• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 METODOLOGI PENELITIAN

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

6.2 Analisis Hukum dan Kelembagaan

6.2.2 Sistem kelembagaan Panglima Laôt Lhôk

Panglima Laôt Lhôk di Kecamatan Muara Batu memiliki sistem

kelembagaan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Hal ini diperlukan untuk menjaga ketertiban masyarakat nelayan dalam hal mengatur tata cara penangkapan ikan, pemeliharaan sumberdaya ikan serta menjaga ketentraman hidup masyarakat nelayan di wilayah tersebut. Sistem kelembagaan hak ulayat laut (HUL) dalam Panglima Laôt Lhôk, yaitu: batasan wilayah pengelolaan, sistem organisasi, sistem aturan, sistem sanksi, dan legalitas. Berikut merupakan penjelasan lebih rinci tentang sistem kelembagaan Panglima Laôt Lhôk di Kecamatan Muara Batu.

(1) Batasan wilayah pengelolaan

Kecamatan Muara Batu sebagai salah satu wilayah lhôk yang dikelola oleh

Panglima Laôt Lhôk memiliki batas wilayah pengelolaan. Batas wilayah tersebut

ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Panglima Laôt Lhôk yang wilayahnya berdampingan. Batas wilayah pengelolaan Panglima Laôt Lhôk di Kecamatan Muara Batu terbagi 2, yaitu:

1) Batas wilayah darat

Batas-batas wilayah hukum Panglima Laôt Lhôk ditentukan berdasarkan batas wilayah di darat menggunakan batas administratif satu kelurahan atau beberapa kelurahan (Witanto 2007). Wilayah hukum Panglima Laôt Lhôk di Kecamatan Muara Batu adalah Kelurahan Muara Batu. Pada kelurahan tersebut beberapa desa pesisir yang terdiri atas: Pante Gurah, Cot Trueng, Tanoh Anoe, Ulee Madon, Cot Seurani, Bungkah, Meunasah Lhok, Dakuta, Meunasah Baro, Meunasah Drang, Meunasah Aron, Keude Mane.

2) Batas wilayah laut

Batas wilayah laut bersifat imajiner dikarenakan laut merupakan daerah yang luas, sehingga sulit untuk memberikan batas-batas secara ril. Menurut Solihin (2010), batas wilayah laut umumnya dilakukan dengan cara ditarik garis lurus ke arah laut dari dataran yang terluar hingga batas tepi terumbu karang. Berdasarkan hasil wawancara, batas tepi terumbu karang diperkirakan mencapai sekitar 200 meter dari bibir pantai Kecamatan Muara Batu.

Berdasarkan Qanun Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, pada Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa wewenang Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam pengelolaan wilayah laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah atas wilayah laut dalam jarak 4 (empat) mil laut sampai 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal ke arah laut lepas. Lebih lanjut pada Pasal 3 ayat (2) disebutkan bahwa wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan wilayah laut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 adalah atas wilayah laut dalam jarak 0 (nol) sampai 4 (empat) mil laut yang diukur dari garis pangkal.

Pengaturan batas wilayah pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan sebagaimana ditetapkan dalam Qanun Nomor 16 Tahun 2002 adalah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 18 ayat (4) menyebutkan, bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Artinya, wilayah pengelolaan

55

pemerintah kabupaten/kota di wilayah laut adalah 0-4 mil laut, dan pemerintah provinsi 4-12 mil laut.

Pengaturan batas wilayah pengelolaan di atas bersifat vertikal, sehingga tidak menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan perikanan yang dilakukan

Panglima Laôt Lhôk. Hal ini dikarenakan, permasalahan yang kerap muncul

adalah kegiatan penangkapan ikan yang melintas batas wilayah pengelolaan

Panglima Laôt Lhôk secara horizontal, atau memasuki wilayah Panglima

Laôt Lhôk lainnya. Dengan demikian, pemberlakuan batas wilayah

pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan baik yang ditetapkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Qanun Nomor 16 Tahun 2002 tidak menimbulkan permasalahan.

Kelembagaan Panglima Laôt Lhôk mempunyai peraturan secara khusus dalam mengatur kegiatan perikanan purse seine di wilayah tersebut. Peraturan tersebut berupa batas wilayah penangkapan, yaitu: 1) Pukat layang, wilayah penangkapannya sejauh 5 mil dari tepi pantai; 2) Pukat teri, wilayah penangkapannya sejauh 1,62 mil sampai dengan 5 mil dari tepi pantai; dan 2) Pukat udang, wilayah penangkapannya sejauh 0,16 mil sampai dengan 1 mil dari tepi pantai. Wilayah penangkapan pukat layang merupakan wilayah kewenangan pemrintah provinsi, sehingga jika terjadi pelanggaran-pelangaran oleh nelayan pukat layang maka pemerintah provinsi yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Nomor 16 Tahun 2002.

