk lebih mempermudah dalam pencarian pathet dapat diketahui dari pukulan gong, yaitu gong nada berapa yang dipukul. Malm (1977:23-25) mengemukakan bahwa dalam laras slendro, pada pathet nem, gong yang dipukul adalah gong nada 6 atau gong nada 2, pada pathet songo gong yang dipukul

152

adalah gong nada 1 atau gong nada-nada 5, dan pada pathet mayuro/barang gong yang dipukul adalah gong nada 6 atau gong nada 1. Kemudian dalam Laras Pelog, pada pathet bem/nem gong yang dipukul adalah gong nada 6, pada pathet limo gong yang dipukul adalah gong nada 5, dan pada pathet barang/mayuro gong yang dipukul adalah gong nada 6 atau gong nada 1.

Dari hasil transkripsi diperoleh bahwa nada yang dihasilkan oleh bunyi gong pada gendhing Monggang adalah gong 5, sehingga gendhing monggang mempunyai pathet limo dan dinamakan Pelog Barang.

Pathet pada Gendhing Monggang

6 5 6 . 6 5 6 .

Selanjutnya nada yang dihasilkan oleh bunyi gong pada gendhing Ladrang Wilujeng adalah gong nada 1, sehingga gendhing Ladrang Wilujeng mempunyai pathet limo dan dinamakan Pelog Barang.

i 3 2 3 i 3 2 3

Selanjutnya nada yang dihasilkan oleh bunyi gong pada gendhing kodok ngorek adalah gong nada 6, sehingga gendhing kodok ngorek mempunyai pathet limo dan dinamakan Pelog Barang.

Pathet pada Gendhing Kodok Ngorek

5 6 7 6 5 6 7 6

5

5

153

Kemudian juga nada yang dihasilkan oleh bunyi gong pada gendhing Ketawang Larasmaya sama dengan yang dihasilkan oleh sebagaimana gendhing kodok ngorek yang merupakan lanjutan gendhing dalam mengiringi upacara panggih sehingga memiliki gong nada 6, dan gendhing ketawang larasmaya mempunyai pathet limo sehingga dinamakan Pelog Barang.

Pathet pada Gendhing Ketawang Larasmaya

5 6 i 2 i 6

4.3.1.4 Gatra

Menurut Malm ( 1977:16) menyebutkan bahwa gatra adalah seperangkat melodi yang terkecil pada teori musik Jawa dan empat kejadian suara termasuk munculnya istirahat. Templeton dalam Becker (1980-189) gatra adalah bagian yang terkecil dari komposisi musik Jawa yang masih mempunyai arti yang terdiri atas 4 satuan nada. Selanjutnya Templeton menjelaskan tentang bagaimana cara menganalisa gatra. Setiap karakter gatra terdiri atas 3 bagian, yaitu (1) Kantur atau pola melodi menerangkan nada relative yang berhubungan antara satu dengan lainnya, terdiri atas empat nada dalam satu gatra, (2) tingkatan nada dalam dalam mencapai kantur, dan (3) posisi gatra dalam struktur musik ditandai oleh pukulan akhir dari alat musik gong, kenong, dan kempul.

Berdasarkan hasil transkripsi maka diperoleh gatra pada masing-masing gendhing adalah sebagai berikut:

Gatra pada Gendhing Monggang

6 5 6 .

5

154

Gatra pada Gendhing Ladrang Wilujeng

i 3 2 3

Gatra pada Gendhing Kodok ngorek

5 6 7 6

Gatra pada Gendhing Ketawang Larasmaya

5 6 i 2 i 6 i

4.3.1.5 Gongan

Becker (1980:105) menyebutkan bahwa gongan adalah rangkai satuan melodi yang terdiri atas 2 gatra yang diakhiri dengan pukulan gong. Sedangkan Malm (1977:16) menyebutkan bahwa gongan adalah unit dasar dari suatu komposisi yang terdiri dari beberapa bagian atau pengembangan, terdiri dari semua kejadian diantara pukulan gong terbesar dan selanjutnya. Lebih lanjut Becker (1980:108) mengemukakan teori bagaimana cara untuk menganalisis suatu gongan. Teori tersebut adalah sebagai berikut: (1) bentuk gongan adalah putaran. Pengulangan gongan merupakan bagian dari sifatnya dalam sistem musik; (2) struktur 2 gongan adalah unit pengulangan yang terkecil atau dapat terjadi dalam bentuk yang lebih kecil lagi; (3) patokan sederhana untuk membantu adalah berdasarkan struktur 2 gong dari pada struktur 1 gong yang merupakan unit terbesar dalam analisis.

Berdasarkan teori diatas maka bentuk gongan pada keempat komposisi gendhing adalah sebagai berikut:

155 Gongan pada Gendhing Monggang:

. 5 6 . 6 5 6 . 6 5 6 .

Gongan pada Gendhing Ladrang Wilujeng:

1 3 2 3

Gongan pada Gendhing Kodok ngorek :

5 6 1 6 5 6 1 6

Gongan pada Gendhing Ketawang Larasmaya:

5 6 1 2 1 6 1 5 6 1 2 1 6 1

5 5 5 5 5 5 5 5 5

156

Dokumen terkait