(2) Sistem organisasi

Lembaga adat Panglima Laôt adalah sebuah lembaga yang mendukung kegiatan perikanan tangkap di wilayah NAD. Panglima Laôt sebagai sebuah kelembagaan memiliki struktur kelembagaan untuk menjalankan fungsi dan tugasnya. Struktur kelembagaan Panglima Laôt di wilayah NAD diketahui terdiri atas 3 tingkatan, yaitu: (1) Panglima Laôt Provinsi; (2) Panglima Laôt

Kabupaten/Kota dan (3) Panglima LaôtLhôk. Struktur kelembagaan yang dimiliki oleh ketiga tingkatan lembaga Panglima Laôt berbeda-beda, karena semakin tinggi kedudukannya maka semakin kompleks struktur kelembagaannya.

Struktur kelembagaan Panglima Laôt Provinsi terlihat lebih kompleks dibandingkan struktur kelembagaan Panglima Laôt Kabupaten/Kota dan

Panglima Laôt Lhôk. Panglima Laôt Provinsi merupakan tingkatan Panglima

Laôt yang tertinggi yang menaungi Panglima Laôt Kabupaten/Kota dan Panglima

Laôt Lhôk dalam mengkoordinasi pelaksanaan hukum adat laut antar kabupaten

atau kota dan antar lhôk. Berdasarkan kedudukannya Panglima Laôt Provinsi menempati tingkatan tertinggi, maka Panglima Laôt Kabupaten/Kota harus tunduk kepada Panglima Laôt Provinsi, begitu pula Panglima Laôt Lhôk harus tunduk kepada Panglima Laôt Kabupaten/Kota. Struktur kelembagaan Panglima

Laôt Provinsi, Panglima Laôt Kabupaten/Kota dan Panglima Laôt Lhôk dapat

dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Struktur kelembagaan Panglima Laôt Provinsi, Panglima Laôt

Kabupaten/Kota dan Panglima Laôt Lhôk

Panglima Laôt Provinsi Panglima Laôt Kabupaten /Kota Panglima Laôt Lhôk

a) 9 orang anggota dewan pertimbangan;

b) 2 orang penasehat;

c) 1 ketua umum (Panglima Laôt Aceh);

d) 5 ketua;

e) 1 sekretaris umum; f) 3 sekretaris; g) 1 bendahara;

h) 1 wakil bendahara; dan i) Terdiri dari anggota-anggota

a) 3 orang penasehat;

b) 1 ketua (Panglima Laôt

Kabupaten/Kota) c) 1 wakil ketua d) 3 sekretaris e) 1 bendahara a)3 orang penasehat b)1 ketua (Panglima Laôt Lhôk) c)1 wakil ketua d)3 sekretaris e)1 bendahara

Sumber: Adli et al. (2006)

Ketiga tingkatan lembaga Panglima Laôt seperti yang telah disebutkan di atas memiliki tugas dan fungsi yang tercantum di dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Adapun fungsi yang dimiliki oleh tiap

Panglima Laôt (Pasal 28 ayat (5)), yaitu:

1) Sebagaiketua adat bagi masyarakat nelayan;

2) Sebagaipenghubung antara pemerintah dan masyarakat nelayan; dan

3) Mitra Pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan perikanan dan kelautan.

57

Sementara dalam menjalankan fungsinya Panglima Laôt memiliki tugas berdasarkan tingkatannya, yaitu:

1) Tugas Panglima LaôtLhôk, yaitu (Pasal 28 ayat (2)):

(1) Melaksanakan, memelihara dan mengawasi pelaksanaan adat istiadat dan hukum adat laôt ;

(2) Membantu Pemerintah dalam bidang perikanan dan kelautan;

(3) Menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi diantara nelayan sesuai dengan ketentuan hukum adat laôt ;

(4) Menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan kawasan pesisir dan laut; (5) Memperjuangkan peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan; dan (6) Mencegah terjadinya penangkapan ikan secara ilegal.

2) Tugas Panglima Laôt Kabupaten/Kota, yaitu (Pasal 28 ayat (3)):

(1) Melaksanakan tugas-tugas sama seperti Panglima Laôt Lhôk hanya saja bersifat lintas lhôk; dan

(2) Menyelesaikan sengketa antar Panglima Laôt Lhôk. 3) Tugas Panglima Laôt provinsi yaitu (Pasal 28 ayat (4)):

(1) Melaksanakan tugas-tugas sama seperti Panglima Laôt lhôk hanya saja bersifat lintas kabupaten/kota;

(2) Memberikan advokasi kebijakan kelautan dan perikanan serta memberikan bantuan hukum kepada nelayan yang terdampar di negara lain; dan

(3) Mengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laôt .

Berdasarkan paparan mengenai fungsi dan tugas Panglima Laôt di atas, diketahui bahwa pada umumnya tiap tingkatan Panglima Laôt memiliki fungsi yang sama dalam menjalankan tugasnya. Tugas-tugas yang yang dijalankan oleh tiap tingkatan Panglima Laôt hampir memiliki tugas yang sama, walaupun ada sedikit perbedaan.

Panglima Laôt Lhôk merupakan ketua adat bagi masyarakat nelayan di

Kecamatan Muara Batu. Panglima Laôt Lhôk mengatur segala kegiatan penangkapan ikan. Nelayan purse seine di Kecamatan Muara Batu merasa sangat terbantu dengan keberadaan Panglima Laôt Lhôk, terutama saat muncul kendala yang tidak bisa diselesaikan antar nelayan. Panglima Laôt Lhôk yang akan membantu menangani masalah yang dihadapi nelayan purse seine dan

menentukan keputusan yang tepat. Apabila terdapat permasalahan yang tidak bisa ditangani Panglima Laôt Lhôk, maka Panglima Laôt Kabupaten/Kota yang akan turun langsung untuk menanganinya. Begitu pula dengan Panglima Laôt

Kabupaten/Kota, jika tidak bisa menangani suatu masalah, maka Panglima Laôt

Provinsi/Aceh yang akan membantu menyelesaikan dan mencari solusinya.

Panglima Laôt Provinsi memang memiliki kedudukan yang paling tinggi,

akan tetapi kekuasaan paling besar dalam pelaksanaan hukum adat laôt dimiliki oleh Panglima Laôt Lhôk dan Panglima Laôt Kabupaten. Panglima Laôt lhôk

lebih mengerti mengenai tentang kondisi nelayan dan perikanan di suatu lhôk

(wilayah pesisir). Hal ini dikarenakan Panglima Laôt Lhôk berinteraksi langsung dengan nelayan, sehingga Panglima Laôt Lhôk lebih mengetahui permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi dalam suatu Lhôk dan kebutuhan yang paling diperlukan oleh nelayan.

(3) Sistem aturan

Hukum adat laut saat ini berlaku sama di seluruh NAD, namun dalam pelaksanaan dan penerapannya Panglima Laôt Lhôk di Kecamatan Muara Batu memiliki kewenangan untuk menentukan aturan yang terkait dengan kegiatan penangkapan ikan, khususnya kegiatan perikanan purse seine. Beberapa bagian dari sistem aturan yang berlaku di Kecamatan Muara Batu berbeda dengan wilayah lainnya. Perbedaan tersebut bukanlah pada hal-hal yang mendasar, sehingga tidak menimbulkan masalah antar Panglima Laôt Lhôk. Sistem aturan yang berlaku di Kecamatan Muara Batu disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya ikan untuk menentukan penggunaan jenis alat tangkap. Sistem aturan hukum adat laut yang diberlakukan di Kecamatan Muara Batu oleh Panglima Laôt Lhôk, yaitu:

1) Kesepakatan hari pantang melaut dan batas-batas waktunya, yaitu: (1) Hari Raya Idul Fitri

Larangan melaut pada Hari Raya Idul Fitri bertujuan memberikan kesempatan pada masyarakat nelayan untuk bersilaturahmi dan merayakan kemenangan atas puasa sebualan penuh di Bulan Ramadhan (Solihin 2010). Larangan melaut berlaku selama 3 hari, yang dimulai

59

dari terbenamnya matahari pada hari meugang sampai dengan terbenamnya matahari pada hari raya ketiga. Hari meugang adalah tradisi membeli, memasak dan memakan daging bersama keluarga di Aceh menjelang datangnya Ramadan dan menjelang hari raya Idul Fitri serta Idul Adha.

(2) Hari Raya Idul Adha

Larangan melaut pada Hari Raya Idul Adha bertujuan memberikan kesempatan pada masyarakat nelayan untuk bersilaturahmi dan merayakan hari qurban di Bulan Zulhizah (Solihin 2010). Larangan melaut berlaku selama 3 hari, yang dimulai dari terbenamnya matahari pada hari meugang sampai dengan terbenamnya matahari pada hari raya ketiga.

(3) Hari Jumat

Larangan melaut pada hari Jumat dipengaruhi oleh ajaran Islam, yang bertujuan agar nelayan melakukan ibadah Shalat Jumat maupun berzikir (Solihin 2010). Larangan melaut diberlakukan pada Hari Jumat, yang dimulai dari pukul 00.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB.

Panglima Laôt Lhôk memperbolehkan nelayan melaut setelah Shalat

Jumat.

(4) Hari Kenduri Laôt

Larangan melaut pada hari Kenduri Laôt bertujuan untuk menghormati proses kenduri sebagai hari besar para nelayan (Solihin 2010). Pada hari ini, dilakukan makan bersama anak yatim dan fakir miskin sebagai bentuk sedekah masyarakat nelayan terhadap kaum dhuafa. Larangan melaut berlaku selama 3 hari penuh.

(5) Perayaan hari proklamasi 17 Agustus

Larangan melaut pada hari Proklamasi bertujuan untuk memperingati kemerdekaan Republik Indonesia dan menghormati para pahlawan yang

telah berjuang untuk merebut kemerdekaan (Solihin 2010). Larangan

melaut diberlakukan mulai dari terbitnya matahari pada tanggal 17

memperbolehkan nelayan melaut setelah upacara kemerdekaan selesai dilaksanakan.

(6) Peringatan Hari tsunami 26 Desember

Larangan melaut pada hari tsunami berdasarkan kesepakatan seluruh

komponen adat laôt yang dikeluarkan melalui Surat Edaran Panglima

Laôt pada tanggal 26 Desember 2006 (Solihin 2010). Pada hari ini, dilakukan doa bersama di tepi pantai sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah. Larangan melaut diberlakukan mulai dari pukul 09.00 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB. Panglima Laôt Lhôk memperbolehkan nelayan melaut setelah doa bersama selesai.

(7) Apabila ada warga yang meninggal

Apabila ada warga di Kecamatan Muara Batu meninggal dunia, maka

Panglima Laôt Lhôk memberlakukan larangan melaut bagi nelayan. Hal

ini bertujuan untuk menghormati proses pemakaman warga yang meninggal tersebut serta keluarga yang ditinggalkannya. Panglima Laôt Lhôk memperbolehkan nelayan melaut kembali setelah proses pemakaman selesai.

2) Batasan penggunaan alat tangkap

Penggunaan pukat trawl, bahan peledak dan racun ikan yang dapat merusak biota laut serta mengganggu kelestarian semberdaya ikan dilarang keras oleh

Panglima Laôt Lhôk di Kecamatan Muara Batu.

Aturan hukum adat laut tidak berlaku bagi nelayan yang keluar dari kuala Muara Batu. Apabila nelayan yang berasal dari Kecamatan Muara Batu melakukan pelanggaran di wilayah hukum Panglima Laôt Lhôk daerah lainnya, maka aturan hukum adat yang berlaku adalah aturan hukum di wilayah tempat terjadinya pelanggaran tersebut.

(4) Sistem Sanksi

Mekanisme pengambilan keputusan dalam menerapkan sanksi dan penegakkan hukum adat laut di Kecamatan Muara Batu dilakukan oleh Panglima

Laôt Lhôk. Pada umumnya penanganan masalah pelanggaran oleh nelayan tidak

61

dahulu melalui struktur paling bawah, seperti penyelesaian masalah antar nelayan oleh pawang laôt. Apabila nelayan masih tidak memperoleh titik temu, maka

Panglima Laôt Lhôk yang akan mengambil keputusan untuk menegakkan hukum.

Sementara, penyelesaian masalah pelanggaran hukum adat lintas lhôk yang tidak mampu ditangani oleh Panglima Laôt Lhôk, maka penegakkan hukum akan dilakukan oleh Panglima Laôt Kabupaten/Kota. Sanksi yang diterapkan terhadap pelanggaran aturan hukum adat laut oleh nelayan di Kecamatan Muara Batu, berupa: (1) penyitaan seluruh hasil tangkapan; dan (2) penahanan perahu dan alat tangkap minimum 3 hari dan selama-lamanya 7 hari. Hasil tangkapan yang disita

dilelang oleh Panglima Laôt, dan uangnya dimasukan ke dalam kas Panglima

Laôt yang akan digunakan untuk operasional lembaga dalam melakukan operasi pengawasan dan penangkapan ikan.

(5) Legalitas

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Panglima Laôt telah ada sejak duhulu kala. Pada saat itu Panglima Laôt merupakan bagian dari sitem kelembagaan kesultanan waktu itu. Keberadaan Panglima Laôt saat ini semakin kuat di Provinsi NAD. Hal ini terlihat dari dikeluarkan beberapa peraturan yang menjadi dasar hukumnya, diantarannya: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.

Panglima Laôt di tingkat Provinsi berperan penting untuk

mengimplementasikan aturan-aturan di atas, yaitu dengan menyelenggarakan musyawarah rapat tahunan Panglima Laôt untuk membuat suatu keputusan bersama. Pelaksanaan hasil kesepakatan musyawarah tersebut, untuk tingkat lhôk

disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat nelayan setempat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua keputusan musyawarah di tingkat Provinsi dapat diterapkan seutuhnya di tingkat lhôk. Atur an yang berlaku di tingkat lhôk bersifat tidak tertulis, sehingga pelaksanaan hukum adat laut dapat disesuaikan dengan tingkat kebutuhan masyarakat nelayan setempat.

Dokumen terkait